It is Beautiful : 41
Dalam sekejap sosok Ades yang muncul tanpa diundang mengubah suasana hatiku menjadi buruk. Aku tahu dia anak pertama dan paling tua di sini, tapi jika kalian tahu menurutku manusia yang paling menyebalkan adalah orang gila ini.
"Kedua adikmu sedang bertengkar dan melakukan peperangan di ruang makan. Apa kau tidak tertarik untuk membuat mereka berbaikan?" tanyaku datar seraya melipat kedua tangan di depan dada, mencegah dirinya memegang tanganku atau pun hal aneh lainnya.
"Oh, tidak apa-apa. Sebentar lagi mereka berbaikan, kok," jawab Ades santai dan mengedipkan sebelah matanya genit padaku, membuatku berhasil bergidik ngeri padanya. "Karena bukan hanya aku saja yang bisa melerai mereka."
Ucapan Ades entah kenapa mengingatkanku pada Genta yang kini sedang memeluk Gabriel dan Joe yang tadinya sedang bertengkar begitu hebat yang bisa saling melukai sesama. Tentu saja aku khawatir. Aku tidak bisa mendekati mereka berdua, namun Genta berani mendekat.
"Kak Genta bodoh! Lepaskan aku! Aku masih belum selesai dengan Kak Gabriel!" Joe berusaha keras melepaskan pelukan Genta. Namun kelihatannya Genta lebih kuat dari pada Joe.
Sementara Gabriel tidak memberontak seperti Joe. Dia diam di dalam pelukan Genta. Matanya memandang ke bawah, seperti ada rasa penyesalan yang melingkupinya.
"... Genta, biarkan saja dia melukaiku. Aku tak akan menghindar lagi, karena ini memang salahku," ucap Gabriel pelan.
Genta terkejut mendengar itu. Dia tidak membalas perkataan adiknya dan terus tetap memeluk hangat sambil mengelus punggung Gabriel. Secara bersamaan menahan Joe agar tidak lepas darinya, ternyata Genta kuat juga menahannya. Gabriel terhenyak.
"Aku tidak tahu apa yang membuat kalian berdua kembali bertengkar, tapi aku tidak suka kalian terus seperti ini," ucap Genta mengungkapkan perasaan sedihnya selama ini. "Aku tahu aku bukan kakak yang baik. Aku pernah jahat kepada kalian, tapi kuharap kalian jangan seperti diriku yang dulu. Kalian harus lebih baik daripada yang sekarang, karena aku sangat menyayangi kalian, adikku."
Hampir saja air mata lolos dari mataku. Ucapan Genta sederhana, tapi mengandung arti yang begitu hangat penuh perhatian dari seorang kakak.
Joe yang awalnya terus memberontak di dalam pelukan Genta, perlahan melunak dan diam. Perkataan Genta sepertinya mulai menyadarkan dirinya. Sedangkan Gabriel menggigit keras sudut bibirnya. Dia memejamkan matanya dan air mata jatuh dari pelupuk.
Merasa keduanya tidak saling ingin menyerang lagi, Genta perlahan melepaskan pelukannya dan memandang mereka berdua bersamaan. Dia tersenyum dan mengelus gemas kedua pucuk kepala mereka.
"Apapun masalahnya, kuharap kalian segera berdamai dan kembali akrab. Adikku Gabriel, sebagai seorang kakak kau harus mendidik lagi adikmu Joe lebih baik lagi. Dan adikku Joe, kau tidak boleh bersikap kasar dan ingin melukai kakakmu sendiri. Maafkanlah kesalahannya. Ah, jangan lupa simpan belatimu, ya," ucap Genta lembut dan menunjuk belati yang masih digenggam erat oleh Joe.
Joe merengut seraya menyimpan kembali belatinya di sebelah pinggangnya. Sesaat Joe melihat Gabriel yang sedang menunduk, kemudian membuang muka.
Gabriel yang menyadari itu semakin tidak enak terhadap Joe. Yah sejak awal mereka bertengkar pun aku tahu Gabriel merasa dia telah bersalah membuat Joe marah padanya waktu itu.
"Ma-maafkan aku, Joe," ucap Gabriel meminta maaf.
Dia mendekati Joe yang tidak mau memberikan tatapan padanya. Joe membelakanginya. Gabriel yang tidak tahan segera memeluk Joe dari belakang. Lelaki bersurai abu-abu itu menangis sambil menggumamkan kata maaf berkali-kali.
Joe terdiam di tempatnya dia dipeluk oleh kakak ketiganya. Dia tidak berusaha melepas ataupun berkata kasar padanya lagi. Joe tidak menangis, tapi aku bisa melihat ekspresinya yang sedih. Ekspresi yang jarang Joe tampakkan. Tangannya terangkat menyentuh tangan Gabriel yang memeluk dirinya. Dia menepuk pelan tangan kakaknya.
"Kak Gabriel jangan melakukan hal berat sendirian lagi. Aku tidak suka itu. Aku membenci pekerjaan yang Kak Gabriel kerjakan waktu itu. Kak Gabriel tidak perlu membaca semua surat itu. Mereka tidak paham dengan keadaan kerajaan. Tidak usah Kak Gabriel jawab, karena itu akan sia-sia saja. Mereka tidak akan bisa mengerti keadaan kita. Diamkan saja mereka, Kak," ucap Joe mengungkapkan apa yang sebenarnya Joe benci dengan yang Gabriel lakukan di perpustakaan waktu itu.
Gabriel mengangguk cepat menuruti perkataan sang adik. "Iya, Joe. Aku tidak akan membuatmu kecewa padaku lagi. Daripada membaca surat-surat itu, lebih baik aku menghabiskan waktu bersama adikku yang manis," balas Gabriel sedikit serak karena menangis.
Aku tidak menyangka Genta bisa membuat keduanya kembali berbaikan. Kini aku berani mendekati mereka. Aku melangkah mendekat dan tersenyum senang kepada mereka. Termasuk juga untuk Genta.
"Genta, sebaiknya kau makan malam sekarang. Karena tidak bisa makan malam di sini, kau makan malam di kamarmu saja. Dan yang membuat kekacauan di sini, akan membereskannya juga. Benar, kan?" ucapku melirik kepada Gabriel dan Joe yang kelihatan agak pucat. Aku tersenyum jahil.
"Apa tidak Zata saja yang membereskan ini semua?" tanya Joe berusaha mengelak untuk tidak bersih-bersih.
"Kau kejam sekali, Joe. Zata bisa saja membereskannya, tapi kalian membuat ruang makan ini begitu kacau. Kalian berdualah yang harus membersihkannya," jawabku.
Joe mendengus sebal. Dia menyerah dan segera menatap Gabriel. "Ayo Kak kita bersihkan dulu." Haha, dia lucu sekali.
Gabriel tersenyum dan mengangguk kepada adiknya. Dia melepaskan pelukan dan mengusak gemas rambut pirang Joe. "Iya, Joe. Tapi yang pertama biar aku saja dulu yang melakukannya. Kau buatkanlah makan malam yang lezat untuk Genta. Dia belum makan malam. Dia pasti lapar."
Mata Joe berbinar. Dia mengangguk dan berdiri di hadapan Genta. "Kak Genta, aku akan memasak untukmu, ya!" ujarnya dan bergegas keluar untuk ke ruang dapur istana.
Tidak hanya Gabriel yang membersihkan ruang makan, aku juga ikut membantunya. Termasuk Zata yang terkejut melihat betapa berantakannya ruangan ini. Indra menyuruhku untuk tidak ikut membantu dan dirinya saja yang melakukannya, namun aku menolak karena aku ingin membantu.
"Hoaamm ... Sepertinya aku harus segera pergi tidur." Ades menguap. "Aku capek sekali."
"Kau mau tidur? Bukannya malam ini kita akan pergi lagi ke Famagisa?" ujar Genta mengingatkan Ades.
"Hah? Untuk apa?" Sepertinya Ades melupakannya.
"Tidak ikut juga tidak apa-apa. Malah aku akan lebih mudah lebih dekat dengan Princess," balas Genta kegirangan kalau kakaknya tidak akan ikut nanti.
"Hei, kau mau berusaha melangkahiku? Aku harus ikut. Memangnya Beauty sudah memutuskan siapa yang dipilihnya?" tanya Ades yang sepertinya telah mengingat maksud dari pembicaraan mereka.
"Dia memilihku," jawab Genta tersenyum sombong.
Seketika gerakan Gabriel yang sedang menyapu terhenti. Ades melongo. Dan Joe yang baru datang membawakan makanan untuk Genta, juga terkejut.
"Kak Genta serius?" tanya Joe. Dia memasang raut sedih. "Kak Genta mungkin sering menggoda Kak Sica, jadi Kak Sica memilih Kak Genta."
"Hum! Aku juga berpendapat seperti itu, Joe. Kita sehati," ucap Ades membuat Joe dalam sekejap memandang jijik kepada Ades.
Gabriel tampaknya tidak ingin berpendapat sama. Dia menoleh ke arahku dan lebih memilih bertanya padaku. "Apa itu benar, Queen?"
Aku menatapnya dan mengangguk. "Aku sudah memutuskan kalau Genta bisa melawan partner sihir Miss Delisa dan membawa kalung mutiara sihir untuk kalian berempat. Aku percaya pada kekuatan kalian berempat, tapi karena aku harus memilih salah satu, aku memilih Genta untuk syarat malam ini."
Gabriel tampaknya sudah mengerti. Dia mengangguk. "Ya, kalau kau memilihnya aku tidak akan khawatir. Genta punya partner sihir yang kuat. Hanya saja, kami belum tahu bagaimana kekuatan partner sihir milik gurumu, Queen."
Joe menghela napas seraya menyerahkan nampan yang di atasnya terdapat hidangan makan malam kepada Genta. "Aku juga tidak terlalu keberatan. Kuharap Kak Genta bisa mengalahkan partner sihir itu, sekuat bagaimana pun lawannya. Kak Genta pasti bisa melakukannya."
Ades merangkul adik keduanya itu. "Haha! Adikku, aku tidak jadi mengantuk karenamu. Aku harus melihat pertarunganmu malam ini. Kalau kau menang, aku akan memperbolehkanmu tidur berdua di kamarku." Ah, apa tidak ada hadiah lain?
Mendapat dukungan dari saudara-saudaranya, Genta merasa terharu dan bersemangat ingin mengalahkan partner sihir Miss Delisa malam ini. Dia tersenyum cerah dan mengepalkan tangannya erat-erat.
"Jangan khawatir, saudaraku. Aku tidak akan mengecewakan kalian."
⚡
Malam ini juga setelah menunggu Genta makan malam dan ruang makan yang sudah kembali sediakala, kami sepakat pergi Akademi Famagisa dengan bantuan kuas sihir. Tidak hanya empat pangeran yang ikut, Kanta beserta partner sihirnya yang bernama Leila juga ikut untuk melihat. Termasuk Indra.
Fox dan Zata tidak ikut karena memiliki alasan mereka masing-masing. Fox ingin menikmati waktunya malam ini di atas atap istana melihat hamparan bintang, sedangkan Zata ingin menjaga istana Avalous agar tetap aman. Fox juga menjaga istana dari luar. Meski tidak ikut, mereka tidak lupa mendoakan dan mendukung Genta agar menang.
Sekarang kami ada di dalam ruangan Miss Delisa, di sekolah Akademi Famagisa. Miss Delisa menyambut kami dengan hangat.
"Selamat datang para pangeran Avalous, pangeran Kanta, dan murid kesayanganku Sica," ucap Miss Delisa ramah. "Sesuai rencana yang aku beritahukan, malam ini akan ada pertarungan antara partner sihirku dengan partner sihir milik salah satu dari keempat pangeran Avalous. Sica, siapa yang kau pilih?"
Aku tahu Miss Delisa akan mempertanyakannya padaku. Dengan siap dan keyakinan kuat aku menjawabnya tanpa ragu.
"Saya memilih pangeran Genta Avalous sebagai lawan partner sihir Anda, Miss," jawabku.
Miss Delisa tersenyum. Dia melihat ke arah Genta yang begitu terlihat serius dan siap bertarung dengannya kapan saja.
"Aku siap untuk bertarung dan membawa pulang kalung mutiara sihir darimu," ujar Genta kepada Miss Delisa.
Miss Delisa tertawa kecil. "Apa pangeran yakin akan semudah itu membawa kalung mutiara sihir milik saya?"
Ucapan Miss Delisa seketika membuatku merinding. Aura kuat dari dalamnya terasa jelas beserta bisa merasakan kekuatan sihir yang lebih kuat daripada punyaku. Bahkan Indra lebih memilih berdiri di belakangku ketimbang berdiri di samping. Aku yakin yang lain juga merasakannya.
"Ka-Kak Sica, kenapa perasaanku tidak enak?" Joe mendekatiku sambil memeluk dirinya sendiri.
"Queen, aku rasa ada yang salah dengan suhu di dalam ruangan ini. Seketika menjadi dingin sekali," ucap Gabriel terheran dengan perubahan suhu ruangan.
Sedangkan Ades sedang berbincang dengan Kanta. "Oh ya, malam ini aku akan mengganti perbanmu. Ingatkan aku, ya." Sepertinya Ades tidak merasakan apa-apa atau mungkin mengabaikannya.
"Aku tidak pernah menghadapi aura sihir yang begitu kuat." Leila yang sering lebih cenderung pendiam, juga merasakan hal yang sama.
Ucapan Leila membuatku khawatir terhadap Genta. Apa yang Genta rasakan sekarang? Aku menduga dia juga meraskan hal yang sama. Hanya saja, kulihat Genta tidak mundur satu langkah pun dari hadapan Miss Delisa.
"Ya," jawab Genta tak gentar. Miss Delisa terlihat terkejut kemudian kembali tersenyum.
"Baiklah, pangeran. Kita akan bertarung di tempat terbuka karena ruangan tertutup bisa beresiko merusak ruangan dan barang-barang. Mari semuanya ikut aku," ajak Miss Delisa. Dia berjalan keluar dari ruangannya lebih dulu, diikuti oleh Genta dan kami semua.
"Kak Genta tidak merasa bergetar sama sekali," bisik Joe kepadaku.
"Itu karena dia mengabaikan perasaan itu dan benar-benar sudah siap untuk mengalahkan Miss Delisa," balasku berbisik padanya.
"Wow, jadi ini yang namanya Akademi? Koridor ini benar-benar panjang," komentar Ades yang terlihat begitu memperhatikan sekitarnya. "Ada banyak sekali pintu. Hampir sebesar istana."
"Ah, apa para pangeran tidak pernah pergi ke sekolah?" tanya Miss Delisa.
"Sekolah? Apa itu?" tanya Joe bingung menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku tahu apa itu sekolah, tapi kami tidak mengikuti sekolah dan hanya belajar dari nol dengan guru privat masing-masing sejak kami kecil," ucap Gabriel memberitahu.
Miss Delisa tersenyum. "Sekolah adalah sebuah tempat di mana kita harus belajar dan mengikuti semua aturan yang ada di sekolah. Ada banyak materi yang harus dipelajari oleh semua murid di sekolah. Tidak hanya pelajaran sihir, pelajaran hitung, bahasa, sosialisasi, juga alam adalah mata pelajaran yang wajib kalian pelajari."
Joe menghela napas malas mendengarkan ucapan Miss Delisa. "Kelihatannya membosankan semua."
"Sepertinya menyenangkan," komentar Gabriel. Dia menatapku. Aku rasa dia penasaran denganku karena aku adalah murid di Akademi ini.
"Kalian masih muda dan kurasa kalian bisa mencoba merasakan kehidupan di Akademi," ucapku riang.
"Aku tidak mau. Aku benci belajar," tolak Joe langsung.
"Benarkah? Aku ingin mencobanya!" Gabriel tampak lebih bersemangat.
"Apa tidak ada pelajaran tidur siang atau semacamnya?" tanya Ades sesudah menguap.
Reaksi mereka bertiga sungguh berbeda. Tapi Genta tidak ikut membahas. Dia lebih berfokus untuk menyelesaikan tujuannya dulu ketimbang membicarakan hal lain.
"Baiklah, anak-anak. Kita sudah sampai," ucap Miss Delisa begitu kami tak sadar sudah ada di luar koridor sekolah, tepatnya di area lapangan sekolah yang begitu luas. Area yang khusus untuk menguji sihir para murid di Akademi. "Yang lain kecuali pangeran Genta, berdiri di garis putih. Jangan menonton terlalu dekat, karena itu bisa membahayakan nyawa kalian."
Aku beserta yang lain berjalan ke pinggir lapangan berdiri tepat di garis putih. Genta berdiri di tengah lapangan, begitu juga Miss Delisa. Mereka mengatur jarak masing-masing. Pertarungan partner sihir milik seorang bangsawan dengan milik seorang guru sihir sepertinya akan segera dimulai.
"Hehe, Master, apa partner sihirnya masih mengenalku apa tidak, ya? Sudah berapa tahun aku tidak melihatnya?" Indra kelihatan tidak sabar.
"Kurasa masih ingat. Bukankah kalian pernah bertemu dan bertarung dua tahun yang lalu?" ujarku mengingatkan Indra.
Sebelum kami ke Famagisa, aku sempat menjelaskan secara singkat tentang partner sihir Miss Delisa kepada Genta. Kuharap Genta bisa memanfaatkan informasiku ke dalam pertarungan.
"Kurasa ini akan jadi pertarungan yang begitu menarik," kata Indra optimis. "Kenapa kita tadi tidak membawa camilan?"
Aku tidak mungkin bisa makan camilan dengan santai sambil menonton mereka berdua bertarung. Ini saat di mana Genta akan menghadapi kekuatan sihir yang begitu kuat. Aku terus berharap semoga Genta akan memenangkan pertarungan ini dengan cepat.
Genta mulai bersiap. Begitu juga Miss Delisa. Mereka akan mengeluarkan partner sihir mereka bersamaan.
Tangan kanan Genta bergerak ke bawah, membungkuk sedikit menekuk sebelah lututnya untuk menyentuh tangannya ke permukaan lapangan. Dia mengeluarkan kekuatan sihirnya. Sebuah lingkaran sihir pemanggil roh berwarna hijau bercampur biru muncul perlahan dari kekuatannya yang sudah lama tidak dia keluarkan.
"Sihir pemanggil ..." Kurasa simbol pemanggil roh telah ada di bagian keningnya. Aku bisa melihat cahayanya yang berwarna sama dengan lingkaran sihirnya dari kejauhan. "PONY, AKU MEMANGGILMU!"
Sesosok roh sihir sebentar lagi akan muncul dari lingkaran sihirnya yang tidak berhenti bercahaya dengan terang. Bukannya keluar secara perlahan seperti roh sihir biasanya, roh bercahaya itu keluar dengan cepat terbang ke langit dan begitu cahaya di sekitar roh itu hilang, aku bisa melihat penampakan partner sihir milik Genta.
"Partner sihirnya punya sayap?" Aku jarang melihat roh sihir yang berbentuk seperti malaikat. Aku terpesona melihat kecantikan partner sihir itu.
Partner sihirnya adalah wanita cantik berambut panjang berwarna hijau sama seperti surainya. Dia memiliki telinga yang unik. Ada sebuah tanduk yang runcing di bagian tengah keningnya. Dia mengenakan gaun sepaha tanpa lengan berwarna putih disertai warna biru tua di bagian sisi kanan dan bawah. Dia memiliki sepasang sayap putih yang indah. Senjata yang dia pegang sepertinya adalah sebuah tongkat sihir yang begitu panjang.
"Master, akhirnya saya dipanggil kembali. Mana yang harus saya habisi untuk Anda?"
To be continue ⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top