It is Beautiful : 26

Mungkin aku terlalu lama memperhatikan gadis bangsawan itu hingga dia merasa diperhatikan dari jauh, memutar mata abu-abu kristalnya dan melihat ke arahku. Namun hanya sesaat.

Dia kembali melihat Aster, memegang kedua bahu adiknya itu. Mengatakan sesuatu kepadanya yang tidak bisa kudengarkan dari sini. Dia tampak sengaja memelankan suaranya. Dan Aster juga melakukan hal yang sama.

"Kau sedang melihat apa, Princess?" tanya Genta dan penasaran, dia melihat ke arah di mana aku menoleh ke sana.

Tiba-tiba, wajahnya menjadi tak berekspresi.

Ades, Fox, dan Indra juga melihat ke arah Genta dan aku menoleh, karena penasaran mengapa reaksi Genta langsung seperti itu. Melihat semuanya teralihkan, Gabriel yang terakhir melihat ke arah sana.

Di mana ada Mariposa Dandelion.

Gadis bernama Mariposa itu terlihat sudah selesai berbicara dengan Aster. Dia membalas menoleh melihat ke arah kami. Tidak seperti sebelumnya dia melihatku biasa saja.

Tatapan musuh. Tapi, bukan mengarah padaku. Entah mengarah ke siapa. Yang jelas, dia kelihatan marah.

"Siapa dia, Master?" tanya Indra kepadaku.

Oh ayolah, Indra. Jangan bertanya sekarang.

Situasi kali ini terasa mencekam bagiku. Aku ingin tahu, siapa yang dia tatap sekarang? Jika itu Genta, mungkin saja dia tidak bisa melupakan masa lalu karena ciuman pertamanya direnggut. Tapi, itu juga karena salahnya sendiri. Atau, dia menatap Gabriel, karena ... apa, ya?

Mariposa mulai melangkahkan kakinya, mengarah kepada kami. Aku terkejut melihatnya bergerak maju. Dan tatapan mata itu masih tajam. Sedangkan Aster hanya diam di tempat, tidak mengikuti kakaknya.

Masih melangkah dan sudah tidak jauh dari kami, tangan kanannya bergerak menghunuskan pedang. Lagi-lagi aku terkejut. Apa yang ingin dia lakukan?

Yang sedari tadi dia tatap adalah ...

Suara dua pedang yang beradu bertabrakan tiba-tiba membuat suasana menjadi menegangkan. Sesampainya Mariposa di depan orang yang ditatapnya, dia mengangkat pedangnya dan mengarahkannya kepada orang itu.

"Kau membuat adikku menangis lagi, Gabriel."

Gabriel otomatis menghunuskan pedangnya dan menahan pedang Mariposa yang hampir saja akan menebas tubuhnya. Tidak ingin kalah, dia juga menatap musuh Mariposa.

"Daripada itu, dia sudah membuat adikku menderita."

Gabriel menggerakkan pedangnya untuk menyerang Mariposa. Namun, mereka terlihat sama-sama jago berpedang. Pedang mereka kembali saling mendorong.

"Mereka itu sedang bertarung atau bertengkar?" tanya Fox memecahkan keheninganku dan sisanya yang sedang menonton.

"Mungkin keduanya," jawab Ades mengedikkan bahunya tampak tidak peduli. "Setiap mereka bertemu, mereka akan selalu seperti itu."

"Apa?!" Aku baru mengetahui ini. Jika mereka bertemu, mereka akan berkelahi sampai ada yang kalah atau berhasil melerai mereka. Gabriel tidak mau memaafkan Mariposa karena mungkin inilah alasannya. Lalu, Mariposa marah karena dia pikir semua yang adiknya ceritakan adalah benar.

Mereka hanya ... terlalu terbawa emosi.

"Hei! Berhenti! Jangan bertengkar!" kataku berusaha untuk membuat mereka berhenti beradu berpedang. Namun, mereka sama sekali tidak mendengarkanku. Mereka tetap saling mengayunkan pedang mereka seolah-olah tak ada orang lain di dekat mereka.

"Indra! Lakukan sesuatu untuk menghentikan mereka!" perintahku kepada Indra.

Tanpa basa-basi, Indra segera melakukan perintahku. Tangannya mengangkat ke atas dengan jari telunjuk menunjuk langit, membuat langit siang itu menjadi mendung.

Dua petir menyambar pedang mereka sehingga tangan mereka refleks melepaskan pedang mereka yang terasa panas karena tersambar. Dua pedang itu jatuh ke tanah dengan asap seperti terpanggang.

"Ades! Genta!" kataku memanggil mereka berdua untuk melakukan sesuatu. Dan mereka langsung mengerti dengan apa yang akan aku suruh sebelum aku mengatakannya.

Ades melesat ke belakang Mariposa lalu menahannya. Sedangkan Genta menahan Gabriel. Aku menghela napas melihatnya.

"Argh!! Genta! Lepaskan aku!" pekik Gabriel memberontak, berusaha melepaskan diri dari tahanan tangan Genta.

"Tidak bisa, adikku Gabriel. Kau tidak bisa selamanya bertengkar dengannya," kata Genta memperkuat kedua tangannya menahan Gabriel.

"Pangeran Ades, tolong lepaskan aku," suruh Mariposa tanpa memberontak. Nada bicaranya tenang namun seperti sedang merendam amarah.

"Tidak mungkin, Putri Mariposa. Kau harus mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi di sini sebelum kau bertindak," kata Ades tiba-tiba membuatku berpikir kalau sekarang Mariposa belum mengetahui segala yang sudah terjadi.

Aku melihat ke arah Aster.

Dia menyeringai.

"Indra," panggilku kepada Indra sambil masih menatap Aster pada jarak yang jauh ini.

"Ya, Master?" sahut Indra menunduk sebentar.

"Bawa gadis yang ada di sana itu secara paksa tetapi halus, " perintahku menunjuk Aster.

"Baik." Indra berjalan damai ke arah Aster untuk melakukan perintahku. Sementara aku berjalan ke arah Gabriel yang sedang saling menatap musuh dengan Mariposa.

"Gabriel, bukankah kau sudah mengatakan, kalau kau tidak akan menyimpan rasa benci dan memaafkan segala kesalahan yang Mariposa perbuat padamu?" tanyaku kepada Gabriel yang langsung terdiam menatapku.

Gabriel memalingkan wajahnya dariku, tetapi tanganku segera memutar kepalanya untuk kembali mengarah padaku. Kedua tanganku memegang wajahnya.

"Jawab aku, Gabriel."

"Queen ... aku sudah berusaha. Tapi, dia selalu memancing emosiku. Pedangnya itu ... selalu ingin menebasku dengan alasan yang tidak bisa kuterima," kata Gabriel lirih sambil menatapku sendu. "Dia ... tidak, adiknya itu yang seharusnya salah. Bahkan, dia tidak bisa melihat dengan jelas tentang mana yang benar dan mana yang salah."

Aku tersenyum tipis dan menepuk bahunya. "Tidak, kau sudah berhasil memaafkannya. Aku mengerti masalah kalian. Ada kesalahan kecil berakibat besar yang sudah terjadi di sini."

Aku melangkah ke arah Indra yang sudah membawa Aster secara paksa tetapi halus, sesuai yang aku perintahkan padanya.

"Turunkan aku! Woi! Lancang sekali membawaku pada gendonganmu yang tidak nyaman ini!!" teriak Aster meronta-ronta di gendongan manis Indra.

"Aster!" Mariposa ingin melangkah maju, namun dia kembali termundur karena masih berada di tahanan Ades. Dia menatap marah padaku. "Kau mau apa dari adikku?"

Aku menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya ingin kau mendengarkan segala yang sebenarnya sudah terjadi dari mulut adikmu sendiri. Sebelumnya yang adikmu beritahukan, mungkin dia hanya mengarang cerita saja."

Aura gelap dari Mariposa semakin gelap dan mencekam. "Kau pikir adikku adalah seorang pembohong?"

Aku tersenyum lebar. "Aku senang melihat ada seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya. Tapi, Putri Mariposa, kau harus lebih tegas."

Mariposa sedikit mengangkat sebelah alisnya. "Apa maksudmu?"

"Maksudku, kau tidak terlalu boleh juga memanjakannya. Kalau kau sayang pada adikmu, sebagai seorang kakak kau tidak boleh selalu memanjakannya. Tegaslah padanya. Bentaklah dia. Buat dia menunduk atas kesalahan yang dia lakukan. Jangan terlalu mengasihaninya. Kau dengan mudah dibutakan oleh kemanisan dan kepolosannya yang belum tentu itu benar, karena kau selalu menurut padanya. Dia sudah menaklukkanmu," jawabku agar dia membuka lebar matanya kepada Aster.

"Kak! Jangan dengarkan dia! Dia jahat! Dia berusaha untuk mencuci otak Kakak!" kata Aster kepada Mariposa.

"Putri, kau harus mendengarkanku," kataku berjalan mendekat kepada Mariposa agar memutuskan kontak mata dari Aster. "Aku tidak mengatakan adikmu pembohong. Tapi, aku hanya ingin kau mendidik adikmu lebih keras dari ini. Dia membutuhkan perhatian keras darimu. Meskipun aku tidak pernah merasakan memiliki adik, tapi aku mengerti hal ini karena dari seseorang."

Aku menoleh ke arah Gabriel dan dia langsung menangkap tatapanku. Mariposa terdiam, tidak mengatakan apapun. Kepalanya menunduk. Sedangkan Aster masih tidak lelah terus meronta di gendongan Indra.

"Aster," panggil Mariposa dengan kepala yang masih menunduk sehingga wajahnya tidak terlihat.

Aster tersentak. "K-Kak, Aster tidak mungkin berbohong kepada Kakak! Aster mengatakan yang sebenarnya!"

Perlahan, Mariposa mengangkat kepalanya mengarah kepada Aster. Mata abu-abu itu menatap serius dan tajam kepada Aster yang terlihat memucat.

"Saat di istana, kau tidak jelas mengatakan alasanmu pergi mengunjungi kerajaan Avalous. Dan lagi, kau buru-buru sekali," kata Mariposa. "Lalu, penemuan sihir yang sering kau ciptakan di ruanganmu, tidak ada satu pun yang kau tunjukkan padaku. Kau selalu mengatakan gagal dan nanti. Di mana penemuan-penemuan sihirmu? Keseringanmu pergi ke Avalous setelah bereksperimen, membuatku sempat curiga, tentang apa yang sudah kau lakukan di Avalous."

Mata bermanik merah Aster melihat ke permukaan tanah, tidak berani menatap Mariposa. Keringatnya bercucuran. Dia membisu, tidak dapat membalas kata-kata kakaknya.

Gabriel tiba-tiba tertawa. Terdengar sarkas. "Kau tidak tahu apa yang sudah dia lakukan selama ini kepada Avalous, Putri Mariposa?"

Mariposa menoleh ke arah Gabriel. "Kau ingin memberitahu sesuatu?"

"Avalous dalam bahaya," jawab Gabriel langsung. "Ada seseorang yang sudah merusak jantung sihir kami."

"Apa?" Mariposa terlihat biasa saja, masih tidak percaya. "Siapa yang melakukan hal serendah itu?"

"Adikmu."

"Jangan sembarangan!"

"Pangeran Gabriel mengatakan yang sebenarnya, Kak." Suara Aster yang mengiyakan jawaban Gabriel membuat Mariposa menatap tidak percaya kepadanya. Air mata Aster merembes dari pelupuk matanya. "Sebulan lebih yang lalu, aku membuat kekacauan di istana Avalous untuk mematikan jantung sihir di sini, agar aku bisa membuat keempat pangeran tidak berdaya. Dengan tidak adanya sihir mereka, aku bisa melakukan apa yang aku mau."

Mariposa yang sudah mendengar semua itu di mulut Aster, menggeleng-geleng tidak percaya. Ternyata dia baru saja mengetahui apa yang sudah Aster lakukan kepada Avalous.

Di ruang makan istana, di mana hanya aku, Indra, Mariposa, dan Aster yang mengisi ruangan luas ini. Sedangkan sisanya menunggu di luar.

"Ini tehnya, Tuan Putri," kata Indra sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja, di dekat Mariposa duduk memiringkan kursinya ke kanan tidak menghadap meja.

"Terima kasih," ucap Mariposa seraya mengambil teh itu dan menyeruputnya sedikit dan hati-hati.

"Ini coklat Anda, Master," kata Indra menyerahkan sebungkus batang coklat yang aku pesan padanya.

Aku hanya mengangguk sambil menerima coklat itu, membukanya, dan langsung mengigit coklat pertamaku. Hmm ... meleleh di lidah.

Sementara Aster, dia duduk di kursi penjara buatan dari sihir Indra. Aster tidak akan bisa beranjak dari kursi abu-abu itu dengan awan putih di bawahnya, karena Indra yang mengendalikannya. Dia tampak bosan dan sering merengut.

"Aku tidak percaya," kata Mariposa sambil menghirup harum teh wanginya.

"Kau harus percaya," balasku tersenyum padanya. "Gabriel sudah memberitahu segalanya. Aster juga sudah mengakuinya. Dan itu kenyataan. Bukan imajinasi yang dikarang menjadi sebuah cerita."

Aster yang duduk di tengah dengan kami yang sedang duduk berhadapan padanya, berusaha membuang pandangan. Dia tersinggung.

"Jantung sihir Avalous ... astaga, itu masalah besar," Mariposa mendengus. "Aku baru tahu, bahwa Aster telah mematikan koneksi sihir di sini. Jika aku tahu lebih dulu, aku pasti sudah menghukumnya sampai diriku tidak terkendali."

Aster menatap takut kepada Mariposa. Sedangkan aku tertawa dengan perasaan yang sudah tenang karena salah paham ini telah terselesaikan.

"Tidak perlu menghukumnya seberat itu. Dia sudah mengakuinya, itu sudah mengartikan kalau dia harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan kepada Avalous," kataku sambil melihat ke arah Aster yang sama sekali tidak menatap kepadaku.

"Kau harus bertanggung jawab, Aster," kata Mariposa kepada Aster yang langsung menoleh. "Anggap saja ini hukumanmu karena sudah salah memanfaatkan sihir sebagai kesenangan."

Aster ingin beranjak, namun kursi itu tidak bisa terpisah dari bokongnya. "Aku minta maaf, Kak," tunduknya. "Aku ... sudah banyak membohongi Kakak."

Mariposa beranjak dari kursinya, berjalan menghampiri adiknya yang terus berlinang air mata. Tangannya memegang wajah Aster, mengusap semua air matanya.

"Kau adalah adikku, orang yang aku sayangi melebihkan diriku," kata Mariposa. "Dia benar. Aku harus lebih tegas padamu. Aku harus sering membentakmu jika kau melakukan suatu kesalahan. Dan aku harus keras padamu. Aku akan menjadi seorang kakak yang lebih baik. Dan kau, akan menjadi seorang adik yang lebih baik. Kau setuju?"

Aster mengangguk. Mariposa segera memeluk Aster melihat anggukkan itu. Aku senang bisa melihat mereka tetap bersatu.

BRAK!!

"Kak Sica!!!"

Pintu ruang makan istana terbuka sangat kencang seperti telah didobrak, membuatku beranjak dari kursi dan mataku langsung tertuju pada seorang lelaki berambut pirang dengan mata biru terang yang akhirnya sudah terbuka. Dia berlari ke arahku dan langsung menghamburkan pelukannya padaku.

"Joe! Kau sudah sadar! Syukurlah," ujarku sambil membalas pelukannya. "Kelihatannya kau sudah lebih baik."

Mariposa dan Aster terpaku melihatku dan Joe berpelukan. Aku melepaskan pelukanku dan memutar badan Joe untuk mengarah kepada Mariposa dan Aster. Joe yang melihat mereka kembali memelukku.

"Itu Aster! Dan di sebelahnya ... orang yang pernah menyakiti Kak Gabriel!" kata Joe menatap sinis kepada mereka. "Jangan dekat-dekat dengan mereka, Kak! Mereka itu jahat dan tidak punya perasaan!"

Mariposa tampak terkejut, menundukkan kepalanya untuk memutuskan kontak mata dariku dan Joe. Sedangkan Aster terus mengarahkan matanya kepada Joe.

"Pangeran Joe, semua yang aku lakukan padamu, dan juga kakak-kakakmu, aku benar-benar minta maaf. Aku mengakui kesalahan yang telah kulakukan. Dan Sica," Aster menoleh ke arahku. "Aku juga minta maaf padamu. Keegoisanku telah merugikan banyak orang lain, termasuk diriku sendiri. Aku sadar, semua yang aku lakukan untuk ... tidak, kau benar, Sica. Impianku terlihat bukanlah sebuah impian yang bagus. Aku tahu bahwa itu mustahil. Jadi aku pikir, sihir bisa mewujudkan hal mustahil yang kumaksud. Tapi ternyata, aku hanya dibutakan."

"Huh!" Joe membuang muka dari Aster.

Aku memutar kepala Joe kembali mengarah kepada Aster. "Joe, kau memaafkannya, kan? Aku memaafkannya karena dia sudah menyesali perbuatannya dan meminta maaf. Kau harus memaafkannya, Joe."

"Iya. Aku maafkan," kata Joe dengan nada kesal.

"Yang tulus," suruhku.

Joe menghela napas. "Putri, aku memaafkan semua kesalahanmu. Tapi, jangan sampai kau mengulanginya lagi," katanya terdengar tulus dan agak pelan.

"Te-terima kasih." Aster menunduk sebentar kepada Joe. Dia terlihat bersyukur karena sudah dimaafkan. "Bagaimana ... cara aku bertanggung jawab karena sudah mematikan jantung sihir Avalous?"

Aku tersenyum.

"Yang pertama, ikutlah denganku dulu, ke tempat di mana jantung sihir Avalous berada."

To be continue⚡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top