It is Beautiful : 5
"Ini kamarmu. Aku memilihkanmu kamar ini karena bersebelahan dengan kamarku. Kalau aku mendengar ada yang tidak beres di kamarmu, aku dapat mendengarnya dan langsung menuju ke sini. Atau jika Genta mengganggumu, berteriaklah. Aku pasti datang untuk menghentikannya. Beristirahatlah, kau pasti kelelahan. Dan, karena kau sudah merapikan rambutku, aku ingin memberimu sesuatu."
Kamarku tidak ada bedanya dengan kamar milik para pangeran Avalous. Luas dan berkelas. Aroma istana dari darah bangsawan membuatku seperti merasa menjadi seorang putri yang beruntung. Namun, ini bukanlah keberuntungan yang harus bersyukur sudah bertemu dengan empat pangeran tampan, melainkan ini cobaan untuk seorang gadis awam yang berusaha menyelesaikan tugasnya.
Gabriel melangkah memberi jarak yang dekat. Aku bingung apa yang ingin diberikannya padaku. Jika aku perhatikan kedua tangannya, dia tidak membawa satu barang pun untuk kuduga sebagai hadiah.
"Tidak, kau tidak perlu memberiku sesuatu. Aku ikhlas membantumu. Melihatmu senang atas potongan rambut barumu sudah cukup menjadi hadiahku. Hehe, maksudku, kelihatannya kau jarang tersenyum ataupun tertawa. Aku tahu karena wajahmu mudah sekali berubah datar dan garang. Melihatmu sedang ceria, terlihat lebih mencolok menarik perhatianku untuk lebih mengenalmu. Apa kita bisa berteman baik?"
Aku mengulurkan tanganku untuk berjabat pertemanan dengannya. Gabriel memandang tanganku sebentar. Lalu tangan kanannya menyambut tanganku dan menjabatnya.
"Tentu saja kita berteman, Putri! Kenapa aku harus menolakmu?" ucap Gabriel menerimaku menjadi temannya.
"Hahaha! Putri? Aku hanya gadis biasa. Kau tidak perlu memanggilku putri," kataku tidak terbiasa dipanggil 'putri' oleh orang bangsawan seperti Gabriel. Termasuk saat Genta memanggilku Princess. Terasa tidak cocok untuk menjadi panggilanku.
"Kalau begitu," Gabriel meraih sehelai rambut perakku, lalu mendekatkan rambutku ke arah penciumannya. Dia menghirup aroma rambutku. Untuk apa dia melakukan itu? "aku akan memanggilmu Queen."
Panggilan itu bahkan lebih parah daripada sebelumnya! Dan, Gabriel aneh. Kenapa dia menghirup aroma rambutku? Aku takut rambutku akan tercium bau olehnya karena sudah 3 hari tidak keramas. Menurutku, ini adalah perlakuan yang aneh dari seorang lelaki untuk seorang gadis selain punggung tangannya dicium.
"Apa? Tidak. Gabriel, itu terlalu berlebih---"
"Aku tidak mau mendengar penolakan apa-apa darimu. Pokoknya, mulai sekarang aku akan memanggilmu Queen. Jelas?"
Aku menghela napas. Gabriel tidak mau aku menolak apa yang dia putuskan untuk panggilan baruku. Panggilan itu terasa aneh sekali untukku. Baiklah, setidaknya namaku tetaplah Sica.
"Sangat jelas. Tapi, bisa kau beritahukan padaku mengenai alasanmu memanggilku Queen?" tanyaku penasaran.
"Haruskah aku punya alasan?" ucap Gabriel membuatku menatap bengong padanya. Dia membuang pandangan. "Bukankah kau bilang kalau kau ingin mengenal lebih denganku? Jadi, aku maunya ... emm ... i-itu
..."
Kadang, orang-orang bisa berbicara tidak jelas ketika ingin mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Mungkin seperti itu yang sedang dialami oleh Gabriel. Aku tidak tahu apa yang ingin dia katakan. Tapi, aku tetap menunggunya dengan sabar.
"Ya?" sahutku membuat Gabriel terlonjak. Dia kaget?
"Ti-tidak jadi," ucap Gabriel mendadak mengubah wajahnya menjadi kaku. "Aku ingin pergi ke kamarku. Sudah waktunya untuk beristirahat di kamar masing-masing. Selamat malam."
Buru-buru Gabriel melangkah keluar dari kamar. Suara pintu tertutup terdengar agak kencang dari kamar sebelah. Aneh sekali, kenapa dia tiba-tiba berubah asing padaku? Laki-laki memang sulit dipahami.
Aku meregangkan kedua tanganku ke atas dan menguap lebar. Gabriel benar, sudah waktunya untuk istirahat. Langkahku menempuh sampai di kasur dan menghempaskan diri di sana. Rasa empuk dan luasnya kasur membuatku ingin berguling-guling sampai kelelahan.
Malam ini aku punya permintaan sebelum tidur. Semoga, keempat pangeran Avalous bisa bersatu kembali secepatnya agar jantung sihir Avalous terselamatkan dan bisa membuat mereka berteman denganku terutama Genta. Walaupun Genta sudah membuatku marah karena tega hampir membunuhku, aku tidak boleh menyimpan rasa benci dan dendam padanya, karena dia juga bagian dari calon temanku.
Aku harus tidur sekarang. Tanganku menarik selimut dan segera memejamkan mata untuk pergi ke alam mimpi. Oh iya, tunggu sebentar.
"Selamat malam juga."
⚡
Pagi telah mengganti hari, namun belum meruntuhkan langit malam. Aku terbangun dalam tidurku karena tenggorokanku terasa kering. Aku haus.
"Di mana aku bisa mendapatkan segelas air minum?" tanyaku kepada diriku sendiri sambil beranjak dari kasur. "Tentu aku tidak tahu di mana dapur istana. Apa aku boleh mengetuk pintu kamar Gabriel pada jam segini?"
Jam 3 pagi. Terlalu pagi untuk bangun dari tidur. Semua orang pasti masih tidur nyenyak. Sebenarnya, ini kebiasaanku. Bangun pada jam yang terlalu pagi karena kehausan atau kasus lainnya seperti bermimpi buruk. Kalau aku membangunkan Gabriel, aku takut akan mengganggu tidurnya. Tapi, di mana lagi aku bisa meminta bantuan?
Walaupun aku takut mengganggu tidur Gabriel, tetap saja aku melangkah keluar dari kamarku menuju pintu kamarnya. Namun, tanganku bimbang untuk mengetuk pintu. Antara tidak ingin mengganggu dan ingin meminta bantuan. Huh, seharusnya aku bertanya mengenai denah istana ini. Baiklah, akan aku ketuk saja pintunya.
Krekk!
"Ahh!!" kejutku melihat pintu kamarnya terbuka ketika aku hampir saja akan mengetuk pintu.
"Queen?" Aku mendengar suara Gabriel. Ketika aku lihat, ternyata dia yang membuka pintu kamarnya. Sekarang dia ada di hadapanku.
"Huh. Kau membuatku kaget," ucapku namun perasaanku lega melihatnya.
"Maafkan aku sudah membuatmu kaget. Aku bangun karena ingin mengecek keadaanmu. Apa ada yang mengganggumu?" tanya Gabriel.
"Oh! Tidak, tidak ada yang menggangguku," jawabku.
"Syukurlah. Jadi, ada apa kau ke kamarku?"
"Tidak ada hal yang penting. Aku hanya merasa ... haus."
"Ayo kita ke dapur istana."
Aku mengikuti Gabriel berjalan menempuh lorong istana yang sepi. Di sini agak gelap, karena lampunya dimatikan. Cahaya yang masih tersisa berasal dari luar jendela. Aku tidak takut gelap, cuma aku takut sesuatu yang mengerikan ... seperti hantu.
"Peganganmu semakin kuat, Queen," kata Gabriel menoleh kepadaku.
"Apa?" Sedari tadi, kedua tanganku memegang lengan kanannya. Kegelapan yang setiap aku lewati, selalu membuatku terbayang akan ada sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. "M-maafkan aku sudah membuatmu tidak nyaman."
Aku ingin melepaskan peganganku, tapi Gabriel tiba-tiba saja memegang tanganku dan mengapitnya.
"Aku tidak menyuruhmu melepaskannya," kata Gabriel. "Pegang saja lenganku. Kau juga bisa menggenggam tanganku."
"Tapi ..." gerutuku.
Gabriel meraih tangan kiriku dan menggenggamnya dengan erat. Aku tidak menyuruhnya memegang tanganku. Tapi, aku merasa lebih aman. Jadi, aku balas saja genggamannya.
"Tidak perlu takut. Kau ada bersamaku."
Meskipun Gabriel tidak sering menampakkan senyumannya, setiap deretan katanya mampu membuat seseorang merasa nyaman berada di dekatnya. Seperti yang aku rasakan sekarang. Rasa takutku kepada sosok mengerikan dari kegelapan sudah lenyap. Tapi, kenapa aku tidak bisa menatap matanya sekarang?
Sepanjang langkahku dengan Gabriel, mataku seolah-olah tak dapat melihat secara leluasa. Ini aneh, kenapa aku seperti tengah menghindari Gabriel? Aku ingin mengucapkan terima kasih karena sudah baik padaku. Tapi, mulutku terlalu kelu untuk mengucapkan. Aku harus minum.
"Kita sampai," kata Gabriel seraya membuka dua daun pintu ruang dapur istana. Ketika ruangan itu terbuka, mataku tidak melihat apa-apa di dalam sana selain kegelapan. Sepertinya aku juga takut gelap.
"K-kenapa di dalam sana begitu gelap?" tanyaku agak gemetar.
"Itu karena lampunya tidak dinyalakan. Kau tunggulah di sini. Aku akan masuk dan menyalakan lampunya," jawab Gabriel.
Dia akan masuk ke dalam sana?! Itu artinya, aku menunggunya di luar sini sendirian! Di belakangku, lorong istana terlihat mengerikan. Bagaimana jika ada hantu usil menutup mataku dari belakang? Lalu, hantu itu akan membawaku ke tempat mengerikan dan menakutiku sampai dia merasa puas. Tidak. Aku tidak mau!
Ketika Gabriel baru berjalan satu langkah, dengan cepat tanganku menarik bajunya. Tidak mungkin aku membiarkannya masuk ke dalam sana. Bukan hanya diriku ketakutan ditinggal, aku juga takut Gabriel akan terjadi sesuatu yang mengerikan di dalam kegelapan sana.
"Jangan masuk!"
"Kenapa?"
Aku tidak menjawab. Memalukannya diriku. Ini sudah dua kali dia melihatku takut. Biasanya, aku sering menghadapi rasa takutku dengan cara berdiam diri sambil menunggu rasa takutku menghilang. Tapi, entah kenapa sekarang aku tidak bisa melakukan itu.
Ada sesuatu yang menyentuh kepalaku. Mengerikan sekali. Sentuhannya membuatku bergidik gemetar. Aku ingin menepis sesuatu yang menyentuhku. Tapi, ternyata yang menyentuh kepalaku adalah tangan Gabriel.
"Jangan takut. Tidak ada apa-apa di istana ini. Kalau pun ada, aku tidak akan membiarkanmu dalam bahaya," kata Gabriel berusaha untuk meredakan ketakutanku.
"Meskipun sudah kau katakan, tetap saja aku takut! Jangan masuk ke dalam sana! Jangan pergi!" jeritku.
"Kalau aku tidak masuk, bagaimana cara aku menyalakan lampu dapurnya? Kau masih mau minum, kan?"
"I-iya."
"Nah, itu berarti aku harus masuk ke dalam sana dan menyalakan lampunya. Sebentar saja, lalu kau bisa masuk ke dalam tanpa merasa takut lagi."
"Kau ingin meninggalkanku di sini? Bagaimana jika ada hantu yang menangkapku?"
Gabriel terbelalak mendengar pertanyaanku. Mata emasnya mengerjap-ngerjap seolah sedang mencerna apa yang sudah aku katakan. Dan tidak lama, suara tawa darinya terdengar mengganggu perasaanku.
"Hahahaha!! Itu tidak mungkin, Queen. Tidak ada yang namanya hantu di dunia ini. Mereka hanya makhluk mitos," tawa Gabriel. Rasanya begitu mengesalkan mendengar dia menertawakanku.
"Kenapa kau tertawa? Apa itu terdengar lucu bagimu? Haha. Kelihatannya kau senang melihatku takut. Iya, tidak salah lagi," kataku membuat Gabriel berhenti tertawa. Wajahnya melukiskan rasa bersalah dan khawatir.
Gabriel menangkap kedua tanganku dan menggenggamnya dengan erat ketika aku hampir membalikkan badan untuk berjalan pergi meninggalkannya.
"Bukan! Bukan seperti itu! Aku memang tertawa karena mendengar alasanmu ketakutan, tapi aku bukan ingin mengejekmu. Seharusnya aku tidak tertawa. Jangan marah. Tolong maafkan aku."
Rasa takutku berubah menjadi amarah karena Gabriel. Aku melepaskan pegangan tangannya dengan menghempaskan tanganku ke bawah. Dia tampak terkejut melihat sikapku menjadi kasar padanya.
"Sudah terlambat," ucapku.
Aku melangkah masuk ke dalam ruang dapur yang begitu gelap untuk menyalakan lampunya sendiri. Beruntung, aku menemukan tombol lampu dan segera menekannya. Ruang dapur istana pun jelas terlihat berkat menyalanya lampu di atas atap.
Karena marah, aku jadi tidak merasa takut pada apapun sekarang ini. Kegelapan aku terobos dalam waktu singkat. Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air mineral. Lalu aku langsung meneguk minumanku dengan tidak sabar.
Gabriel terus mengikuti langkahku sambil meminta maaf. Tapi, aku tidak menggubrisnya sama sekali. Dia pantas menerima ini.
"Queen, kau tidak bisa bersikap seperti ini terus padaku. Tolong jangan marah. Kau bisa hukum aku dengan apa saja, asalkan jangan memusuhiku," ucap Gabriel seraya memegang pundakku. Namun, aku langsung menepis tangannya.
Kalau mendengarnya terus seperti itu, aku jadi agak kasihan. Tidak, Sica. Jangan mudah memberinya ampun. Dia sudah mentertawakanku. Inilah balasannya.
"Jangan ganggu aku," ucapku dingin. "Pergi. Kau tidak perlu menemaniku lagi. Aku bisa kembali ke kamarku sendiri."
"TIDAK!"
Tiba-tiba dengan teriakannya, Gabriel memelukku dari belakang. Dia keras kepala sekali. Aku tidak mau berurusan dengannya sekarang.
"Gabriel! Lepaskan aku!" suruhku sambil meronta-ronta di dalam pelukannya.
"TIDAK! JANGAN, AKU MOHON! MARIPOSA! JANGAN PERGI!"
Mariposa? Siapa Mariposa itu? Bukankah seharusnya dia memanggil namaku atau panggilan yang dia buat untukku? Tapi, permasalahannya terdengar berbeda. Ada apa dengannya?
Mendengar isak tangisnya, aku membiarkannya memeluk diriku. Tunggu, dia menangis?
Oke, aku memaafkannya. Tapi jika dia mengulangi kesalahannya lagi, aku tidak akan mau memberinya maaf.
⚡
"Jadi, siapa Mariposa itu?"
Di kamarku, aku tidak sendirian. Bersama Gabriel, berdiri di balkon yang terus-terusan diterpa angin yang lembut. Langit belum terlalu terang karena matahari masih dalam proses terbit. Sambil melihat langit, aku menanyakan tentang seseorang yang dipanggil oleh Gabriel waktu di ruang dapur istana.
Gabriel terus memegangi rambutnya yang diterpa angin. Matanya terpejam sementara. Ketika dia kembali membuka matanya, dia langsung melihatku.
"Kenapa kau ingin tahu?"
Oh Gabriel, apa dia ingin membuatku kesal lagi? Kenapa malah balik bertanya? Tentu aku ingin tahu.
"Haruskah aku punya alasan?"
Gabriel tampak terkejut. Dengan mudahnya aku bisa membuatnya terkejut dengan hanya bertanya seperti itu saja. Dia menghela napas.
"Sebelum aku akan menjelaskannya padamu, aku ingin tahu apa kau masih marah padaku?" tanya Gabriel.
"Tidak," jawabku tanpa melihat ke arahnya. "Hanya sedikit kesal."
"Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Benarkah?"
"Aku berjanji!"
Aku menolehkan kepalaku ke arahnya. Senyuman yang dia torehkan seolah menyambut matahari yang baru terbit dengan sukacita. Namun, aku tidak melihat matahari. Mataku bisa silau. Lebih baik aku melihat senyuman Gabriel.
"Jadi, bisa kau beritahukan sekarang, siapa gadis yang kau sebut Mariposa itu?"
Senyuman Gabriel pudar. Ekspresinya kembali kaku. Mungkin dia tidak mau mengingat orang bernama Mariposa itu. Tapi, aku harap Gabriel bisa bercerita padaku meskipun hanya sedikit. Dia pun bersuara setelah agak lama terdiam.
"Dulu, dia adalah pacarku."
To be continue⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top