It is Beautiful : 14
Tok tok tok!
Tanganku pun mengetuk pintu kamar Ades ketika sudah sampai di tujuan. Ini masih jam 9 malam. Aku harap dia belum tidur. Tapi, tidak ada jawaban dari dalam atau pun gerakan kenop pintu dari tangan yang memutar dari dalam. Gawat, bagaimana nasib Gabriel kalau seperti ini? Tidak ada cara lain.
Sihir petirku mulai bekerja. Tangan kananku dikelilingi oleh sihir petir yang dapat membuat orang lain tersengat jika ada yang menyentuh tanganku. Termasuk benda-benda apapun yang aku sentuh, benda itu akan menjadi gosong dan rusak.
Itu benar, aku akan menghancurkan pintu kamar Ades.
TRAKKSS!!!
Ketika tanganku menghajar badan pintu, seluruh bagian pintunya langsung berubah drastis menjadi kayu gosong. Pintu itu rusak dan jatuh terhempas begitu keras ke lantai. Selesai.
Ini belum selesai. Aku harus membangunkan Ades yang terlihat sedang tidur dengan nyenyak di tempat tidurnya. Apa tadi suara gaduh yang aku buat tidak mempengaruhi ketenangannya? Astaga, mungkin karena kurang berisik.
Aku melangkah masuk ke dalam dan menghampiri tempat tidur Ades. Dia masih tidur. Ada iler yang merembes di sudut mulutnya. Ilernya sampai mengenai bantalnya. Ah! Kenapa aku malah memandangi ilernya? Aku harus membangunkannya sekarang. Tidak ada waktu lagi.
"Ades! Ades, bangun!" kataku seraya mengguncang-guncang tubuhnya.
"Mmhh ..." gumaman Ades menghentikan gerakanku membangunkannya. Apa dia bangun? "Nona, kau terlalu bersemangat. Tentu saja kau cantik. Zzz ..."
Kesal dengan Ades! Rupanya dia mengigau! Aku tahu pasti dia memimpikan para gadis cantik. Dasar pangeran genit! Aku akan menghancurkan mimpinya itu dengan cara ... ah, di nakas itu ada segelas susu coklat! Hehehe.
Aku mengambil susu coklat itu dari nakas. Minuman itu aku dekatkan ke penciumaku untuk mengecek apa susu ini masih bagus atau sudah basi. Hm ... susu ini sudah basi. Bagus, akan aku berikan susu ini sekarang kepada Ades.
Syuurr!
Semua isi susu basi itu aku gunakan untuk menyiram wajah Ades. Tidak sampai habis aku menyiram, Ades sudah berhasil dibangunkan dengan mata memberiak melihat ke arahku sedang tersenyum.
"Beauty!" kejut Ades.
"Hai, pangeran kebo! Sudah bangun? Ah, bagaimana rasa susu basinya? Enak, kan?" Aku meletakkan gelas itu kembali ke nakas dan berkacak pinggang.
"Ah cantikku, ada apa gerangan kau membangunkan pangeranmu ini? Kau mau tidur bersamaku? Tentu, sila---"
PLAK!!
"Jangan sekarang apalagi nanti, kau membuatku geli. Ada yang memerlukan obatmu," ucapku dengan datar tidak peduli dengan kata-kata jijiknya barusan memberikannya satu tamparan di pipi kirinya.
Ades menyentuh pipi kirinya. Matanya tampak berbinar memancarkan aura semangat. Oh iya, dia kan suka disiksa dengan tamparanku. Hampir lupa. Aneh memang kenapa ada yang suka dirinya ditampar. Atau mungkin dia juga suka dihajar. Hm, mungkin kalau ada waktu yang tepat, aku akan menghajarnya.
"Ah ya ampun! Senangnya ditampar oleh gadis cantik sepertimu! Rasa kantukku jadi menghilang dalam seketika!!" seru Ades sambil berdiri di atas tempat tidurnya seperti anak kecil. Sulit untuk melenyapkan tampang datarku karena melihatnya begini. Pangeran bodoh. "Apa? Kau bilang apa? Obat?"
Aku mengangguk, "Ya, Gabriel sakit kepala. Dia ingin kau membuatkan obat untuknya."
Ades turun dari tempat tidurnya. Sekarang dia berdiri di depanku. Badannya benar-benar tinggi sehingga aku harus menengadah agar bisa melihat wajahnya yang basah oleh susu basi.
"Huahahaha! Kau lucu sekali dengan susu basi yang membasahi wajahmu itu!" tawaku sambil menunjuk ke arah wajahnya yang basah karena susu basi yang aku berikan padanya.
Ades tiba-tiba menarik tangan kananku yang sedang menunjuk wajahnya dan meletakkan tanganku seenaknya menyentuh wajahnya. Dia sedikit membungkuk untuk mendekat padaku.
"Tapi, wajahku tetap tampan, bukan?" goda Ades seraya memegang bagian punggung tanganku agar aku tidak dapat melepaskannya. "Coba kau lihat aku lebih dekat lagi. Kau beruntung bisa bertemu denganku bahkan menyentuh wajahku. Apalagi aku adalah seorang pangeran. Tidak mungkin kau menolak diriku."
Aku sudah menduga, Ades akan melakukan hal yang aneh jika aku masuk ke dalam kamarnya. Tangan kanan Ades memeluk pinggangku dan menarik diriku sehingga otomatis kakiku melangkah maju. Sekarang tidak ada yang bisa aku lakukan. Dia sudah mengikatku dengan mudahnya.
"A-Ades! Apa yang kau---"
"Sstt!" potong Ades mendesis mengisyaratkanku untuk diam. "Tenanglah, cantik. Aku tidak akan macam-macam padamu. Aku hanya ingin menguji kejujuranmu saja. Setelah itu, aku akan buatkan obat untuk Gabriel."
Aku tidak suka ini. Sudah jelas Ades berusaha untuk menggodaku. Kejujuranku sudah jelas mengatakan kalau aku tidak suka dia melakukan ini padaku. Ini membuang-buang waktu. Gabriel sedang menahan rasa sakit kepalanya. Tidak ada waktu untuk berdebat dengannya.
Berusaha tanganku melepaskan pegangannya. Namun itu sia-sia saja. Ades tidak akan membiarkanku lepas darinya sebelum aku harus mendengarkan apa yang ingin dia katakan.
"Tidak bisa begitu! Gabriel membutuhkan obatmu secepatnya!" desakku seraya tetap bersikeras melepaskan diri.
"Sebentar saja. Aku akan memberikanmu beberapa pertanyaan. Kalau kau bisa menjawab semuanya, maka aku akan melepaskanmu, sayang," kata Ades lebih mendorong diriku padanya sehingga akhirnya aku berada dalam pelukannya.
"Arghh!! Keterlaluan kau, Ades! Baik! Aku akan jawab semua pertanyaanmu! Setelah itu, sesuai perjanjian lepaskan aku dan buatkan obat untuk Gabriel!" Lihat saja setelah dia melepaskanku, aku akan menghajarnya.
"Hahaha! Kau memang lucu, Beauty. Sikapmulah yang membuatku tertarik padamu. Pertanyaan pertama adalah, kenapa kau ingin sekali membantu kami menghidupkan jantung sihir Avalous?" Satu pertanyaan terlontar di mulut Ades. Tentu aku tahu jawabannya. Juga, ini mengenai kejujuran. Lagipula, tidak ada gunanya berbohong.
"Itu karena aku sedang belajar," jawabku, "guru sihirku memberikan misi padaku. Misiku adalah menghidupkan jantung sihir Avalous. Aku pun ke Avalous dan bertemu dengan kalian. Misi ini diberikan padaku agar aku bisa menguasai sihir baru."
"Belajar, ya. Aku pikir kau ke Avalous karena ingin menemui kami, hahaha!" kata Ades diselingi dengan tawanya yang membuatku jengkel.
"Sebelum aku akan ke Avalous pun aku tidak mengetahui tentang kalian berempat. Bahkan guruku tidak menjelaskan tentang isi kerajaan kalian. Aku hanya diberikan misi ini. Selesai jantung sihir Avalous kembali berdetak, aku akan pulang ke Famagisa," tambahku.
Tidak ada salahnya Ades mengetahui alasanku begitu ingin membantu mereka menghidupkan jantung sihir. Lagipula mereka semua harus mengetahui tujuanku ada di sini. Apalagi jantung sihir Avalous memerlukanku ada di sini agar mereka berempat tidak terpecah belah lagi. Mereka masih labil dalam menjalin persaudaraan. Dan aku harus menjadi pembimbing mereka.
"Hmm, aku mengerti. Pertanyaan kedua, menurutmu pangeran mana yang lebih baik dan berikan alasannya."
Ades menyuruhku memilih salah satu diantara mereka. Aku jadi bingung, "Kalau kau menyuruhku memilih salah satu diantara kalian ... hm, aku tidak bisa. Alasannya, aku tidak mengetahui apa maksudmu."
Ades tertawa lepas. Dia meraih bagian belakang kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Tentu saja, dia masih memelukku, "Kau mau tahu apa maksudku? Oh sayang, kenapa kau begitu polos? Aku pikir kau sudah mengetahui alasanku dengan sendirinya."
"Aku tidak tahu. Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu? Selain itu, bisakah kau tidak memanggilku 'sayang'?"
"Hahaha! Sederhana saja. Coba saja kau bayangkan dirimu tengah dikelilingi oleh empat pangeran yang menyukaimu. Kau pasti merasa beruntung, bukan? Lalu, kau juga pasti kebingungan, bahwa kau harus memilih salah satu diantara mereka. Tapi, kau telah mempunyai perasaan yang lebih kepada satu pangeran yang beruntung. Jadi, itulah yang kau pilih. Kurang lebih seperti itu yang sedang kau alami, Beauty. Akan tetapi, aku tidak tahu apa ada atau tidaknya rasa suka tersebut darimu kepada kami. Maka, aku pun bertanya. Jika kau memilih salah satu yang lebih baik, pasti ada alasannya."
Tidak, Ades salah. Dari apa yang dia katakan, semua hampir jauh dari apa yang aku alami. Mereka berempat memang pangeran impian semua gadis dan semuanya ... tampan. Tapi, aku di sini bukanlah gadis yang memimpikan seorang pangeran yang akan suka padaku. Mereka aku anggap sebagai teman yang baik, bukanlah sebagai pilihan yang mana satu harus aku pilih sebagai pasanganku.
"Kau salah sudah menyuruhku memilih. Kau harus tahu, kalian berempat adalah hari-hari baruku. Tidak pernah terbayang padaku akan rasanya memiliki teman. Ya, aku berteman dengan teman-teman sekelasku. Namun, aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Hanya sebatas sapa saja dan selesai. Tapi, kalian berbeda. Kalian punya sifat dan gaya yang berbeda-beda. Kalian mau berinteraksi dan menjalin pertemanan yang baik denganku, karena kalian dengan sukacita menerimaku di istana ini. Kalian adalah orang terbaik yang pernah aku kenal selain orang tua dan guruku. Jadi, aku tidak bisa memilih salah satu dari kalian, karena semuanya ... berharga untukku."
Ades diam, tidak membalas kata-kataku. Aku merasakan pelukannya berangsur-angsur melonggar. Kemudian pada akhirnya dia melepaskanku, namun kedua tangannya bertumpu memegang pundakku. Matanya menatapku lebar. Aku memberinya senyum simpul.
"Jika boleh aku katakan padamu, aku bukanlah gadis yang mencari cinta. Di dunia ini, selama aku masih hidup, aku akan terus belajar dan belajar tak pernah henti. Tidak bisa sekali pun aku mewujudkan cita-citaku yaitu menjadi ahli sihir, setidaknya aku pernah mempelajari banyak sihir meskipun tetap gagal. Kalau aku memang hanya cocok di satu sihir, mungkin itu sudah takdirku. Jika jantung sihir Avalous bisa berdetak kembali karena usahaku membuat kalian akur, aku akan sangat senang dan bangga. Soal menyukai seseorang, itu bukanlah urusanku. Namun, aku bisa menjadi tempat cerita seseorang. Nah, ada pertanyaan lain?"
Ades mengangkat tangannya meraih wajahku, "Beauty, hatimu luas seluas samudera. Kau membuatku tidak tahu lagi apa yang harus aku tanyakan. Aku senang mendengarmu mengatakan bahwa kami berharga bagimu. Tentu saja, kau adalah teman kami. Kau ... juga berharga untukku, adik-adikku, dan Avalous. Terima kasih sudah mau membantu kami."
Aku mengambil tangan Ades yang memegang wajahku dan menggenggamnya dengan kedua tanganku, karena tangannya besar seperti tangan Ayahku. Dia punya tangan yang kekar dan hangat. Ketika dia membalas genggamanku, tanganku jadi merasa kecil.
"Sama-sama. Terima kasih juga sudah mau berhadir sebagai teman-temanku. Aku tidak akan pernah melupakan kalian, sejauh apapun jarak nanti akan memisahkan karena tempat tinggalku dengan kalian begitu berjauhan. Maafkan aku sudah merepotkan kalian, ya."
Ades tertawa kecil, "Merepotkan kami? Tidak sama sekali. Kau sudah menjadi tamu besar yang amat penting di kerajaan ini. Ah, tentang Gabriel, dia selalu memintaku membuatkan obat karena sering mengalami sakit kepala. Aku sudah mengatakan padanya untuk tetap berpikir jernih pada keadaan apa saja dan jangan terlalu cepat marah. Tapi, dia itu mudah sekali stres. Dan, dia punya masalah pada matanya. Dia bilang saat sedang membaca buku, matanya agak kabur ketika melihat tulisan."
"Oh, apa mata Gabriel rabun?" tanyaku yang dijawab dengan anggukkan Ades, "berarti, selain obat sakit kepala dia juga memerlukan kacamata."
"Sudah aku berikan kacamata untuknya. Dia hanya memakai kacamata itu jika dia menginginkannya. Kadang dia memaksakan matanya untuk membaca tanpa memakai kacamata. Dan, jika dia meminta obat padaku, itu artinya obat yang aku berikan padanya sudah habis. Gabriel ... Gabriel."
Aku tertawa kecil melihat Ades menghela napas dan menggelengkan kepala karena Gabriel, "Sepertinya aku harus membantumu membuatkan obat untuk Gabriel."
Ades tersenyum lebar, "Kau mau membantuku? Senangnya! Kalau begitu ayo kita bergegas ke ruang obat istana!"
"Hahaha! Iya. Tapi sebelum itu bisakah kau bersihkan wajahmu dulu? Maafkan aku sudah membangunkanmu dengan cara menumpahkan susu basi ke wajahmu. Itu karena kau susah sekali dibangunkan, jadi tidak ada pilihan lain."
"Tidak apa-apa, aku memang susah dibangunkan. Semua adikku yang pernah membangunkanku juga mengatakan hal yang sama. Tunggu sebentar, ya." Ternyata memang kebo.
Ades melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Tidak lama setelah itu, dia kembali dengan wajahnya yang setengah basah oleh air.
"Ayo kita ke sana sekarang," ajak Ades.
"Iya," balasku.
Ketika baru tiga langkah keluar dari kamar, Ades tiba-tiba berhenti dan berbalik melihat pintu kamarnya hancur. Apa dia baru sadar tentang aku merusak pintunya?
"Beauty, kau kuat juga! Kita sama!"
Cengiran Ades mampu mendiamkan tubuhku untuk tetap melihatnya. Dia terlihat cerah dan bersemangat ... seperti matahari, namun berwarna merah. Ah bukan matahari, tetapi api yang menghangatkan.
⚡
"Woaahh!!" seruku ketika melihat seluruh isi ruang obat istana.
Di sini terdapat banyak tanaman obat, alat-alat yang digunakan untuk menumbuk tanaman obat dan lainnya, juga ada beberapa bagian dinding yang ditempel oleh kertas yang bertuliskan seperti komposisi suatu obat.
"Biasanya, orang-orang yang bekerja sebagai dokter istana meracik berbagai macam obat di sini. Sejak mereka pergi, aku sudah menggantikan mereka semua," kata Ades seraya memakai sebuah jas putih panjang. Setelah itu dia menyodorkan satu jas putih kepadaku, "Aku akan memakaikan ini padamu."
Ades memasangkan jas itu padaku. Jas ini tebal dan agak kebesaran. Ketika dia melihat hasilku memakai jas putih, dia tertawa kecil. Tatapanku padanya jadi tajam.
"Apa aku terlihat lucu? Lagipula, untuk apa kita memakai jas ini?" tanyaku.
"Tidak, kau jadi lebih cantik ketika memakainya. Ah, jas ini harus digunakan ketika kita akan membuat suatu obat," jawab Ades. "Tapi sebenarnya tidak wajib. Hanya ... untuk bergaya."
"Terserah kau saja, Ades. Tapi, soal orang-orang yang bekerja di sini, apa alasan mereka semua pergi adalah ..." Aku tidak mau melanjutkan kata-kataku karena melihat wajah Ades terlihat melukiskan kesedihan. Aku telah membuatnya sedih, "Hei, Ades! Kapan kita akan membuat obat untuk Gabriel? Ayo! Dan sekalian aku bisa belajar cara membuat obat!"
Ades kembali tersenyum dan tertawa mendengar seruanku, "Tentu saja sekarang. Baiklah, aku akan mengajarimu cara meracik tanaman obatnya. Beauty, ambilkan tanaman yang ada di sana. Petiklah tiga daun dari tanaman itu. Aku akan mengajarimu cara menumbuknya."
Aku mengangguk dan bergegas mengambil tanaman yang ditunjuk Ades. Daun itu berwarna emas kecoklatan. Aku pikir tanaman ini sudah layu, "Ades, apa ini tanaman obat untuk membuat obat sakit kepala?"
"Iya, tapi kita harus mencampurkannya dengan bahan-bahan yang lain sehingga nanti akan menjadi obat," jawab Ades tanpa berbalik badan ke arahku. Di meja kerjanya, dia sedang sibuk mencatat sesuatu dengan pena bulu angsanya. Dia jadi kelihatan seperti seorang dokter super sibuk.
Sesuai instruksi dari Ades, aku memetik tiga daun dari tanaman obat yang aku ambil dan segera memberikannya kepada Ades. Ades menerima daun itu lalu memasukkannya ke dalam sebuah wadah kecil seperti mangkok.
"Perhatikan bagaimana cara tanganku menumbuknya," kata Ades yang aku balas dengan anggukkan. Dia pun mulai menumbuk dengan alat tumbukan itu. "Ada suatu sihir yang digunakan oleh peracik obat agar pekerjaannya mudah selesai. Karena jantung sihir mati, mereka berhenti bekerja karena akan merepotkan jika tidak ada sihir."
"Egois sekali! Alasan macam apa itu? Selagi ada tangan, seharusnya mereka belajar untuk tidak memakai sihir ketika bekerja! Arghh! Buat sebal!" kesalku. "Kalau mereka kembali, tidak perlu diterima! Mereka sudah lancang kepada kalian dan Raja Ratu Avalous! Nanti kita akan cari pekerja istana baru saja!"
"Pekerja baru?" tanya Ades menoleh padaku yang aku balas dengan anggukkan singkat. "Di mana kita bisa mendapatkan orang-orang baru yang ingin bekerja di istana Avalous?"
"Setiap permasalahan pasti ada penyelesaiannya. Aku yakin kita pasti bisa menemukan jalan keluarnya." Aku juga bingung bagaimana cara mencari pekerja baru istana, namun kata-kataku mampu membuat Ades tersenyum lebar.
"Beauty, cobalah untuk menumbuk tanaman obatnya. Aku akan mengambil bahan yang lain dan juga botol untuk menampung obatnya," kata Ades sambil memberikan alat tumbuk obat itu kepadaku.
"Oke!" Aku menerima benda itu dan segera menumbuk. Tidak lama Ades melangkah jauh meraih sebuah laci, dia kembali berdiri di sampingku sambil membawa bahan yang dimaksud dan sebuah botol kecil berbentuk kotak.
"Ini adalah sekantung serbuk sihir, lalu di gelas hitam ini berisi setengah air, dan ... sedikit sari dari bunga tulip," kata Ades menunjuk satu per satu bahan yang dia bawa dan memperkenalkannya satu per satu.
"Serbuk sihir juga?" ulangku seraya melirik sebuah kantung berisi serbuk sihir yang ditunjuk oleh Ades.
Serbuk sihir adalah serbuk ajaib yang entahlah untuk apa. Aku juga punya serbuk sihir di rumahku. Tapi, aku tidak pernah menggunakannya karena tidak tahu untuk apa. Kalau dari buku pelajaran sihir yang pernah aku baca, serbuk sihir itu biasa dipakai untuk mempercantik pakaian ... seperti pengganti glitter dan jika ditaburkan ke suatu benda kecuali pakaian, maka benda itu akan bergerak-gerak seperti hidup.
"Iya. Serbuk sihir akan mengurangi efek samping dari tanaman obat yang kita tumbuk. Kita hanya akan menggunakannya sebanyak dua sendok teh," jelas Ades.
"Lalu, apa gunanya sari bunga?"
"Menambah aroma sedap dan menghilangkan rasa pahit."
"Oh ..."
Ternyata meracik obat tidak semudah yang dikira. Bahan-bahannya harus diketahui dulu apa fungsinya. Sari bunga tulip yang ada di dalam sebuah mangkok kecil ini sejak tadi dikelilingi oleh seekor kupu-kupu. Kalau aku hirup, aromanya memang harum manis.
"Mari kita campurkan semuanya. Kau terus saja tumbuk daunnya. Biar aku yang memasukkannya," kata Ades sambil mengangkat gelas hitam dan segera menuangkannya di dalam tumbukan tanaman obat.
"Warna airnya jadi coklat! Ukh, dan bau pahit," kataku sambil mengapit hidungku ketika mengetahui aroma daun ini dicampurkan dengan air akan menghasilkan aroma tidak sedap.
"Hahaha! Baunya memang seperti itu, jadi sari bunga sangat bermanfaat untuk orang yang tidak suka aroma dan rasa pahitnya," ucap Ades seraya memasukkan sari bunganya setelah aku mengaduknya cukup rata. "Dan terakhir, sedikit sentuhan serbuk sari!"
Ketika Ades memasukkan dua sendok teh serbuk sarinya, warna obat ini yang tadinya coklat, berubah menjadi warna jingga yang bercahaya. Kilauan serbuknya membuatku terkagum. Dia segera memasukkan obat itu ke dalam botol kecil berbentuk kotak tersebut. Kemudian menutup botol itu dengan cepat sebelum kupu-kupu yang tergila-gila akan bau obat itu masuk ke dalam botol.
"Sudah jadi!" seru Ades sambil mengangkat obat itu ke dalam pegangannya. Aku bertepuk tangan dengan meriahnya, "Ayo kita berikan padanya sekarang."
Kami pun bergegas keluar menuju kamar Gabriel yang letaknya agak jauh dari ruang obat. Tidak lupa sebelum keluar aku sempat melepas jas putih yang kupakai dan meletakkannya di dalam lemari yang berisi jas-jas putih yang sama. Tapi, Ades tidak melepas jasnya. Mungkin dia tidak ingin melepasnya dulu atau lupa dilepaskan.
Ades sudah membawa sendok makan dari ruang obat yang digunakan untuk Gabriel minum obat. Sambil melangkah cepat dengan Ades, aku terus memikirkan keadaan Gabriel. Semoga dia masih bisa bertahan. Tunggu kami, Gabriel. Sebentar lagi kami akan segera sampai.
⚡
Aku langsung berlari lebih dulu masuk ke dalam dan melihat keadaan Gabriel begitu kami sudah sampai. Gabriel masih menampakkan ekspresi meringisnya. Aku sangat khawatir hingga lantas menyambar tangan kanannya untuk digenggam.
"Gabriel!!" pekikku memanggilnya.
"Queen ..." sahut Gabriel lemah. Dia membuka matanya untuk melihatku. Senyumannya tipis, "kenapa dengan ekspresimu? Jangan ... jangan terlalu mencemaskanku seperti itu. Ini hanya sakit kepala. Aku ... akan baik-baik saja."
Aku mengangguk kuat seraya menggigit bibir. Aku tidak suka ada temanku yang sakit. Rasanya hatiku juga ikut sakit. Jika saja rasa sakitnya berpindah saja padaku, pasti aku akan lega melihat temanku baik-baik saja. Bagaimana denganku? Masa bodoh dengan keadaanku.
Ades telah ada di sampingku bersama dengan obat yang dibawanya. Dia melesat duduk di tepi tempat tidur Gabriel.
"Beauty, tolong pegang obat dan sendoknya. Aku akan membangunkan tubuh Gabriel dulu," suruh Ades seraya menyerahkan obat dan sendok di tangannya kepadaku. Aku menerima kedua benda itu dan melihat Ades membantu Gabriel bangkit untuk duduk agar bisa meminum obatnya.
"Ades, aku ingin memberikan obatnya kepada Gabriel," kataku kepada Ades.
"Silakan. Setelah itu kau letakkan sendok dan obatnya di nakas itu. Baiklah, aku ingin kembali tidur. Gabriel, selamat malam. Cepat sembuh, ya. Cantikku, selamat malam juga!" kata Ades memberi kami ucapan selamat malam dan melangkah keluar dari kamar Gabriel.
Aku segera duduk di tepi kasur Gabriel. Ada dua kupu-kupu merah yang masih setia terbang mengelilingi botol obat sakit kepala ini. Aku mengibaskan tanganku ke arah dua makhluk terbang ini agar menjauh. Setelah itu aku membuka botol obatnya dan menuangkan isinya ke dalam sendok.
"Obat oh obat, tolong sembuhkan Gabriel secepatnya," lafalku sebelum aku akan menyuapkan obatnya ke dalam mulut Gabriel.
Gabriel tertawa kecil mendengar ucapanku, "Salah. Seharusnya kau meminta pertolongan kepada Tuhan. Sedangkan obat sebagai jawaban Tuhan atas doamu."
"Iya ... iya aku tahu, kok! Ayo cepat diminum!" desakku seraya menahan malu.
Gabriel menerima obatnya dengan cepat. Aku kembali menutup botol obat dan meletakkan kedua benda ini ke nakas. Selesai sudah masalah malam ini. Waktunya tidur dengan tenang.
"Terima kasih," ucap Gabriel.
"Sama-sama," balasku berucap. "Ya sudah, kau kembalilah berbaring dan tidur. Sudah larut malam."
Aku membantu Gabriel membaringkan tubuhnya lalu menyelimutinya. Hhh ... malam ini melelahkan. Banyak hal yang aku kerjakan. Seperti sedang mengurus banyak anak-anak saja. Sibuk sekali.
"Queen." Gabriel memegang tanganku, menahanku untuk pergi.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Selamat malam."
"Oh! Selamat malam juga, Gabriel. Semoga cepat sembuh."
Gabriel memberiku senyum dan segera menutup kedua matanya dengan damai. Aku tersenyum melihat dirinya tidak lagi meringis seperti sebelum dia minum obat. Ternyata obat Ades bekerja dengan sangat cepat. Syukurlah. Sepertinya malam ini dia bisa bermimpi indah.
Tapi, aku tidak melangkah pergi dari kamar Gabriel. Aku menunggunya benar-benar tidur. Ada sesuatu yang ingin aku lakukan sebelum pergi ke kamarku. Beberapa lama aku diam, aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajah Gabriel dan menyentuh pipinya dengan ibu jari beberapa kali. Oh, sudah tidur.
Aku bertekuk lutut untuk mencapai telinganya. Ketika mulutku sudah cukup dekat dengan telinganya, aku pun berbisik.
"Mungkin aku memang beruntung bisa bertemu dengan kalian berempat. Apalagi kalian sudah menjadi temanku yang berharga dan istimewa. Dan Gabriel, kau adalah teman pertamaku. Terima kasih sudah mau berteman denganku. Aku menyayangimu."
To be continue⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top