It is Beautiful : 9

Malam adalah setelah sore. Ya, ini sudah malam. Sekarang aku berada di kamarku dan baru saja selesai mandi.

Sejak aku berada di kamarnya Joe, seharian aku hanya memikirkan bagaimana cara agar Genta mau mendengarkanku. Maksudku, Genta itu penipu dan bermuka dua. Aku sudah tahu bagaimana cara dia pura-pura baik kepada orang lain, yaitu dengan hanya tersenyum. Wajahnya yang terlalu tampan membuat orang lain menilai kalau Genta adalah orang yang baik dan berhati lembut. Aku saja hampir tertipu sejak pertama kali bertemu dengannya.

Lalu, Ades. Kalau aku ingat-ingat sikapnya padaku, dia menggelikan. Dia suka menggodaku tetapi agak polos dan mesum. Aku masih bingung dengan Ades. Menurutku dia orang yang baik, tapi bagaimana bisa dia memusuhi ketiga adiknya sendiri? Atau mungkin ada salah satu diantara adiknya yang tidak dia sukai? Aku harus mencari tahu dengan cara bertanya padanya, seperti aku sudah membuat Gabriel dan Joe kembali akrab. Dan mereka sudah menganggapku sebagai teman.

Tapi, sejak pagi sampai malam ini aku tidak melihat seujung rambutnya pun. Ke mana dia? Awalnya aku tidak peduli dia menghilang atau sudah lenyap sekali pun. Namun, aku sadar bahwa dia jugalah bagian dari Avalous, apalagi dia adalah pangeran pertama. Aku telah mengabaikan orang yang paling tua. Jika saja dia tidak terlalu suka menggodaku, aku tidak akan menjauhinya karena jijik.

Aku duduk di tempat tidurku sambil memandang boneka porselen pemberian Joe. Kata Gabriel padaku, makan malam akan dilaksanakan pada jam 8 malam. Ini masih jam setengah 7. Itu berarti aku punya waktu untuk melakukan sesuatu.

Walaupun mereka tidak akur, tetapi mereka tetap makan malam di ruangan yang sama. Aku yakin mereka masih ada keinginan untuk kembali akur. Tapi, mereka malah saling menghindar. Sulitnya membuat mereka sadar.

"Salsa," ucapku kepada boneka porselenku sambil mengelus rambut pirangnya lembut, "aku pusing. Mereka membingungkan. Kenapa mereka bermusuhan? Kenapa mereka berjauhan membuat jarak yang begitu jauh? Hubungan persaudaraan mereka membuatku kecewa sampai jantung sihir Avalous terpengaruh dan mati. Dan aku ada di sini, di Avalous untuk memperbaiki apa yang sudah merusak mereka. Aku tahu diriku hanyalah penyihir biasa yang terlalu berharap ingin menjadi ahli sihir. Tapi aku tetap yakin untuk bisa menyelesaikan misi ini, karena aku sudah berjanji kepada Miss Delisa."

Aku memeluk Salsa sesudah mencurahkan keluh kesahku kepadanya. Perasaanku sedikit lega dan ringan walaupun hanya aku curahkan kepada boneka. Rasa letih membuatku menghempaskan diriku ke atas tempat tidur yang empuk dan luas. Aku merasa ingin istirahat dari semua beban yang memikulku. Tapi, aku bukan orang yang gampang menyerah. Akan aku lakukan sebisaku untuk membuat keempat pangeran itu berdamai. Dan setelah jantung sihir Avalous kembali hidup, aku bisa membantu mereka mengembalikan para penjaga dan pelayan istana yang berhenti bekerja di istana Avalous.

Aku beranjak dari tempat tidur sambil membawa Salsa di peganganku dengan seringaian penuh rencana iseng yang sudah aku pikirkan dari siang. Boneka cantik ini akan melakukan sesuatu yang bisa membuat rasa letihku menghilang. Ya, aku akan lakukan rencanaku.

"Hehehehehe ... Gabriel, aku punya sesuatu yang menarik untuk ditunjukkan kepadamu. Aku harap kau suka dengan boneka baruku. Hehehehe," tuturku sambil terkekeh jahat. Untuk sementara, aku akan menjadi orang jahat di istana ini.

Aku berjalan santai keluar dari kamarku. Lorong istana terlihat sepi dan tidak ada yang berlalu-lalang. Langkahku berhenti di depan pintu kamar sebelah, yaitu kamar milik Pangeran Gabriel. Aku mengetuk pintu kamar Gabriel sebanyak tiga kali. Tapi setelah ditunggu lama, tidak ada respon apa-apa dari dalam. Dia tidak ada di kamar?

"Mungkin sedang mandi. Ya sudahlah, mungkin lain kali," ucapku dengan kecewa karena tidak jadi mengerjai Gabriel. "Tapi, apa lagi yang harus aku lakukan sambil menunggu jam makan malam? Ahh, membosankan."

Aku berjalan bolak-balik tidak jelas di depan pintu kamar Gabriel. Kadang aku duduk-duduk sambil bersandar di depan pintu dengan malas penuh kebosanan. Seperti orang yang kesepian, aku hanya memandangi Salsa sambil memuji keimutannya.

Tapi, memang benar. Aku kan tidak punya teman di sekolah. Itu artinya, aku sendirian. Namun, aku baru sadar bahwa aku sedang kesepian. Boneka porselen pemberian Joe yang membuatku menyadari itu.

Masih bersandar di pintu kamar Gabriel, tiba-tiba pintu kamarnya bergerak mundur. Seseorang sedang membukakan pintunya dari dalam. Secara tidak sadar, aku sudah mencelakakan diriku sendiri dengan tetap bersandar sampai kepala dan tubuhku jatuh di lantai dengan nyaman dan indahnya.

"Queen?! Sedang apa kau ada di depan kamarku?" tanya seseorang yang membuka pintunya dan sudah jelas sekali orangnya adalah Gabriel.

Aku melihatnya sedang berdiri sambil menunduk melihatku masih terebah di lantai. Mataku melihatnya secara terbalik membuatku sedikit pusing. Tapi, aku tidak bisa bangun karena terlalu malas bergerak. Aku memberinya senyum tanpa membalas perkataannya. Gabriel menatapku dengan raut kebingungan.

"Kau kenapa? Ayo, bangun dari sana. Apa kau sebegitu sukanya dengan lantai?" ucap Gabriel berjongkok di sampingku dan tangannya seperti berusaha mengangkat kepalaku dengan malas. Sebenarnya dia itu mau niat mengangkatku atau tidak, sih?

Aku tetap tersenyum manis tanpa mengatakan sepatah kata pun. Gabriel justru semakin terlihat bingung dengan sikapku terhadapnya. Dia memalingkan wajahnya dariku sambil menyentuh tengkuk.

"A-apa kau menungguku membukakan pintu? Maaf, t-tadi aku di toilet untuk membuang semua sampahku. Tadi perutku benar-benar sakit. Sekarang sudah tidak lagi."

Oh begitu, jadi dia tidak merespon ketukan pintuku karena sedang ada urusan penting di toilet. Dia menjelaskan itu padaku dengan wajah yang memerah. Memang sih kalau hal seperti itu diceritakan kepada orang lain terdengar memalukan, tapi dia tidak salah mengatakan itu padaku karena aku harus mengetahui alasan dia lama membukakan pintu kamarnya untukku agar aku tidak menyimpan rasa penasaran padanya.

"Gabriel, aku ke sini bukan karena aku ingin menemuimu. Ada seseorang yang ingin berkenalan denganmu," kataku. Akhirnya aku mengeluarkan suaraku padanya.

"Ada yang datang? Siapa?" tanya Gabriel begitu penasarannya sampai menengok ke arah luar kamar.

"Dia tidak ada di luar. Dia bersamaku," jawabku membuat Gabriel kembali melihatku dengan bingung.

"Jangan membuatku penasaran, Queen. Siapa? Di mana dia? Ada bersamamu?" Gabriel tampak lelah berdebat denganku. Aku mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Lihat siapa yang ingin bertemu denganmu. Kenalkan, namanya SALSA!" seruku sambil menunjukkan Salsa yang sedari tadi ada dalam pelukanku. Aku menampakkan Salsa di depan Gabriel. "Dia cantik, kan? Iya, cantik seperti diriku!"

Awalnya ekspresi Gabriel biasa-biasa saja. Tetapi, semakin dia melihat Salsa, wajahnya berangsur-angsur memucat. Seperti ingin berteriak, namun dia langsung menutup mulut dengan satu tangannya. Dia kembali berdiri dengan cepat dan berjalan mundur sambil memperhatikan bonekaku dengan takut. Lalu sampailah dia berdiri di atas kursi seolah-olah sedang menghindari tikus yang berlalu-lalang di kamarnya.

"K-kenapa ... boneka milik Joe bisa ada di tanganmu? Apa jangan-jangan dia bergerak sendiri dan menghampirimu? M-mengerikan! Ternyata benar dia itu hidup!!" jerit Gabriel dengan gemetar dan ekspresi ketakutannya yang jauh terlihat seperti sedang marah. Yang dikatakan Joe adalah benar, Gabriel takut pada boneka porselen. Dan itu membuatku ...

"HAHAHAHAHAHAHAHA!!!!!! GABRIEL, KAU LUCU SEKALI!! AKU TIDAK MENYANGKA KAU TAKUT DENGAN BONEKA MENGGEMASKAN SEMACAM INI!"

... tertawa.

Wajah Gabriel sukses memerah lagi. Dia berjongkok di kursi sambil berlindung dari balik punggung kursi, "A-aku tahu Joe yang memberitahukan padamu kalau aku takut dengan boneka-bonekanya! S-semua boneka-bonekanya memang membuatku takut. A-aku mohon jangan dekatkan boneka di tanganmu itu padaku! Kau bisa lakukan apapun padaku kecuali yang satu ini!! AAAAAAHHH!!! TIDAK!! JANGAN MENDEKAT!!!!"

Tanpa peduli dengan rasa takutnya terhadap bonekaku, aku bangun seperti zombi dan berjalan mendekat padanya sambil masih memperlihatkan Salsa kepadanya. Gabriel tampak sangat ketakutan. Aku tidak peduli sampai dia menangis pun aku tetap akan mendekatkan Salsa padanya. Sampainya aku di depan Gabriel, aku memunculkan Salsa lagi di depan matanya.

"Hai, Pangeran Gabriel. Namaku Salsa! Salam kenal, ya!"

"J-jauh-jauh sana!! Aku tidak mau mengenalmu, kau mengerikan!"

Aku tertawa geli melihat ketakutan Gabriel. Tangan Salsa aku arahkan ke wajah Gabriel, bermaksud untuk menyentuhnya dengan tangan Salsa. Gabriel langsung membeku.

"Pangeran Gabriel tampan! Mau tidur bersama Salsa?" kataku membuat suara lucu untuk Salsa berbicara kepada Gabriel.

"Ti-tidak mau!! Kalau aku tidur bersamamu, kau bisa mencekikku ketika aku sedang tidur! Boneka jahat!!" balas Gabriel kepada Salsa. Dia masih takut, namun dia mulai berani.

"Tidak, kok! Aku tidak begitu. Kalau aku mau, baru aku melakukannya."

"TUH KAN! UJUNG-UJUNGNYA KAU PASTI AKAN MENCEKIKKU!! KAU MENGERIKAN! MENJAUH DARI TANGAN QUEEN!!"

Gabriel sepertinya ingin menyakiti Salsa. Dia menarik tangan Salsa dan ingin merebutnya dariku. Tapi, aku balas menarik Salsa lebih kuat membuat Gabriel gagal untuk berebut Salsa. Aku langsung memeluk Salsa agar tidak direbut lagi. Gabriel tampak marah.

"Gabriel, kenapa kau ingin mengambil Salsa dariku? Bukankah kau takut dengannya?" tanyaku.

"Aku ingin merampasnya darimu karena aku ingin menjauhkannya darimu! Tidak, jangan-jangan dia sudah mencuci otakmu! Kau sudah bekerja sama dengannya untuk menakut-nakutiku!" jawab Gabriel histeris.

"Hahahahaha! Tidak, itu tidak mungkin. Salsa tidak hidup seperti yang kau bayangkan. Dia itu cuma benda mati. Aku hanya ingin mencoba membuktikan sendiri apa kau takut pada boneka Joe ataukah tidak. Lagipula, Salsa sudah menjadi milikku. Joe yang memberikannya untukku."

Gabriel masih memandang takut kepada Salsa. Sepertinya dia benar-benar ingin Salsa menjauh dariku. Tapi, aku sudah terlanjur menyukai boneka ini. Dia turun dari kursi dan berdiri agak was-was mendekat padaku. Haha! Lucunya.

"JAHAT! Kau menakutiku dengan boneka barumu karena hanya ingin melihatku takut?" pekik Gabriel lantang membuatku terdiam. Gabriel menunduk, "Aku tahu laki-laki sepertiku sangat payah karena takut dengan boneka. Mereka sangat menyeramkan di mataku. Semuanya tidak lucu seperti apa yang sering dibilang orang-orang. Kau sudah tahu bahwa aku memang berbeda dari kalian."

Apa? Kenapa dengan Gabriel? Apa yang sudah dia katakan? Tidak, dia tidak mengerti. Bukan seperti itu.

"Eh? Gabriel, aku tidak bermaksud membuatmu merasa dibeda---Gabriel!!" Aku tidak dapat mengatakan kata-kataku sampai selesai karena Gabriel berjalan cepat melaluiku dan keluar dari kamarnya.

Aku keluar dari kamar Gabriel untuk mengejarnya. Tapi, larinya cepat sekali. Aku kehilangan jejaknya. Tangan kiriku memegang kepalaku frustasi. Aku mendengus. Masalahku bertambah.

"A-apa ini? Kenapa jadi seperti ini?"

Jam setengah 8, Joe sudah berada di ruang dapur untuk memasak hidangan makan malam. Jika saja ada koki istana yang bekerja di istana ini, mungkin Joe tidak akan memasakkan makanan untuk semua yang ada di sini. Dan, aku juga di dapur untuk membantunya.

"Kak Sica! Ikannya! Ikannya hangus!!" pekik Joe sambil menunjuk masakan yang sedang aku masak. Eh? Kenapa bisa hangus? Bukannya tadi aku baru memasukkannya?

"AAAAA!!!!" jeritku sambil mematikan kompor dan segera meniriskan ikannya. Aku melihat hasil masakan ikanku. Ini masakan terburuk yang pernah aku masak. "M-maafkan aku, Joe! Aku tidak tahu!"

"Sudah, tidak apa-apa. Hari ini Kak Sica kayaknya perlu istirahat dulu. Kau duduk saja di sana, biar aku yang urus semuanya," ucap Joe sambil menepuk pundakku dan menunjukkan sebuah kursi kayu tidak jauh dari kami.

"Ta-tapi, tidak apa-apa kalau kau urus semuanya? Maaf Joe, sudah membuatmu kerepotan," kataku masih merasa bersalah dengan Joe. Malam ini aku benar-benar kacau.

"Tidak apa-apa, kok. Joe tidak marah. Kak Sica duduk saja sambil lihat aku memasak," kata Joe sambil mengantarku ke kursi dan menyuruhku duduk. Aku pun duduk di kursi itu dengan perasaan yang begitu berat.

Akhirnya, aku memilih diam sambil menonton Joe sedang memasak. Pikiranku kacau. Aku tidak tahu mana yang harus aku pikirkan. Karena kejadian di kamar Gabriel waktu itu, aku jadi tidak bisa berkonsentrasi dalam apapun. Kadang aku lupa untuk mengedipkan mata. Aku punya masalah dengan Gabriel dan aku tidak tahu dengan cara apa agar dia tidak menjauh seperti itu kepadaku. Singkatnya, dia salah paham dengan maksudku menakut-nakutinya dengan menggunakan boneka. Padahal tujuanku hanya satu, yaitu mengerjainya.

Tiba-tiba penglihatanku gelap. Ada yang menutup mataku dari belakang. Aku meraba-raba kedua mataku yang tertutup oleh kedua tangan seseorang. Tangannya besar.

"Hai, Sica sayang! Aku cari-cari sosokmu, rupanya di sini."

SUARA ADES!

"Ahh!! Buka mataku sekarang juga! Kau membuat mata suciku ternoda!!" pekikku sambil menepuk-nepuk tangan Ades dan menarik tangannya untuk menjauh dari mataku.

Ades pun membuka mataku kembali. Rasanya penglihatanku jadi terasa silau untuk sementara. Aku melihatnya ada di belakangku sambil memegang punggung kursiku. Dia tersenyum padaku.

"Apa tanganku sekotor itu? Tanganku bersih kok, sayang!" kata Ades sambil memelukku dari belakang.

"Geli! Geli! GELI! JANGAN GANGGU AKU!" teriakku sambil meronta-ronta melepaskan diri dari pelukan Ades.

Ades merengut sambil melepaskan pelukannya. Dia berjalan mengambil kursi dan menyeretnya di samping kursiku. Lalu dia pun duduk di kursinya. Mukanya yang berseri-seri membuat suasana hatiku semakin buruk. Kenapa dia muncul disaat mood-ku sedang tidak baik?

"Hai Joe, adikku! Sedang memasak apa?" sapa Ades ramah kepada Joe.

Joe melirik sebentar ke Ades dengan sinis. Dia menjawab sambil memasak tanpa melihat ke arah Ades lagi.

"Sesuatu yang bisa dimakan."

"Oh! Baguslah, selamat memasak!"

"Ya."

Ini dia. Masalahnya ternyata Joe tidak terlalu akrab dengan Ades. Tapi, Ades baik dan ramah kepada Joe. Berarti, aku harus membuat mereka dekat. Belum lagi aku harus berurusan dengan Genta. Lalu masalah baruku dengan Gabriel. Buat pusing.

"Sica sayang, kenapa mukamu kusut begitu?" tanya Ades kembali bicara padaku.

"Bukan urusanmu," jawabku ketus. Sekalian, aku ingin tahu sampai di mana dia bisa bertahan bicara dengan gadis sepertiku, "selain itu, berhenti menyebutku 'sayang'! Jijik, tahu."

"Terus, aku harus memanggilmu apa? Oh! Aku tahu! Aku akan memanggilmu Beauty! Karena kau adalah gadis yang cantik! Beauty, apa kau merindukanku?"

"Mustahil."

"Maaf ya sejak pagi sampai sore tadi aku tidak kelihatan karena ketiduran."

"Oh."

"Hei, sesudah makan kau mau berkunjung ke kamarku?"

"Ogah."

"Kenapa?"

"Aku takut."

"Apa aku terlihat menyeramkan?"

"Ha! Baru sadar ya kalau kau memang menyeramkan!"

"Beauty jahat!"

Aku terkejut mendengar Ades menyebutku jahat. Bukan karena perkataan Ades, melainkan aku jadi teringat Gabriel mengatakan padaku kalau aku ini jahat. Mungkin aku sudah jahat menakut-nakutinya. Tapi, aku tidak bermaksud membuatnya merasa sakit.

"Ades," panggilku membuat Ades bergerak cepat mendekatkan kursinya lagi ke kursiku agar lebih dekat padaku.

"Ya? Apa yang ingin kau katakan padaku? Bicaralah, aku siap untuk mendengarkan semua keluh kesahmu," kata Ades dengan senyum sok tampannya, membuatku kembali merasa geli padanya. Tapi, dia kan memang tampan. Ah sudahlah.

"Apa orang jahat itu bisa mengembalikan apa yang sudah dia lakukan kepada orang lain?"

Ades terdiam sebentar sambil menatapku. Dia mengangkat tangan kanannya, menopang sebelah wajahku lembut. Aku membiarkan tangannya menyentuh wajahku. Kehangatan tangannya lumayan menenangkan diriku yang sedang kacau.

"Aku tidak tahu jawabannya jika kau tidak menceritakan masalahmu. Tenang, aku bisa simpan rahasiamu rapat-rapat. Kau bisa ceritakan apa yang menjadi masalahmu saat ini."

Mulutku bergetar. Mataku berkaca-kaca. Tubuhku terasa panas seperti mendidih. Tanganku memegang kuat tangannya yang sedang menyentuh wajahku. Benarkah itu, aku boleh menceritakan masalahku kepada orang lain? Apa Ades benar-benar akan menyimaknya? Aku takut Ades tidak mendengarkan masalahku dan pura-pura baik saja. Tapi, aku tidak boleh berprasangka buruk kepada orang lain. Bolehkah aku meledakkan segala yang aku pendam ini?

"ADEEEESSS!!!" teriakku begitu kencang dan tangisku tidak bisa aku tahan lebih lama lagi.

"Eh!! Sayang, kenapa menangis? Jangan menangis. Mukamu kelihatan jadi jelek, tuh!" kata Ades terkejut dan panik melihatku tiba-tiba meneriakkan namanya sambil menangis deras.

"Ada apa? Kak Sica kenapa menangis? Kak Ades sudah melakukan apa kepada Kak Sica?" tanya Joe berlari cepat menghampiri kami dan langsung mencurigai Ades.

Aku menggeleng kuat untuk menjawab pertanyaan Joe. Joe kelihatan sangat khawatir, begitu juga dengan Ades yang sedang berusaha menenangkanku dengan cara mengelus punggungku.

"Joe, kau sudah selesai memasak?" tanya Ades.

"Sudah," jawab Joe.

"Nanti saja disiapkan. Yang penting sekarang adalah kita harus bersamanya dulu. Cari kursi dan duduklah di samping kirinya."

"Baik."

Joe mengambil kursi, lalu mengangkatnya sampai di samping kiriku. Dia pun duduk di kursinya dan ikut menenangkanku.

"Nah, Beauty, ceritakanlah masalahmu, tapi berhenti dulu menangisnya. Nanti bisa terdengar tidak jelas. Iya kan, Joe?" kata Ades lembut dan herannya tidak membuatku merasa geli lagi terhadap setiap kata yang dia ucapkan. Aku merasa tenang.

"Kak Ades payah benar. Kalau bicara sambil menangis, jadi tidak jelas. Hapus dulu air matanya. Aku ambilkan air minum, ya!" kata Joe ikut menenangkanku. Perasaanku jadi lebih tenang begitu mendengar Joe meskipun tanpa minuman.

"Joe, kau barusan menyebutku payah?" tanya Ades kepada Joe.

Joe membalas dengan anggukkan malas dan segera beranjak dari kursi untuk mengambil segelas air minum untukku. Setelah itu dia kembali duduk dan memberikanku segelas air minum yang dibawanya. Aku mengangguk seraya menerima air itu dan meminumnya sedikit. Setelah itu aku kembalikan kepada Joe.

"Sudah tenang?" tanya Ades kepadaku.

"Emm, iya," jawabku dan memberi mereka senyum, "terima kasih. Akan aku ceritakan sekarang."

Jam 8 malam, makan malam dilaksanakan tanpa adanya Gabriel. Aku jadi tidak fokus makan. Kadang tanganku hampir saja terpotong oleh pisauku sendiri jika Joe tidak melihatnya. Tapi, Genta tetap hadir di ruang makan.

Dari apa yang sudah aku ceritakan kepada Ades dan Joe, mereka ternyata punya pendapat yang sama.

Kata mereka, Gabriel memang begitu. Maksud mereka, Gabriel itu mudah terbawa perasaan. Dia tidak bisa diajak bercanda atau dikerjai. Aku baru tahu Gabriel ternyata seperti itu. Jika tahu, mungkin aku tidak akan mengerjainya.

Tapi kata mereka, Gabriel yang bersalah. Kenapa? Karena Gabriel tidak mendengarkan apa yang ingin aku katakan. Dia asal memutuskan dan pergi tanpa mempedulikan orang yang sedang bicara padanya. Kata mereka itu sama saja tidak menghargai orang yang sedang berusaha untuk menjelaskan. Singkatnya, Gabriel egois.

Jadi kesimpulannya, yang salah adalah Gabriel dan yang meminta maaf lebih dulu adalah Gabriel. Setelah Gabriel meminta maaf, barulah aku meminta maaf padanya. Tapi, apa itu bisa?

"Hei pelayan, kau bisa antarkan aku minuman? Tenggorokanku mulai terasa kering," suruh Genta tersenyum manis sambil menatap ke arahku. Oh, ternyata dia masih menganggapku seorang pelayan. Memang pangeran kurang ajar.

"Kau memanggilku? Hei Pangeran Genta yang terhormat sejagat raya, kau punya kaki, kan? Kalau tidak ada kaki, pakailah dengan tanganmu! Merangkaklah dan ambil minuman yang kau inginkan! Tidak bisakah kau diam saja tanpa harus membuatku kesal?" balasku setengah berteriak, membuat Joe dan Ades yang mendengarnya melihat ke arahku sambil makan dengan lahap.

Genta tiba-tiba saja beranjak dari kursi makannya menimbulkan suara bergesernya kursi ke ke belakang. Disertai sendok dan garpu yang dia hempaskan ke atas piring. Bagian mengerikannya, dia melakukan aksi itu sambil tersenyum.

Dia melangkahkan kakinya menghampiriku dan mendekatkan wajahnya di depan wajahku. Aku sedikit menengadah karena aku pada posisi duduk di kursi dan dia berdiri. Mataku tidak hentinya menatap tajam padanya. Beberapa senti lagi hidungku bisa menyentuh hidungnya. Astaga, jangan sampai itu terjadi.

"Kau pikir gadis dekil sepertimu pantas tinggal di istana ini? Akan aku sebut pantas jika kau ingin menjadi PELAYANKU. Kalau kau masih ingin bertahan dan tinggal di istana ini, jadilah pelayanku yang setia dan penurut. Pikirkanlah baik-baik sebelum menjawab. Jika kau mau, kau boleh tinggal di sini. Tapi jika kau tidak mau, kau harus melangkah jauh-jauh dari Avalous. Jadi, apa jawabanmu, princess?"

To be continue⚡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top