It is Beautiful : 24

Bosan.

Satu kata yang terus menguasaiku. Aku bosan berdiam di kamar ini. Bermain di luar? Aku tidak punya teman dekat.

Padahal, aku ingin sekali bermain dengan anak-anak lain yang sedang bersenang-senang di taman. Atau, aku ingin berteman akrab dengan beberapa teman sekelasku.

Tentu, umurku yang 10 tahun ini masih merasa ingin bersenang-senang seperti anak-anak yang bermain di luar sana. Mungkin, aku masih merasa seperti ini karena sendirian tidak memiliki teman.

Ya, aku kesepian.

Setidaknya, satu teman saja, itu sudah lebih dari cukup. Yang penting, aku tidak akan kesepian seperti ini.

Tapi, entahlah, apa yang sudah aku lakukan kepada mereka? Apa aku telah membuat kesalahan?

Kenapa ... mereka senang menjauh, membenci, dan menindas orang yang dipandang lemah?

Aku tidak mengerti.

GYURR.

"Hujan?" Aku berjalan ke arah jendela untuk melihat keadaan di luar. "Barusan, langit cerah, kok. Sekarang kenapa mendadak hujan?"

Bingung, aku menutup rapat jendelaku.

Hujan. Soal hujan, aku jadi teringat hujan gerimis yang mengguyurku ketika sedang melakukan perjanjian dengan Indra pada tiga hari yang lalu. Sampai sekarang, itu masih menjadi sebuah misteri bagiku; alasan mengapa hujan turun tanpa adanya awan.

Indra. Ah! Benar juga! Kalau aku panggil dia, apa dia mau berteman denganku? Apa partner sihir bisa dijadikan sebagai teman juga?

Semoga bisa!

Bersemangat, aku segera mengeluarkan sihirku dan tampaklah cahaya merah pada tanganku. Kemudian aku menapak telapak tanganku ke lantai.

Sebuah lingkaran sihir berwarna biru tosca muncul di lantai kamarku. Perlahan-lahan, seseorang muncul dari lingkaranku. Partner sihirku.

"Hai, Indra!" sapaku setelah sosok Indra itu sudah sepenuhnya ada di hadapanku.

Perlahan, Indra membuka kedua mata bermanik hijaunya. Seperti dua kristal yang tidak pernah tersentuh, mata teduh itu seakan-akan sudah mengundangku untuk berlama-lama melihat matanya.

Indah. Dia tersenyum tenang.

"Hai juga, Master," balas Indra menyapa. Dia tiba-tiba bertekuk lutut seperti seorang pengawal yang menghormati majikannya, "Saya siap melakukan perintah dari Anda."

Aku berpikir sambil melihat Indra. Kepalaku menggeleng-geleng, "Tidak ... tidak, jangan berlutut hormat begitu."

"Eh?" Indra tampak bingung ketika aku memegang kedua bahunya untuk menyuruhnya kembali berdiri. "Master?"

"Ayo, kembalilah berdiri," suruhku.

"Baik." Indra pun kembali berdiri seperti apa yang aku suruh.

"Aku tidak suka diperlakukan hormat seperti itu. Jadi, biasa sajalah padaku mulai dari sekarang," kataku. "Dan, aku memanggilmu karena ada yang harus aku bicarakan denganmu."

"Tapi Master, saya sebagai bawahan Anda harus menghormati Anda karena itu penting," protes Indra dengan volume bicaranya yang rendah. Kepalanya menunduk tidak berani menatap mataku.

"Penting? Menurutku tidak penting, karena sekarang kau adalah temanku. Kau mau berteman denganku, Indra?"

Indra tampak terkejut karena matanya agak lebih terbuka dari yang tadi. Mulutnya bergetar ingin mengatakan sesuatu.

Aku berjalan mendekat dan memegang kedua tangannya.

Wow, tangannya dingin sekali.

"Master," Indra masih menunduk, namun matanya telah tertangkap oleh mataku, "Saya ... apa bisa berteman dengan Anda?"

"Tentu saja! Kenapa tidak? Oke! Karena kau setuju, maka kita sekarang adalah teman!!" seruku sambil menari-nari kecil dan masih memegang kedua tangannya.

Indra tertawa kecil melihat tingkah lakuku, "Master, Anda tampak bahagia. Itu membuat saya ikut merasa bahagia."

Aku tak mendengar suara hujan lagi. Karena penasaran, aku menarik kedua tangannya untuk mengikutiku berdiri di depan jendela. Buru-buru aku membuka jendelaku lebar-lebar. Lalu jariku menunjuk ke atas langit.

"Lihatlah, Indra! Hujannya sudah berhenti!" Walaupun begitu, itu membuatku lumayan bingung.

Hujan berhenti begitu saja dan awan abu-abu itu tidak ada yang tersisa sama sekali. Ada yang aneh, tapi aku tidak terlalu mempedulikanya.

"Ya," sahut Indra sambil terkekeh pelan. "Master, apa Anda ingin keluar?"

"Sebenarnya aku mau keluar untuk bermain bersamamu! Tapi ... Ibu dan Ayah menyuruhku menjaga rumah dulu. Mereka pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan," jawabku sambil menghempaskan diriku duduk di atas tempat tidur.

"Kalau begitu, kita main di sini saja," kata Indra.

"Tapi, kita main apa? Aku bosan!" tanyaku, merebahkan diri di atas tempat tidur dan berguling-guling.

Hm, aku jadi ingin makan sesuatu.

"Master maunya main apa?" tanya Indra balik sambil tertawa kecil.

"Ah! Aku tahu!" seruku tiba-tiba beranjak dari kasur. "Ayo kita main masak-masak!"

"Masak-masak?" Indra kembali tertawa kecil. "Atau, apa Anda merasa lapar?" tebaknya.

Pura-pura kesal, aku menggembungkan kedua pipiku yang memerah karena malu.

Sedari tadi, perutku memang keroncongan minta diisi. Aku pikir suara perutku tidak akan sampai terdengar oleh Indra.

"Indra, kau menyebalkan. Aku kesal!" ucapku dan membuang muka darinya.

Lagi-lagi aku mendengar suara Indra tertawa kecil.

"Baiklah, kita akan main masak-masak," kata Indra sambil berjongkok di depanku, sehingga kepalaku harus menunduk agar bisa melihat wajahnya. "Anda mau makan apa?"

"Buatkan sesuatu yang manis!" jawabku seperti memerintah.

"Hm, sesuatu yang manis? Apa di dapur Anda masih ada bahan makanan yang berkaitan dengan rasa manis?" tanyanya.

"Kalau ingin tahu, mari kita pergi ke dapur!" ajakku.

Tidak sabaran, aku menarik-narik kedua tangan Indra keluar dari kamar untuk menuju ke dapur. Sedangkan Indra tampak menerima saja dirinya ditarik sambil tertawa.

Hm, dia suka sekali tertawa, ya?

"Indra mau masak apa?" tanyaku sambil melihatnya tengah sibuk memperhatikan sisa bahan makanan di meja dapur.

"Bagaimana kalau panekuk?" usul Indra.

"Mau!!!"

"Hahaha! Kalau begitu, mari kita buat sekarang."

Aku menonton Indra sedang membuat panekuk. Melihatnya tampak jago memasak, aku jadi ingin belajar memasak, agar aku bisa memasakkan sesuatu untuk orang lain dan diriku sendiri.

"Aku! Aku! Aku juga mau buat!" seruku sambil melompat-lompat.

Indra menoleh ke arahku dengan tertawa, "Anda mau membuat panekuk juga?"

"Iya! Aku mau!"

"Baiklah, akan saya ajarkan caranya."

Sedang asyik bermain dengan Indra di dapur, tidak seperti sedang menunggu lama, Ibu dan Ayah sudah pulang ke rumah. Aku mendengar pintu dapur dibuka.

"Wah, bau wangi menggiurkan apa ini?"

Suara Ibu yang bertanya membuatku menoleh cepat ke arahnya yang sedang berdiri di depan pintu sambil membawa barang belanjaan.

"Ibu!!!" Aku berlari ke arah Ibu dan langsung memeluknya. "Ibu! Dia yang sudah membuat aroma wangi ini! Dia partner sihir dan temanku! Namanya Indra!"

"Oh ya?" Ibu menggandeng tanganku sambil melangkah masuk menghampiri Indra yang sedang tersenyum kepada kami. "Namamu Indra? Maaf, sudah merepotkanmu. Sica ditinggal di rumah karena aku dan suamiku pergi ke pasar dan akan memakan waktu yang lama di sana, takut Sicanya tidak kuat terus-terusan berdiri di pasar. Terima kasih sudah menemani dan menjaga Sica."

Indra menggeleng, "Tidak, tidak merepotkan sama sekali. Ini sudah menjadi kewajiban saya menemani dan menjaga Master. Lalu, saya membuat panekuk untuk Master karena dia ingin makanan manis. Saya juga membuatkannya untuk Anda dan suami Anda."

"Wah ...! Kelihatannya enak. Kebetulan, Ayah kelaparan sehabis menemani Ibu di pasar," ucap Ibu sambil mencubit kedua pipiku. Indra tertawa kecil melihatku dicubit. "Kalau begitu, Indra, mari kita ke ruang makan. Aku akan bantu membawakan semua panekuknya. Sekali lagi terima kasih, ya!"

Sejak saat itu, aku sering mengeluarkan Indra dari dalam lingkaran sihir pemanggilku dengan alasan yang bermacam-macam.

Ibu dan Ayah mempercayai Indra untuk tetap menjagaku jika mereka akan pergi keluar rumah lagi. Lalu, Indra sering menjadi penolongku dalam mengerjakan tugas matematika yang menumpuk. Dan kami sering bermain bersama. Kadang selain Ibu, Indra juga mengajariku memasak berbagai macam makanan.

Tidak terasa, umurku telah menginjak 15 tahun.

"Agghh!!"

SRUK!!

Aku terhempas jauh ke badan pohon besar di belakangku. Monster sihir itu mengangkatku dengan tangan mengerikannya dan melemparku seperti mainan.

Sial, punggungku sakit.

Aku berusaha berdiri dari posisi jatuhku. Lalu tanganku menarik sebuah tongkat sihir dari dalam kantong rokku.

Tongkat ini berwarna putih dan tipis. Bagi yang masih belum bisa mengeluarkan sihirnya dengan tangan kosong, diberikanlah sebuah tongkat sihir dari sekolah.

Oh iya, soal sekolah, aku diterima di Akademi Famagisa. Rasanya senang sekali.

Aku berencana melatih sihirku di hutan sepulang dari sekolah. Aku memerlukan kesunyian dan ketenangan untuk berkonsentrasi dalam bermeditasiku di dekat air terjun.

Jadi, aku memilih hutan.

Namun, betapa kesalnya diriku telah diserang oleh beberapa monster sihir yang ternyata tinggal di hutan ini.

"GHWAARR!!!"

Monster-monster sihir itu mengaum marah seperti monster. Eh? Mereka 'kan memang monster.

"Hei! Kalian itu berisik sekali, tahu tidak??" pekikku kesal sambil menutup kedua telingaku.

Monster sihir itu wujudnya bermacam-macam. Ada yang seperti ikan berbadan kuda, gajah berkepala badak, dan lain-lain. Namun ada juga yang wujudnya seperti monster pada umumnya. Seperti yang ada di hadapanku ini.

Salah satu monster melangkah ke depanku dan mengaum dashyat tepat di depan wajahku.

"GHWAAARRR!!!!!"

Saat monster itu mengaum, angin dari mulut baunya menerpa kepalaku hingga membuat rambutku berkibar kencang ke belakang. Air liurnya sampai menghujani wajahku. Dengan datar, aku menghadapi itu semua tanpa ada rasa takut, karena mungkin aku sudah sering berurusan dengan berbagai macam monster sihir.

Singkatnya, aku sudah terbiasa.

"Oh, baiklah, jika kalian mau bermain denganku, akan aku layani kalian semua!!"

Aku mengelap cepat semua air liur monster menjijikkan dari wajah dengan lengan baju sekolahku sambil memberikan serangan sihir petir dari tongkat sihirku ke salah satu monster.

Kakiku berlari cepat mencari jarak aman untuk menyerang. Monster itu tersengat oleh sihirku dan roboh. Tapi tidak lama kemudian, dia kembali bangkit dan ingin membalas.

BUUM!!

Tidak tahunya, ada dua monster sihir yang menyerangku dari belakang dengan bola sihir berwarna ungu yang dikeluarkan dari dalam mulut mereka. Bola sihir itu mengenaiku karena tidak sempat menghindar.

Sekali lagi, aku terjatuh. Tongkat sihirku juga terlempar jauh entah ke mana.

"Sial! Tidak ada pilihan lain!"

Aku menyeka cepat sedikit darah yang keluar dari mulutku. Segera tanganku menapak tanah, menciptakan sebuah lingkaran sihir berwarna biru tosca dan simbol kecil di dahiku.

"Sihir pemanggil! INDRA! AKU MEMANGGILMU!"

Seseorang yang kupanggil perlahan-lahan muncul dari bawah lingkaranku.

Indra, partner sihirku. Setelah lingkaran itu lenyap, dia membuka matanya dan cepat-cepat menolongku untuk bangkit.

"Master, Anda tidak apa-apa?" tanya Indra khawatir.

"Aku tidak apa-apa. Tongkat sihirku hilang. Aku meminta bantuan padamu," jawabku sambil memandang semua monster sihir yang ada. "Hancurkan mereka."

Tersenyum, Indra juga memandang monster-monster sihir di depannya. Dan tangannya mulai menggenggam sesuatu yang baru muncul, yaitu senjata andalannya.

"Laksanakan."

Sorenya, aku dan Indra sedang berjalan pulang menuju rumah. Matahari setengah tenggelam ke arah barat meredupkan arah timur, mengolah langit jingga bercampur biru pekat di atasnya.

"Ahh! Hari ini melelahkan!" keluhku sambil meregangkan otot kedua lenganku ke atas. Lalu memegang perut. "Lapar."

"Makan malam nanti, Anda mau masak apa?" tanya Indra sambil tertawa kecil.

"Entahlah, lihat saja nanti. Oh ya, sudah lama aku tidak memanggilmu, ya! Dan itu karena aku harus fokus belajar agar bisa diterima di Akademi Famagisa."

"Iya. Master telah tumbuh besar. Tapi," Indra berhenti melangkahkan kakinya membuatku juga ikut berhenti. Dia membungkuk padaku, mengamatiku dari ujung kaki sampai puncak kepala. Tangannya bergerak membandingkan ukuran tubuhnya dengan tubuhku, "tinggi badan Anda terlihat sama saja seperti dulu."

"Apa kau bilang?!" Aku ingin menyerangnya dengan cubitanku, namun Indra sukses menghindari tanganku. "Hei! Awas kau!!"

Indra melarikan diri sebelum aku akan mencoba menyerangnya lagi. Ukh, dia sangat gesit. Tanpa basa-basi lagi, aku segera berlari mengejarnya.

"Indra!! Jangan lari!"

"Hahahaha!! Ayo kejar, Master!"

Sisa perjalanan pulang kami akhirnya diisi oleh canda tawa dan keringat karena asyik berlari. Tinggal sedikit lagi sampai menuju rumah. Awas saja kalau sampai tertangkap.

Tuk!

"Wo-woaa!"

Tiba-tiba saja kakiku tersandung oleh batu di jalan. Aku akan jatuh.

"Master!"

Hup.

Tepat, aku tidak jadi terjerembab ke tanah. Indra berhasil mengejarku cepat dan sigap menangkap tubuhku agar tidak jatuh.

Lalu, tiba-tiba saja dia mengangkat tubuhku ke atas. Dan ternyata, sensasi tinggi saat diangkat sebentar terasa menyenangkan! Aku tertawa dengan bebasnya, begitu juga dengan Indra.

Bersamaan dengan itu, matahari tenggelam menghilangkan langit sore. Waktunya pulang.

Di atap sekolah, tempat paling sepi yang bisa aku gunakan untuk tidur siang disaat jam kelas sedang kosong. Anggap saja ini sebagai tempat persembunyianku untuk menghindari orang-orang egois.

Namun, aku tidak sendiri.

"Hari ini tidak belajar?" tanya Indra yang sedang duduk di sampingku.

Aku menggeleng lalu menyandarkan diriku ke sampingnya. Angin terus menerpa membawa kesejukan di sini. Rasanya damai.

Tangan Indra bergerak ke atas kepalaku dan mengelusnya lembut. Aku terbuai setiap akan elusan kepala Indra seraya memejamkan mata.

"Indra."

"Ya?"

"Tetaplah ... bersamaku."

Indra diam. Dia tidak membalas ucapanku. Aku ingin membuka kedua mataku untuk melihatnya. Tapi, mendadak kedua lengannya mengurungku di dalam pelukannya.

"Ada apa, Indra?" tanyaku dengan bingung dan masih terkejut karena mendadak dipeluk.

"Saya ... saya akan berusaha, untuk bersama Anda, melindungi Anda dari bahaya, dan membuat Anda bahagia," jawab Indra lirih.

Sedih.

Entah kenapa, bukannya merasa senang. Tapi, aku tidak ingin menangis. Aku tidak mau hujan turun.

Ya, aku jadi tahu, alasan mengapa hujan turun tiba-tiba disaat langit masih cerah.

Sorenya, di mana aku seharusnya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah bersama Indra. Tapi saat ini, aku sedang berada di gang sempit yang kotor dan bau.

Seorang gadis seumuranku dan dua kawannya menghalangi jalanku dan menarikku ke sana. Salah satunya mendorongku jatuh ke tanah.

"Jam kosong tadi pergi ke mana? Kau tidak ingat, bahwa kau adalah sumber uang kami? Seharian kami tidak makan apa-apa karena tidak ada uang, tahu!" tindas seorang gadis di tengah.

Mereka bertiga dikenal takut oleh banyak murid di sekolah. Mereka selalu menindas orang-orang yang dipandang rendah dan lemah, memanfaatkan orang lemah sebagai budak, dan sok berkuasa. Meskipun aku sering menjadi bahan tindas mereka, namun sebenarnya aku hanya pura-pura takut.

"Hei! Jangan diam saja!" Gadis yang di sebelah kanan tiba-tiba menendang perutku. "Kau diam karena suka dengan tanah yang kau duduki, ya?" Dia tertawa.

"Ah, sudahlah, hari semakin sore. Kita ambil saja semua uangnya sekarang. Hei, berapa keping yang kau punya?" Gadis yang sebelah kiri bertanya padaku.

"A-aku tidak punya uang," jawabku jujur.

"Ck. Dia pasti bohong. Jangan pelit! Cepat serahkan semuanya kepada kami!" ucapnya lagi dengan keras. "Kalau tidak---"

"Kalau tidak, apa?"

Suara Indra yang bertanya membuatku terkejut dan melihatnya berdiri di belakang ketiga gadis itu.

Tatapannya gelap. Aku dapat merasakan aura kemarahan yang mencekam. Ternyata dia mencariku.

Ketiga gadis itu membalikkan badan mereka ke belakang dan segera mengeluarkan tongkat sihir. Ini buruk. Jangan sampai mereka bertarung dengan Indra.

Tapi ... terlambat.

Malang, ketiga gadis itu terkena serangan mematikan kejut Indra.

Dan itu tidak bisa dihindari.

Senjata yang mengerikan.

Begitu terkena sedikit saja, seseorang akan lenyap menjadi serpihan kaca yang bersinar kemudian menghilang. Itulah yang ketiga gadis itu alami.

Mereka bertiga sudah tiada.

"INDRA! APA YANG ... K-KAU MEMBUNUH MEREKA BERTIGA! SIAPA YANG MEMERINTAHMU MELAKUKAN ITU?? MEREKA HANYA GADIS-GADIS LEMAH DAN KAU LANGSUNG MELENYAPKAN MEREKA BEGITU SAJA?!"

Teriakanku telah menciptakan tangisan dalam hujan deras yang mengguyur permukaan secara tiba-tiba. Aku tidak percaya ini. Teman baikku sendiri ...

"Ma-Master, saya merasa sangat marah melihat mereka menyiksa Anda, jadi---"

"JADI, KAU MEMUTUSKAN MEMBUNUH MEREKA? TANPA ADA PERINTAH DARIKU?"

Indra menatapku terkejut. Dia menunduk bersalah. Mulutnya tak dapat mengatakan apa-apa. Hanya suara guyur hujan yang menyahut.

"Indra," Aku mengangkat tanganku ke arahnya. Simbol kecil di dahiku mulai bersinar biru tosca, "Mungkin aku tidak akan pernah memanggilmu lagi, karena mulai sekarang, kau adalah musuhku."

Sebuah lingkaran sihir bersinar di tanah yang Indra pijak.

Dia menggeleng kuat, tangan kanannya bergerak ingin meraihku, namun sihirku memerintahkannya untuk kembali ke dalam lingkaran sihir, sehingga dia tidak bisa melangkah sedikit pun dari lingkaran.

"TIDAK! MASTER!!"

Tanpa ekspresi, aku berusaha untuk tidak menangis, namun tetap saja air mataku terus mengalir deras dan tersapu oleh hujan.

Setelah Indra menghilang oleh perintahku, aku menutup seluruh wajahku dengan kedua tangan. Berteriak kencang bersama suara hujan yang semakin berisik. Terduduk lemas di tanah basah dan tidak peduli dengan diriku telah basah kuyup.

Kenapa ... dia sangat bersikeras ingin melindungiku?

"PRINCESS!!!"

Eh? Itu kan suara ...

"QUEEN!!!"

"NONA!"

Mereka ... ada apa mereka memanggilku dengan nada cemas seperti itu? Seakan-akan, aku akan segera mati.

Atau, apa aku akan benar-benar mati?

Genta, Gabriel, Fox ...

"Hoaam ... Eh? Ada apa di sana? HAH? BEAUTY! DAN ADIK-ADIKKU!"

Aku juga mendengar Ades memekik cemas. Terdengar menyebalkan, tapi aku senang mendengar dirinya mengkhawatirkan adik-adiknya.

Dan Joe ... tunggu. Kenapa aku tidak mendengar Joe berteriak seperti mereka? Apa yang sudah aku lupakan?

"Uhuk! Uhuk!!"

Tiba-tiba aku terbatuk. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Berusaha keras aku menyadarkan diriku dan membuka mata. Tangan kanan yang aku gunakan sebagai penutupku sedang batuk, perlahan aku jauhkan untuk melihat telapaknya.

Darah.

"Queen! Akhirnya kau sadar juga! Jangan tutup matamu! Tetaplah terbuka! Ades sedang mencari obat darurat untukmu, jadi bertahanlah!"

Setelah melihat darahku sendiri, aku mengarahkan mataku yang masih lemah melihat ke arah Gabriel.

Aku baru sadar kalau tubuhku sudah ada dalam lindungannya. Lengan kanan sebagai sandaranku dan tangan kiri memegang tanganku yang berdarah dari batuk.

Gabriel terkejut menyadari tanganku terdapat darah karena tangannya otomatis mengenai darahku. Dia kembali menggenggam tanganku lebih erat bersama darahku, membiarkan tangannya ternoda.

"Darah terus keluar dari mulutmu ..." Suara Gabriel bergetar. "Khronos bisa mengendalikan semua waktu orang lain. Sedikit saja dia menghentikan waktu orang yang masih bernafas ... ti-tidak. Kau tidak akan mati. Kau akan tetap baik-baik saja! Hidupmu masih panjang! KAU HARUS KUAT, QUEEN!!"

DEG!

Sekarang aku ingat.

Joe. Dia masih tidak sadar karena terjebak oleh sihir telekinesis milik Aster.

Aster.

Dialah yang sudah membuat kekacauan ini. Lalu partner sihirnya, Khronos, dengan mudahnya melumpuhkanku dengan sihir waktunya.

Sementara itu, Genta dan Fox terlihat sedang bekerja sama untuk merampas mutiara sihir dari Aster.

Fox, dengan cambuknya, berusaha menarik kalung mutiara sihir itu ke tangannya. Di samping itu, Genta berusaha mengalihkan perhatian Khronos.

"Putri Aster," Fox masih melancarkan serangannya, berekspresi datar. "Kau jahat."

Sedangkan Aster tersenyum tajam sambil menghindari cambuk milik Fox, "Ah, Pangeran, jangan memujiku. Biasa saja," balasnya dengan nada manja.

Fox tampak kesal, "Kau mau dipuji, Tuan Putri?"

Aster terbahak, "Tentu saja, sayang. Mana mungkin ada orang yang tidak suka pujian. Iya, kan?"

Dia membalas serangan Fox dengan jarum jam raksasanya, melancarkan serangan menusuk bertubi-tubi. Namun, semuanya sukses dihindari oleh Fox.

"Baiklah. Ehem," Fox berdeham sebentar, lalu memulai, "Kau jahat, jelek, mengerikan."

"APA?!" Amarah Aster meledak.

Lebih cepat dari sebelumnya, dia menyerang bertubi-tubi kepada Fox. Tampak ringan, Fox berhasil menghindari itu semua. Aster geram melihatnya.

"Lambat," ucap Fox sekilas menyibak rambut biru tuanya hingga Aster dibuatnya terpesona.

"Ke-kerennya ..." puji Aster dengan mata berbinar.

Khronos tersenyum ramah kepada Genta di hadapannya, "Kau mau bernasib sama dengan gadis yang ada di sana? Kau tahu, sebentar lagi dia akan segera mati. Kalian tidak bisa menyelamatkannya dengan obat apapun itu." Dan dia agak melirik ke arahku dan Gabriel.

"JANGAN DENGARKAN DIA, QUEEN!" Gabriel tiba-tiba berteriak, sedikit menggucang tubuhku agar mataku kembali melihat padanya, "Dengarkan aku saja! Ya! Teruslah tatap aku! Jangan beralih ke mana-mana! Kau akan tetap selamat! Kami ada bersamamu! Giliran kami yang akan MELINDUNGIMU!"

Melindungiku? Tapi, kenapa? Hidupku sebentar lagi berakhir. Kenapa mereka bersikeras sekali?

"Karena mereka menyayangi Anda, Master."

DEG!

Suara itu ... milik Indra.

Satu kalimat yang berdengung di dalam diriku, seakan-akan memberiku kebangkitan yang baru. Walaupun aku tidak bisa bangun, tapi sihirku cukup untuk mengeluarkan satu kali sihir saja.

Ya, itu sudah cukup.

Akan aku berikan kau satu kesempatan, Indra.

To be continue⚡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top