16.
Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚
Terdengar bunyi ketukan pintu tiga kali. Naya yang mendengarnya langsung bergerak membuka.
Tadi Rendra memberi kabar bahwa dia akan pulang. Padahal ini baru satu minggu setelah dia pergi bertugas ke rumah sakit daerah. Rendra sebenarnya jarang mencuri waktu untuk kembali ke rumah ketika sedang berada di luar kota. Jadwalnya satu setengah bulan ya, selama itu juga Rendra tidak akan pulang.
"Halo, Na...." sapaan Rendra berhenti ketika istrinya langsung menubruk tubuh Rendra.
Naya berjinjit. Ia mengalungkan lengannya di leher Rendra. Wanita itu merengek. "Maaf, aku ngambek selama seminggu kemarin."
Rendra terkekeh. Ia balik memeluk tubuh Naya. "Masuk dulu yuk. Masa pelukan di depan pintu kayak gini."
Naya tetap diam. Dia tidak mau melepas untaian lengannya. "Maafin dulu."
Rendra menghela napas panjang. "Kamu mau digendong ya?"
Tanpa memberi aba-aba, Naya langsung melingkarkan kakinya di pinggang Rendra. Untung saja Rendra cukup sigap untuk menyeimbangkan diri. Kalau tidak, mungkin mereka berdua sudah jatuh tersungkur dengan kepala benjol.
Rendra menahan tubuh Naya dengan kedua tangan. Tanpa berbalik badan, pria itu menutup pintu dengan kakinya. Rendra membawa Naya ke ruang tengah dan duduk di sofa sembari memangkunya.
"Kamu tuh ya, manjanya kebangetan," ucap Rendra. "Untung kamu ringan."
Naya masih memeluk tubuh Rendra seperti bayi koala. "Biarin. Sama suami sendiri ini."
"Kalau sama suami orang, berani?"
"Dosa lah, jadi pelakor itu namanya," cetus Naya kesal. Ia melonggarkan pelukannya hingga bisa melihat wajah Rendra. "Kak Rendra nggak kangen aku?"
"Pertanyaan macam apa itu?" Rendra tertawa. Ia melepaskan ransel dari punggungnya dan bersandar di sofa.
"Ya kali aja nggak kangen. Jarang dengar kabarnya juga."
"Aku pulang ya karena mau ketemu kamu, Naya," ucap Rendra gemas. Kedua tangannya kembali nyaman memeluk pinggang ramping Naya, sekaligus menjaganya agar tidak jatuh terjungkal.
Naya senyum-senyum sendiri. Dia kembali memeluk Rendra.
"Maafin aku, Kak Rendra," ucapnya di bahu sang suami.
Rendra menghela napas. Tangan kirinya mengusap punggung Naya. "Maafin aku juga, ya."
Naya mengangguk. Dia menyandarkan keningnya di bahu Rendra.
"Jangan kasih aku silent treatment lagi, okay? Aku jadi nggak bisa konsentrasi kerja. Mending kamu marah-marah sambil pukul aku, daripada aku didiemin kamu."
Naya meringis. "Nggak bisa konsentrasi kayak dulu waktu persiapan nikah itu ya, Kak?"
Rendra mengiyakan. "Memang kamu nggak kasihan sama pasien aku?"
"Nggak."
"Heh, ngomongnya kok gitu."
Naya tertawa geli. Dia kembali menarik diri agar bisa melihat wajah Rendra. "Harusnya Kak Rendra bisa profesional. Pekerjaan ya pekerjaan. Urusan pribadi jangan dicampur."
"Mau aku juga gitu," ucap Rendra. Dia mencubit ujung hidung Naya dengan gemas. "Tapi kalau kamu ngambek aku jadi nggak bisa mikir jernih. Selalu gitu. Nggak tahu kenapa."
"Cinta mati sama aku berarti nih, Kak Rendra."
"Memang."
Wajah Naya memerah. Dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rendra. "Kok jawabnya santai banget sih, Kak."
Rendra tertawa. "Aku kan jujur." Ia mengecup kepala Naya singkat. "Gemes banget sih, masih malu-malu gitu."
"Kak Rendra di Jogja sampai kapan?"
"Cuma malam ini, karena aku lagi nggak jaga. Besok pagi ya aku balik Klaten jam lima biar bisa visit pasien dulu," jawab Rendra. Tangannya bermain di rambut halus Naya.
"Besok kan Sabtu," protes Naya. Dia melihat ke dalam mata Rendra dengan kesal.
"Kalau Sabtu, kenapa? Pasien selalu ada setiap hari, Naya. Tahu sendiri kan bayi di NICU sana banyak banget."
"Habis visit, balik ke Jogja lagi?" tanya Naya setengah berharap.
Rendra menggeleng. "Tukeran jaga. Chief residen kan cuma dua. Aku dan Sam. Jadi kita jaga ding-dong. Sehari aku, sehari dia. Gitu terus selama satu setengah bulan."
Sudut-sudut bibir Naya tertarik ke bawah. Ia kembali memeluk leher Rendra seperti anak kecil.
"Di sini aja Kak Rendra."
"Naya," panggil Rendra. Suara napasnya terdengar berat. "Dari tadi kamu gerak-gerak terus di pangkuan aku. Sengaja ya?"
"Maksudnya apa?" tanya Naya. Ia kembali menjauhkan diri.
Rendra memejamkan kedua matanya. "Serius kamu nggak tahu?"
Tangan Naya menangkup pipi Rendra di kanan dan kiri. Mata indah itu melebar.
"Kak Rendra sakit? Kok panas?"
Rendra membuka matanya. Dia berdiri tiba-tiba sambil menggendong tubuh Naya. Istrinya itu memekik kaget sambil mengetatkan pelukannya.
"Masa kamu nggak tahu?" tanya Rendra lagi.
Dia menidurkan tubuh Naya di atas tempat tidur. Rendra mengurung Naya di antara dua lengannya.
"Oh, maksudnya... ini?" Naya tertawa gugup. Dia menoleh ke samping. "Aku nggak tahu, Kak."
"Sekarang tahu, kan?" Rendra mulai menciumi seluruh bagian wajah Naya.
"Tahu," jawab Naya malu-malu. "Tapi Kak Rendra belum mandi. Aku juga belum mandi. Biasanya baru mau kalau sudah bersih-bersih."
"Nggak ada waktu, Naya," ucap Rendra. Pria itu menarik diri dan melepas atasannya. "Mandinya setelah selesai saja."
"Hah?" Naya terkejut. Rendra berbeda daripada hari biasanya.
Pria itu kembali merunduk. Kali ini ia melancarkan serangan di leher Naya.
"Kamu tanggung jawab dulu. Aku sudah nggak bisa tahan," bisik Rendra di telinga sang istri.
---
Rendra membuka pintu. Dia meletakkan bungkusan di tangannya ke atas meja dapur. Itu makan malam mereka. Karena menunaikan kewajibannya yang lain, Naya jadi tidak sempat memasak makan malam. Sebagai orang yang sudah memiliki peradaban tinggi, Rendra menggunakan teknologi bernama delivery makanan.
"Naya," panggil Rendra. "Martabaknya sudah datang nih."
"Iya, Kak. Bentar lagi aku selesai," ucap Naya dari arah kamar.
Rendra menuju sumber suara. Dia tersenyum ketika istrinya itu sedang mengeringkan rambut dengan hair dryer. Tangannya mengambil alih alat pengering, Rendra ganti mengeringkan bagian belakang kepala Naya.
"Makan duluan aja, Kak. Biar bisa cepat tidur. Kan besok harus berangkat pagi banget."
Rendra tetap melakukan pekerjaannya. Ia melirik Naya sekilas dari pantulan cermin.
"Masa duluan, sih. Aku sengaja pulang kan untuk ketemu sama kamu, Naya."
Naya meringis. "Martabak nggak kurang tuh, Kak? Mau aku bikinin lauk dulu? Masak nasi kayaknya setengah jam juga sudah matang."
"Cukup kok. Aku beli martabak manis sama martabak telor," ucap Rendra. "Maaf ya, karena pesan makannya terlalu malam jadi pilihannya tinggal sedikit."
"Nggak papa. Besok aku bisa sarapan," jawab Naya menenangkan. Tangannya terulur ke belakang menyentuh rambutnya. "Yuk makan, sudah lumayan kering nih."
"Tapi belum benar-benar kering."
"Dibawa makan sebentar juga kering sendiri kok nanti," ucap Naya. Ia berdiri dan mengambil hair dryer dari tangan Rendra. "Ayo makan."
Rendra mengangguk. "Aku siapin meja makan dulu."
Setelah menggulung kabel hair dryer dan menyimpannya di tempat semula, Naya berjalan ke ruang tengah. Rendra sudah selesai menyiapkan martabak di atas meja makan. Naya langsung menarik kursi dan duduk di depannya.
"Selamat makan," ucap Naya ceria.
Rendra tersenyum melihatnya. "Selamat makan."
Seperti biasa, keheningan akan menyelimuti keduanya ketika sedang makan. Naya pun tidak banyak bicara. Dia sibuk mengisi perutnya, untuk mengganti tenaga yang tadi telah terkuras habis. Malam ini pasti Naya akan tidur dengan nyenyak.
"Mau lagi nggak, Kak?" tanya Naya. Jujur, dia sudah kenyang, tapi masih sisa banyak makanan.
Rendra mengangkat jari telunjuknya ke atas. Ia kemudian menunjuk ke arah martabak manis rasa cokelat keju. Naya mengangguk paham. Maksudnya, Rendra mau satu potong lagi.
Naya bangkit dari kursi. Dia mengambil satu kotak besar untuk menyimpan makanan sisa. Wanita itu memindahkan potongan demi potongan martabak ke dalam kontainer makanan.
Wanita itu pergi ke kamar mandi. Setelah selesai cuci muka dan sikat gigi, Naya kembali duduk di depan meja makan. Ia membawa botol multivitamin dan mengambil satu tablet untuk diminumnya.
"Kak Rendra masih lama?" tanya Naya. Suaminya itu sedang membaca sesuatu entah apa di ponsel, di tangan kanannya masih ada potongan martabak yang belum habis.
Rendra mengangkat wajahnya. Dia terkejut. "Eh, sudah siap mau tidur, ya? Bentar tungguin."
Rendra menghabiskan makanannya dan bersiap-siap tidur. Ketika keluar dari kamar mandi, lampu ruang tengah sudah dimatikan. Meja makan pun sudah bersih.
Berjalan ke kamar, Rendra melihat Naya sudah berbaring miring di atas kasur. Perlahan Rendra ikut berbaring di sebelahnya, tangan melintasi pinggang Naya dan memeluknya dari belakang. Ia merasakan tangan Naya mengelus jemarinya sekilas.
"Belum tidur?" tanya Rendra.
"Hampir ketiduran tadi," jawab Naya dengan mata masih terpejam.
Rendra mengecup kepala Naya. "Capek banget ya?"
"Hmm."
"Nggak sakit kan?"
"Nggak kok," Naya berbalik badan. Ia balas memeluk Rendra. "Kan sudah aku bilang. Practice makes perfect. Dibandingkan dari yang pertama kali, yang tadi itu... amazing. Makanya, aku capek."
Rendra tertawa kecil mendengar perbandingan itu. Ia mencium kening Naya lama.
"Kalau gitu tidur. Besok aku berangkat jam lima ya. Kamu nggak usah bangun kalau masih capek. Aku pamitan sekarang aja."
Naya hanya mengangguk. Wanita itu ndusel di dada suaminya. Dia sudah siap tidur.
"Sayang banget sama kamu," bisik Rendra. Ia mengecup bibir Naya sekilas, kemudian mengetatkan pelukannya.
Naya tersenyum dengan mata terpejam. "Sayang banget sama Kak Rendra."
---
SIDE STORY
Tingkat manjanya seorang Naya pada oknum Muhammad Rajendra; Rendra makan apa, Naya mau. Rendra minum apa, Naya juga mau.
Naya: Itu apa, Kak?
Rendra: Grape juice.
Naya: Mau coba juga.
Rendra: *kasih juice ke Naya*
Naya: *minum* Enak :(
Rendra: Kalau enak kenapa cemberut?
Naya: Jadi pengin lagi :(
Rendra: *ketawa* Nih, habisin aja. Besok aku beli yang banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top