17.

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

"Naya pulang!"

Naya meletakkan kantung belanjaan di atas meja dapur. Ia melepas sepatu dan meletakkannya di rak penyimpanan.

Rendra bergegas. Dia turun dari kasur dan menuju ruang tengah. Pria itu berniat menyambut kepulangan sang istri.

"Kak Rendra, kok sudah pulang?"

"Nggak seneng, nih?"

Naya tertawa. Dia berjinjit dan menjatuhkan kecupan ringan di pipi kiri Rendra.

"Seneng dong. Cuma kaget aja. Kan ini masih siang, kirain bakal pulang sore."

Rendra tersenyum. "Residen yang gantiin sudah datang. Ya sudah, aku langsung pulang aja."

Naya mengangguk paham. Dia mulai mengeluarkan satu per satu bahan belanja dari tas.

"Aku bantuin sini," ucap Rendra menawarkan bantuan.

"Masukin telur ke kulkas aja, Kak. Makasih."

Rendra menurut. Dengan hati-hati, dia melakukan perintah Naya. Pria itu selalu mengerjakan semua hal dengan sungguh-sungguh.

"Kak Rendra sudah makan?" tanya Naya.

"Sudah makan di rumah sakit sebelum balik ke sini," jawab Rendra tanpa merasa terganggu sedikit pun.

"Kok tiba-tiba aku mau sop ayam Pak Min ya?" tanya Naya.

Rendra menoleh sekilas. "Kamu belum makan?"

"Sudah," jawab Naya. "Karena Kak Rendra baru balik dari Klaten, tiba-tiba pengin makan itu."

Rendra terkekeh mendengar ucapan sang istri. Alasan macam apa itu?

"Mau masak? Atau delivery aja?" tanya Rendra pengertian.

Tangan Naya berhenti bergerak. "Ke warungnya langsung yuk, Kak. Kan sudah lama kita nggak makan di luar. Hitung-hitung sekalian jalan kencan."

Rendra menoleh ke arah Naya. "Serius? Kamu nggak capek habis belanja sebanyak ini sendirian?"

Naya mengangguk semangat. "Ayo dong, Kak. Habis makan, kita pulang. Janji nggak bakal lama, biar Kak Rendra juga bisa istirahat."

Rendra mengangguk. Ia menutup pintu kulkas. "Okay, kalau gitu aku siap-siap dulu."

"Yey!"

---

Rendra menghabiskan satu suapan terakhir dengan tenang. Di hadapannya, Naya sudah selesai sejak lima menit yang lalu. Sungguh hal yang jarang terjadi. Apalagi Naya terkenal kalau makan itu butuh waktu yang lama.

"Kok makan es batu gitu? Bukannya punya gigi sensitif?" tanya Rendra sambil mengernyitkan dahi.

Naya memegangi kedua pipi. Mulutnya tetap mengunyah es batu. Sesekali bahunya bergetar. Kelopak matanya merapat.

"Lagi pengin aja," jawab Naya. Wanita itu melihat ke arah gelas berisi es jeruk milik Rendra. "Aku boleh minta es Kak Rendra nggak?"

Rendra hanya mengangguk. Dia tidak banyak mengomentari kelakuan aneh Naya. Tidak aneh sih, hanya tidak biasa.

"Jangan dipaksain gitu. Cari penyakit," ucap Rendra akhirnya. Ia menarik gelas dari depan Naya ketika wanita itu lagi-lagi menunjukkan gejala bahwa giginya linu.

Naya merengut. Ia mengedip-edipkan matanya lucu. "Satu lagi, Kak. Janji habis itu udahan."

"Bener ya? Cuma satu?"

Naya mengangguk. "Satu aja."

Rendra mengambil es batu paling kecil yang ada di dalam gelas. Ia menyuapi Naya. "Ini terakhir."

Naya tersenyum ketika Rendra akhirnya luluh. Terdengar suara gemeletuk gigi menggerus es batu. Rendra yang denger aja ikutan ngilu.

"Okay, sudah selesai."

"Pulang nih?" tanya Rendra sambil meraih kunci mobil.

"Mampir mall dulu, Kak. Aku mau beli baju, hehe."

"Baju untuk apa?"

Naya mengangkat bahu. "Ya, beli aja. Kalau nggak beli baju, beli peralatan dekor kamar, atau beli yang lain. Makanya, kita ke mall aja."

"Naya."

"Please, kan sudah lama kita nggak jalan-jalan, Kak," bujuk Naya. Ia menunjukkan tatapan puppy eyes andalannya.

Rendra menghela napas panjang. "Okay, jangan lama-lama."

Naya mengangguk senang. Wanita itu berjalan ke arah kasir untuk membayar makanan mereka. Tenang, uangnya pakai uang Rendra kok.

"Mall mana, Naya?" tanya Rendra setelah mereka berdua sudah ada di dalam mobil.

"Hartono mall," jawab Naya tanpa perlu pikir panjang.

Rendra melirik sekilas sebelum menjalankan mobil. "Antusias banget."

Naya tertawa. "Kan seneng mau pacaran."

Rendra geleng-geleng doang. Naya cuma cengengesan. Keduanya tidak saling mengobrol lagi. Mereka malah nyanyi-nyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar di radio, berakhir dengan hanya Rendra seorang yang melanjutkan. Naya baru tahu kalau suara Rendra semerdu itu, jadi dia lebih memilih untuk menikmati nyanyian suaminya sampai tiba di tempat tujuan.

"Aku mau lihat-lihat baju dulu ya," ucap Naya. Ia menarik tangan Rendra untuk masuk ke sebuah toko baju brand Jepang yang sudah terkenal dimana-mana.

Rendra menahan tangan Naya. Ia menunjuk sebuah tempat duduk yang berada tidak jauh dari sana.

"Aku tunggu situ ya," ucap Rendra.

Naya merengut. "Kak Rendra nggak mau temenin aku beli baju? Kasih pendapat mana yang cocok mana yang nggak?"

"Semua baju bagus kok," ucap Rendra sambil menepuk puncak kepala Naya.

"Tapi aku mau jalan bareng Kak Rendra," pinta Naya lagi.

"Aku baca WA dulu. Operan pasien untuk besok pagi," ucap Rendra memberi alasan. "Kalau sudah selesai, aku susul ke dalam."

Naya menghela napas. Ia mengangguk. Dengan perasaan tidak rela, Naya melepas tangan Rendra dan masuk ke dalam toko seorang diri. Ini sih tidak ada bedanya antara kencan atau hangout sendiri.

Sambil melihat-lihat pakaian, perlahan mood Naya kembali naik. Wanita itu menghabiskan hampir setengah jam untuk menyambangi tiap bagian toko. Bahkan dia juga melihat ke deretan pakaian laki-laki. Naya memutuskan membeli piyama untuk dirinya dan Rendra.

Naya keluar sembari menenteng barang belanjaannya. Ia berjalan ke arah tempat duduk dimana Rendra menunggunya. Alisnya menyatu ketika mendapati kerumunan kecil disana, terdengar pula suara seorang ibu yang menangis. Dengan hati berdebar, Naya membelah kerumunan.

Di pangkuan Rendra, tampak seorang anak berusia tiga tahun dibaringkan secara tengkurap. Pria itu menepuk-nepuk area antara tulang belikat dengan sedikit keras. Si ibu tadi masih menangis dengan panik.

Tak lama kemudian, anak laki-laki itu memuntahkan bakso dari mulutnya. Ia langsung menangis keras. Wajah yang awalnya berwarna biru karena kehabisan napas, telah normal kembali. Rendra mendudukkan anak itu dan menenangkannya.

"Sudah aman, Bu. Sudah tidak ada sumbatan lagi," ucap Rendra sambil menyerahkan sang anak pada ibunya.

"Terima kasih, Mas," ucap si Ibu sambil mengelap air mata dengan tangannya. "Mungkin saya nggak bisa ketemu anak saya lagi, kalau nggak ada Mas."

Naya yang melihat hal itu tersenyum bangga. Ia bergerak mendekat dan memberikan tisu pada si ibu.

"Lain kali lebih diperhatikan lagi. Refleks batuk anak masih belum berkembang dengan baik usia segini. Jalur napas pun...."

Naya menyikut lengan suaminya. Dia berusaha menghentikan ceramah Rendra.

"Ibu jangan nangis, sekarang adek sudah nggak papa. Kalau masih khawatir, Ibu bisa ke IGD rumah sakit terdekat untuk diperiksa lebih lanjut," ucap Naya menenangkan.

Ibu itu mengangguk. Dia juga berterima kasih pada Naya.

"Mohon lebih berhati-hati lagi ya, Bu," ucap Rendra.

"Iya, Mas, Mbak," ucap si Ibu. Beliau memandangi pasangan itu secara bergantian. "Mas dan Mbak ini mahasiswa kedokteran, ya?"

Naya tersenyum. "Saya dokter, kalau suami saya calon dokter anak, Bu."

Tatapan si ibu tampak tidak percaya saat mendengar kata suami dari mulut Naya. Pasangan itu sudah tidak heran. Banyak orang yang tidak percaya bahwa mereka sudah menikah. Selain karena tubuhnya yang sama-sama kecil, muka Rendra dan Naya pun menolak untuk menua.

"Kalau begitu, kami permisi dulu ya, Bu," pamit Rendra. Dia mengambil barang belanjaan dari tangan Naya dan berjalan menjauh.

Setelah mengangguk kecil dan tersenyum, Naya segera mengikuti langkah Rendra. Suaminya itu terlalu kaku. Untung pinter.

"Kak Rendra," panggil Naya. Ia berusaha menyamai langkah kaki Rendra. "Kok aku ditinggalin, sih?"

"Kelamaan nanti di sana," ucap Rendra tak mau tahu.

Naya tersenyum kecil. Ia meraih tangan Rendra dan menggandengnya. Mau tak mau pria itu melambatkan langkah.

"Bangga deh lihat Kak Rendra beraksi kayak tadi," puji Naya.

Rendra melirik sekilas. "Biasa aja. Semua dokter kalau lihat ada anak tersedak dengan wajah biru tepat di depan mata, ya kewajibannya langsung memberikan pertolongan pertama."

"Uluh uluh gemesin banget, sih," ucap Naya meledek. "Tuh telinganya merah. Malu kan?"

Rendra menghentikan langkah. Dia menatap ke dalam mata Naya. "Tadi itu aku deg-degan banget. Kalau baksonya nggak bisa keluar, gimana? Ibunya juga nggak bisa diandalkan. Harusnya langsung telepon...."

Naya menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Rendra. "You're doing great, Kak Rendra. Aku tahu kekhawatiran Kak Rendra, tapi semua itu nggak terjadi. Kita tinggal bersyukur."

Rendra mengangguk. Dia tersenyum. "Kalau kamu tadi nggak ada di samping aku, kayaknya aku bakal marah-marah ke si ibu."

Naya tertawa kecil. "Aku tahu, makanya aku langsung ambil alih. Andaikan aku ada di posisi si ibu, aku juga bakal khawatir karena yang sakit itu anak aku. Orang khawatir kan otaknya nggak bisa mikir jernih."

"Aku yakin kamu bakal jadi ibu yang lebih baik."

Naya tersenyum. "Aamiin."

---

SIDE STORY


Rendra pakai baju tidur yang baru dibeliin Naya. Iseng, Naya pakein Rendra bando juga. Rendra malah pasang wajah sok imut.

Naya: Pantes kita sering dibilang anak kuliahan, wajah Kak Rendra masih kayak anak-anak gini.

Rendra: Daripada wajah aku kayak om om. Nanti dikiranya pedofil.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top