It is Beautiful : 20

Sudah jam 10 malam.

Di ruang Miss Delisa, aku dan lelaki bersurai biru sedang berdiri di depan meja kerja Miss Delisa, menunggu beliau berbicara.

"Hmm."

Mendengar Miss Delisa mulai mengeluarkan suaranya, lelaki di sampingku tampak agak terkejut. Mata biru tuanya membelalak sebentar, lalu menghela napas kecil. Mungkin dia sudah pasrah dengan nasibnya.

"Pangeran Fox, saya mendengar laporan dari inspektur kepolisian bahwa Anda menghilang dari istana. Lagi," kata Miss Delisa, "dan sekali lagi saya yang menemukan Anda, namun dengan bantuan murid saya, Sica."

"Cih!" decih pangeran itu membuang muka. Melihatnya tampak tidak peduli, aku hanya menggelengkan kepala.

Fox Andor Famagisa, menjabat sebagai pangeran di kerajaan Famagisa. Dia adalah anak pertama dan terakhir. Dia juga bersekolah di Akademi Famagisa, tetapi tidak sekelas denganku. Pernah aku dengar dari teman-teman sekolah, Pangeran Fox selalu bersikap dingin dan tak acuh.

Miss Delisa menghela napas, mengumpulkan kesabaran. Kalau aku jadi Miss Delisa, aku akan menghukum murid berandal ini karena sudah membuat orang lain khawatir dan kerepotan. Dalam diam, aku hanya bisa melihatnya membuang muka.

"Sica," panggil Miss Delisa membuatku terlonjak.

"I-iya, Miss?" sahutku melihat ke arah Miss Delisa.

"Kau bisa jelaskan padaku, bagaimana caranya kau bisa sampai di sekolah?" tanya Miss Delisa meminta penjelasanku mengenai aku bisa berada di sini.

"Begini. Salah satu pangeran Avalous memberikan saya kuas sihir ini. Dengan kuas ini, saya bisa membuat portal dengan hanya melukiskan salah satu tempat yang ingin dituju. Maka, saya pun mencobanya. Ternyata, saya berhasil melukis Akademi Famagisa dan masuk ke dalam portal lukisan. Pada akhirnya saya sampai di sekolah ini dengan selamat," tuturku menjelaskan.

Miss Delisa tersenyum melihat kuas perak yang aku tunjukkan padanya. Pangeran Fox sedikit mengintip, namun wajahnya masih berpaling ke arah lain.

"Ah, sudah lama aku tidak melihat kuas sihir. Yang ini bahkan terlihat cantik dan antik," ucap Miss Delisa seraya meraih kuasku dan memandang indah benda berwarna perak itu, "biar aku tebak. Yang memberikan kuas sihir ini padamu adalah Pangeran Genta, bukan?"

Aku terkejut mendengar tebakan Miss Delisa seratus persen benar, "Ba-bagaimana Miss bisa tahu?"

Miss Delisa mengembalikan kuas sihir itu kepadaku. Dia beranjak dari kursinya dan berjalan menghampiri Pangeran Fox.

"Karena ada sebuah nama yang terukir jelas di sana," jawab Miss Delisa sambil memegang kedua bahu Pangeran Fox dan membelokkan tubuhnya untuk menghadapku.

"Hah? Ada nama di kuas ini? Di mana? Saya tidak bisa melihatnya!" kejutku tidak percaya sambil meneliti dengan jeli setiap sisi kuasku.

Miss terkekeh pelan, "Pangeran Fox pasti bisa melihat ukiran nama itu dari sini, kan?" tanya Miss Delisa kepada Pangeran Fox.

Pangeran Fox menghela napas, melihat dengan malas ke arah kuasku tanpa mendekat untuk melihat lebih jelas. Lalu dia menatap ke arahku.

"Genta Avalous," ucap Fox dengan nada dingin, "tulisannya tampak begitu jelas dari sini."

Aku tidak percaya. Bahkan dalam jarak yang jauh, Pangeran Fox mampu membacanya dari sini. Berkali-kali aku memutar-mutar kuas ini di tanganku, hasilnya aku tidak menemukan tulisan apa-apa. Aku menyerah.

"Tidak ada," balasku tidak bersemangat, "mungkin mataku mulai bermasalah."

Miss Delisa tertawa, sedangkan Pangeran Fox menatapku datar. Wajahku memerah karena malu tidak bisa menemukan nama yang terukir pada kuas ini. Pangeran Fox berjalan mendekat. Dia menarik tanganku yang sedang memegang kuas dan jarinya menunjuk ke suatu titik di kuas tersebut, di dekat rambut kuas.

"Sekarang, kau bisa lihat ukirannya."

Aku menajamkan mataku untuk melihat lebih jelas ke arah yang ditunjuk Pangeran Fox. Oh! Dapat! Ada ukiran nama Genta Avalous di sana! Kecil sekali hampir sekecil ukuran semut. Kesal sekali begitu melihat ukurannya. Tapi, Pangeran Fox dengan mudah bisa melihatnya dari jauh. Hebat.

"Ini terlalu kecil! Pantas saja aku tidak dapat!" seruku jengkel.

Pangeran Fox tersenyum sekilas, "Jangan protes. Itu sudah cukup besar. Matamu saja yang tidak fokus."

Miss Delisa tiba-tiba menepuk bahu kami, membuat kami menoleh ke arahnya. Dia tersenyum dan menepuk puncak kepala kami lalu mengacak-acaknya. Rambutku jadi berantakan.

"Sica, kau bisa ceritakan kepada kami tentang misimu di Avalous?" pinta Miss Delisa.

"Itulah yang ingin saya sampaikan kepada Anda, Miss. Dan juga ada pertanyaan yang ingin saya ketahui jawabannya dari Anda. Sebelum saya bertanya, akan saya ceritakan mengenai misi yang saya jalani sampai saat ini kepada Anda dan ... Pangeran Fox."

Mata Pangeran Fox mengarah kepadaku karena mendengar dirinya disebut. Tatapannya malas tetapi tajam. Lalu pandangannya mengalih ke arah lain, tetapi tidak membuang muka.

Aku pun mulai menceritakan semua yang sudah terjadi di Avalous termasuk masalah kerajaan Avalous yang menimpa sampai sekarang ini selain matinya jantung sihir. Miss Delisa menyimak sambil mengangguk-angguk mengerti. Sedangkan Pangeran Fox entah mendengarkan atau tidak, dia sedang berdiri di depan jendela, memandangi langit.

"Kerajaan Apolous? Tentu saja. Mereka sangat dikenal kejam dan serakah akan kekuatan sihir," kata Miss Delisa selesai aku menceritakan masalah yang menimpa raja dan ratu Avalous, "dan sihir ilusi itu ... sangat sulit ditaklukan."

"Lalu, saya ingin menanyakan tentang berubahnya warna kalung mutiara ini. Apa ada alasan mutiara sihir ini mengubah warnanya menjadi merah?" tanyaku sambil menampakkan kalung mutiara sihir yang kupakai.

"Hmm," gumam Miss Delisa seraya mengamati kalung mutiaraku, "tidak apa-apa. Warnanya berubah karena kau sering menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan sihirmu. Hanya saja jika warnanya berubah berwarna hitam, kau harus cepat-cepat melepasnya dari lehermu."

"Melepaskannya? Kenapa?"

"Karena itu berbahaya."

Bukan Miss Delisa yang menjawab, melainkan Pangeran Fox. Aku menoleh ke arahnya, begitu juga dengan Miss Delisa. Dia berbalik dari jendela sampai mengibarkan jubah putihnya, menatapku sebentar.

Miss Delisa menjentikkan jarinya, "Benar. Pokoknya kau lepaskan saja kalungnya jika sudah berwarna hitam. Takutnya, mutiara sihir akan menguasai tubuhmu dan membuat kekacauan."

"Baiklah, aku mengerti." Aku mengangguk paham. "Terima kasih atas jawabannya, Miss. Dan ... Pangeran Fox."

Pangeran Fox berpaling, kembali mengarah ke jendela tanpa mengatakan apa-apa lagi. Miss Delisa tiba-tiba menepuk bahu dan menunduk ke depan telingaku, membisikkan sesuatu sehingga tidak bisa didengar oleh Pangeran Fox.

Di lantai atas atau biasa disebut sebagai atap sekolah, Pangeran Fox sedang berdiri beserta kepala yang sedikit mendongak memandangi langit yang terhampar oleh jutaan bintang.

Aku mengikutinya berjalan sampai ke sini dan masih bersembunyi di balik pintu sambil mengamati. Ini saatnya aku keluar dan menghampirinya.

"Pangeran Fox, sedang apa?" sapaku bertanya basa-basi walaupun sudah mengetahui jawabannya, seraya berjalan santai dan berhenti di sampingnya sedang berdiri.

Pangeran Fox tidak menoleh, namun mulutnya bersuara, membalas perkataanku.

"Aku suka langit."

Balasan yang simpel walaupun jawabannya terdengar tidak nyambung oleh pertanyaanku. Namun, aku bisa melihat mata biru tuanya itu terlihat berkilauan ketika melihat ke arah langit. Aku tersenyum.

"Jadi, kau pengagum langit?" tanyaku.

Pangeran Fox menoleh, menatapku sebentar lalu memandang ke bawah di mana halaman sekolah yang sepi berada.

"Iya," jawab Pangeran Fox singkat.

"Kalau begitu, kita sama! Oh iya, bolehkah aku tahu, kenapa kau selalu menghilang dari istana?"

Mata biru tua itu kembali menatapku, kali ini lebih lama. Dia tampak ragu untuk menjawab. Menyadari keraguannya, aku segera menepuk bahunya.

"Tidak dijawab juga tidak apa-apa. Tapi kalau kau mengatakannya, mungkin aku bisa membantumu," ucapku.

Pangeran Fox melihat tanganku menyentuh bahunya, terlihat bingung dan risih. Aku tersenyum seraya melepaskan sentuhanku. Jika dia mengatakan masalahnya, aku akan membantunya. Kalau dia diam saja, ini akan sulit.

"Bosan."

"Apa? Bosan?" ulangku memastikan.

Pangeran Fox mengangguk dengan kaku beberapa kali, "Aku ... bosan. Di istana membosankan. Jadi, aku sering kabur dari istana agar tidak merasa bosan."

Ah jadi begitu. Ternyata Pangeran Fox sering dikabarkan menghilang karena kabur dari istananya sendiri dengan hanya satu alasan, yaitu BOSAN. Aku tertawa lepas mendengar penjelasannya, membuat pemuda bersurai biru ini mengernyitkan alis.

"Aku tahu bagaimana rasanya. Membosankan itu sangat menyebalkan, seakan-akan kau merasa hidup di dunia ini hanya membuang-buang waktu saja," ucapku, "tapi, kalau kau mau, aku bisa membuatmu tidak menderita oleh kebosanan lagi."

"Bagaimana caranya?" Pangeran Fox tiba-tiba menjadi sangat antusias, melangkah maju seraya memegang kedua bahuku.

"Ikutlah denganku, ke Avalous. Jika Yang Mulia Raja dan Ratu Famagisa mengizinkanmu ikut, maka aku akan membawamu ke Avalous. Di sana, kau akan bertemu dengan orang-orang unik! Dengan begitu, kau tidak akan merasa bosan lagi. Kau akan selalu bersenang-senang!" jawabku seperti sedang mengajaknya ke Avalous, mengulurkan tanganku untuk menyambut tangannya. "Kau mau ikut?"

Pangeran Fox melihat tanganku agak lama. Tangan kanannya bergerak pelan, ingin meraih tanganku. Karena tidak sabar, aku lantas memegang tangannya itu, membuatnya terkejut dari matanya yang terbuka lebih lebar.

"Pangeran Fox, mulai sekarang kita berteman!" seruku.

Pangeran Fox tidak terlalu mengeluarkan ekspresinya, memasang wajah kaku. Tetapi, matanya tampak mengkilap seperti batu safir yang menarik perhatian mata semua orang.

Kami kembali memandangi langit dengan rasa takjub. Angin malam yang dingin tiba-tiba menghembus membuat tubuhku agak menggigil kedinginan. Aku memeluk diriku sendiri sambil menggosok-gosok kedua lenganku, berusaha untuk tetap menjaga kehangatan suhu tubuh.

"Nona," panggil Pangeran Fox.

"Ya?" sahutku menoleh padanya.

Mengetahui aku mulai kedinginan, Pangeran Fox melepaskan syal pada lehernya dan membebatkannya di leherku.

"Panggil saja aku Fox," ucapnya dan tersenyum secukupnya. Senyuman yang singkat, tapi terlihat manis dan tidak memaksa, "Dingin. Sebaiknya kita masuk."

"Oke, Fox!" seruku. "Ide yang bagus! Mari kita kembali. Dan terima kasih atas syalnya."

Fox kembali tersenyum. Kali ini durasinya agak lama. Aku sampai terpaku. Senyumannya hangat dan manis, seperti rasa teh.

"Sama-sama."

Aku kembali lagi ke Avalous dengan bantuan kuas sihir. Tetapi, aku tidak sendirian. Aku ditemani oleh Fox. Dia diizinkan oleh orang tuanya alias raja dan ratu Famagisa untuk berlibur di Avalous. Setelah liburan sekolah berakhir, dia akan pulang ke Famagisa. Dan mungkin akan pulang bersamaan denganku nanti.

Sampainya kami di Avalous, kami langsung melesat tidur karena sudah sangat mengantuk. Keesokan paginya, kami kesiangan.

Aku bangun lebih dulu dibandingkan Fox. Dan karena tempat tidurku sangat luas dan aku percaya bahwa Fox tidak akan macam-macam padaku, aku menyuruhnya tidur seranjang denganku. Dia sama polosnya dengan Joe. Jadi, menurutku tidak apa-apa.

Seluruh wajah Fox tampak jelas di mataku, karena sekarang aku masih berbaring bersamanya di tempat tidur dengan posisi berhadapan. Bulu matanya lentik. Wajahnya ketika sedang tidur terlihat tenang dan damai sekali hingga membuat tanganku ingin bergerak menyentuh sedikit wajahnya. Tapi, tiba-tiba saja aku merasakan ada empat aura gelap yang bergabung membentuk firasat buruk. Dari mana asalnya?

"Queen? Siapa orang ini? K-kenapa dia bisa tidur seranjang denganmu?? Petaka!"

Suara Gabriel membuatku bangkit dan melihatnya mengarahkan ujung gembornya ke arah Fox, siap untuk menyiram. Tidak hanya Gabriel yang masuk dan melihat Fox masih tidur.

"Eh? Ada tamu, ya? Kok tidak bilang-bilang?"

Itu suara Genta. Dia memegang sebuah kemoceng dan menodongkannya ke arah Fox sambil tersenyum seperti biasanya. Kenapa harus kemoceng? Mungkin selesai bersih-bersih.

"Beauty, kenapa kau tega melakukan ini kepadaku?"

Ades mengarahkan roti di tangannya menunjuk Fox. Dan sambil memakan rotinya juga. Dia terlihat kelaparan.

"Dia harus dilenyapkan."

Joe membawa pisau dapur dan mengarahkan benda tajam itu ke depan dada Fox, siap menusuk jantung Fox kapan saja. Dan tentu saja aku tidak akan membiarkan Fox mati hanya karena salah paham melihat ini semua.

Semoga mereka bisa menerima Fox dan berteman baik.

To be continue⚡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top