It is Beautiful : 36
Aku dan Kanta lumayan lama membicarakan soal sihir kedua maupun sihir ilusi yang Kanta kuasai. Tapi tidak sampai menuju jam 3 dikarenakan Ades tiba-tiba datang mengetuk pintu dan mengatakan kalau Kanta harus diperiksa luka di tubuhnya untuk pengobatan terakhir. Kata Ades aku tidak boleh melihat selama pengobatan, jadi aku hanya berharap semoga Ades bisa menyembuhkan Kanta secepatnya.
"Tadi juga Kanta tidak sempat mengajariku cara mempelajari sihir ilusi," gumamku sambil berjalan sendiri menelusuri lorong istana, yang entah akan membawaku ke mana karena aku tak punya tujuan. Aku melihat jam bahwa setengah jam lagi jam 3 akan segera datang.
"Kak Sicaaaa ...!"
Suara dari pangeran keempat Avalous yang memanggilku terdengar dari belakang. Aku menoleh dan mendapati sosoknya sedang berlari ke arahku. Aku tersenyum lebar dan melambaikan sebelah tanganku. Ternyata Joe sudah bangun dari tidur siangnya.
"Joe!" seruku memanggil namanya juga. Saat Joe sudah sampai di depanku, dia langsung menghamburkan pelukan dan hampir saja keseimbanganku goyah.
"Hai, Kak Sica," sapa Joe lagi dengan mata berbinar. Dia melepaskan pelukannya. "Aku tadi bermimpi indah, lho!"
Aku tersenyum manis melihatnya yang terlihat imut sehabis dia mengatakan itu. Tidak tahan, aku mencubit sebelah pipinya. Lagipula ia tidak keberatan dan tampak menerimanya saja walau akhirnya dirinya yang menarik tanganku dari pipinya.
"Oh ya? Memangnya tadi Joe mimpi apa?" tanyaku ingin tahu apa yang dimimpikan oleh Joe sampai lelaki ini sangat bersinar sehabis tidur siang.
"Aku bermimpi ada pesta dansa di istana!" jawab Joe memberitahukan isi mimpi indahnya padaku. "Pesta dansa itu adalah hari memperingati lahirnya kerajaan Avalous. Semua yang ada di istana, termasuk para undangan, datang untuk merayakan. Semua terlihat bahagia. Apalagi melihat Kak Sica memakai gaun indah dan ikut berdansa! Pesta menjadi semakin meriah karena Kak Sica juga hadir. Itu adalah mimpi paling indah yang pernah aku mimpikan!"
Pandanganku tak teralihkan ke mana-mana dari Joe yang bercerita. Mimpi Joe memang sangat indah dari apa yang aku dengarkan saat lelaki ini mengatakan semuanya. Termasuk saat Joe berkata kalau aku juga ada di dalam mimpinya dan memakai gaun indah. Rasanya hatiku sangat senang karena bisa menjadi bagian dari mimpi indahnya Joe.
Tanganku menuju pucuk kepalanya dan mengelusnya dengan lembut. "Mimpi yang sangat indah, Joe," kataku senang atas mimpi indahnya. "Aku tidak menyangka jika aku juga masuk ke dalam mimpimu. Hihi! Kau sangat manis, Joe. Hm, padahal aku tak terlalu pandai berdansa."
"Kak Sica tidak terlalu pandai berdansa?" tanya Joe mengulangi apa yang aku katakan. Dia memegang kedua tanganku dan mengayun-ayunkannya ke kiri dan kanan. "Aku bisa mengajari Kak Sica berdansa!"
Aku tertawa kecil dan membiarkan tangan Joe mengayun-ayunkan tangan kami yang saling bertautan. "Sungguh? Apa jangan-jangan dari kalian berempat, Joe yang paling pandai berdansa?"
Joe membuka mulutnya lagi ingin menjawab pertanyaanku, tapi seseorang sudah lebih dulu menyela menjawab pertanyaanku yang seharusnya bukan orang itu yang menjawab.
"Lebih tepatnya aku yang paling jago dalam berdansa," kata Genta yang tiba-tiba saja telah hadir ikut pembicaraanku dengan Joe. Sedangkan Joe yang menyadari kalau itu adalah kakak keduanya, langsung menoleh dan menatap dengan tajam.
"Hah? Bukannya kau yang lebih payah dalam berdansa ketimbang yang lain?" lempar Joe membalikkan fakta yang mungkin saja dikatakan Joe memanglah benar.
"Ehm," Genta berdeham dan bersedekap. "Sama sekali tidak benar. Aku hanya selalu berhalangan saat para putri dan gadis-gadis cantik ingin berdansa denganku. Itu saja." Oke, sepertinya Genta benar-benar tidak bisa berdansa.
Joe menatap malas dan datar kepada Genta. "Ya, terserah Kakak saja. Walaupun nyatanya kau harus banyak belajar. Padahal kau ini lebih tua dariku. Kenapa adiknya yang malah lebih pintar dibanding kakaknya? Menyedihkan sekali."
"Aghh ..." Genta menyentuh dadanya, terduduk lemas dengan kedua lutut yang menyentuh lantai. Seakan-akan ia baru saja dilukai dengan anak panah dengan racun yang sangat mematikan. "Adikku Joe sangat jujur padaku. Aku terharu .." Dia menangis buaya.
Tidak heran lagi dengan setiap perkataan Joe yang pedas dan menyakitkan jika lelaki ini merasa dirinya yang paling benar diantara yang lain. Tapi jika sangat baik, dia akan menjadi anak yang imut dan penurut.
"Oh iya Kak, aku juga mau menceritakan mimpi indahku ke Kak Gabriel dan Kak Ades!" ujar Joe yang kembali menoleh padaku dan berbeda sekali pada sikapnya yang barusan kepada Genta. Dia kembali tersenyum manis kepadaku seolah barusan dia tidak bersikap dingin pada seseorang sebelumnya. Dan sebenarnya, hal ini sedikit menyeramkan.
"Hm, untuk sekarang kita jangan menemui Ades dulu, karena dia sedang mengobati luka Kanta di ruang obat istana," kataku memberitahukan kabar Ades melakukan apa sekarang.
"Oh? Jadi, kita datangi Kak Gabriel saja?" tanya Joe.
"Iya, tepat sekali. Tapi jika itu tidak mengganggunya sedang mengerjakan sesuatu," jawabku dengan ragu. "Bagaimana menurutmu, Joe?"
"Memangnya Kak Gabriel ada di mana?"
"Ada di perpustakaan, sedang mengerjakan sesuatu di meja. Lebih tepatnya di lantai atas perpustakaan istana."
Joe terlihat sedang berpikir. Sedangkan aku menunggunya kembali bersuara. "Emm ... Aha! Kita akan membawakan sesuatu untuk Kak Gabriel, jadi sekiranya kita tidak bermaksud mengganggunya."
"Membawakan sesuatu?" ulangku tidak mengerti dengan ide milik Joe. "Misalnya membawakan apa?"
"Sesuatu yang bisa membuat kepalanya tidak berat dan mengantuk saat bekerja. Misalnya membawakannya camilan dan minuman hangat," jawab Joe mencoba menjelaskan agar aku mengerti.
"Oohh ...!" Aku ber-oh ria. Sekarang aku mengerti maksud Joe. Kedua telapak tanganku saling bertabrakan membuat suara tepuk satu kali. "Gabriel suka teh hangat. Kita bawakan secangkir teh hangat untuk merilekskan tubuh dan pikirannya karena dia sudah terlalu lama berkutat pada banyak kertas di mejanya!" seruku mendapat ide untuk memberikan minuman hangat kepada Gabriel.
"Lalu juga dengan sepotong kue cokelat lapis yang tidak terlalu manis di atas piring kecil. Kak Gabriel penggemar makanan manis, tapi aku ingat kalau itu bisa membuat siapa saja terkena diabetes karena terlalu banyak mengonsumsi manisan," kata Joe juga ikut memberi ide untuk memberikan sesuatu kepada Gabriel. "Jadi, aku menurunkan takaran manisan dalam kuenya."
Mendengar kalau Gabriel penggemar makanan manis, tentunya pemuda itu juga suka minuman yang manis-manis. "Jadi, apa di dalam tehnya hanya satu sendok gula? Biasanya aku menuangkannya dua sendok," tanyaku.
"Hmm ... Dikurang setengah sendok. Jadi nanti dituang satu setengah sendok gula saja," jawab Joe. "Tapi karena ada kue manis di samping teh, sebaiknya satu sendok saja dulu."
Aku mengangguk mengerti mendengar jawaban jelas Joe. "Kalau begitu, langsung saja kita ke dapur untuk menyiapkan semuanya!" seruku mengajak Joe ke dapur.
Joe mengangguk senang dan segera menarik tanganku dengan cepat berjalan lebih dulu untuk menuju ruang dapur istana. Meninggalkan Genta yang kami abaikan di sana. Dia sedang duduk-duduk saja di lantai dengan lesu. Padahal aku ingin mengajak Genta juga, tapi Joe sudah duluan lebih cepat menarik diriku.
Sampai di dapur, kami berdua langsung bergerak menyiapkan apa yang kami sebutkan. Aku membuatkan secangkir teh hangat untuk Gabriel. Sedangkan Joe mengambil kue cokelat simpanan di lemari dan memotongnya seukuran muat di piring kecil. Tidak lupa kami membawanya dengan nampan.
Kami saling melempar senyuman lebar dan tawa kecil sesudah menyiapkan hadiah kecil untuk Gabriel yang suka kesibukan. Hanya 5 menit untuk mempersiapkan ini dan kami yakin Gabriel akan menyukainya.
Begitu semua sudah siap, kami berdua keluar dari dapur dan kembali menelusuri tiap lorong istana untuk sampai di perpustakaan.
"Kakak pasti akan sangat senang karena kita perhatian padanya!" seru Joe tersenyum manis padaku. Bukan lagi karena mengonsumsi gula, makhluk ciptaan Tuhan ini saja sudah cukup membuat rasa hambar menjadi begitu manis.
"Tentu saja. Apalagi yang mengusulkan ide ini adalah Joe. Kakakmu akan menjadi semakin sayang padamu," balasku tak kalah senangnya dan juga tidak sabar untuk segera mengantarkan minuman ini kepada Gabriel. Sekaligus di bagian yang ingin kulihat, di mana Joe sedang menceritakan mimpi indahnya kepada Gabriel. Ah, rasanya aku ingin sekali mengabadikan momen tersebut.
Sampainya di perpustakaan, pandangan pertamaku tertuju ke arah Indra yang sedang membaca sebuah buku. Indra yang menyadari pergerakan baru di pintu perpustakaan, menoleh dan segera menutup buku yang ia baca.
"Master, Pangeran Joe," sapa Indra dengan senyuman dan tatapan yang teduh. Ia berjalan menghampiri kami, tapi Joe mengabaikannya dengan berjalan melewatinya langsung melangkah menaiki anak tangga perpustakaan.
"Hai, Indra," balasku menyapa. "Kau sendirian membaca buku? Tidak bersama Leila? Dan sebelumnya aku melihatmu main catur dengan Genta. Aku ingin tahu siapa yang menang dalam permainan catur kalian."
"Saya yang menang, Master. Selama lima kali kami main dan hasilnya selalu saya yang menang. Bukannya saya yang ingin pamer, tapi perasaan saya mengira kalau Pangeran Genta tidak pandai memenangkan permainan catur," jawab Indra.
Aku baru tahu tentang Genta yang ternyata selain tidak bisa memasak dan berdansa, dia juga tidak pandai bermain catur. Semua orang memang mempunyai kekurangan masing-masing. Aku menganggap itu adalah hal biasa karena setiap orang memiliki kekurangan, jadi menurutku tidak masalah jika Genta tidak bisa melakukan beberapa hal yang bisa orang lain lakukan.
"Baiklah, Indra. Terima kasih atas informasinya. Sebelum teh ini menjadi dingin, aku harus memberikannya kepada Gabriel. Jadi aku harus cepat," ucapku mengingat secangkir teh yang aku bawa sedari tadi.
Indra melihat secangkir teh yang aku bawa di atas nampan. Sepertinya ia baru sadar kalau aku membawa sesuatu. "Kenapa Anda tidak menyuruh saya yang membawakannya, Master?" tanya Indra menatapku tidak mengerti.
Aku menggeleng sambil tersenyum lembut. "Tidak apa-apa. Nah, sekarang kau kembalilah membaca dan aku akan segera naik ke lantai atas untuk mendatangi Gabriel. Sampai jumpa nanti."
"Baik, Master," jawab Indra melambaikan tangannya ringan.
Aku berjalan menaiki anak tangga yang berbelok ini. Sedikit terbesit rasa kesal karena Joe meninggalkanku di bawah tadi. Seharusnya dia menungguku selesai dengan Indra atau bisa saja ikut berbicara dengan kami. Mungkin karena dia tidak sabar menceritakan mimpinya kepada Gabriel, jadi kembali teringat akan senyuman manis Joe, rasa kesalku lenyap dalam seketika.
'Ahh ... Soalnya dia terlalu imut,' batinku dan menghela napas saat aku sudah mencapai lantai dua. Akhirnya aku sampai juga. Lalu teh yang kubawa untuk Gabriel masih hangat terjaga serta aromanya juga masih utuh.
Aku berjalan tenang berusaha untuk tidak membuat keributan dari langkah kakiku. Bisa saja Gabriel masih lengket dengan pekerjaan di meja sekarang. Seperti Miss Delisa yang sangat suka memeriksa nilai ulangan dan tugas rumah murid-muridnya sampai larut malam. Tapi Miss Delisa jarang jatuh sakit.
"Terima kasih, Joe. Aku senang sekali kau membawakan kue cokelat untukku." Suara Gabriel terdengar berbicara dengan Joe. Tentu saja, dia masih duduk di sana di depan mejanya. Bersama Joe yang berdiri di samping tempat duduk Gabriel.
"Sama-sama, Kak! Selain Joe, ada yang ingin memberikan sesuatu pada Kak Gabriel juga, lho," balas Joe dan kalimat terakhir Joe membuat ekspresi Gabriel menjadi penasaran. Aku tertawa kecil di dalam hati melihat mereka berdua.
"Oh ya? Siapa?" tanya Gabriel ingin tahu.
"Kalau kau mencoba menebak siapa dan jika jawabanmu benar, aku akan memberikan secangkir teh hangat buatanku."
Aku bersuara tepat pada waktu yang bagus. Keduanya menoleh ke arahku. Joe tersenyum lebar sedangkan Gabriel terkejut karena tiba-tiba aku sudah ada di sini.
Gabriel tersenyum miring. "Ho .. Jangan-jangan, kaulah orang kedua yang ingin memberikanku sesuatu?" Dia tampak menebaknya tanpa ragu. Hebat, ya.
Aku tertawa kecil dan segera berjalan mendekat ke mejanya, mengangkat cangkir teh dari nampannya dan menaruhnya dengan hati-hati bersamaan dengan piring kecil di bawah cangkir sebagai alasnya.
"Karena kau menebaknya dengan benar, sesuai janji teh ini kuberikan untukmu. Semoga kau menyukainya, Pangeran."
Gabriel tertawa kecil dan tersenyum kepadaku. "Terima kasih, Queen. Wah, ada makanan dan minuman kesukaanku di sini. Dan yang membawakannya adalah dua orang terdekatku yang sangat perhatian kepadaku. Sekali lagi terima kasih, kalian berdua."
"Sama-sama!" balas Joe. "Kak Gabriel, ada yang ingin aku ceritakan kepada Kakak. Tentang mimpi indah Joe saat tidur siang tadi!" seru Joe yang ingin menceritakan mimpi indahnya kepada Gabriel.
"Hm, menurutku akan lebih baik jika kau menceritakannya nanti malam, Joe. Sekarang aku sedang sibuk. Kita bisa bicara nanti saat aku tidak sibuk. Dan juga sebentar lagi kita akan menguji Zata apa dia layak bekerja di istana kita atau tidak, jadi sebaiknya sekarang kau pikirkan apa yang ingin kau uji dari Zata. Maaf, Joe," jelas Gabriel yang tidak bisa meluangkan waktunya sejenak untuk bersama adiknya karena sedang sibuk.
Joe terlihat kesal atas jawaban itu. Dia mengepalkan kedua tangannya dan menatap Gabriel dengan tajam. "Ukh ... Menyebalkan," keluhnya. "Kak Gabriel selalu saja begitu. Selalu sibuk di saat aku ingin menceritakan sesuatu padamu atau ingin menghabiskan waktu dengan Kakak. Memangnya apa yang sedang kau kerjakan? Bukankah yang kau kerjakan sekarang itu adalah surat-surat protes dari penduduk kota kalau keluhan mereka adalah kerajaan Avalous dibilang tidak bisa memakmuri rakyat apalagi kerajaan yang tidak utuh, pencurian di mana-mana, dan berkurangnya penghasilan uang dan sumber pangan."
Aku terkejut mendengar perkataan Joe yang mengatakan itu semua sekaligus. Tanpa terkecuali aku langsung mengetahui kalau Gabriel tengah berusaha memecahkan masalah surat-surat protes yang semakin banyak itu sendirian. Apalagi diriku yang sudah cukup lama berada di sini, namun Gabriel tak pernah menceritakan hal besar itu kepadaku.
Gabriel tampak tak bergeming atau menyela ucapan Joe. ".... Joe, ingat kau bicara dengan siapa. Aku ini Kakakmu." Dia bersuara setelah beberapa saat terdiam.
"Aku tidak peduli!" Joe melangkah mundur membuat jarak yang jauh dari Gabriel yang masih setia duduk di kursi tanpa ingin beranjak. "Meskipun kau adalah raja tertinggi dari semua raja yang ada di dunia sekali pun, aku tidak mau menuruti perintahmu ataupun berlutut sedikit saja padamu! Aku selesai."
Joe melangkah pergi dari sana dengan cepat dan lebar untuk turun ke lantai dasar perpustakaan. Aku yang melihat kejadian ini terjadi begitu saja, terdiam dan tak bisa melakukan apa-apa selain mendengarkan Joe yang sangat marah dengan Gabriel.
"J-Joe! Tunggu!" Aku tersadar dari lamunanku dan secepatnya mengambil langkah mengejar Joe yang telah duluan menuruni anak tangga.
Tak terpikir saat sebelum aku pergi, aku sempat melihat Gabriel tak beranjak sama sekali. Dia memegang surat-surat yang ada di mejanya lagi dan tidak menyentuh pemberian kami sedikit pun.
Aku ingin mereka tidak bermusuhan lagi. Tidak seperti dulu saat pertama kali aku mengenali mereka. Tapi, melihat mereka saling menatap dengan dingin tadi, membuatku sangat sedih.
To be continue ⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top