Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚
"Kak, untuk katering mau paket A, paket B, paket C, atau paket D?"
"Pilih yang sehat," jawab Rendra. Tangannya sibuk men-scroll layar tablet, dia sedang membacaaca materi untuk presentasi ilmiah besok siang.
Naya mendengus kesal. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja. "Kak Rendra bukan lagi lihat menu makanan yang aku kasih ya? Orang WO nanyain lho ini."
"Tadi aku sudah bilang, aku lagi belajar."
"Nikahnya mau ditunda aja?"
Rendra mengangkat wajah dari layar tablet. "Kenapa?"
Naya mengedikkan dagu ke arah layar persegi panjang yang sedari tadi bersarang di tangan Rendra. "Biar Kak Rendra pacaran dulu sama buku."
"Pernikahan itu bukan mainan. Jangan ngomong sembarang kayak tadi."
Naya cemberut. "Kalau gitu bantuin aku, Kak. Cuma diskusi sebentar kok. Ya, ya, ya?"
"Besok aku maju presentasi, Naya."
Naya menghela napas panjang. Dia menghabiskan isi gelasnya. Gadis itu membenahi barang-barangnya masuk ke dalam tas.
"Mau kemana?" tanya Rendra.
"Percuma aku di sini," jawab Naya kesal. "Kayaknya yang mau nikah aku doang. Kak Rendra nggak niat."
Naya berdiri. Ia mengambil kunci mobil dari meja di depan Rendra.
"Pergi ke Sardjito naik ojol aja ya. Aku mau pulang."
"Naya, Naya," panggil Rendra. Cowok itu berdecak saat orang yang dipanggilnya tak menoleh. Naya bahkan sudah membuka pintu kafe tempat mereka siang ini menghabiskan waktu bersama.
"Tunggu dulu," cegah Rendra sambil menahan pergelangan tangan Naya. Untung saja dirinya belum terlambat hingga Naya berhasil masuk ke mobil.
"Apa?" tanya Naya menantang. Gadis itu menghentakkan tangan Rendra hingga cekalannya terlepas.
"Aku minta maaf. Ayo kita bicarakan lagi di dalam."
"Telat, sudah nggak mood," ucap Naya. Dia balik badan dan membuka pintu pengemudi.
Rendra berusaha membuka pintunya, namun Naya sudah mengunci dari dalam. Ia memohon agar dibukakan pintu. Bukannya menurut, Naya malah menghidupkan mesin. Gadis itu melajukan mobil meninggalkan Rendra di tempat parkir seorang diri.
--
"Serius kamu ninggalin Kak Rendra gitu aja?"
Naya mengangguk. Ia membenamkan wajahnya di bantal milik Ghina. Alih-alih pulang, gadis itu kabur ke tempat kos sahabatnya.
"Bentar, aku coba video call dulu sama Gladis Loli. Mereka pada nggak jaga hari ini," ucap Ghina.
"Kenapa ribet amat kayak gitu?"
"Biar makin ramai kalau mau menghujat orang," jawab Ghina. Tangannya sibuk bergerak menghubungi dua orang teman mereka yang sedang terpisah pulau.
"Ih, dasar junior nggak ada akhlak," ejek Naya. "Dulu aja kalau mau ujian anatomi minta diajarin Kak Rendra, sekarang setelah sudah jadi dokter pada jadi pembangkang semua."
"We stand as your friends, Naya," ucap Ghina. "Nggak ada hubungan senior-junior disini."
Sudut-sudut bibir Naya tertarik ke bawah. Dia beringsut mendekat ke arah Ghina yang masih duduk di pinggir kasur. Naya melingkarkan lengannya di bahu gadis itu. Perlahan isakannya terdengar.
"Hai, hai!" Wajah manis Loli muncul di ponsel Ghina. "Anjir, mata gue ternoda oleh hal tidak senonoh. Oi, kalau mau pelukan jangan di depan jomblo dong!"
"Naya nangis, Lol," lapor Ghina. Tangan kanannya mengangkat ponsel, tangan kirinya menepuk-nepuk bahu Naya.
Gladis ikut dalam obrolan tak lama kemudian. Wajahnya cerah banget, kayak baru mandi.
"Halo! Sudah lama nggak vidcall. Kurang Naya ya?" sapa Gladis.
"Noh, anaknya lagi nangis kata Ghina," ucap Loli pedas sambil menunjuk ke layar ponsel.
Gladis mendekatkan wajahnya. Mulutnya terbuka. "Yang lagi kamu peluk itu Naya? Kirain boneka."
Naya menoleh. Wajahnya hancur banget. Nggak ada manis-manisnya sama sekali.
"Boneka apaan?" sahut Naya kesal. Dia menyedot ingusnya.
"Mirip jenglot, ih," komentar Loli tak berperasaan.
Naya tak terima mendengar ejekan Loli. Gadis itu meraih selembar tisu dari atas meja belajar Ghina. Ia membersihkan jejak air mata yang masih tersisa.
"Nah, gitu kan mending," ucap Loli. "Jadi mirip boneka Annabelle."
"Lol, diem deh. Kalau kalian berantem, aku matiin nih teleponnya," ucap Ghina.
"Naya kenapa? Sini cerita," kata Gladis sambil mengatur posisi ponsel sedemikian rupa hingga bisa berdiri tegak tanpa dipegangi.
"Pernikahan aku lagi di ujung tanduk nih. Cuma karena katering makanan," keluh Naya.
"Kateringnya kenapa?" tanya Gladis.
"Lo kena WO tipu-tipu?" sahut Loli.
"Aku bantuin Naya cari WO di Jakarta lho, no tipu-tipu," sahut Ghina.
"Kak Rendra kayaknya nggak niat nikah sama aku deh," ucap Naya. "Dimintai bantuan untuk pilih menu katering aja, alasannya belajar. Aku capek ngurus semuanya sendiri."
"Kamu nggak ngomong aneh-aneh, kan?" tanya Gladis hati-hati.
Ketiga gadis itu tahu, Naya kalau sudah kesal bisa berubah jutek yang ending-nya mengucapkan hal terlarang. Dia selalu "mengusir" orang untuk pergi. Jevin menyatakan perasaan, langsung ditolak Naya, bahkan dengan pedas Naya bilang kalau dia bakal anggap percakapan itu tidak pernah terjadi. Padahal mengungkapkan rasa suka itu butuh keberanian besar. Ketika Jeno berusaha minta maaf karena kebimbangan yang ia rasakan, Naya menolak tanpa mendengar penjelasan, alhasil Naya jadi galau nggak jelas. Terakhir waktu putus sama Julian. Julian protes karena Naya tidak punya waktu untuk cowok itu, Naya malah mengajak pisah dan mengeluarkan uneg-unegnya kalau Julian cuma pelampiasan.
Naya menangis lagi. Napasnya tersengal-sengal.
Ghina akhirnya mengambil alih. "Naya nantangin Kak Rendra. Bilang nikahnya ditunda aja. Terus Naya juga mengeluh kalau cuma dia yang mau menikah, Kak Rendra nggak."
Loli dan Gladis hanya bisa diam. Tuh kan, ngomong hal tabu. Naya kalau lagi kesal memang mendingan diculik dulu ke suatu tempat biar nggak bicara aneh-aneh.
"Terus, Naya tadi ninggalin Kak Rendra gitu aja. Padahal dia mau jaga malam di Sardjito," lanjut Ghina memberi laporan.
"Belum resolve berarti ya?" tanya Gladis.
Naya menggeleng. Dirinya masih menangis.
Ghina menoleh ke arah tas Naya yang berada di kaki tempat tidurnya. Gadis itu meletakkan ponsel di atas kasur, memperlihatkan langit-langit kamarnya yang bersih. Ghina menunduk dan merogoh isi tas Naya tanpa izin. Dia kembali duduk tegak sembari memegang ponsel yang sedari tadi berdering.
"Kak Rendra telepon, Naya."
"Jangan diangkat!" terdengar suara teriakan Loli dari seberang. "Gue nggak mau lo menyesal lebih jauh lagi. Lo belum cukup tenang."
"Iya bener. Ngomong baik-baik besok aja. Apalagi kalau lewat telepon tuh makin riskan salah pahamnya, ketemuan langsung aja," sambung Gladis menyetujui usul Loli.
Dering itu terputus. Ghina dan Naya bertukar pandang. Tak lama kemudian ponsel kembali berbunyi. Panggilan masuk dari nomor yang sama.
"Nggak papa, aku angkat aja. Aku mau minta maaf," ucap Naya mencoba meraih ponsel dari tangan Ghina.
Ghina menggeleng. Dia menjauhkan tangannya dari Naya. Ghina menatap garang. Dia sampai berdiri agar lebih mengulur jarak.
"Bucin boleh, bodoh jangan," ucap Ghina murka. "Di sini bukan cuma kamu aja yang salah, Kak Rendra juga. Kalau kamu langsung minta maaf, nanti dia malah jadi seenak jidat melimpahkan semua urusan pernikahan ini ke kamu."
Hening. Naya, Gladis, dan Loli tidak bersuara. Ucapan Ghina memang benar.
"Biar aku angkat teleponnya," ucap Ghina.
"Halo, Kak Rendra. Ini Ghina." Ghina melirik ke arah Naya yang diam saja memandanginya. "Naya aman di tempat aku, tapi Kak Rendra jangan kesini dulu. Naya butuh waktu, Kak Rendra juga butuh waktu."
Sudut bibir Naya lagi-lagi tertarik ke bawah. Dia berusaha menahan isakannya.
"Iya, nanti aku sampaikan ke Naya, Kak."
Ghina memutus sambungan telepon. Ia memasukkan ponsel milik Naya kembali ke dalam tasnya. Gadis itu duduk di tempatnya semula.
"Kata Kak Rendra, besok sore dia mau ke rumah. Dia minta maaf. Kak Rendra juga bilang kalau dia sayang sama kamu."
Tangis Naya kembali pecah. Ghina memeluk bahu sahabatnya yang bergetar hebat.
"Oi, oi, kita nggak dilupain kan di sini?" protes Loli memecah suasana sedih tersebut.
"Kalian pasti lagi pelukan," Gladis menimpali.
Ghina tertawa. Dia kembali meraih ponselnya dan menyorot Naya yang masih terisak. Kontras sekali dengan Ghina yang malah lagi berpose ala-ala mau ambil selfie.
"Jangan sedih, Naya. Kita selalu ada buat kamu," ucap Gladis menenangkan dari jauh.
"Iya, sebentar lagi gue balik dari pedalaman Kalimantan nih. Lo mau gue bawain bekantan biar seneng lagi?" tanya Loli.
Naya tertawa. Padahal kalimat Loli barusan tidak lucu. Dengan matanya yang masih merah, Naya berusaha tersenyum menghadap kamera.
"Makasih ya. Aku kangen banget sama kalian," ucap Naya.
"Pelukan sini, pelukan," ucap Ghina. Dia mengarahkan kameranya agar seolah-olah mereka berempat saling merangkul.
--
SIDE STORY
Rendra: Naya, maaf. Jangan nangis lagi ya. Aku bawain boneka nih.
Naya: Nggak mau
Rendra: Maunya apa?
Naya: Kak Rendra aja yang jadi boneka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top