It is Beautiful : 8

Tidak. Aku tidak ingin melihatnya. Diriku tenggelam dalam ketakutan. Keringatku bercucuran menandakan rasa cemas. Aku memilih menutup mataku dengan rasa amat penasaran. Tubuhku bergetar di dalam rengkuhan Gabriel yang sedang melindungiku. Aku mohon jangan sampai Joe mengenai serangan Kanta.

"Lumayan juga," ucap Kanta membuatku bingung. Apa tembakan Kanta tidak berhasil mengenai Joe? "Kalau begitu, bagaimana dengan yang ini?"

DOR! DOR! DOR! DOR!

Apa aku tidak salah dengar? Aku mendengar empat tembakan sekaligus! Tidak mungkin Joe bisa mengatasi itu semua. Tapi, aku bingung bagaimana Joe bisa selamat dari tembakan pertama?

"Kau harus lihat ini, Queen," kata Gabriel sambil berusaha menolehkan wajahku ke depan di mana Joe dan Kanta sedang bertarung. Sedari tadi, aku menenggelamkan diriku di rengkuhan Gabriel karena takut melihat Joe terjadi sesuatu yang mengerikan.

"Gabriel, aku tidak bisa---"

"Lihatlah bagaimana Joe melawan empat peluru sekaligus."

Mendengar kata-kata Gabriel, aku jadi penasaran dan segera menoleh ke arah Joe dan Kanta dengan perasaan takut akan melihat Joe tidak selamat. Tapi, ternyata tidak sesuai yang aku bayangkan. Mataku melebar melihat apa yang sudah Joe lakukan. Bahkan Kanta juga terlihat kaget.

Cepat sekali. Tidak, melainkan secepat kilat, Joe menggunakan belatinya dengan gesit untuk membelah empat peluru dari Kanta. Secara bersamaan, keempat peluru itu terbelah sempurna menjadi dua bagian dan jatuh ke lantai. Aku bisa melihat dengan jelas ekspresi Joe yang sangat serius penuh konsentrasi. Sungguh mengerikan. Dengan berbekal sebuah belati saja sudah terlihat membuatnya sangat hebat dan ... keren!!

"Joe. Syukurlah," legaku melihatnya masih baik-baik saja. Dia bisa melawan semua peluru Kanta. Sekarang, pistol sudah tidak berguna lagi.

"Astaga, peluru bajaku jadi terbelah-belah," ucap Kanta dengan ekspresi kecewanya yang membuatku jijik melihatnya, "dan sepertinya itu bukanlah belati biasa. Menarik sekali."

"Kau mau melawanku dengan cara apa sekarang? Atau, apa ini giliranku? Baiklah," ucap Joe dan segera melangkah gesit untuk menyerang Kanta.

Joe bergerak cepat menyerang bagian tubuh Kanta dengan belatinya. Namun, Kanta berhasil menghindar tak kalah gesit. Serangan fisik seperti tinjuan dan tendangan diberikan oleh Joe. Beberapa serangan berhasil mengenai Kanta. Tapi, Kanta kelihatan lebih kuat kalau soal bertarung pada jarak dekat. Dia berhasil meninju perut Joe beberapa kali, membuat Joe tampak kewalahan. Kadang belati dan pistol emas tersebut saling beradu memperebutkan siapa yang lebih kuat. Joe termundur ketika tak sempat menghindari tinjuan Kanta pada wajahnya. Setetes darah keluar dari mulutnya. Tidak, jangan sampai Joe kalah.

"Joe, bertahanlah!" teriakku kepada Joe, lalu menoleh ke arah Gabriel. "Gabriel, kita juga harus membantunya!"

"Iya!" sahut Gabriel menatap serius kepadaku. "Tapi, kau harus tetap berpegangan kepadaku. Jangan lepaskan tanganku."

"Aku mengerti," kataku dan tiba-tiba sebuah ide bagus melintas di otakku. Semoga ini bisa berhasil, meskipun aku tidak pernah melakukannya kepada siapa pun.

Aku dan Gabriel segera melangkah cepat mendekati Kanta untuk menyerangnya. Pedang Gabriel nyaris berhasil menebas Kanta. Ternyata Kanta punya indra keberadaan yang sangat kuat. Dia dapat merasakan sesuatu yang akan mendekat kepadanya sebelum sesuatu itu akan menyentuhnya. Dia lawan yang kuat.

Tanganku memegang tangan kanan Gabriel yang tengah menggenggam pedang. Sebuah cahaya silau dari tanganku dengan garis-garis petir bergabung pada pedang Gabriel. Berusaha mataku tetap terbuka menahan rasa silau. Selesai melakukan ideku dan cahaya dari sihirku sudah lenyap, pedang Gabriel terlihat berubah drastis.

SCHING!!

"Apa ... apa yang sudah kau lakukan?" tanya Gabriel sangat terkesiap dengan perubahan pedangnya.

"Sihir transfer," jawabku sambil memandang pedang Gabriel, "awalnya ideku ini terasa tidak meyakinkan karena aku belum pernah mencobanya. Tapi, ternyata aku berhasil. Sedikit sihir petirku telah ada pada pedangmu. Sihirku akan tetap bekerja, jadi jangan khawatir."

Sebelumnya, pedang Gabriel biasa-biasa saja, polos dan tidak mencolok. Tapi setelah pedang ini menerima sihirku, pedang ini telah mendapat model baru. Pedangnya menjadi lebih tebal dan bergagang ungu dengan logo petir emas di depannya. Joe dan Kanta juga tercengang melihat apa yang sudah aku lakukan terhadap pedang Gabriel.

"Kau bisa memakai sihirmu tanpa adanya koneksi dari jantung sihir?! Bukankah sihir bisa muncul jika jantung sihir Avalous kalian hidup?" tanya Kanta terlihat sangat bingung dan heran.

"Serang dia, Gabriel," ucapku seperti memerintah pada Gabriel sambil menatap musuh kepada Kanta tanpa mempedulikan pertanyaan tidak pentingnya.

Gabriel tersenyum tajam, "Tentu akan aku lakukan, Queen."

Pedang yang berisikan sihir petirku juga berpengaruh terhadap pemilik pedangnya. Dengan hanya satu langkah tanpa menambah beberapa langkah lagi, dia sudah sampai begitu saja di depan mata Kanta. Gabriel lantas cepat seperti kilat menebas pistol emas Kanta dan berhasil terbelah dua. Pistol itu pun berubah menjadi hitam tak bernilai.

Ketika Kanta terlalu terkejut dengan serangan Gabriel dan mulai lengah, Gabriel langsung mengarahkan posisi pedangnya ke depan leher Kanta dari samping, sedangkan Joe menodongkan belatinya ke dada di mana dia bisa menusuk jantung Kanta kapan saja yang dia mau. Senyuman kemenangan tergurat sempurna padaku. Aku melangkah maju mendekat pada Kanta agar aku bisa melihatnya merasakan kekalahan.

"Kau kalah, Kanta. Sekarang, kau mau mati dengan cara apa? Dipenggal oleh pedang Gabriel atau ditusuk jantungmu dengan belati milik Joe?" kataku memberikan dua pilihan terbaik kepada Kanta.

Meskipun kematian sudah di depan mata, Kanta tetap bisa mengembangkan senyum. Dia hampir tak ada bedanya dengan Genta. Jahat dan terlalu murah senyum. Aku sangat kesal dengan orang munafik seperti mereka.

"Sebenarnya, aku tidak ingin keduanya. Ada pilihan cadangan? Aku mohon, cantik. Beri aku pilihan yang lebih baik," ucap Kanta seraya memasang wajah memelas padaku. Menjijikkan.

"Oh, kau mau pilihan yang lain? Oke, sebelum itu, coba kau jelaskan kepada kami untuk apa kau datang ke sini?"

"Bermain," jawab Kanta singkat.

"Cuma itu? Kau pikir Avalous adalah mainanmu? Masa kecilmu kurang bahagia, ya?"

"Kata-katamu membuatku tertusuk sakit, cantik."

"Masa bodoh. Hei, kalau kalian memang telah menangkap raja dan ratu Avalous, sebaiknya kalian bebaskan mereka sekarang juga."

"Baiklah, tapi bolehkah aku membawamu?"

Joe lebih mendekatkan belatinya ke dada Kanta sesudah mendengar pertanyaan Kanta untukku. Ekspresinya tampak mengerikan kepada Kanta.

"Kau tadi tanya apa ke dia?" tanya Joe suram. Aku langsung merinding melihatnya yang sekarang. Suasana hatinya kelihatan tidak baik, "Kalau kau mau membebaskan Ibu dan Ayahku, bebaskanlah! Jangan banyak omong kosong! Kau membuatku muak. Mau aku tusuk jantungmu?

"Ehh tidak, terima kasih, hehe. Aku masih ingin hidup. Teman gadis kalian ini begitu cantik. Dari kerajaan mana dia?" tanya Kanta membuatku tertawa lepas.

"Aku hanya rakyat jelata yang berasal dari Famagisa. Jadi, kau terpesona dengan gadis awam sepertiku?" jawabku dengan nada sombong.

Kanta terlihat kaget. Dia menoleh ke arah Joe dan Gabriel secara bergantian. Sepertinya dia ingin memastikan kebenarannya kepada mereka. Dia tidak percaya padaku?

"Dia tidak bohong, kok. Dia bukanlah orang bangsawan yang kau harapan," kata Gabriel dengan ekspresi kaku.

"Woah, begitu. Jadi, untuk apa dia berkunjung ke istana kalian? Kenapa dia tidak pergi ke istanaku saja?" tanya Kanta kepada Gabriel.

"Ya ... mana aku tahu!" jawab Gabriel dengan ketus dan terlihat sangat tidak peduli.

"Hello, Pangeran Kanta, untuk apa aku mengunjungi istanamu? Jika pun aku mengetahui letak istanamu, mungkin aku ke sana hanya untuk mencari cara agar bisa membebaskan raja dan ratu Avalous," ucapku.

Kanta kembali tersenyum dan membalas, "Kau pikir penyihir amatir sepertimu bisa memasuki istanaku? Jika pun kau berusaha menggapai istanaku, kau tidak akan pernah bisa sampai di sana."

Penyihir amatir dia bilang?! Dasar, aku tidak terima sebutan itu! Dia merendahkanku! Awas saja kalau dia ingin menyerangku, aku akan menghajarnya habis-habisan.

Kanta tiba-tiba saja menepis kuat tangan kanan Gabriel dan Joe begitu cepat, membuat pedang dan belati itu terlepas dari pegangan mereka berdua. Oh tidak, Kanta jadi mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Dia melangkah cepat ke arah jendela dan berdiri di bagian alas jendela sambil menutup diri dan setengah wajahnya dengan jubah hitam yang dipakainya.

"Terima kasih sudah mau bermain-main denganku, ya! Aku pasti akan berkunjung lagi. Dan, gadis cantik, yang kau katakan itu adalah benar. Kau membuatku terpesona. Menarik sekali. Sampai bertemu lagi, orang-orang unik!"

Setelah mengatakan kata-kata perpisahannya, dia menjatuhkan dirinya keluar dari jendela. Gabriel dan Joe berusaha secepatnya ke arah jendela untuk mencegah Kanta pergi. Namun, Kanta sudah lebih cepat berlari meninggalkan Avalous.

"Sama-sama," ucapku dengan datar.

"Arghh!! Sial! Dia berhasil kabur!" geram Gabriel sambil memukul alas jendela.

"Tidak apa-apa, Kak. Kalau dia datang lagi, kita langsung bunuh saja dia," bujuk Joe sambil menepuk punggung Gabriel.

"Tapi, aku sangat kesal dengannya, Joe! Terlihat mudah sekali dia menyingkirkan pedangku dan belatimu! Awas saja kalau dia kembali lagi!"

"Sabar, Kak!"

Selagi mereka sedang mengobrol di depan jendela, aku sedang mengamati pistol milik Kanta yang terbelah dua berkat pedang Gabriel. Aku kira pistolnya tidak mudah dihancurkan karena pelurunya dikatakan terbuat dari baja.

Lalu, tentang belati milik Joe, jika dilihat dari luar tampak biasa-biasa saja. Sekali dipakai, benda itu mengeluarkan kelebihannya yang tak terduga.

Pistol milik Kanta sangat mencolok dan terlihat kuat. Namun kenyataannya, benda yang terlihat kuat itu belum tentu juga kuat. Jadi, jangan dilihat dari penampilannya saja.

"Hm, setidaknya rongsokan hitam ini harus dibuang ke tempat sampah."

Hari sudah menjelang siang. Masih ingat tentang Joe mengajakku ke kamarnya, Joe lagi-lagi memegang lenganku untuk menarikku masuk ke dalam kamarnya yang agak gelap karena tidak terbukanya tirai jendela.

Aku berjalan ke arah jendela dan menggeser tirai berwarna biru tersebut sampai seluruh jendela terbuka lebar membuat cahaya luar merembes masuk ke dalam kamar. Melenyapkan kegelapan sudah selesai.

Gabriel tidak ikut. Katanya, dia harus belajar matematika di perpustakaan istana. Mungkin setelah mengunjungi kamar Joe, aku akan mengunjungi perpustakaan istana juga. Tapi, aku bingung dengan mereka berempat. Kalau mereka mau belajar tentang mata pelajaran sekolah, kenapa tidak sekolah saja?

"Kak Sica! Lihat ini!" seru Joe sambil memamerkan sesuatu kepadaku. "Ini boneka pertamaku! Hadiah dari Ibu dan Ayah. Namanya Jonan!"

Sebuah boneka porselen membentuk seorang anak lelaki berambut coklat gelap tampak lucu dengan ukurannya yang sepadan dan matanya yang besar. Bonekanya seperti hidup. Ini pertama kali aku bisa melihat boneka porselen secara langsung.

"Jonan, ya. Dia lucu," komentarku terhadap boneka pertama Joe.

"Di tempat tidur dan lemari bonekaku juga ada banyak! Mereka semua adalah teman-temanku dan Jonan! Ayo ikut aku!" Joe menarikku ke arah tempat tidurnya. Dan aku lihat, yang dikatakan Joe adalah benar. Ada begitu banyak boneka porselen di sini. Sepertinya Joe adalah pecinta boneka. Tapi, semuanya adalah boneka porselen.

"Banyak sekali," gumamku tercengang melihat ada banyak sekali boneka di kamar Joe.

"Lihat yang ini, Kak! Dia cantik, kan? Namanya Salsa!" kata Joe sambil mengangkat sebuah boneka porselen perempuan bersurai pirang kepadaku.

"Kau benar. Dia cantik sekali," ucapku sembari menyentuh pipi boneka tersebut dengan punggung jariku. "Joe, apa Gabriel benar-benar tidak suka boneka?"

Joe mengangguk, "Dia pernah mengatakan bahwa semua boneka-bonekaku menyeramkan. Apa dia takut dengan bonekaku? Padahal semuanya lucu-lucu."

"Pff!!" Berusaha aku menahan tawa. Astaga, apa itu benar Gabriel? Dia takut dengan boneka porselen?! Tidak aku sangka. Hm, aku jadi terpikir untuk mengerjainya. Jika benar Gabriel takut dengan boneka Joe, aku ingin melihatnya ketakutan. Hihi! Membayangkannya saja sudah membuatku ingin tertawa. Pantas saja dia tidak mau ikut ke kamar Joe.

"Kak Sica, mereka semua sangat senang melihatmu berkunjung. Termasuk Jonan," ucap Joe seraya kembali mengambil Jonan dan meletakkan Salsa di tempat tidur.

"Benarkah? Terima kasih sudah menerimaku sebagai tamu mereka," balasku.

"Dan, Salsa ingin kau menjadi pemilik barunya," kata Joe sambil mengangkat boneka bernama Salsa dan menyodorkannya padaku.

"Apa? Tidak, itu kan bonekamu," tolakku dengan lembut. Tapi kalau Joe memaksa, apa boleh buat.

"Anggap saja sebagai hadiah dariku. Ambillah. Jaga dan rawatlah Salsa dengan baik, ya!"

"Baiklah. Terima kasih, Joe."

Aku menerima Salsa ke dalam peganganku. Boneka porselen yang indah dan cantik. Oke, Salsa sudah menjadi milikku. Apa boneka secantik ini bisa menakuti Gabriel? Akan aku coba nanti.

"Karena Kak Sica menerima Salsa, itu artinya kau telah menerima undangan tidur siang!"

Aku bingung mendengar seruan Joe. Apa maksudnya dengan undangan tidur siang? Sebelumnya, Joe tidak pernah membahas tentang itu. Aku tak tahu selain mengajakku ke kamarnya untuk melihat-lihat bonekanya, ternyata dia punya tujuan kedua.

"Maksudmu?"

"Ayo kita tidur siang!"

"Apa?! J-Joe!"

Joe tiba-tiba mendorongku ke tempat tidur bersamaan dengannya yang juga ikut jatuh terbaring ke tempat tidur. Ini gawat, tidak mungkin aku tidur satu ranjang dengan laki-laki! Joe, seharusnya kau katakan ini dari awal!

"Tidak. Joe! Astaga!" ucapku panik sambil berusaha beranjak dari tempat tidur Joe. Tapi, tangan Joe dengan kuat menahan tubuhku bangkit.

"Kenapa, Kak? Kita kan hanya mau tidur siang," ucap Joe dengan santai dan polos, tidak melainkan terlalu polos! "Dari awal pertama aku melihatmu, aku ingin sekali tidur bersamamu. Sekali saja, tidurlah bersamaku di sini. Aku mohon."

Aku menghela napas, "Baiklah, sekali ini saja. Setelah itu, jangan memohon kepadaku lagi untuk tidur seranjang seperti ini. Kau harus tahu ini pertama kali aku tidur seranjang dengan laki-laki."

Joe lantas memelukku, "Terima kasih, Kak!"

"I-iya, sama-sama. Sudah cukup dengan pelukannya," kataku sambil melepaskan Joe dariku.

Melelahkan rasanya berurusan dengan pangeran yang ada di sini. Misiku kali ini lebih memakan waktu yang panjang daripada misi-misi sebelumnya. Ketika berurusan dengan satu pangeran saja sudah membuatku capek. Belum lagi aku harus membuat Genta baik padaku, lalu Ades ... ah, aku pusing memikirkan mereka. Bisa-bisa aku tinggal selamanya bersama mereka berempat. Tidak, jangan sampai itu terjadi. Aku bisa gila.

"Joe, selain Gabriel, apa kau juga menyayangi kedua kakakmu yang lain?" tanyaku.

"Maksudmu, Kak Ades dan Kak Genta? Tidak. Mereka payah. Aku tidak suka," jawab Joe membuatku tertawa ketika mendengar Joe menyebut Ades dan Genta itu payah.

"Hahaha! Jangan. Mereka juga kakakmu. Setidaknya, hormatilah mereka, karena mereka lebih tua darimu. Sayangilah juga mereka seperti kau menyayangi Gabriel," ucapku menasihatinya.

"Selain Kak Gabriel, aku juga sayang Kak Sica. Apa kau juga sayang padaku?"

Ungkapan dan pertanyaan Joe malah membuatku terdiam. Apa itu benar, Joe menyayangiku? Walaupun aku bukanlah kakaknya, apa aku boleh menyayanginya juga? Jika boleh, aku akan berikan banyak nasihat padanya agar dia berkembang lebih dewasa. Mengatakan padanya untuk selalu hormat kepada orang yang lebih tua.

"Tentu," jawabku kemudian sambil mengelus rambut kuning keemasannya. "Kau memang mau tidur siang, ya?"

"Iya. Setiap siang, aku selalu tidur siang karena mengantuk."

"Baiklah, tidurlah."

"Kau tidak tidur siang?"

"Aku tidak bisa tidur siang. Tapi, kau jangan khawatir, aku tidak akan pergi ke mana-mana."

"Janji?"

"Iya, janji. Sudah, jangan bicara lagi! Ayo pejamkan matamu dan tidurlah."

Joe meregut mendengar perintahku. Aku tertawa sambil menyingkirkan rambutnya yang menutupi matanya. Rambutnya sedikit panjang. Kalau dipotong sedikit, pasti matanya tidak akan tersembunyi ketika tidur mengarah ke samping seperti ini.

Dia telah menutup matanya untuk mencoba tidur. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain menyentuh-nyentuh rambutnya dan memperhatikan wajahnya yang sedang tidur. Setelah aku yakin kalau dia sudah terlelap, aku sedikit membangunkan diriku untuk mendekat ke telinganya dan membisikkan sesuatu.

"Aku juga sayang padamu, Joe. Sungguh, aku telah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Selamat tidur, Joe. Bermimpi indahlah."

To be continue⚡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top