It is Beautiful : 48
Tempat ini kelihatannya luas. Koridor yang aku lewati bersamanya masih belum sampai mengantarkan kami ke ruang makan. Apa ini istana? Tapi, aku rasa bukan. Lantai di sini aku rasa semuanya berwarna hitam. Dinding di sini tidak hanya berwarna putih, ada juga dinding berwarna ungu yang tengah kami lewati sekarang.
"Ini di mana? Istana?" tanyaku kepada pria aneh tak dikenal yang berjalan bersamaku.
"Wah, apa kau mengira ini di istana? Sepertinya kau pernah mengunjungi sebuah istana kerajaan sebelumnya," balas pria itu dan memang benar aku pernah masuk ke istana kerajaan. Kurasa dia terlalu banyak bicara hal yang tidak penting. "Ini di rumah pribadiku. Anggap saja rumah sendiri. Kalau rumah ini terlalu luas, tolong dibiasakan karena tempat ini tidak bisa diperkecil."
Aku tidak berbicara lagi setelah itu. Mengobrol dengannya sama saja akan membuat emosiku naik dan terus naik. Aku harus banyak sabar menghadapinya.
"Nah, kita sudah sampai," ujar pria itu berhenti berjalan di depan sebuah pintu berwarna hitam. "Nona masuk saja ke dalam sana. Pelayanku pasti sudah menyediakan makanan enak di dalam untuk Nona saja. Jadi nikmatilah selagi masih ada~"
"Pelayan? Kau punya pelayan di rumahmu? Sebenarnya kau siapa?" tanyaku penasaran akan siapa dirinya.
Pria itu tersenyum yang entah kenapa membuatku merasa aneh. Aku merasa dia berbahaya. Mungkin sebaiknya aku jaga jarak untuk sementara darinya selagi aku mencari kebenaran tempat ini dan kasus hilangnya beberapa wanita di kota ini.
"Nona ingin tahu namaku? Ken. Nona bisa saja memanggilku Ken. Mudah diingat bukan?" jawabnya memperkenalkan dirinya padaku. "Sebenarnya aku kabur dari tempat tinggalku yang sebenarnya, karena ibuku terlihat gila daripada aku. Jadi daripada aku stres memikirkan masalahnya, lebih baik aku mengurus diriku sendiri dengan pergi dari sana. Kalau namamu, Nona?"
Kabur? Maksudnya, dia pergi dari keluarganya dan memilih hidup sendiri? Aku tidak tahu apa masalahnya jadi memilih meninggalkan tempat tinggalnya, apalagi dia sudah menyebut ibunya sendiri gila. Kurasa ada masalah keluarga.
"Sica Zarsaca," balasku memberitahukan namaku. "Kenapa kau melakukan itu?"
Ken tertawa kecil. "Kan sudah aku bilang. Aku stres kalau ibuku membuat masalah. Aku tidak mau menjadi tangan kotornya. Lebih baik aku mengotori tanganku sendiri dengan caraku sendiri," jawabnya agak dingin. "Ada lagi yang ingin kau tanyakan, Nona Sica Zarsaca?"
"Kau tidak perlu memanggilku secara lengkap. Panggil aku Sica saja," sahutku datar. Wajahku kembali serius. "Apa kau ... Yang telah menculik para wanita di kota ini?"
Ken terdiam. Dia menangkup setengah wajahnya dan tersenyum ngeri. "Kenapa kau yang tadi terlihat khawatir, sekarang menjadi menuduhku melakukan suatu kejahatan??"
Suaranya meninggi hingga membuat bulu kudukku naik. Pria ini memang harus kujauhi. Aku berdecak. "Aku hanya bertanya. Tapi dari cara kau menculikku dengan cara menipuku dengan sihirmu, aku rasa bukti itu sudah jelas. Bahkan kau membawaku dengan mengikat kaki dan tanganku agar tidak bisa kabur. Bukankah itu terlihat seperti sedang menculikku? Dan juga kau tidak boleh mengizinkanku untuk pul—"
TSUK!
Mataku membulat. Pandanganku terkejut akan apa yang terjadi hingga membuat perkataanku terpotong.
Pria ini gila! batinku marah.
Dia menancapkan sebuah pedang yang entah datang dari mana ke pintu, tepat di samping kepalaku. Apa dia mau menusuk kepalaku? Aku tidak mengerti apa yang dia inginkan, tapi aku mulai kesal dengan tingkahnya yang rendah seperti ini.
Aku mengepalkan tangan. Mataku kembali menatapnya tanpa rasa takut.
"Kau mau membunuhku?"
Pria itu diam beberapa saat. Kemudian dia menghilangkan pedangnya dengan sihir yang disertai kupu-kupu ungu menyebalkannya itu dan tiba-tiba dia kembali tersenyum riang.
"Tidak. Aku hanya ingin melihat reaksimu saat kau sedang terancam," jawab Ken berseri-seri. "Ah, matamu mulai memandang kebencian terhadapku. Aku mulai menyukaimu, Sica Zarsaca. Mungkin kita cocok menjadi sepasang suami istri."
"HAH?!"
Sihir petir dariku mengenai dirinya. Padahal aku tidak menyuruh kekuatanku untuk melukainya. Tapi emosiku yang sedari tadi kutahan membuatku bertindak untuk menyengatnya dengan sengatan sihirku.
"Ahh ... Uhuk! Uhuk!" Ken terhuyung dengan sedikit asap keluar dari mulutnya. Kurasa sihirku jadi lebih kuat saat sedang emosi. Dia terbatuk-batuk karena asap gosong dari mulutnya. "Kau ... Sihir apa yang kau pakai? Rasanya tadi seperti tersetrum."
"Hihihi!" Aku tertawa kecil melihat dirinya kesakitan begitu. Nikmatilah balasanku. "Sihir petir. Aku bahkan bisa membuat jantungmu berhenti dengan hanya satu jari saja. Jadi jangan macam-macam denganku."
Sebenarnya itu bohong. Tapi sesekali sedikit saja aku ingin menyombongkan diri padanya karena sudah terlanjur kesal. Setelah mengatakan itu, aku masuk ke dalam ruang makan karena perutku sudah sangat keroncongan.
"Aku baru pertama kali bertemu pemilik sihir petir. Kurasa itu sihir yang langka," ujar Ken yang masih ada di luar ruang makan. "Tapi berhati-hatilah juga. Bisa saja aku akan melakukannya lebih dulu padamu."
"Apa?" Aku berbalik untuk melihatnya kembali, tapi dia sudah pergi menghilang oleh sihirnya. Apa dia tadi sedang membual? Mungkin tidak. Aku tidak bisa memahami pikirannya. Dia mungkin sudah terjangkit gila oleh ibunya sendiri.
"Selamat malam, Nona. Ini makan malamnya. Saya sudah menyajikannya untuk Anda, sesuai yang Tuan saya suruh," ujar seorang pria tak kukenal memakai pakaian pelayan berdiri di dekat meja makan yang dipenuhi dengan berbagai macam makanan dan minuman.
Fwahhh! Makanan! Ada es krim juga di sana. Lalu ada makanan kesukaanku juga. Waw, ini terasa seperti sudah lama aku tidak makan enak begini.
"Waw, luar biasa. Kau memasaknya sendiri?" Aku menoleh ke arah pria bermuka datar itu. Dia memakai kacamata bulat. Rambutnya bersurai hitam legam dan kulitnya sangat putih.
"Tentu saja, karena saya adalah suruhan Tuan Muda, saya harus bisa segala yang dia suruh," jawab pria itu membungkuk padaku dan kembali berdiri tegak.
"Begitu, ya. Tuanmu sepertinya kejam dan menyebalkan, bukan begitu?" ujarku bergurau padanya, yang padahal aku memang mengatakan yang sebenarnya aku rasakan.
"Ya, itu benar." Wajahnya tetap datar saat berkata jujur.
Aku terkejut mendengar jawaban tak terduganya. Kupikir dia tak akan menggubrisnya. Aku rasa bisa aku jadikan teman di sini.
"Kau sudah makan? Ayo makan bersamaku, temani aku makan," ajakku kepadanya.
Pria itu menunduk. "Maaf Nona, saya tidak bisa melakukan itu."
"Bisa saja. Kau hanya membatasi dirimu. Tidak apa-apa, ayo!" Aku menarik tangannya agar dia mau duduk makan bersamaku.
Pria itu kelihatan gugup. "Aku tidak terbiasa menerima perlakuan seperti ini .." ucapnya pelan. Dia sudah tidak bicara formal padaku. Sepertinya dia bisa menerima suatu situasi dengan cepat.
"Kalau begitu mulai sekarang biasakanlah, karena aku akan tinggal di sini beberapa hari," balasku santai. Aku mengambil hidangan pertama yaitu steak. Makanan yang katanya akan membuat badan gemuk, tapi tetap saja aku kurus.
"...." Pria itu tampaknya sudah pasrah. Aku tertawa kecil dan menyuap potongan pertama.
"Kau suka steak?" tanyaku kepadanya. "Oh iya, namaku Sica Zarsaca. Namamu siapa? Sejak kapan kau bekerja jadi suruhannya?"
"Aku lebih suka yang berkuah. Tapi steak hanya untuk memanjakan lidah, itu lumayan menambah suasana hati seseorang," jawab pria itu seperti berkomentar terhadap makanan. "Justin. Tuanku menamaiku Justin."
Aku berhenti mengunyah dan berpikir. Mungkinkan Justin ini bukan manusia?
"Kau ... Partner sihirnya Ken?"
Justin mengangguk singkat. "Tuan menyuruhku jadi pelayannya saja. Kemudian mengurus tamu Tuan untuk diberi makan."
"Cih, rendah sekali dia menyuruh partner sihir sendiri jadi pelayan. Seharusnya kau tidak usah mendengarkannya," tuturku benci.
Raut Justin terlihat sedih. "Tidak bisa. Kami sudah saling kontrak. Seperti yang kau lakukan kepada partner sihirmu. Apapun perintahnya, kami harus melaksanakannya meski itu dibayar dengan nyawa kami sendiri."
"Ah, benar juga .." ujarku juga seketika lesu. Aku kembali tersenyum dan menepuk pundaknya lembut. "Tidak apa-apa, Justin. Mungkin sekarang Tuanmu itu sedang memperlakukanmu terlalu rendah seperti ini. Tapi kurasa dia akan sadar untuk tidak melakukannya suatu saat nanti."
Justin menatapku. Dia menunduk. "Kenapa kau begitu yakin? Nona, keberanianmu patut dipuji. Tapi, Tuan berbahaya untuk Anda hadapi sendiri. Bahkan ibunya saja jauh lebih kuat lagi."
Lagi-lagi aku mendengar kata 'ibunya Ken'. Apa mereka sama-sama berbahaya? Entah apa yang membuat mereka berbahaya, kemungkinan dari kekuatan sihir mereka yang belum pernah kulihat sebelumnya dalam sejarah sihirku. Aku rasa mereka ada banyak hubungan terhadap beberapa kasus.
Aku tersenyum lembut padanya.
"Karena aku tidak menghadapinya sendiri."
Mata Justin membulat terkejut. Aku menyuap makan malam terakhirku, sedangkan aku lihat Justin belum juga memakan satu pun hidangan.
"Hei, kau ini tidak lapar sama sekali? Makanlah, karena seharusnya kalau parrner sihir keluar dari lingkaran sihirnya terlalu lama bisa menguras energi yang banyak. Kau harus makan agar tidak kelelahan. Anggap saja kau manusia sekarang," ujarku seraya beranjak dan mengambil semangkuk sup ayam. Aku berdiri di dekatnya dan ingin menyuapkannya makanan yang kubawa. "Haruskah aku suapi?"
Justin merona malu. Dia menggeleng cepat dan langsung menerima sup itu dari tanganku. "Biar aku saja. Nona sebaiknya memakan makanan penutup saja," jawabnya kemudian dia pun akhirnya makan dengan lahap.
"Hihihi," tawa kecilku keluar kembali begitu melihat Justin makan lumayan cepat. Sepertinya pria ini sudah lama mengalami kekurangan energi. Apa Ken angkuh itu tidak peduli sama sekali? Dasar psikopat. Kalau Ken tidak peduli sama sekali dengan Justin, biar aku saja yang memilikinya sebagai partner sihirku. Sekalian untuk membuat Indra tidak kesepian.
Aku mengambil es krim rasa stroberi seraya memperhatikan Justin minum. Dia sudah selesai makan. Imut sekali.
"Apa Nona sering melakukan hal ini kepada seseorang?" tanya Justin kelihatan malu-malu bertanya.
"Hm? Maksudmu?" tanyaku seraya menjilat sendok es krimku. Aku tidak mau menyisakan setitik pun es krim dari sendokku.
"... Berperilaku perhatian terhadap seseorang," jawab Justin tanpa menatap ke arahku.
Aku berpikir sejenak untuk memahami maksudnya, kemudian aku pun paham maksud dari perkataannya.
"Ya, tapi kepada teman-temanku yang berharga," jawabku dengan senyuman lebar. "Sepertinya mereka sedang khawatir karena aku menghilang sekarang. Mereka pasti sedang mencariku dan tidak bisa tidur. Sebenarnya ini salahku. Tapi untuk sementara aku harus berada di sini, untuk mencari kebenaran kasus hilangnya beberapa wanita di kota ini."
Justin kembali terdiam. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
"Aku tahu jawaban yang sedang Nona cari."
To be continue⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top