4.

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

Naya kembali dengan segelas matcha latte di tangannya. Dia duduk di tempatnya semula. Ternyata Ghina sedang menceritakan perihal pemilihan gaun pengantin Naya pada Gladis.

Gladis melihat Naya dengan tatapan kasihan. Gadis itu memeluk Naya sembari menepuk-nepuk punggungnya ringan. "Sabar ya. Kamu pasti bisa. Pawangnya Kak Rendra itu cuma kamu."

Naya mendorong pelan bahu Gladis. Ia melihat ke arah dua temannya bergantian. "Kalian kayak mau melepas aku ke medan perang yang berat banget gitu."

"Memang," jawab Ghina cepat. "Kehidupan rumah tangga itu berat lho."

Naya memutar bola matanya. "Please ya. Di antara kalian belum ada yang menikah."

"Kita belajar dari kehidupan pasien. Banyak kok yang sebenarnya nggak sakit fisik, tapi psikosomatis karena punya masalah yang berakar dari keluarga."

Naya ngeri mendengar ucapan Gladis. "Ih, aku takut beneran nih."

"Jangan takut," kali ini Ghina terdengar serius, tidak meledeknya seperti biasa. "Aku yakin Kak Rendra bisa bimbing kamu kok. Ya walaupun otaknya agak geser, dia itu orang yang logis dan dewasa.

"Otaknya nggak geser," bela Naya tak terima. "Pola pikirnya aja yang susah dimengerti, tapi kalau dicermati masih bisa diterima kok."

"Iya, iya," ucap Ghina. "Dasar bucin."

Gladis menengahi. "Cerita awal kamu sama Kak Rendra bisa jalan bareng gimana ya? Aku kan nggak sekelompok koas sama kalian," ucap Gladis sambil menunjuk Naya dan Ghina.

Naya senyum-senyum sendiri. Dia menyesap minumannya dulu sebelum bercerita. Kalau ingat masa itu, dia suka berdebar tak karuan.

---

"Sudah semua, Kak?" tanya Naya sambil cuci tangan sehabis keliling bangsal periksa tanda-tanda vital pasien.

"Tinggal pasien lu nih. Mau gue yang nulis atau gimana?" tanya Rendra sambil menyodorkan buku besar berisi data pasien.

Naya mendekat setelah membuang tisu ke tempat sampah. Ia mengeluarkan buku kecil dari saku jas koas. Gadis itu menunduk, melihat ke buku besar.

"Duduk, pegel pasti," kata Rendra sambil mendorong satu kursi ke arah Naya.

Naya menurut. Kini dia dan Rendra duduk bersebelahan di meja nurse station. Naya menyalin data pasien, Rendra menemani sambil main ponsel.

"Sudah jam dua belas nih, Kak," ucap Naya sambil melihat jam di dinding. Ruang perawat juga sudah gelap. Residen yang jaga bangsal sejak jam sebelas nggak keluar-keluar lagi dari ruangannya.

"Mau ke kamar koas?"

Naya ragu. "Tapi yang jaga IGD belum pada balik."

Rendra berdiri. Dia memasukkan ponselnya ke saku jas. "Ada pasien pengawasan paling di sana. Mending kita ke kamar, tadi lu belum selesai makan, kan?"

Naya mengiyakan. Dia mengikuti langkah Rendra yang sudah terlebih dahulu masuk ruang jaga koas. Rendra bersila di atas salah satu kasur sambil bermain ponsel, Naya duduk di depan meja melanjutkan acara makan yang tertunda sejak empat jam lalu.

"Pas banget ya, Kak. Kita ketemu jaga bareng di hari terakhir Kak Rendra koas."

Rendra menurunkan ponsel dari pandangan. Dia melihat punggung Naya yang sedang duduk membelakanginya.

"Iya juga ya. Dari hari pertama lu koas, kita nggak pernah jaga bareng. Ketemu papasan aja jarang," jawab Rendra.

Naya mengangguk. Dia merapikan sampah sisa makanannya dan membuang ke tempat sampah. Naya mengambil botol minum, lalu duduk di atas kasur sebelah kasur Rendra.

"Makasih ya, Kak. Selama ini sudah bantu ngajarin aku, padahal Kak Rendra juga sibuk koas."

"Santai aja. Selama gue bisa bantu, ya gue jalanin," jawab Rendra sambil tersenyum.

Naya balas tersenyum. "Semangat ujian dokternya ya, Kak. Semangat internship. Bentar lagi resmi jadi dokter."

"Lu juga semangat. Perjalanan masih panjang."

Naya mengangguk. Dia menyandarkan punggungnya di dinding. Gadis itu meluruskan kakinya di atas kasur.

"Koas ternyata sesibuk itu ya," ucap Naya. "Nggak terlalu sibuk sih, tapi capek. Tergantung stase."

"Ini masih belum ada apa-apanya. Gue sudah keliling semua stase. Nasib residen itu lebih berat. Kena semprot sana-sini," ucap Rendra.

"Masih pengin jadi residen, Kak?"

Rendra mengangguk mantap. "Masih lah. Malah pengin ambil spesialis dokter anak."

Naya meringis. "Berat banget."

"Namanya juga pilihan hidup, selalu ada konsekuensinya," jawab Rendra sambil mengangkat bahu. "Lu nggak mau ambil residensi?"

Naya menggeleng. "Aku ikut jalan Ayah aja. Jadi direktur rumah sakit."

Rendra manggut-manggut. Dia diam. Tangan kanannya memutar ponsel tanpa minat melanjutkan bermain game.

"Kalau sibuk, nanti nggak punya waktu untuk cari jodoh lho, Kak," ucapan Naya menarik perhatian Rendra. "Katanya kalau cowok itu mencari, kalau cewek dicari."

Rendra mengulum senyum. "Jodoh sudah ada yang ngatur. Siapa yang tahu kalau ternyata jodoh kita ada di samping?"

Naya menoleh. Matanya mengerjap lucu. "Oh iya ya. Kak Rendra kan tidak menganut kepercayaan cari pacar."

"Kalau pacar buat main-main mah nggak kepikiran, buang energi doang," jawab Rendra. Pandangannya kembali lurus ke depan. "Tapi cari pacar untuk jadi teman hidup sih harus. Gue nggak mau sendirian sampai tua."

Naya tertawa kecil. "Memang kapan mau carinya?"

Rendra menelan ludah susah payah. "Gue sudah nemu kok. Tinggal bilang aja ke orangnya."

Hening. Naya tidak tertarik untuk mengorek informasi. Gadis itu sibuk dengan isi pikirannya sendiri. Dia malah teringat dengan Julian. Tidak ada kabar lagi darinya sejak mereka memutuskan untuk berpisah setelah jalan bersama dua tahun.

"Lu kenapa putus dari Kak Julian?" tanya Rendra penasaran.

Naya menghela napas. Dia menunduk. Gadis itu memainkan jemari di pangkuannya.

"Aku cuma nyakitin Kak Julian aja kalau hubungan kita lanjut," jawab Naya. Ia melanjutkan setelah beberapa saat. "Aku merasa bersalah karena nggak bisa balas perasaannya dengan tulus."

"Masih kepikiran Jeno?"

Naya diam. Ia mengangguk. "Jahat banget ya aku?"

Rendra menghela napas panjang. "Arti Jeno sama Kak Julian sebenarnya apa? Buat hidup lu."

Naya tampak berpikir. "Bisa dibilang Kak Jeno itu cinta pertama aku. Kalau Kak Julian pacar pertama aku."

"Masih ada rasa?"

"Perasaan bersalah ke Kak Julian, karena secara nggak sadar aku malah jadiin dia pelarian dari Kak Jeno," jawab Naya terlihat menyesal. "Padahal Kak Julian dari awal masuk kuliah sudah perhatian banget."

"Kalau Jeno? Masih ada rasa?"

Naya mengangkat wajahnya. Dia tersenyum sendu. "Rasa sayang sih sudah nggak ada sisa, tapi yang namanya cinta pertama itu selalu punya tempat sendiri di hati. Dari Kak Jeno aku jadi tahu rasanya nyaman sama seseorang, selain dalam terminologi teman atau keluarga lho ya."

Rendra mengamati Naya dari samping. "Sudah siap untuk buka hati lagi?"

Naya meringis. "Nggak akan tahu kalau nggak dicoba. Lagian aku masih ada koas satu tahun lagi. Jarang ketemu sama orang selain di rumah sakit."

"Mau coba?"

Naya menoleh ke arah Rendra. Ia menelengkan kepala tak paham. "Maksudnya?"

Rendra tersenyum tipis. "Ya siapa tahu jodoh lu tuh deket. Di samping doang."

Naya menggut-manggut, antara paham dan tidak paham. Dia kembali memandang lurus ke depan. Tumpukan ransel di atas meja menjadi bahan yang lebih menarik untuk diamati daripada pembicaraan mengenai jodoh.

"Coba lihat ke sini."

Naya menoleh ke arah Rendra. "Ada apa, Kak?"

"Nah, itu lu udah lihat ke samping," Rendra memandang Naya dengan tatapan penuh arti. "Mau coba nggak?"

--

"Cringe banget," keluh Gladis sambil mengepalkan dua tangannya di sisi kepala. Kakinya menjejak ke lantai dengan geregetan.

"Romantis nggak sih?" tanya Naya dengan mata berbinar.

Ghina berdecak. "Kalau sudah bucin mah buta."

Naya terkekeh. "Aku aja ngerti maksud Kak Rendra tuh setelah cerita sama Ghina."

"Iya, kalau untuk urusan itu kamu kan nggak peka, mepet ke arah blo'on."

"Jahat banget sih ngomongnya," ucap Gladis pada Ghina. "Terus setelah kamu tahu artinya, ada kelanjutannya?"

Naya menghela napas panjang. "Kak Rendra kayak biasa aja. Berasa pembicaraan itu nggak pernah terjadi. Kalau dulu sama Kak Jevin kan, orangnya kekeuh nyatain perasaan terus sampai bikin aku nggak nyaman. Nah, yang Kak Rendra ini beda, dia santai banget. Malah jadi misterius gitu."

"Sejak saat itu Naya menjelma jadi bucin seorang Rendra," tambah Ghina.

Gladis mengangkat empat jari tangan kirinya. "Kak Jevin, Kak Jeno, Kak Julian, terus sekarang Kak Rendra."

"Hebat ya, temen kita ini," ucap Ghina.

Naya menggeleng. Jari telunjuk tangan kirinya bergerak ke kanan dan kiri. Alisnya naik turun.

"Come on, girls. Cuma Kak Rendra seorang yang bisa bikin aku klepek-klepek, yang lain biasa aja."

Gladis dan Ghina melengos. Mereka kompak mengangkat gelas minuman masing-masing. Keduanya enggan mengomentari tingkah teman mereka yang satu itu.

---

SIDE STORY

Rendra waktu ngapel ke rumah Naya

Rendra: *sibuk baca buku*

Naya: *sibuk bikin komik*

Rendra: *istirahat* *liatin Naya*

Naya: *merasa diperhatikan* Kenapa, Kak?

Rendra: Nggak papa, kamu makin cantik kalau melakukan hal yang kamu suka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top