It is Beautiful : 29
"Di mana ... ini?" tanyaku melihat sekitarku yang tampak begitu asing di mataku. Bukan istana Avalous, bukan juga rumahku. Gelap, tak ada yang bisa dilihat. Ralat, aku hanya bisa melihat diriku saja.
"HAHAHA!" Suara tawa itu membuatku terkejut dan segera mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari dari mana asal suara tawa dari seorang wanita barusan.
Tik!
Ada sesuatu yang mendarat di dekat pipiku. Seperti cairan yang tak sengaja mengenaiku. Tanganku bergerak pelan menyentuh pipi. Lalu bergerak ke depan mataku untuk melihat apa sebenarnya cairan yang ada di wajahku.
"Da-darah?!" kejutku mengetahui tanganku telah menyentuh darah segar.
Tidak tahu berasal dari mana, aku kembali mencoba mencari petunjuk. Langkah demi langkah aku tempuh tanpa tahu jalan. Sampai di mana aku melihat suatu objek, kakiku berlari menghampiri apa yang aku lihat.
"A-apa apaan ini?!" kejutku kembali. Bahkan lebih terkejut daripada mendapat darah yang tidak tahu berasal dari mana.
Aku melihat Ades, Genta, Gabriel dan Joe tersungkur bersama darah yang berlinang luas di lantai. Masing-masing senjata mereka berada pada tubuh mereka, menusuk belakang punggung mereka yang mungkin sampai mengenai jantung.
"Mereka ... mereka sudah tiada?"
Sukseslah air mataku jatuh tak sanggup dibendung. Teramat sedih aku rasakan. Benar-benar tidak rela. Aku ... aku tidak bisa menerima ini!
Aku terduduk lemas di depan mereka. Terbelalak tak percaya akan apa yang sedang kulihat. Sakit sekali dada ini melihatnya. Ternyata, darah di wajahku berasal dari mereka.
"Ka-kalian ... kalian kenapa ... bisa seperti ini ...? Hiks! Jangan ... jangan tinggalkan aku di sini ... hiks!" ucapku dengan tangisan yang semakin deras.
"Mereka mati karena mereka LEMAH!" Suara dari wanita itu lagi. Aku kembali mengangkat wajahku dan berbalik ke belakang. "Dan kau tahu kenapa mereka menjadi lemah? Itu karena KAU, SICA! KAULAH YANG MEMBUAT MEREKA LEMAH!"
Seorang wanita bergaun ungu pendek dengan rambut panjang hitam lurusnya memberikanku gambaran sosoknya, namun sayang sekali aku tak dapat melihat wajahnya. Siapa dia?
"Kau membunuh mereka?" tanyaku berusaha menyembunyikan sisi lemahku dan bersikap dingin padanya.
"Ya, siapa lagi kalau bukan aku? Mereka mencoba membebaskan kedua orang tua mereka. Tentulah aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Maka dari itu, aku bunuh saja mereka," jawabnya santai.
"Kau ...!" Aku menghunuskan pedang petirku yang telah bercahaya emas terbalut aliran petir. Sekarang aku marah. Benar-benar marah. Aku ingin balas dendam. "Kurang ajar!!"
Aku berlari maju mengarahkan pedangku padanya. Pedangku harus mengenai jantungnya. Ituah tujuanku sekarang. Balas dendam.
"Wow! Tepat sasaran!" seru wanita itu dengan tepukan tangannya. Lalu menyeringai dengan tatapan sadis. "Di jantungmu."
".... Uhuk!!" Tiba-tiba aku terbatuk dengan darah yang keluar dari mulutku.
Yang benar saja! Kenapa .... pedangku malah menusukku?
Aku jatuh terduduk dengan darah yang keluar dari dadaku. Pedangku berlumur oleh darahku sendiri. Menusukku sampai tembus ke punggung. Rasa sakit yang sangat luar biasa. Kematian sebentar lagi menjemputku.
"Kau telah bernasib sama seperti pangeran-pangeran itu. Aku akan menyuruh pesuruhku untuk membuang kalian ke laut," kata wanita itu. "Terima kasih sudah jauh-jauh ke sini untuk menghiburku! Di istanaku, Apolous!"
BRUK!
Mataku tak dapat lagi melihat dengan jelas. Tubuhku jatuh terkapar, terbanjiri oleh darahku sendiri.
Sial ... sial ... SIAL! Kenapa akhirnya jadi seperti ini? Ini tidak boleh terjadi! Aku ... aku tidak boleh mati! Aku harus balas dendam!!
"Ades .... Joe .... Genta .... Gabriel .... maafkan aku."
⚡
"Hahh .... Hahh ..." Napasku terengah-engah. Keringat mengucur deras di wajahku. Mataku langsung terbuka lebar dan bangun dari posisi baringku. "Tadi itu ... mimpi?"
Aku melihat sekitar. Ini kamarku. Lebih tepatnya, kamar yang aku tempati di istana Avalous. Oh ... lega sekali bahwa tahu aku masih hidup. Tanganku meraba-raba tubuhku. Tak ada luka ataupun darah. Tapi, hatiku masih resah.
"Di mana mereka?" Aku memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan. Kamar ini agak gelap. Pasti sudah malam. "Dan Kanta ... apa dia ... apa aku benar-benar sudah membunuhnya?"
Mengingat kejadian itu, di mana hari kematian kedua putri kerajaan Dandelion, dan berhasilnya aku menebas Kanta dengan pedangku. Itulah kenyataan yang terjadi. Bukan mimpi sialan itu. Tapi, kenapa aku sampai memimpikan keempat pangeran Avalous mati? Lalu yang membunuh mereka .... apa mungkin Ratu Alta dari kerajaan Apolous?
Aku menyibak selimut yang menutupi tubuhku dan beranjak dari tempat tidur, melangkah keluar dari kamar. Lorong istana yang sepi dan kosong. Jam berapa sekarang?
"Hei," suara seorang gadis tiba-tiba terdengar dari dalam kamarku. Aku berbalik melihat isi kamarku dan mendapati seorang gadis bergaun putih polos yang ternyata sedang berbaring di lantai. Dia bangun dan berdiri menghampiriku.
"Kau ..." Aku terkejut melihat siapa gadis itu. "Kenapa kau masih ada di sini?"
Leila, partner sihir milik Kanta. Kalau dia masih ada di sini, itu berarti Kanta masih hidup.
"Jika Master-ku tetap di sini, maka aku juga harus mengikutinya, dan melaksanakan semua yang dia perintahkan padaku," jawab Leila.
"Aku tahu itu," balasku agak malas. "Jadi, pangeran pecinta pistol itu masih hidup?"
"Master-ku baik-baik saja. Namun, dia masih belum sadar," jawab Leila lagi. "Pecinta pistol?" Dia menatapku bingung.
"Ya. Dia suka pistol, kan? Mengeluarkan pistol barunya dan menembak Joe .... tunggu. Bagaimana keadaan Joe??" tanyaku mendadak panik sambil memegang kedua pundaknya.
"Baik," Leila memegang kedua tanganku dan melepaskannya dari pundaknya dengan lembut, lalu tersenyum.
Aku menghela napas lega. "Hah .... syukurlah. Yang lain? Apa mereka baik-baik saja?"
"Mau menemui mereka?"
"MAU!"
Leila tersenyum geli. "Awalnya aku tidak suka padamu karena sudah melukai Master-ku. Tapi, aku bingung. Kau bisa membenci, tapi kau tidak bisa serius membenci orang lain. Pemaaf adalah kata yang cocok untukmu. Tapi, jika salah memberi keputusan, kau bisa jatuh."
"Maksudmu?" tanyaku bingung.
"Lupakan saja. Tidak terlalu penting. Mau menemui mereka, kan?" Leila mengulurkan tangannya untuk menyambut tanganku. "Mereka ada di lokasi yang berbeda-beda. Mau menemui siapa dulu?"
Aku tersenyum dan merasa tenang, menyentuh tangannya menerima tangan dingin gadis itu menggenggam tanganku. "Aku ... tidak tahu. Aku ingin menemui mereka semua. Oh iya, kau juga melihat partner sihirku ada di mana?"
"Ada bersama Pangeran Genta, sedang bermain catur di ruang perpustakaan istana," jawab Leila segera melangkah bersamaku keluar dari kamar.
"Bernarkah?"
"Ya. Selain itu, soal dirimu pingsan, selama dua hari kau belum sadar."
"A-apa?!"
"Kata Pangeran Ades yang memeriksamu, kau kehilangan banyak tenaga dan itu membuatmu lelah. Jadi, kau harus banyak istirahat."
Aku menunduk. "Oh, begitu. Aku harap tak ada yang khawatir."
Leila tersenyum tipis. "Mereka semua sangat khawatir dengan keadaanmu."
"Apa tak ada kejadian lain saat diriku pingsan? Dan, tentang Mariposa dan Aster?" tanyaku masih menunduk.
"Mereka telah dimakamkan di Dandelion. Raja dan Ratu Dandelion sangat sedih atas kematian mereka berdua. Itulah yang aku lihat," jawab Leila. "Mau menemui siapa dulu?"
Aku tidak menjawab. Kami berbelok melewati lorong yang terdapat deretan jendela besar di samping. Aku melihat bulan terang tampak cantik menghias langit malam berbintang. Angin dingin masuk menerpa ke dalam karena jendelanya tidak ditutup. Aku menghampiri jendela itu dan berdiam sebentar.
Leila berjalan mengikuti dan berdiri di sampingku. "Ada apa?" tanyanya.
"Aku ... bermimpi buruk," jawabku. "Mimpi itu seperti sedang mencoba memberitahukan sesuatu. Sebuah pertanda yang akan berakhir bad ending. Atau jika bisa mengubahnya, maka bisa berakhir---"
"Happy ending?" potong Leila seperti menyambungkan perkataanku.
"Seperti yang kau katakan."
"Jadi, apa yang akan kau lakukan?"
⚡
Ades terkejut melihat siapa yang mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Kata Leila, Ades sedang merawat Kanta. Bagian dada sampai perut Kanta terlihat sudah diperban dengan rapi. Kini, dia sedang terbaring dalam keadaan terpejam dan dikatakan masih belum sadar.
"Beauty," Ades melangkah cepat kepadaku dan langsung memelukku. "Kau sudah sadar. Aku lega."
Sebagai balasan, aku membalas pelukannya. Setelah itu dia melepaskanku dan bertanya, "Ada yang sakit?"
Aku menggeleng dan tersenyum. "Aku baik, tak ada yang sakit. Bagaimana keadaan Kanta?"
"Mungkin dia akan segera sadar besok. Lukanya cukup parah," jawab Ades. Aku jadi teringat luka pada Kanta disebabkan olehku. Agak merasa bersalah, tapi setengahnya lagi aku merasa lega karena aku yang menang.
"Jadi, kalau Kanta di kamarmu, kau tidur di mana?" tanyaku penasaran, karena Kanta dirawat di kamar Ades.
"Di kamarmu," jawab Ades santai dengan tatapan genit.
Aku ingin sekali menusuk kedua matanya.
"Leila, apa itu benar, bahwa dia tidur di kamarku?" tanyaku menoleh kepada Leila yang sedari tadi diam memandang Kanta.
"Iya," jawab Leila datar. "Dua hari ini, dia tidur bersamamu."
Aku kembali melihat Ades dengan tatapan sinis sekaligus ngeri. Sedangkan Ades tersenyum sok tampan padaku. Aku yakin dia sedang berusaha untuk menggodaku.
"Baiklah," kataku dan tidak diduga membuat reaksi Ades tampak terkejut. "Terima kasih." Setelah memberinya senyum, aku melangkah keluar dari kamarnya.
"Ke-kenapa dia tidak menamparku?" Nada bertanya Ades terdengar sedih. Dan tentunya, aku tidak peduli, tetap melangkah pergi diikuti oleh Leila.
Rasa cemasku mulai berkurang setelah bertemu dengan Kanta dan Ades. Mereka masih hidup. Begitu saja, aku sudah merasa cukup senang.
"Mau menemui siapa lagi?" tanya Leila memecah kesunyian.
"Berhenti di sini," jawabku menghentikan langkah di depan pintu ruang perpustakaan istana.
"Kau ingin menemui partner sihirmu dan Pangeran Genta? Mereka pasti masih ada di sana," kata Leila.
"Ya," jawabku singkat dan segera membuka pintu perpustakaan lebar-lebar.
Tidak ada yang berbeda di dalam perpustakaan ini. Hanya dipenuhi oleh buku yang tertata rapi di rak-rak buku. Sama seperti biasanya. Pandanganku berpusat pada dua orang pemuda yang sedang bermain catur dengan seriusnya.
Genta menoleh ke arah pintu perpustakaan yang terbuka. Suara pintu besar itu mengeluarkan decitan pintu yang khas hingga mengundang telinganya mendengar dan membuat pikirannya penasaran tentang siapa yang telah masuk ke dalam perpustakaan. Dia lantas berdiri untuk menyambut kedatanganku dan Leila. Begitu juga dengan Indra yang menatap lega kepadaku. Indra berjalan tenang ke arahku dan mendadak memberikanku pelukan hangat.
"Master, saya senang melihat Anda sudah kembali membuka mata," kata Indra pelan kepadaku. "Saya rindu."
"Indra, syukurlah kau tidak apa-apa," kataku seraya membalas pelukannya.
"Sudah selesai saling peluknya?" tanya Genta sambil melipat kedua lengannya di depan dada disertai senyuman. "Princess, kau membuatku jadi terabaikan. Aku juga ingin---"
Genta menghentikan perkataannya tatkala tiba-tiba aku memeluknya dengan erat. Tubuh Genta yang masih hangat dan berdetak. Lega sekali bahwa Genta juga baik-baik saja.
"Pri-Princess?"
Agak lama meski tidak berharap dia akan membalas, Genta akhirnya mengalungkan tubuhku dengan kedua lengannya, memeluk hangat diriku.
"Genta, terima kasih."
⚡
Di ruang dapur istana, terlihat Joe yang sedang memasak. Lengan kanan itu diperban karena luka dari tembakan Kanta. Tapi, kedua tangan itu tetap lincah meracik bumbu, seakan-akan tak ada sesuatu yang menghalanginya beraktivitas.
Di samping Joe, ada Fox yang sedang membantu meskipun Joe sudah menolaknya berpuluh kali. Apa Fox juga bisa memasak?
"Tuh kan! Makanannya jadi hitam begitu bagaimana bisa? Sini aku saja yang mengurus bagian itu! Kau potong wortel dan bawang saja!" seru Joe emosi melihat hasil masakan Fox.
Ternyata Fox tidak bisa memasak.
Joe berbalik untuk membuang masakan Fox ke tempat sampah. Tidak sengaja, dia melihatku dan Leila yang sedari tadi sedang memperhatikan mereka memasak.
"Kak Sica!!" Mata Joe berbinar-binar melihatku. Dia melupakan wajan yang dipegangnya dengan meletakkannya kembali di atas kompor yang sudah dimatikan, lalu berjalan cepat ke arahku.
"Joe!" balasku memanggilnya dengan senyuman lebar.
Fox melihatku sebentar, lalu berbalik lagi untuk fokus memotong wortel.
Leila berjalan ke arah Fox. "Mau saya bantu, Pangeran?"
"Tidak perlu," tolak Fox dingin.
"Baik." Leila melipat kedua tangannya memperhatikan Fox memotong wortel. "Potongan Anda payah sekali. Ada yang tebal, ada juga yang tipis. Potongan Anda seharusnya sama-sama tipis."
"Protes?" Fox menatap datar kepada Leila.
"Hanya mengoreksi. Salah?" balas Leila tak kalah datar.
Setelah sampai di depanku, Joe memelukku begitu erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.
"Kak Sica lama sekali pingsannya. Aku khawatir." Joe melepas pelukannya melihatku dengan mata yang ingin menangis.
"Maaf ya, sudah membuatmu khawatir," kataku sambil mengelus kepalanya. Aku melihat lengan kanan Joe dan meraih tangan itu kepadaku. Tanganku bergerak mengelus perban yang membaluti lengannya. "Masih ... sakit?"
"Tidak lagi! Tapi, Kak Ades menyuruhku tetap memakai perban ini sampai lenganku benar-benar sembuh," jawab Joe dan mencibir saat menyebut nama Ades. Aku tertawa kecil.
"Ades benar. Kau turuti saja apa yang kakakmu katakan."
"Tapi, aku jadi terlihat seperti orang lemah! Aku tidak suka!"
"Hahaha! Itu tidak benar. Kau kuat, karena itulah kau mendapatkan luka ini, untuk mengetes seberapa kuat dirimu bertahan."
"Begitu, ya. Aku baru tahu."
Tiba-tiba aku mencubit kedua pipinya. "Ah ... Joe! Aku rindu padamu!" gemasku.
"Kak Sica!" Joe memberontak melepas kedua tanganku dari pipinya. "Kau merindukanku? Aku juga!"
Senyuman Joe sangat manis. Senang sekali masih bisa melihatnya. Giliranku yang memeluknya dengan erat sambil menguatkan penciumanku untuk menghirup aromanya.
"Kak Sica ..." Joe perlahan membalas pelukanku. Wajahnya dia benamkan di bahu dekat leherku.
Hmm ... bukan juga.
To be continue⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top