It is Beautiful : 37
"Joe!"
Amarah Joe membuat aura di sekitarnya terasa dingin. Langkahnya tidak berhenti juga berjalan walau aku sudah memanggilnya berulang kali.
"Master, apa yang sudah terjadi?"
Pertanyaan Indra terdengar menanyakanku apa yang sudah terjadi di atas tadi. Aku menoleh sebentar untuk menjawab Indra dengan cepat.
"Nanti saja aku ceritakan, Indra." Aku tak bisa menjawab apa yang terjadi jika aku tidak membuat Joe tenang dulu. Kalau dia berlama-lama marah dan memendam benci kepada kakaknya sendiri, masalah akan semakin sulit untuk kembali menyatukan mereka.
Indra memang masih ada di perpustakaan karena sedang membaca buku. Aku melihat Joe keluar dari perpustakaan. Segera aku berlari mengikuti ke mana arah langkahnya pergi.
"Joe! Tunggu!" Terasa susah payah aku mengikutinya karena dia berjalan sangat cepat. Aku mengulurkan tanganku untuk menggapai tangannya.
Tapi, Joe tiba-tiba berhenti dan berbalik, membuatku tak sempat menghentikan langkah hingga tak sengaja aku menabrak dada bidangnya. Aku melangkah mundur sedikit untuk memberikan jarak. Akhirnya dia berhenti berjalan.
"Hahh ... Hahh ... Joe ... Langkahmu cepat sekali," kataku dengan napas terengah-engah karena lelah napas dalam mengejar Joe.
Kedua tanganku bertumpu memegang kedua lutut yang tertutup oleh gaun biru bermotif kotak-kotak. Selesai mengatur napas, aku pun menggapai sebelah tangannya dan kembali berdiri dengan tegak. Aku menatapnya lekat.
"Joe, aku tahu bagaimana perasaanmu. Kemarahanmu atas selalu sibuknya Gabriel tanpa bisa meluangkan waktu untukmu dulu. Tapi aku rasa hari ini kau cepat marah, Joe. Aku tidak tahu kenapa dengan dirimu, tapi kau harus mengerti kalau Gabriel tidak punya waktu untuk kita dulu. Kalau pekerjaannya sudah selesai, dia pasti akan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dengan saudara-saudaranya," kataku berusaha untuk membuat Joe tidak terus jatuh dalam kebencian hanya karena Gabriel tidak bisa meluangkan waktu.
"Kau tidak tahu pekerjaan apa yang dia lakukan," balas Joe dingin. Bahkan mata biru langit itu menatapku seperti dirinya tadi menatap musuh kepada Gabriel. "Dia mengerjakan hal yang tidak penting. Membaca semua surat-surat itu membuang-buang waktu saja, Kak. Kak Sica dengar yang aku katakan di sana, kan? Dia sedang membaca semua keluhan penduduk kota. Itu tidak ada gunanya karena tidak ada yang bisa dilakukan untuk membuat penduduk kota tenang seperti dulu."
Aku tidak tahu harus membalas apa kepada Joe sekarang. Mungkin Joe benar atau Gabriel membacanya karena ingin tahu semua isi surat itu dan bisa saja akan diberitahukan kepada Raja dan Ratu Avalous jika mereka sudah bebas dari Ratu Alta Apolous.
Tapi memang bisa dibilang aneh dan membuang waktu jika surat-surat itu dibaca semua tanpa sekarang bisa menyelesaikan semua keluhan penduduk. Sebenarnya, apa maksud Gabriel membuka dan membaca semua surat itu?
Mataku beralih ke bawah tak menatap matanya lagi. Aku tidak suka dia menatapku dingin seperti itu. Seakan-akan aku sudah membuat sesuatu yang tidak menyenangkan kepada Joe. ".... Aku memang tidak tahu dan tidak mengerti dengan pekerjaan apa yang sedang Gabriel kerjakan. Tapi, seharusnya kau jangan sampai marah begitu. Apalagi kepada kakakmu sendiri. Aku yakin Gabriel tak mau ini terjadi."
Joe melepaskan genggaman tanganku dan itu tidak bisa diduga sama sekali. Lalu aku melihat sosok pangeran termuda itu berjalan menjauh, meninggalkanku tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi.
Mataku berkaca-kaca dan penglihatanku semakin tidak jelas. Sampai aku merasa ada setitik demi titik air jatuh meluncur ke pipi dan jatuh ke lantai yang dingin. Aku tak bisa melihat ini terus terjadi. Sudah lama saat aku berhasil menyatukan Joe dan Gabriel. Tiba-tiba ini semua terjadi. Padahal awalnya semuanya baik-baik saja.
Sesuatu kurasakan hangatnya dari belakang. Seseorang memeluk diriku dengan lembut. Menghangatku dari hawa dingin yang menyedihkan tercipta kala air mataku tak mau berhenti walau tak ada suara dalam tangisku. Siapa yang memelukku?
"Putri, jangan menangis."
Aku mengenali suara pria ini. Seharusnya aku tahu dari awal sebelum mendengar suaranya dengan melihat tangan berwarna kulit sawo matang ini.
"Zata?" Kepalaku mendongak untuk melihat dirinya yang memelukku dari belakang.
Dia menunduk untuk melihatku juga dan memberikan senyuman yang menenangkan. "Ya, Putri. Ini aku," Tangan Zata kemudian menghapus air mataku dengan lembut. "Menangis sama sekali tidak cocok untukmu. Tersenyumlah kembali, Putri."
Aku tersenyum tipis. Zata berusaha untuk menghiburku.
"Senyumanmu itu kurang, Putri. Lebih lebar lagi, seperti ini!" Zata menampakkan senyuman miliknya yang lebar. Dan itu membuatku tertawa. Zata ikut tertawa bersamaku. "Hahaha! Nah, begitu. Tersenyum."
"Terima kasih, Zata," ucapku. Zata segera melepaskan pelukannya dan aku bisa berbalik untuk menghadapnya.
"Sama-sama," balas Zata lembut. "Apa terjadi sesuatu sehingga membuatmu menangis?"
"Hehehe ... Hanya tidak suka melihat mereka bertengkar lagi."
"Eh? Siapa?"
"Joe dan Gabriel. Mereka saling menatap dingin dan tak saling peduli lagi. Aku rasa mereka sekarang sedang bermusuhan." Aku menunduk sesudah mengatakan itu kepada Zata.
Zata tersenyum. "Menurutku, wajar saja jika hubungan saudara bisa menjadi dingin karena suatu masalah. Tidak ada kehidupan tanpa sebuah masalah."
Aku menghela napas mendengar itu dari Zata. "Aku tahu itu. Tapi, kalau ini dibiarkan, mereka akan saling membenci seperti dulu."
"Hmm ..." Zata terlihat berpikir. Aku menatapnya dengan penasaran. Apa Zata sedang memikirkan cara untuk menyatukan Joe dan Gabriel lagi? Aku harap begitu. "Kalau soal membuat mereka kembali berdamai, ada banyak cara sebenarnya."
"Ada banyak cara?? Yang benar saja. Aku saja sekarang tidak mendapat ide sama sekali untuk itu," kataku dengan terkejutnya. "Tapi jika kau mengatakan ada banyak, berarti kau bisa membantuku untuk menyatukan mereka kembali!" seruku.
"Tentu saja. Aku akan membantu. Apalagi Pangeran Joe dan Pangeran Gabriel adalah calon atasanku. Aku harus membantu mereka," balas Zata dengan senang hati ingin membantu. Ah, aku tertolong.
"Apa saja cara yang kau tahu, Zata? Ayo beritahu aku," pintaku dengan pandangan mata menarik menatap matanya tanpa beralih dengan senyum mengembang.
Zata melekatkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Aku akan memberitahumu, tenang saja. Tapi sebelum itu, aku harus menerima tes dari keempat pangeran Avalous untuk mendapatkan pekerjaanku. Semoga aku diterima bekerja di sini."
Ah, benar juga. Aku hampir melupakan tentang tujuan Zata di istana ini. Aku mengangguk mantap dan tersenyum lebar padanya. "Kau pasti diterima, Zata. Aku yakin itu. Kami membutuhkanmu di istana ini. Juga setelah itu aku juga akan berusaha untuk membantu mencari calon pekerja istana lain lagi untuk Avalous. Perlahan-lahan, semuanya pasti akan kembali seperti semula."
"Hm, kalau begitu aku juga akan membantu mencari orang untuk bekerja di sini juga," kata Zata.
"Benarkah? Zata, kau sangat baik! Terima kasih," ucapku sangat senang. Berkat Zata, aku sudah tidak terlalu sedih lagi karena tidak lama lagi Joe dan Gabriel pasti akan kembali akur.
⚡
Jam 3 tepat. Bahkan sudah lewat sepuluh menit. Waktunya Zata dites akan segera dimulai.
Masing-masing pangeran memberikan minimal dua tes untuk melihat kemampuan Zata. Setelah melewati delapan tes, Zata akan menunjukkan apa yang paling bisa Zata lakukan untuk menarik hati para pangeran agar dirinya diterima.
Pertama yang akan mengetes Zata adalah Pangeran Genta. Sekarang kami ada di perpustakaan istana. Tidak ada hanya Indra di sini untuk menonton. Ada Fox dan Leila yang juga penasaran akan acara tes-tesan tersebut.
Soal Gabriel aku tidak ingin menggubrisnya dulu. Melirik lantai 2 perpustakaan ini saja tidak karena tidak ingin melihatnya dulu. Mungkin dia masih ada di atas sedang mengerjakan pekerjaan yang dibilang Joe tidak penting itu.
Oh iya, sebelumnya aku tidak tahu pangeran Fox pergi ke mana selagi menunggu jam 3. Dia tidak mencariku atau bersama Genta. Aku berdiri di sampingnya dan menyapanya.
"Hai, Fox," sapaku pada pangeran berambut biru tua ini. "Tadi kau pergi ke mana?" tanyaku.
Fox menoleh ke arahku. "Hai," balasnya singkat menyapa dengan nada khas datarnya itu. "Ke halaman istana ini. Hanya duduk dan menikmati alam. Kau mencariku?" tanya Fox setelah menjawab.
"Iya, aku mencarimu," jawabku. "Kau pergi ke sana? Kenapa kau tidak mengajakku?" Aku cemberut ke arahnya dan membuat Fox terlihat bingung.
"Mm ... Kupikir kau akan bosan jika aku mengajakmu ke sana bersamaku," jawab Fox sambil mengelus tengkuknya tidak enak tanpa menatapku.
"Justru aku akan sangat senang kalau kau mengajakku, Fox," kataku mengalihkan pendapatnya dan Fox menatapku kembali dengan malu-malu.
"... Baiklah. Lain kali akan kuajak," kata Fox dengan suara pelan tapi sudah jelas dirinya akan mengajakku jika dia pergi ke sana lagi.
"Hmm~ lihatlah, ada yang sedang bicara berdua seolah dunia milik berdua," goda Ades tiba-tiba dirinya datang yang sebenarnya mengganggu kesenanganku saja. Apalagi Ades datang dengan cara memelukku dari belakang. "Aku juga mau bicara berdua dengan Beauty. Tentang kapan tanggal pernikahan kita."
"Arghh!! Ades! Lepaskan pelukanmu!" geramku tidak senang karena Ades yang menyebalkan ini kembali suka menggodaku. Aku meronta dalam pelukannya tapi Ades malah mempereratnya. Aku ingin berteriak tapi aku ingat ini perpustakaan. Tunggu. Ini kan bukan perpustakaan sekolah.
"Kurang erat, ya? Sudah kueratkan tadi, jadi kau akan semakin hangat dalam pelukanku yang paling hangat di dunia," Ades begitu memanfaatkan peluangnya dalam melakukan ini dan aku tidak menyukai ini sama sekali.
Aku melihat Indra datang ke arah kami. Dia menyentuh lengan Ades dan sepertinya Indra melakukan sesuatu yang membuat Ades melepaskan pelukannya. Aku melihat tangan Indra baru saja mengeluarkan sihir petirnya untuk Ades. Ternyata dia telah membuat Ades tersengat oleh petirnya walaupun dengan kekuatan kecil saja.
"Master saya tidak ingin dipeluk olehmu. Jadi Anda harus melepaskannya," kata Indra kepada Ades dengan nada yang tetap rendah sebagai tanda dia tetap menghormati orang bangsawan. Indra menarik tanganku dan segera berganti dirinya yang memelukku.
Ades mengelus sebelah lengannya yang tadinya disengat kejut oleh sihir petir Indra. Dia tersenyum miring. "Wah, jadi aku punya saingan baru? Tunggu, boleh aku tanya, apa yang tadi kau lakukan pada lenganku? Rasanya menyenangkan! Bolehkah aku merasakannya lagi?"
Hebat. Indra telah membangunkan sisi penyuka rasa sakit Ades dengan hanya sekali sihir saja. Aku melihat ekspresi Indra yang tampak bingung dengan permintaan Ades. Merasa tak ada bahaya lagi, Indra melepaskan pelukannya.
"Anda tidak apa-apa, Master? Apa Master terluka?" tanya Indra menatap cemas padaku. Sepertinya dia memilih mengabaikan Ades yang memandang berbinar-binar ke arahnya.
"Aku tidak apa-apa, Indra. Aku hanya diusik oleh pangeran genit. Aku sudah sering menerima gombalan dan tindakan anehnya. Terima kasih, Indra," jawabku tersenyum padanya.
"Semuanya berkumpul di perpustakaan, ya? Mengadakan pesta, kah?" Suara Kanta membuatku menoleh cepat ke arah sumber suara. Rupanya Kanta baru saja datang.
"Kanta!" Aku memanggil namanya sambil melambaikan tanganku padanya. Kanta melihatku dan balas melambai sambil tersenyum cerah. Dia berjalan menghampiri kami yang ada di sini.
"Ades, kau sudah benar mengobatinya, kan?" tanyaku menoleh kembali ke arah Ades.
"Iya. Dan sebentar lagi lukanya akan segera menutup sempurna dan memudar," jawab Ades.
Kanta mengangguk mengiyakan. "Tenang saja, Lady. Aku akan segera sembuh. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi padaku."
Leila juga mendekat ke arah kami dan memastikan keadaan Kanta. "Master akan segera sembuh? Syukurlah," Dia terlihat lega dan senang karena Kanta akan tetap baik-baik saja.
"Waaah! Senang sekali mendengarnya. Ades, kau sangat hebat! Aku tahu kau dapat diandalkan soal medis karena obatmu sangat manjur," pujiku kepada Ades.
Ades tampak terkejut setelah aku memujinya seperti itu. Pipinya sedikit merona dan kedua tangannya yang besar itu menutup seluruh wajahnya. Awalnya aku tak mengerti kenapa dia menutup wajahnya seperti itu. Tapi aku mengerti setelah Kanta membisikkan sesuatu di telingaku.
"Dia sepertinya malu karena kau memujinya."
Aku tersenyum dan tertawa kecil bersama Kanta. Ini langka sekali karena bisa melihat Ades malu karena dipuji. Selain Joe, ternyata Ades bisa menjadi pangeran yang lucu disaat dirinya sedang malu saja.
Tampaknya Ades mendengar kami. Dia tidak menyembunyikan wajahnya lagi dan terlihat ekspresi malu itu sungguh jelas padanya.
".... Beauty, terima kasih atas pujiannya .." ucap Ades pelan. Kemudian dia tersenyum padaku. Yah, walaupun dia menyebalkan tapi dia punya rasa malu juga. Baguslah kalau dia bisa sedikit lebih waras.
Mengingat Joe, aku teringat kejadian saat Joe meninggalkanku tanpa mendengarkan apa yang aku katakan padanya. Membuatku kembali merasa sedih. Apalagi aku belum menceritakan tentang kejadian Joe dan Gabriel tidak akur kembali kepada Ades dan Genta. Aku akan mencari waktu yang pas untuk memberitahu mereka. Jadi kurasa untuk yang terbaiknya sekarang, mereka fokus melakukan tes kepada Zata dulu.
"Zata Devian, kau siap menerima dua macam tes dariku?" tanya Genta tersenyum ramah kepada Zata. "Kalau kau siap, aku akan menyebutkan beberapa peraturan yang kubuat dan kau harus mematuhi semuanya."
"Tentu saja saya siap, Pangeran," jawab Zata mantap. "Saya sudah lama menanti-nantikan ini. Kapanpun saya siap untuk dites. Dan saya akan menerima semua tes termasuk peraturan dari Anda."
Genta mengangguk. "Jawaban yang cerdas, Zata Devian. Baiklah, jika niat dan tekadmu sudah sangat bulat, aku akan langsung menyebutkan beberapa peraturannya," kata Genta dan segera menjelaskan. "Peraturan pertama, jangan mengeluh disaat sedang melakukan tes. Peraturan kedua, jangan berisik. Dan yang terakhir adalah, jangan menangis. Kalau kau melanggar satu saja, tesmu dianggap gagal. Kau mengerti?"
To be continue ⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top