It is Beautiful : 6
Dari bangun tidur sampai langit telah berubah warna menjadi biru muda pagi yang cerah, aku tetap bangun dan memilih bersama Gabriel mendengarkan ceritanya mengenai kekasihnya yang dulu. Ya, dulu.
Aku mendengarkan Gabriel bercerita dengan serius. Mulutku tertutup rapat, membiarkan Gabriel saja yang bersuara sampai ceritanya selesai.
Dulu, Mariposa adalah pacar Gabriel. Awalnya aku tidak percaya kalau dulu dia pernah menyukai seorang gadis.
Gabriel lumayan tampan, tapi mukanya yang terlihat memang garang dari sananya membuat orang lain menilai kalau dia itu galak dan dingin. Namun realitanya, dia baik dan berhati lembut. Mungkin itu yang membuat gadis bernama Mariposa itu jatuh cinta dengan Gabriel. Meskipun aku tidak terlalu mengerti cinta, tapi aku bisa menyimpulkan kalau cinta Mariposa itu buta, namun tidak membutakan mata hati.
Mereka pertama kali bertemu di pasar. Kenapa di pasar?
Ceritanya, Gabriel ingin membeli buku pelajaran sekolah yang baru karena buku pelajaran yang ada di perpustakaan istana sudah habis dibaca olehnya. Dia pergi dengan kudanya menuju kota.
Sampainya di pasar, sialnya orang yang menjual buku pelajaran telah habis diborong oleh seseorang dari kerajaan sebelah. Gabriel ingin meledak saat itu juga, namun rasa kecewanya lenyap begitu saja ketika tahu yang membeli semua buku-buku pelajaran itu adalah seorang putri.
Gabriel terpesona.
"Whahaha!!" tawaku meledak saat aku membayangkan Gabriel terpesona dengan seorang gadis. Mungkin ini pembalasan dendamku padanya karena dia sudah pernah mentertawakanku.
"Hei! K-kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?" tanya Gabriel menjeda ceritanya sebentar.
"Menurutku lucu. Aku penasaran bagaimana ekspresimu ketika sedang terpesona kepada seorang gadis! Hahahaha!!" jawabku dan kembali tertawa panjang. Gabriel menutup wajahnya. Hahaha! Dasar pemalu.
"M-memangnya kenapa? Salahkah jika aku terpesona dengan seorang gadis dan suka padanya? Lagipula, daripada mengingatnya kembali, lebih baik aku menghadap masa depan saja," ucap Gabriel sambil menatap lurus padaku.
"Tidak salah, kok. Begitulah cinta, kau akan lupa diri dan dunia. Tidak mendengarkan kata orang lain dan tidak peduli dengan kekurangan orang yang kau sukai. Hei, jangan menggantungkan ceritanya. Selesaikan ceritamu sampai pada saat kau tidak lagi menyukainya dan tidak lupa menceritakan alasannya."
Gabriel tersenyum, "Jika bukan kau yang meminta, aku tidak akan mengabulkannya."
Lihat senyuman itu. Sekali tersenyum, mataku tidak dapat beralih ke mana-mana. Senyuman yang terasa langka bagiku. Oke, kembali serius. Aku harus menyimak kelanjutan cerita Gabriel mengenai Mariposa.
Mereka berkenalan dan menjadi teman. Waktu berlalu dan berlalu hingga akhirnya Gabriel menyatakan perasaannya kepada Mariposa. Tak dia sangka, Mariposa juga menyukainya sejak pertama kali bertemu. Mereka pun menjadi sepasang kekasih.
"Queen," panggil Gabriel tiba-tiba memotong ceritanya.
"Apa? Kenapa kau menjeda ceritamu? Ayo lanjutkan," suruhku.
"Kenapa ekspresimu tampak kusut? Apa kau tidak suka dengan ceritaku? Aku belum menampakkan bagian klimaksnya," tanya Gabriel. Dia terlalu memperhatikan raut wajahku.
"Antara suka atau tidak, aku memilih yang biasa-biasa saja. Aku baik, tidak ada yang membuatku kesal. Jadi, lanjutkan saja ceritamu. Aku menunggu bagian permasalahannya," jawabku.
Gabriel bisa membaca pikiranku ketika dia melihat ekspresiku. Entah kenapa aku tidak terlalu suka dengan cerita mengenai Mariposa. Mungkin saja permasalahan ceritanya akan tambah mengesalkan.
Suatu hari, Gabriel ingat bahwa hari itu adalah hari ulang tahun Mariposa. Dia ingin memberikan sebuah hadiah sebagai ucapan selamat. Tapi, ketika dia menemukan sosok Mariposa berada di lorong luar istana, tidak jauh dari tempatnya berdiri, ternyata Mariposa bersama dengan seseorang.
Gabriel membatu. Kedua tangannya mencengkeram kado ulang tahun untuk Mariposa kuat-kuat seolah ingin menghancurkannya. Dia merasa marah, sangat kecewa ... ah, waktu itu hatinya benar-benar sakit. Kenapa seperti itu?
Mariposa sedang berciuman dengan Genta.
Bahkan kakaknya sendiri melakukan itu dan tidak mempedulikan apa yang Gabriel rasakan.
Aku jadi ikut marah dengan Genta. Selain sebagai penjahat semua wanita yang pernah dikatakan oleh Gabriel, dia juga pantas disebut sebagai penjahat semua lelaki. Kalau sudah tahu Genta seperti itu, tentu saja Gabriel membencinya.
Termasuk membenci Mariposa.
Ya, pada hari itu juga, Gabriel memutuskan hubungannya dengan Mariposa dan melempar hadiahnya dengan kasar kepada Mariposa. Dia tidak peduli sekencang apa Mariposa menangis padanya, dia tidak akan mengubah keputusannya. Meskipun Mariposa mencoba terjun ke jurang sekali pun demi Gabriel, keputusan Gabriel tetaplah sama.
Begitulah awal Gabriel memusuhi Genta dan alasan Mariposa telah dikatakan menjadi bagian dari masa lalunya yang mengesalkan, yaitu berselingkuh.
Tamat.
"Ceritamu berakhir jelek sekali," kataku dengan raut muka kesal membayangkan Genta menggoda Mariposa. Bodohnya, Mariposa termakan godaan Genta. Bagaimana tidak membuatku kesal? Mereka sudah menyakiti Gabriel.
"Memang, tapi itu hanya masa lalu. Aku berusaha untuk melupakan Mariposa. Tapi, aku malah memanggil namanya. Kenapa aku ini?" ucap Gabriel sambil menjambak rambut abu-abunya itu dengan kedua tangannya frustasi.
"Oh, tidak apa-apa. Itu karena kau belum sepenuhnya bisa melupakan seseorang yang pernah kau suka. Sebagian besar orang yang pernah jatuh cinta memang wajar merasakan hal seperti itu," kataku sambil menarik kedua tangannya agar berhenti menarik rambutnya.
"Kenapa kau begitu tahu tentang hal seperti itu?" tanya Gabriel.
"Tentang apa?"
"Cinta."
Hm, benar juga. Padahal aku tidak pernah jatuh cinta, tetapi aku bisa mengerti perasaan orang lain. Mungkin ini bagian dari kelebihanku. Aku bisa menjadi tempat curhat semua orang.
"Karena aku mengerti dengan apa yang kau rasakan. Sekarang aku sudah tahu siapa dan bagaimana Mariposa itu. Dan, mengetahui bahwa Genta adalah lelaki busuk yang suka mempermainkan perasaan wanita. Terima kasih sudah menceritakannya padaku. Maaf sudah membuatmu terpaksa mengingat masa lalumu."
"Sama-sama. Tidak apa-apa, itu hanya kepingan memori yang tidak penting. Tapi, ini pertama kali aku menceritakan sesuatu kepada orang lain. Aku merasa lega."
"Menceritakan sesuatu kepada orang yang kau percaya sangatlah bermanfaat. Pikiranmu akan menjadi terasa ringan dan perasaanmu jauh lebih lega. Apalagi orang yang kau percaya itu bisa membuatmu bangkit dari yang namanya masa lalu. Baguslah kalau kau merasa lebih baik," jelasku yang dibalas Gabriel dengan anggukkan.
"Kalau kau?"
"Apa?"
"Apa kau punya orang yang kau suka?"
"Hahaha!" tawaku, kemudian berakhir dengan wajah datar. "Tidak. Kau mau bertanya lagi dengan pertanyaan 'apa kau punya pacar'? Jawabannya juga tidak."
"Benarkah?"
"Tidak percaya juga tidak apa-apa. Kenapa ingin tahu sekali?"
"Cuma ingin tahu. Jadi, kau tidak suka pada lelaki siapapun?"
"Haruskah aku jawab sekali lagi? Sepertinya jawabanku sebelumnya sudah terdengar jelas. Daripada pacaran, lebih baik ada yang mau mengajakku menikah. Mungkin akan aku terima lamarannya jika dia membuatku suka padanya, tapi tunggu aku menamatkan sekolah dulu."
Gabriel tertawa lepas setelah aku berkata. Aku juga ikut tertawa. Semua yang aku katakan benar adanya, bukan? Tapi, itu hanya pendapatku. Semua orang punya pendapatnya masing-masing.
"Ayo kita kembali," kata Gabriel mengajakku masuk ke dalam. "Mandilah. Setelah itu, kita pergi ke ruang makan. Kau akan sarapan bersama dengan kami."
"Kalian sudah tidak punya satu pun pelayan, bukan? Lalu, siapa yang akan memasak?" tanyaku.
"Aku, Ades, dan Genta tidak bisa memasak. Joe bisa memasak, jadi setiap hari dia yang menjadi koki istana," jawab Gabriel.
Pangeran Joe bisa memasak?! Hm, aku jadi penasaran dengan Pangeran Joe. Apa dia bisa aku dekati juga? Mungkin hari ini aku harus menjadikan dia sebagai temanku. Aku punya ide.
⚡
Selesai mandi dan memakai pakaian baru dari dalam lemari, aku tidak pergi ke kamarnya Gabriel untuk pergi bersamanya menuju ruang makan. Dengan santai, aku pergi ke dapur di mana bahan-bahan makanan sedang dimasak menjadi makanan lezat. Aroma sedap tercium harum dari luar ruang dapur meskipun pintunya tertutup rapat.
Aku mengendap-ngendap masuk ke dalam ruang dapur istana. Di dalam sini, bumbu-bumbu dapur tampak diracik menimbulkan aroma yang sedap. Ada dua kompor menyala dan digunakan secara bersamaan. Alat penggorengan terdengar berisik ketika diadukan dengan spatula. Gerakan cepat telaten seorang lelaki berambut pirang yang tengah memotong bawang membuatku berpikir kalau dia adalah Pangeran Joe.
"Mau aku bantu?"
Joe berhenti memotong bawang ketika mendengar pertanyaanku. Sekarang aku telah ada di sampingnya tengah memperhatikannya memasak. Dia menoleh padaku. Pisau yang masih dipegangnya tiba-tiba di arahkan padaku.
"Kalau kau ingin membantuku, katakan dulu siapa namamu."
Sepertinya aku sedang berurusan dengan pangeran yang berbahaya selain Genta. Aku memang belum memperkenalkan diri padanya, tapi bisakah pisau itu tidak perlu ditodongkan ke arahku?
"Na-namaku Sica Zarsaca. Bisa kau letakkan pisau itu sekarang?" kataku sambil menunjuk pisau itu dengan agak gemetar. "Aku bukanlah sesuatu yang berbahaya. Yang berbahaya itu adalah pisau yang kau pegang."
Joe meletakkan pisaunya di atas tempat dia memotong bawang. Lalu kembali melihatku. Aku menunggu jawabannya. Semoga dia mau aku membantunya memasak.
"Sica, apa kau suka boneka?" tanya Joe.
"Hm, suka. Kenapa?" jawabku diselingi pertanyaan.
"Sama! Aku juga suka boneka! Mereka lucu dan menggemaskan!" kata Joe dengan riang gembira sambil menyambar kedua tanganku. "Aku punya banyak sekali boneka di dalam kamarku! Kau mau melihatnya? Nanti setelah sarapan, ya!"
"Hehe, iya. Jadi, apa aku boleh membantumu memasak?" Aku mulai penasaran dengan Joe. Dia tampaknya begitu terobsesi dengan boneka. Senang bisa melihatnya bersikap ramah padaku. Tapi, apa aku bisa membuatnya lebih akrab denganku?
"Ya! Kau boleh membantuku!" Joe kembali memotong bawang dengan cepat. Irisannya begitu rapi dan tipis. Aku suka melihat orang yang sedang memasak. Jangan melihatnya saja, aku harus membantunya.
Selesai memasak untuk sarapan, aku dan Joe membawa semua makanannya ke ruang makan istana. Di ruang makan, ada Genta. Dia sedang duduk dengan kedua kaki disilangkan bertumpu di atas meja sambil membaca buku. Duduknya sangat tidak sopan. Aku ingin sekali melabraknya.
Aku melangkah ke tempatnya untuk meletakkan piring yang berisi makanan untuk Genta. Dengan kasar agar dia sadar, aku meletakkan makanannya di atas meja. Genta tersentak. Dia berhenti membaca buku dan melihatku. Dia menggurat senyum palsunya.
"Oh, terima kasih sudah membawakan sarapan untukku. Kau boleh pergi dan kembali bekerja," kata Genta seolah-olah dia bicara dengan pelayannya. Dia merendahkanku, dasar pangeran iblis! Awas saja, suatu hari nanti dia pasti akan menyesal.
Tanpa mengatakan apa-apa padanya seraya merendam amarah, aku melangkah jauh untuk pergi ke kamar Gabriel. Aku ingin memberitahukan kepadanya kalau sarapan sudah siap. Tapi, ketika aku membuka pintu ruang makan untuk segera keluar dari sini, aku langsung dihadapkan oleh Gabriel. Dia tampak terkejut melihatku.
"Queen, aku mencarimu ke mana-mana. Rupanya kau sudah ada di sini," kata Gabriel. "Seharusnya kau belum mengetahui di mana letak ruang makan istana."
"Sica tadi bersamaku."
Suara Joe membuatku dan Gabriel menoleh ke arah Joe yang berdiri di samping kami. Gabriel menatap biasa ke arah Joe. Ketika Joe tiba-tiba saja menarik lenganku dan mengapitnya, Gabriel menatap tidak suka kepada Joe.
"Tidak hanya aku, Sica juga bisa memasak, lho! Sica sudah membantuku menyiapkan sarapan! Mulai sekarang, Sica akan selalu membantuku menyiapkan makanan!"
Gabriel tidak merespon, namun tatapannya semakin tajam. Joe juga melakukan hal yang sama. Kenapa mereka saling menatap musuh seperti itu? Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka permasalahkan.
"Terserah." Gabriel baru merespon, tampak masa bodoh. Dia berjalan melalui kami dan duduk di kursi pilihannya.
Tinggal satu pangeran lagi yang belum datang ke ruang makan. Joe mengajakku duduk. Dia menarikkan kursi untukku dan mempersilakanku duduk. Di meja yang super luas ini, aku bisa leluasa melihat hidangan sarapan yang masih hangat.
Sepanjang sarapan, suasana begitu hening. Tidak ada yang bicara. Sampai kami selesai sarapan, pangeran berambut merah itu belum juga datang. Tapi, aku tidak peduli sama sekali.
Genta lebih dulu menghabiskan sarapannya. Dia beranjak dari kursinya dan melangkah menuju jendela yang terbuka. Lalu, betapa terkejutnya aku melihatnya melompat keluar dari jendela.
"Dasar monyet," ejek Joe juga sempat melihat Genta melompat dari jendela.
"Hei! Jaga ucapanmu, Joe! Sebrengsek apapun dia---dia itu tetaplah Kakakmu!" tegur Gabriel kepada Joe.
Aku tertegun mendengar teguran Gabriel. Walaupun Genta memang brengsek, Gabriel tetap menyuruh adiknya untuk menghormati orang yang lebih tua. Sebagai seorang kakak, dia memberikan perhatian dan nasihat penting demi kebaikan Joe.
Ketika aku beranjak dari kursi, Joe juga ikut beranjak. Dia melangkah cepat ke arahku dan mengapit lengan kananku dengan kedua lengannya. Gabriel juga ikut beranjak setelah itu. Dia melangkah menghampiri jendela.
"Ayo, kita langsung ke kamarku!" ajak Joe sambil menarik-narik lenganku agar mengikutinya.
Saat aku melangkah menuju pintu ruang makan istana untuk segera keluar, aku sempat melihat Gabriel. Dia masih berdiri di depan jendela. Apa dia tidak ikut? Aku penasaran ketika dia diam seperti itu, apa yang ada dipikirannya sekarang ini?
"Kau tidak mengajak Gabriel?" tanyaku membuat Joe berhenti menarikku dan menoleh.
"Dia tidak suka boneka, jadi tidak usah ikut," jawab Joe.
"O-oh, begitu. Tapi, jika dia membenci boneka sekalipun, kau tetap tidak mau mengajaknya meskipun dia kakakmu?"
Joe terdiam. Mata birunya menggelap. Ekspresinya berubah kaku dan terlihat seram. Apa aku sudah salah bertanya? Joe melihat ke arah Gabriel yang hanya terlihat pada bagian belakang saja.
"Tidak mau. Kak Gabriel tidak suka boneka. Dia sering memarahiku. Aku kesal dengannya."
To be continue⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top