18.

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

"Kamu mau mandi kapan?"

"Kak Rendra dulu aja," ucap Naya sambil meringkuk.

"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Rendra. Dia duduk dan menarik bahu Naya agar membalas tatapan matanya.

Naya menoleh, lalu menggeleng. "Perutnya kram. Akhir-akhir ini aku jadi mudah capek, Kak."

"Tuh kan. Harusnya kamu tolak aja waktu aku minta jatah." Tatapan Rendra berubah khawatir.

Naya meringis. Ia mengubah posisi menjadi tiduran telentang agar lebih nyaman melihat sang suami. "Nanti aku dikutuk karena jadi istri durhaka."

"Siapa yang mau kutuk? Kesehatan kamu itu penting, Naya," ucap Rendra kesal.

"Tapi aku suka kok," ucap Naya. Wanita itu meraih tangan kiri Rendra dan menautkan jemarinya dengan jemari milik Naya. Ia kemudian tersenyum. "Waktu Kak Rendra pegang tangan aku kayak gini, aku suka."

Wajah kesal Rendra berubah dihiasi senyuman tipis. "Kenapa?"

"Lebih terasa intim aja, jadi makin dekat. Kak Rendra juga puji aku terus. Kan aku melting," ucap Naya jujur.

Rendra tertawa. Ia mengecup kepala Naya. "Ini tangannya masih belum mau dilepas?"

Naya melepas tautan tangan mereka. "Sana Kak Rendra mandi dulu. Aku masih capek."

Rendra mengelap peluh Naya dengan tangannya. "Mau aku bikinin apa? Makanan? Minuman?"

"Hm, mie rebus pakai telor sama daun bawang. Oh sama pakai cabai rawit iris. Ada cabai sisa makan gorengan di kulkas."

Rendra tampak terkejut. "Serius kamu mau makan pedes?"

Naya mengangguk. "Tiba-tiba pengin pedes, Kak."

"Nggak sakit perut nanti?"

"Tapi mau," rengek Naya. "Ya ya ya? Kalau nggak aku langsung tidur aja nih."

Rendra mengalah. "Iya, iya. Kamu pakai baju dulu ya. Aku mandinya cepet kok, habis itu langsung aku masakin."

"Gini aja. Males pakai baju," ucap Naya sambil membenahi posisi selimut di depan dadanya.

"Nanti sakit lho. Kedinginan."

"Nggak, Kak. Santai aja. Nanti kalau mau ke kamar mandi aku pakai handuk," ucap Naya. Ia mendorong badan Rendra untuk menjauh. "Sana cepet mandi, nanti masaknya kelamaan."

Rendra mengecup kening Naya lagi. Ia kemudian turun dari kasur dan berlalu ke kamar mandi.

---

"Naya," bisik Rendra. Tangannya mengusap kepala sang istri.

"Hm?"

"Bangun, sudah jam setengah lima."

Naya membuka matanya malas-malasan. "Berapa, Kak?"

"Setengah lima."

"Hah?!" Naya terkejut. Dia langsung bangkit dan turun dari kasur.

Rendra ikutan kaget. Pria itu menangkap tubuh Naya yang terhuyung.

"Bangunnya pelan-pelan, dong," omel Rendra. "Kamu tahu bahasan tentang hipotensi postural, kan? Kalau bangun tiba-tiba...."

Naya berlari ke kamar mandi. Ia memuntahkan isi perutnya. Rendra langsung menyusul.

"Bandel, kan? Makanya jangan langsung bangun," ucap Rendra kesal. Tangannya memijat tengkuk Naya pelan.

Setelah selesai membersihkan diri, Naya keluar dari kamar mandi. Naya memperhatikan rambut basah Rendra. Suaminya itu sudah mandi, tinggal berganti pakaian dan siap untuk berangkat ke rumah sakit.

"Sudah jam segini, aku bikinin roti telur aja nggak papa, ya?"

Rendra mengangguk. "Kalau kamu masih pusing. Aku sarapan di kantin aja nanti."

Naya menggeleng. Ia mengeluarkan dua butir telur dari kulkas. Dengan cekatan wanita itu mulai membuat sarapan.

"Aku yakin Kak Rendra nggak bakal sarapan kalau gitu. Paling mentok makan jam sepuluh."

Rendra masuk ke dalam kamar. Dia membiarkan sang istri memasak. Pria itu berganti pakaian dan memasukkan barang-barang ke dalam tas. Dia persiapan berangkat pukul setengah enam.

"Kak Rendra, sudah siap nih," panggil Naya. Dia memasak dengan cepat karena menu makanan pagi ini sangat simpel.

Saat Rendra sedang sarapan, Naya izin ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Dia lagi-lagi muntah. Rendra yang tahu mau tak mau jadi khawatir.

"Kamu kenapa?"

Naya menutup pintu toilet dan duduk di depan Rendra. "Nggak tahu. Masuk angin mungkin, Kak. Kalau malam kan suka begadang belajar."

Rendra menghela napas kesal. "Nanti minum obat pereda mual dulu, terus baru makan. Kalau belum sehat, izin kerja. Mumpung sudah selesai tes, kamu istirahat aja."

"Maaf ya, Kak. Akhir-akhir ini aku kalau pagi bangunnya telat. Badan aneh banget. Nggak enak gitu untuk dibawa aktivitas pagi."

"Nggak papa," ucap Rendra. Ia mengelap mulutnya dengan tisu dan berdiri. "Aku berangkat dulu ya."

Naya ikut berdiri. Dia mengantar Rendra ke depan pintu.

---

Rendra berjalan pelan menuju lift. Makin mendekati apartemen, langkahnya semakin berat. Pikiran pria itu melayang mengingat isi percakapannya dengan Naya siang tadi.

"Kak Rendra, pulang jam berapa?"

"Enam, kayak biasa. Ada apa? Mau titip belanja sesuatu?"

Naya tampak ragu sesaat. Rendra bisa tahu itu. Padahal, biasanya Naya selalu bebas mengatakan titipan pesanan padanya. Akhir-akhir ini sih Naya lebih sering titip makan malam, tidak masak karena Naya masih tidak enak badan.

"Iya, Kak."

"Apa?"

"Testpack."

Rendra diam. Otaknya berpikir. Dia tidak salah dengar, kan?

"Halo, Kak Rendra?"

"Eh, iya?" Rendra tergagap ketika Naya memanggil namanya. "Mau buat apa?" tanya Rendra, seketika dia menjadi bodoh.

"Aku... Aku masih belum yakin sih. Karena pakai alat KB, aku kan jadi nggak teratur haidnya, tapi kayaknya ini sudah dua bulan aku nggak dapat tamu bulanan," ucap Naya hati-hati. "Tiap pagi aku mual. Badan aku jadi terasa aneh. Jangan-jangan hamil."

"Tapi...."

"Aku titip ya, Kak. Kita bicarakan ini kalau Kak Rendra sudah di rumah."

Di sinilah Rendra, di depan pintu unit apartemen mereka. Dengan sebuah tas plastik putih berisi sepuluh buah alat tes kehamilan berbagai jenis merek. Pria itu masih tidak berani masuk. Dia belum siap menghadapi kenyataan.

Setelah terpaku selama kurang lebih lima menit, Rendra akhirnya mengetuk pintu. Tak lama kemudian wajah Naya terlihat. Wanita itu menyambutnya dengan senyuman. Namun Rendra masih belum bisa tenang.

"Ini, titipan kamu," ucap Rendra sambil menyerahkan tas plastik di tangannya pada Naya.

Naya menerima dengan jantung berdetak kencang. "Banyak banget, Kak. Mau bikin eksperimen? Merek mana yang paling akurat, gitu?"

Rendra tidak tertawa sedikit pun dengan lelucon sang istri. Dia duduk di sofa ruang tengah dengan wajah datar. Naya yang melihatnya jadi gugup.

"Hm, Kak Rendra, sudah siap lihat hasilnya?"

Rendra menoleh. Ia meneguk ludah susah payah. "Aku mau yang pasti. Kalau aku nggak tahu hasilnya, aku belum bisa bicara."

"Kalau gitu, aku periksanya besok pagi aja, ya? Biar kadar beta-hcg tinggi. Jadi lebih pasti."

"Aku nggak bakal bisa tidur kalau gitu," ucap Rendra.

Naya meringis. Ia meremas ujung piyamanya. "Kalau gitu, setengah-setengah? Periksa sekarang dan periksa besok pagi."

Rendra mengangguk setuju. Pria itu meraih kantung plastik dari tangan Naya dan mengeluarkan lima jenis testpack. Ia menyerahkannya pada Naya dengan tangan bergetar.

Lima belas menit lamanya Rendra menunggu. Dia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Jujur, Rendra saat ini sedang berusaha menyangkal perkiraan yang ada di kepalanya. Namun semakin disangkal, justru ia menemukan bukti yang makin menguatkan bahwa Naya sedang mengandung.

---

SIDE STORY


Rendra di farmasi, lagi nungguin mbaknya ngambil sepuluh testpack beda merek. Rendra nunduk, kayak orang banyak pikiran dan takut gitu. Sampai mbaknya datang bawa barang-barang pesanan Rendra, sambil natap Rendra curiga.

Mbak: Ini Mas, sesuai yang diminta ya.

Rendra: *masih melamun*

Mbak: Permisi Mas.

Rendra: Ya?

Mbak: Ini.

Rendra: Oh okay, jadi berapa?

Mbak: Lima ratus dua puluh tujuh ribu *sambil nunggu Rendra ambil uang di dompet, mbaknya ngomong lagi* Kalau hasilnya positif, jangan minta mbak pacarnya gugurin ya, Mas.

Rendra: Hah? Pacar?

Mbak: Biasanya orang beli satu atau dua testpack, ini sampai sepuluh. Kayaknya Mas takut pacarnya hamil, nggak terima kenyataan. Mas juga kayak lagi banyak pikirin gini.

Rendra: Ini untuk istri saya.

Mbak: Eh, sudah nikah?

Rendra: *nyolot* Iya? Kenapa? Nggak suka? Nih gue bayar. Nggak usah tanya-tanya lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top