It is Beautiful : 19
Dari semua kamar para pangeran termasuk kamarku, menurutku kamar yang paling rapi dan bersih adalah kamar Genta. Tapi, kalau masalah merapikan atau mendekorasi kamar orang lain, dia pun berubah menjadi perusak kerapian dan kenyamanan orang lain.
Di dalam kamarnya, aku memilih duduk di kursi. Sementara Genta duduk bersimpuh di lantai, di depan kakiku. Pakaian pelayan merah muda itu masih dikenakannya. Aku jadi merasa aneh melihatnya duduk bersimpuh di depanku, seakan-akan dia adalah budakku, sedangkan aku sebagai majikannya.
"Kenapa kau duduk di lantai menghadapku seperti itu?" tanyaku dengan tatapan datar.
"Karena sekarang aku masih menjadi seorang pelayan, bukan pangeran yang kau kenal. Dan adikku Gabriel telah mengganti namaku menjadi Genty. Salam kenal," jawab Genta menunduk memberi hormat dan kembali mendongak dengan senyum.
Aku pun melongo tak mengerti. Apa dia sangat menyukai waitress yang dipakainya sampai Gabriel repot-repot merangkai nama baru untuk pelayan sementaranya ini? Genta jadi mulai menggelikan dibandingkan Ades.
"Jadi ... apa yang ingin kau tunjukkan padaku?"
Ya, sebaiknya tidak usah menanyakan hal yang tidak penting. Aku baru sadar kalau tujuanku ke kamarnya adalah menerima ajakannya untuk menunjukkan sesuatu padaku. Bukan untuk berbasa-basi.
"Oh, itu benar. Akan aku tunjukkan. Tapi sebelum itu, aku ingin ganti baju dulu. Tunggu sebentar, ya!"
Genta beranjak dari duduknya dan melangkah menghampiri lemarinya. Dia mengambil piyamanya lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Ketika kepalaku ingin mengalihkan pandangan dari pintu kamar mandi yang baru saja tertutup, dia mendadak keluar menyembulkan kepalanya membuatku terkejut.
"Bersantailah. Anggap saja sebagai kamar sendiri, ya!" ucap Genta dan kembali menutup pintunya. Oke, aku jadi kesal.
Aku mengetuk-ngetuk kakiku ke lantai. Merasa bosan, aku beranjak dari kursi dan berjalan ke arah jendela yang tertutup oleh tirai putih. Tanganku sedikit membuka tirai jendela itu untuk mengintip keadaan di luar. Dan saat aku melihat ke luar jendela, mataku terbuka lebih lebar.
Bintang.
Tidak puas hanya mengintip saja, aku lantas membuka lebar tirai jendelanya dengan rasa tidak sabar. Jendela pun sepenuhnya menampakkan keindahan malam yang sudah lama tidak aku lihat. Beberapa kali mataku melihat ada bintang jatuh. Sungguh langit malam yang indah bertabur jutaan bintang berkelap-kelip cantik.
"Princess sedang apa?"
Aku menoleh dan mendapati sosok pangeran bersurai hijau yang tidak lagi mengenakan baju pelayan wanita, melainkan piyama bercorak hijau pastel dengan motif bintang-bintang kuning. Dia berdiri di sampingku, menengok ke arah jendela. Aku pun juga kembali melihat ke arah langit.
"Langitnya indah. Bintang-bintang berkelap-kelip menghias langit malam pekat. Apa setiap malam langit akan selalu seperti ini?" tanyaku.
"Tentu. Kecuali jika hujan datang pada malam hari. Bintang-bintang di sana tidak akan bisa terlihat di mata kita, karena tertutup oleh awan hujan," jawab Genta.
Aku mengangguk mengerti, lalu menoleh ke arahnya. Dia juga memalingkan kepalanya dari jendela, menatapku.
"Sekarang, kau bisa keluarkan sesuatu yang ingin kau tunjukkan padaku. Aku jadi penasaran," kataku.
"Baiklah, tunggu ya!" Genta berjalan menjauh dariku, menghampiri meja dan membuka laci yang ada di meja tersebut.
Aku segera menutup tirai jendela lalu berjalan menghampirinya yang sedang mengobrak-abrik laci mejanya itu. Tidak lama kemudian, tangan kanannya keluar dari laci sambil menggenggam sesuatu yang mungkin adalah benda dicarinya sejak tadi.
"Kuas?" Aku memandang bingung sebuah kuas yang terlihat tua itu.
"Ya. Agak berdebu, ya? Maaf, sudah lama aku menyimpannya sejak jantung sihir tidak berdetak lagi," jawab Genta segera menyapu debu di kuas itu dengan tangannya dan sedikit meniupnya.
Kuas itu pun menjadi terlihat menarik setelah debu-debu menjengkelkan itu sudah membuat kuas itu tampak tua. Ternyata kuas perak itu terlihat bagus dan cantik. Ada ukiran-ukiran gelombang yang menarik mataku untuk melihatnya lebih lama.
"Jadi, itu bukan kuas biasa?" tanyaku.
"Benar. Ini kuas sihir. Sudah bertahun-tahun aku memiliki ini. Ayahku yang memberikannya sebagai hadiah ulang tahunku sejak kecil. Dan aku sangat menyayangi kuas ini," jawab Genta. Dia mendekatkan kuas itu ke wajahnya, seakan-akan sedang memeluk mesra dengan benda kesayangannya.
"Apa kuas itu dapat membuat orang yang tidak bisa melukis menjadi sebaliknya?"
Genta tersenyum lebar, "Mungkin ada benarnya. Tapi, kuas ini tidak hanya bisa melukis di sebuah papan kertas polos, melainkan ... di mana pun!"
Aku mengangguk sedikit memahami. Tapi, aku tidak mengerti maksud dari kuas itu bisa digunakan untuk melukis di mana pun. Mungkin maksudnya sejak kecil dia biasa melukis di sembarang tempat, seperti lantai dan dinding.
"Jadi, dulu kau nakal sekali melukis di dinding dan lantai kamarmu?" tanyaku dengan kedua alis yang mengerut karena bingung.
Genta terkekeh pelan, "Bukan, bukan itu maksudku. Kuas sihir ini bukan hanya digunakan untuk sekadar melukis saja. Seperti portal sihir, namun yang ini lebih mudah. Kuas ini akan melukiskan tempat apa yang ada dipikiran kita. Cara menggunakannya, kita dekatkan ujung kuasnya ke dinding, lalu mulailah melukis. Sesuatu yang kita bayangkan akan terlukiskan karena kuas ini. Tetapi, kau hanya bisa melukiskan tempat-tempat yang pernah kau kunjungi. Dan satu lagi, kau tidak perlu repot-repot mencelupkan kuasnya dengan cat warna, karena ini adalah kuas sihir."
"Oh ... sekarang aku paham. Kuas sihir ini bisa membawa kita ke suatu tempat yang pernah kita kunjungi dengan cara melukiskan tempat yang ingin dituju ke dinding? Ajaib sekali!" Aku ber-oh ria dan takjub mendengar penjelasan tentang kuas sihir milik Genta, "Tapi, sekarang kau tidak bisa melukis apa pun, karena jantung sihir Avalous tidak hidup."
Genta mengangguk pelan, terlihat sedih. Dia mengembangkan senyumnya yang tadi sempat menghilang. Kakinya melangkah untuk berhadapan denganku dan menyodorkan kuas itu kepadaku, membuatku menatap tanya padanya.
"Kau mau memegang kuas ini?" tawar Genta.
"O-oh, iya," terimaku sambil meraih kuas itu dari tangannya.
Tiba-tiba aku bisa merasakan kilauan kekuatan sihir pada kuas ini. Seperti glitter putih yang terbang mengelilingi kuasnya beserta tanganku, pertanda kuas ini menerima tanganku menyentuhnya.
"Dia bereaksi pada sihirmu, ya?" tanya Genta sambil memandang terkejut dan kagum pada kuasnya, "tidak pernah aku melihat kuasnya sangat cepat menerima respon dari sihir orang lain."
Aku menggerakkan kuas ini ke atas. Kilauan sihirnya jadi menyebar ke depanku. Ketika aku turunkan, kuasnya menciptakan satu garis gelombang sihir berwarna putih yang indah. Tidak lama garis gelombang sihir itu berangsur-angsur menghilang.
"Wow ... keren," gumamku memuji kuas cantik ini. "Pasti kuas sihir ini mahal. Mungkin sekitar ... 70 keping emas?"
Di dunia ini, kami semua memakai sistem keuangan untuk menukar sesuatu dalam bentuk keping yang terbagi menjadi tiga, yaitu emas, perak, dan perunggu. Tentunya emaslah yang paling besar harganya.
"Jika saja kuas itu bisa membawaku ke kerajaan Apolous, aku pasti bisa menyelamatkan kedua orang tuaku." Genta menunduk dengan kedua tangan terkepal. Meskipun suaranya tadi terdengar kecil, tapi aku masih bisa mendengarnya karena dia ada di dekatku.
"Mungkin bisa! Tapi, tidak hanya kau yang akan ke sana. Kau bersama ketiga saudaramu, juga termasuk aku, akan ikut bersamamu ke kerajaan Apolous untuk menyelamatkan raja dan ratu!" seruku seraya menepuk pundaknya untuk membuatnya kembali bersemangat.
Genta mengangkat kepalanya, menatapku dalam namun terlihat memancarkan kesedihan. Senyumannya juga tampak dipaksakan.
"Tidak, kita tidak bisa ke sana," ucap Genta membuatku terkejut dan ingin membantahnya.
"Kenapa tidak bisa? Bukankah kau punya kuas ini? Dengan ini, kita bisa langsung sampai ke kerajaan sialan itu! Kita hajar Pangeran Kanta serta ratu Apolous yang telah menculik raja dan ratu Avalous!"
Genta menggeleng pelan seperti orang yang telah putus asa, "Aku sudah menjelaskan, bahwa kuas ini hanya bisa melukiskan suatu tempat yang pernah kita kunjungi. Dan aku ... tidak pernah ke kerajaan Apolous. Begitu juga dengan ketiga saudaraku. Di sana terdapat banyak sihir ilusi yang berguna untuk melindungi istana mereka dari musuh. Tidak pernah ada yang bisa ke sana untuk menghajar kerajaan jahat itu. Tak ada harapan ... untuk menyelamatkan Ibu dan Ayah."
"Itu tidak mungkin! Pasti ada jalan! Orang tua kalian akan tetap selamat! Hei, aku ada di sini, untuk memberi kalian kekuatan! Mengeluarkan kalian dari kesesatan dan menyingkirkan keputusasaan kalian! Jangan menunduk! Tegakkan kepalamu!" pekikku sambil melangkah maju agar aku bisa melihatnya lebih jelas, dan ... dengan kaki sedikit berjinjit meskipun kepalaku tetap harus mendongak.
Genta juga hampir sama tingginya dengan Ades. Tidak, tubuhkulah yang terlalu pendek. Aku hanya bisa mampu melihat mata Joe tanpa berjinjit. Kalau Gabriel, dia juga tinggi namun kepalaku tidak terlalu mendongak untuk melihat wajahnya dan juga tidak perlu berjinjit.
"Tapi ... tapi bagaimana? Bagaimana caranya agar kita bisa ke sana? Apa kau tahu itu, princess?" Genta tiba-tiba sekali lagi duduk bersimpuh di depanku, tetapi kepalanya mendongak masih menatapku.
Aku menunduk, memberinya senyuman, "Aku tidak tahu. Tapi jika kita tidak berputus asa, maka sebuah jalan tidak lama lagi akan menuntun kita untuk sampai di sana. Jadi, jangan langsung menyerah begitu saja. Kita pasti bisa menyelamatkan raja dan ratu. Percayalah padaku."
Mata Genta memberiak, termangu dengan kata-kataku. Dia memejamkan kedua matanya untuk sementara dan bersuara.
"Princess, kau adalah cahaya kami. Kau datang menerangi kami dari kegelapan yang menyesatkan kami. Ketika jantung sihir mulai terisi, itu karena kau sudah berusaha untuk mempersatukan kembali kami berempat. Kau sudah membuat kami banyak berhutang padamu. Dan sekarang, kau ingin membantu menyelamatkan Ibu dan Ayah kami. Kau ... sangat baik. Aku sangat malu, karena sudah menyerah sebelum berusaha. Aku percaya padamu, princess. Ya, pasti ada jalan."
Genta kembali membuka matanya dan menyungging senyuman hangat seperti biasanya. Aku juga memberi senyuman hangatku, dan juga memberikan sentuhan tanganku ke puncak kepalanya.
"Tidak perlu merasa berhutang. Aku senang bisa membantu kalian. Bagiku, kalian adalah temanku yang sangat berharga dibandingkan apapun. Aku ... tidak akan membiarkan kalian berada dalam keputusasaan. Akan aku bawa kalian ke jalanku, di mana kalian akan tetap bersatu dan saling menyayangi."
Aku melepaskan sentuhanku dari kepalanya. Genta tampak menyimak kata-kataku dalam tatapan terkesiapnya. Selesai aku berkata, dia menangkap tanganku.
"Princess, kuas yang ada di tanganmu, sekarang milikmu."
Aku terkejut mendengar Genta tiba-tiba menyerahkan kuas kesayangannya begitu saja kepadaku, "A-apa?! Genta, aku tidak bisa menerima kuas ini. Bukankah ini adalah barang kesayanganmu yang diberikan oleh Ayahmu? Tidak. Aku tidak bisa."
Tatapan Genta mulai serius, "Aku memaksa. Terimalah kuasku. Itu akan lebih membantu untukmu dibandingkan aku."
"Tapi, Genta---"
"Terima."
Genta benar-benar memaksaku untuk menerima kuas perak ini menjadi milikku. Aku menghela napas. Jika dia memaksa, maka apa boleh buat selain menerima kuasnya.
"Baiklah. Aku terima kuasmu. Terima kasih, Genta."
⚡
Di kamarku, aku sedang berbaring sambil memandang kuas perak yang aku letakkan di nakas tak jauh dari tempat tidurku. Aku sangat penasaran dengan kuas itu. Tanganku gatal ingin mencoba melukis di dinding. Tapi, ini sudah malam. Lebih baik besok saja.
Aku menarik selimut dan menutup kedua mataku, mencoba tidur.
"Tapi, aku penasaran."
Aku membuka kedua mataku kembali bangun dari tempat tidur, mengambil kuas perak itu. Daripada tidak bisa tidur, lebih baik aku mencoba kuas ini saja.
Ketika kuas ini berada di tanganku, cahaya sihir yang cantik mulai menguasai kuas ini. Cahayanya seakan-akan menyuruhku untuk segera menggunakannya. Baiklah, akan aku coba.
Aku berjalan mendekat ke arah dinding kamar yang polos. Tanganku bergerak ke depan mengarahkan kuas ke arah dinding. Ketika ujung kuas itu sudah menyentuh dinding, sesuatu terjadi pada dinding itu. Dinding putih polos itu tersentuh oleh warna dari kuas ini!
"Bagaimana kalau aku melukis Akademi Famagisa?"
Aku mulai menorehkan kuasku ke dinding. Dan ... keajaiban pun terjadi. Saat aku mulai melukis, dinding ini mulai terisi oleh pikiranku akan melukis sebuah bangunan sekolahku. Kilauan sihir telah menguasai dinding yang tak lagi berwarna putih polos, melainkan sebuah lukisan indah bernama Akademi Famagisa!
"Woah ..." takjubku memandang hasil lukisan dari kuas ini. "Seperti aslinya! Bukan, tapi ini memang Akademi Famagisa! Menakjubkan!"
Tanganku mendekat ke arah lukisan tersebut, ingat menyentuhnya. Dan keajaiban terjadi lagi. Tanganku ... seperti baru saja masuk ke dalam lukisan! Aku terkejut dan refleks menarik tanganku dari lukisan itu dan melangkah mundur.
"A-apa yang sudah terjadi?" Dan tidak lama aku teringat penjelasan Genta mengenai kuas sihir ini. "Oh! Aku ingat. Kuas ini sama halnya dengan fungsi portal sihir, namun jika ada kuas ini akan lebih mudah. Jadi, tadi itu tanganku bukan masuk ke dalam lukisan, melainkan berpindah tempat! Kalau begitu, aku bisa pergi sebentar ke Akademi untuk menanyakan tentang kalung mutiaraku kepada Miss Delisa!"
Aku mengangguk paham seraya memandang lukisan Akademi Famagisa di depanku. Kakiku mulai melangkah maju kembali mendekat ke lukisan. Sebelum pergi, aku menoleh ke belakang.
"Aku tidak akan lama. Jadi, semoga mereka tidak mencari dan mengkhawatirkanku. Aku akan segera kembali."
Aku pun memalingkan kepala ke depan, menghadap lukisan. Satu tarikan napas dan hembusan tenang aku lakukan. Setelah itu, aku melangkah masuk ke dalam portal lukisan.
Tidak lama kemudian, aku telah sampai di salah satu koridor sekolah. Portal lukisanku tercipta di dinding koridor, tempat aku keluar dari lukisan. Keluar dari portal itu, aku berbalik dan melihat sebuah lukisan isi kamarku yang ada di istana Avalous. Jadi, kalau aku kembali masuk ke sana, aku akan segera sampai di kamarku. Memang mirip seperti portal sihir, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.
"Oh astaga! Ini kan masih malam!"
Aku menepuk jidat atas kecerobohanku. Tidak mungkin ada orang di sekolah, karena sekolah tidak memiliki jadwal kegiatan di malam hari. Dan tidak mungkin juga Miss Delisa malam-malam ke sekolah kecuali jika ada tujuan yang berkaitan dengan sekolah atau muridnya. Bahkan sekolah masih diliburkan.
Aku menghela napas berat, "Mungkin lain kali saja. Sebaiknya aku kembali."
Ketika aku akan berbalik ke arah lukisan untuk segera kembali ke Avalous, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang akan mendekat. Sepertinya itu berasal dari dua keberadaan sihir yang tidak berbahaya.
"Hahahaha!! Bwee! Kau tidak bisa menangkapku!! Terlalu lamban!"
Seorang pemuda berambut biru sedang berlari sambil menjulurkan lidahnya ke arah seseorang yang sedang mengejarnya. Lalu, orang yang sedang mengejar lelaki bersurai biru itu adalah ...
"Miss Delisa!" seruku terkejut melihat sosok berkacamata Miss Delisa ada di sekolah.
"Sica?" Miss Delisa tampak terkejut melihatku ada di sini, "Sica! Tolong jaga di depan! Jangan sampai dia lolos!!"
"Ba-baik!"
Dan aku juga mengenali lelaki bersyal biru itu. Meskipun aku tidak berteman dekat dengannya, tapi semua orang di Famagisa tentu sangat mengetahui tentangnya. Huh, pasti dia melarikan diri lagi, sehingga Miss Delisa harus repot-repot menangkapnya dan menasihatinya nanti.
Mata lelaki itu terus mengarah ke Miss Delisa. Dia lengah. Ini kesempatanku untuk menangkapnya.
Aku sedikit menepi, membuat strategi untuk menghentikannya. Kaki kananku sedikit diangkat dan punggungku dengan santai bersandar di dinding. Tinggal menunggunya datang.
"Ah!!"
DUGH!!
"Berhasil," ucapku sambil melihat posisi jatuhnya yang tak sengaja mencium lantai. Dia tidak melihat ada kakiku di depan jalannya, sehingga dia tersandung oleh kakiku dan berakhir tersungkur.
Dia ingin segera bangkit dari posisi jatuhnya, namun aku cepat-cepat mengeluarkan sihir petirku untuk memaku setiap ujung bajunya ke lantai agar dia tidak bisa bergerak. Petir-petir kecilku pun muncul dan menahan setiap ujung baju dan celana panjangnya.
"A-apa?! Sihir petir? Dari mana ini??"
Dia terlihat bingung dengan sihirku yang tiba-tiba telah menahannya agar tidak bisa bergerak. Aku tertawa kecil dan berjongkok untuk melihat wajahnya. Dia terkejut ketika matanya bertemu dengan mata merahku.
"Dari sihirku. Sekarang, kau sudah tertangkap oleh petirku, Pangeran."
To be continue⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top