It is Beautiful : 13

Malam ini, aku tidak bisa tidur dengan tenang. Tubuhku selalu mengalihkan posisi tidur. Kadang ke kiri, kanan, terlentang, atau pun tengkurap. Aku mengacak-acak rambutku dengan gusar. Lalu bangun dari posisi baringku seraya mendengus kuat.

Kalung mutiara ini membuat pikiranku terus bertanya-tanya. Apa yang membuat mutiara ini berubah warna menjadi merah? Miss Delisa tidak pernah menjelaskan ini padaku. Pasti ada alasan kalung ini berubah warna.

"Tunggu. Mungkin Gabriel tahu, soalnya dia pernah berkata padaku kalau dia mengenali mutiara sihir ini. Ya, aku harus tanya padanya. Semoga dia belum tidur," ucapku yakin kemudian mengangguk.

Aku bergegas beranjak dari tempat tidur dan melangkah cepat-cepat keluar dari kamar untuk pergi ke kamar Gabriel. Ketika sampai di depan kamar Gabriel, pintunya setengah terbuka. Lampunya juga menyala. Aku tengok tanpa berani masuk ke dalam, tidak ada sosok bernama Gabriel. Ke mana dia? Apa dia ada di dalam toilet?

Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku dari belakang. Dengan siaga jika itu adalah hantu atau penyihir jahat, aku berbalik dengan kedua tangan mengepal ke depan. Oh!

"Gabriel, tadi ke mana? Aku mencarimu," kataku setelah menghela napas lega.

Aku perhatikan Gabriel, dia terlihat kurang bersemangat. Wajahnya lesu. Tangannya menopang kepala seperti orang yang sedang menahan sakit kepala. Senyumannya juga nyaris tidak jelas, seperti senyum paksa. Ada apa?

"Dari kamar Joe. Dia menangis," jawab Gabriel yang langsung mengejutkanku.

"Hah? Kenapa dia menangis? Apa yang sudah terjadi?" tanyaku dengan khawatir.

Gabriel mendengus. Tangan kanannya sedang memijat-mijat bagian pelipis. Sepertinya dia memang sedang mengalami sakit kepala. Dahinya terus mengerut.

"Itu, Joe menangis karena boneka-bonekanya diacak-acak Genta," jelas Gabriel sambil meringis, "terpaksa juga aku harus melihat semua boneka Joe yang diacak Genta, bahkan boneka Joe terlihat jauh lebih menyeramkan."

"Aku ingin ke kamar Joe," kataku, "tapi, kau tidak apa-apa, kan? Kau terlihat tidak baik-baik saja."

Gabriel menggeleng singkat, "Hanya sedikit pusing. Aku akan segera baikan kalau aku beristirahat sekarang. Pergilah ke kamar Joe. Dia masih bersama Genta."

Aku tidak tega melihat Gabriel sedang meringis menahan sakit seperti itu. Jalannya juga sedikit terhuyung-huyung. Sebaiknya aku harus membantunya sebentar.

"Biar aku bantu kau ke tempat tidurmu," kataku sambil mengangkat lengan kirinya dan aku letakkan di atas kedua bahuku.

"Tidak perlu, Queen. Aku bisa sendiri," tolak Gabriel seraya melepaskan rangkulanku. Tapi ketika dia berjalan sendiri, baru selangkah saja, dia kembali merintih pelan dan tubuhnya seperti akan jatuh. Refleks tanganku bergerak memegangnya untuk mencegahnya jatuh.

"Astaga, kau juga berhasil membuatku khawatir, Gabriel! Jika aku tidak ada di sini, mungkin kau sudah terjatuh di lantai kamarmu sendiri!" seruku agak kesal melihatnya sok kuat.

"Queen, kepalaku sakit. Pusing ..." Gabriel mendaratkan kepalanya ke pundak dekat leherku. "Capek ... mereka berisik ... boneka Joe menyeramkan ... sakit ..."

Ya ampun, ini pertama kali aku melihat seseorang menderita sakit kepala sambil meracau tidak jelas seperti Gabriel. Tapi, kata-kata tidak jelasnya membuatku paham. Dia pusing karena mendengar Genta mencari masalah kepada Joe, ditambah dia syok melihat boneka porselen milik Joe yang dilihatnya terlihat menyeramkan. Cobaan untuk Gabriel.

"Ha! Kau bilang bisa sendiri. Nyatanya, kau malah bersandar kepadaku. Sudahlah, biarkan aku membantumu. Kau harus istirahat. Untuk sekarang, jangan pikirkan sesuatu yang berat," ucapku sambil merangkulnya kembali dan berjalan pelan membawanya sampai di tempat tidur.

Aku mendaratkan tubuh Gabriel dengan hati-hati ke tempat tidur seolah-olah sedang meletakkan sebuah kristal mahal yang sangat rapuh jika tidak diletakkan dengan lembut. Sembari aku menahan tubuh Gabriel untuk tidak berbaring dulu, aku menata letak bantal Gabriel kemudian membaringkannya dengan susah payah.

Mata Gabriel sudah menutup lebih dulu. Tapi ekspresinya masih menggambarkan orang yang sedang kesakitan. Aku jadi ikut meringis melihatnya menderita. Kedua tanganku menarik selimut untuk menyelimutinya.

"Tidurlah, semoga cepat membaik," ucapku. Soal ingin menanyakan tentang kalungku, sebaiknya besok saja.

Tapi ketika aku akan melangkah pergi, Gabriel menangkap tanganku.

"Setelah ke kamar Joe, datanglah kembali ke sini," kata Gabriel terdengar lemah seperti orang yang sedang sekarat. Apa separah itu rasa sakit kepalanya?

"Baiklah. Aku akan segera kembali."

Gabriel pun melepaskan tanganku dan kembali memegang kepalanya. Sayang sekali, aku tidak bisa membuat obat. Jika saja aku menguasai sihir medis, pasti sudah aku sembuhkan kepalanya itu sekarang juga.

Aku melangkah keluar dari kamar Gabriel dan segera menuju kamar Joe yang tidak terlalu jauh dari sini. Sampainya di kamar Joe yang terbuka lebar, aku melihat Joe dan Genta sedang berdebat. Dan aku terkejut melihat kamar Joe terlihat aneh. Semua boneka porselen Joe tersebar secara merata. Tidak berantakan, tidak juga terlihat bagus dipandang. Apa Genta yang sudah melakukan ini?

"KAK GENTA PAYAH! KATANYA MAU DISUSUN LEBIH BAGUS! MASA BONEKA-BONEKAKU JADI TERSEBAR KE MANA-MANA SEPERTI INI?? SUSUN SEPERTI SUSUNANKU SEBELUMNYA SEKARANG JUGA!!"

Ternyata memang Genta pelakunya. Susunannya memang aneh. Masa boneka disusun di lantai? Di atas lemari? Digantung di depan cermin dan jendela? Di kolong tempat tidur juga?! Ya ampun, pantas saja Gabriel langsung stress melihat ini. Aku memegang kepalaku sambil menggeleng.

"Kenapa begitu, adikku Joe? Bukankah ini jauh lebih terlihat ... rapi?" kata Genta sambil memutar badannya 180° dan mengayunkan kedua tangannnya ke arah susunan bonekanya. Melihat gerakan lembutnya membuatku geli, "tidak perlu mengubah susunannya. Sekarang sudah menjadi lebih rapi karena kakak geniusmu inilah yang sudah melakukannya untukmu. Hanya kakakmu ini yang bisa, karena yang lain jauh lebih payah dengan apa yang kau katakan padaku."

"Ahh!! Kak Genta ... hiks! Jahat! Hiks! Hiks!" Eh? Menangis sungguhan, ya? Ya ampun, Joe!

"Genta!!" pekikku memanggil Genta, membuat Genta termasuk Joe menoleh ke arahku yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka, "jangan menghindar! Tanggung jawab sekarang!"

"KAK SICAAA!!!" Joe berlari ke arahku dan langsung memelukku dengan erat. Air matanya sukses terserap oleh baju tidurku.

"Hei, jangan menangis. Sudah ... sudah. Laki-laki tidak boleh menangis dengan mudahnya hanya karena masalah seperti ini, kan? Ayo cepat hapus air matamu. Aku tidak suka melihatmu sedih. Mukamu jadi terlihat tidak lucu lagi," kataku seraya menepuk punggungnya agar dia tenang.

"Adikku Joe menyebalkan, deh. Masa susunanku dibilang jelek?" Genta tetap tersenyum dan terlihat tidak merasa bersalah dengan apa yang sudah dia lakukan.

"Kak Gentalah yang menyebalkan!!!" balas Joe memekik dan dia masih memelukku. Telinga kananku jadi berdengung sesudah mendengar Joe berteriak di samping telingaku. "Hiks! Kak Sica ... Kak Genta tiba-tiba rajin mau membersihkan kamarku. Tapi, dia malah merusak semuanya. Hiks!"

"Genta! Ini salahmu karena sudah membuat Joe menangis! Ayo, susun kembali boneka-boneka Joe seperti sebelumnya!" suruhku lantang kepada Genta dengan tatapan tajam. Gerakannya mencurigakan, terlihat seperti ingin melangkah pergi secara diam-diam, "Jangan kabur! Cepat bereskan dulu, baru kau bisa pergi ke kamarmu!"

"Aduh, melihat seorang gadis sedang marah ternyata lebih menyeramkan, ya!"

"Aku tidak menyuruhmu berbasa-basi! Bereskan semua ini dengan cepat sekarang!"

"Baiklah, princess."

Genta segera bergerak aktif membereskan semua boneka porselen Joe yang disusun dengan aneh olehnya. Sambil terlihat berpikir melihat boneka-boneka Joe, dia menyusun kembali dengan susunan yang biasanya.

Joe melepaskan pelukannya dan memperhatikan Genta sedang beres-beres. Melihat Genta tampak kebingungan, dia menghampiri kakak keduanya itu dengan wajahnya yang masih merengut beserta mata sembabnya karena selesai menangis.

"Boneka yang itu diletakkan di sebelah sana. Terus, yang itu di sebelah sini," tunjuk Joe memberitahukan kepada Genta.

"Oh, terima kasih," ucap Genta, kemudian mulai menyusun lagi dengan benar. Itu pun masih ada yang salah, jadi Joe memberikan arahan kepada Genta sampai semua boneka Joe selesai disusun seperti semula. Aku tersenyum melihat mereka.

"Yeaayy!! Sudah selesai! Terima kasih, Kak Sica!" kata Joe berseru senang ke arahku.

"Hahaha! Tidak, seharusnya kau berterima kasih kepada kakakmu Genta. Dia yang sudah menyusun bonekamu lebih rapi," balasku membuat Joe kembali menoleh ke arah Genta dengan tatapan musuh. Tapi, mendadak dia mengulas senyum untuk Genta.

"Terima kasih, Kak Genta!"

Genta tersenyum lebar dan mengacak-acak gemas rambut pirang Joe.

"Sama-sama, adikku yang lucu!"

Joe terlihat risih, melepaskan tangan Genta dari atas kepalanya, "Ih! Jangan diacak! Aku tidak suka, rambutku bisa sama seperti semak-semak jelek yang ada di luar sana!"

Semak-semak? Aku tertawa mendengar alasannya. Joe ada-ada saja. Kata-katanya tidak pernah bisa aku tebak pada apa yang ingin dia lontarkan terhadap sesuatu yang membuatnya kesal. Dia memang lucu.

"Masalah kalian sudah selesai, kan? Aku ingin pergi tidur," tanyaku memastikan masalah malam ini sudah selesai. "Genta, kau juga, kan?"

Genta mengangguk dengan senyum. Sebelum melangkah keluar, dia mengecup dahi Joe dan memberinya ucapan selamat malam. Aku tersentuh melihat mereka. Joe menggosok-gosok dahinya dengan tangan boneka porselen bernama Jonannya setelah Genta berbalik darinya. Aku tertawa kecil melihat tingkah laku kekanakkan Joe.

Aku keluar dari kamar Joe bersama Genta. Selesai Genta menutup pintu kamar Joe, dia berbalik untuk berhadapan denganku.

"Selamat malam, princess. Semoga kau memimpikan seorang pangeran genius bernama Genta Avalous," ucap Genta yang sukses membuatku mual. Tapi, aku tetap tersenyum padanya.

"Selamat malam juga. Dan semoga itu tidak akan terjadi, karena aku hanya akan memimpikan sesuatu yang lebih baik dari itu," balasku memberinya ucapan.

"Oh, jadi, apa aku kurang baik untuk dimimpikan dalam mimpimu?" tanya Genta seraya melangkah mendekat padaku dan wajahnya sampai di depan wajahku.

"Hahaha! Kau tanya apa sih? Aku tidak mengerti. Sudahlah, aku mau tidur!" Aku ingin berjalan mundur untuk segera menjauh, namun tangan Genta menahan dua tanganku sekaligus dengan paksa, "apa-apaan ini, Genta? Lepaskan aku!"

"Princess, jika kau tidak memperbolehkanku mempermainkan perasaan gadis-gadis lain, apa itu artinya kau sedang cemburu padaku?" tanya Genta membuatku lantas menertawakan pertanyaannya. Dia kelihatan bingung melihatku tertawa.

"Hmm, ada apa kau bertanya seperti itu, Genta? Kau suka padaku?" balasku balik bertanya seraya menatap selidik kepada Genta.

Aku tidak yakin seorang Genta bisa menyukai gadis sepertiku, namun apa yang membuat wajahnya memerah? Bukan karena jawabannya 'iya', kan?

"Oh, tidak mungkin. Mustahil sekali aku menyukai gadis kerdil seperti dirimu. Itu tidak akan terjadi," jawab Genta menyebutku ... apa? KERDIL?!

"Apa?! Bilang apa kau barusan??"

Genta cepat-cepat melepaskan tanganku dan berlari kabur meninggalkanku masuk ke dalam kamarnya sambil cengengesan tanpa dosa. Jika saja aku sempat mencegatnya, mungkin aku sudah memberinya pelajaran. Awas saja kalau dia mengejek ukuran tubuhku lagi. Dia bahkan sudah pernah mengejek tentang bagian dadaku. Argghh!!! Aku masih kesal dengan kata-katanya itu! Sebegitu tidak menariknya kah diriku di depan matanya? Sebal!

Dengan perasaan kesal karena Genta, aku melangkah ke arah kamarku. Tapi, aku merasa telah melupakan sesuatu. Apa, ya?

Aku menepuk jidat, "Oh iya! Aku kan harus ke kamarnya Gabriel! Tapi untuk apa dia menyuruhku ke kamarnya lagi?"

Sambil menggantung pertanyaan di dalam kepalaku, aku melangkah menuju kamar Gabriel. Tapi sebelum aku masuk tanpa mengetuk pintu, aku menegok keadaannya dari luar dengan sedikit menyembulkan kepalaku ke dalam kamar. Tidak jelas aku melihatnya dari luar sini. Aku harus masuk dan melihat keadaannya.

Aku melangkah masuk dengan pelan ke dalam kamarnya. Sampainya aku di dekat tempat tidur di mana Gabriel masih terbaring, aku melihatnya masih tetap sama, yaitu sedang menahan rasa sakit di kepalanya. Kalau seperti ini terus, dia tidak akan bisa tidur dengan tenang.

"Gabriel, bagaimana dengan kepalamu?" tanyaku ingin mengetahui keadaannya.

"Buruk," jawab Gabriel membuatku semakin melihatnya dengan perasaan cemas.

"Tapi, masalah Joe karena Genta sudah selesai, kok! Jadi jangan khawatir lagi," kataku memberikannya informasi baru, kalau saja rasa sakit kepalanya bisa berkurang.

"Syukurlah kalau begitu. Hhh ... sakit ..." Lagi-lagi mengeluh sakit. Aku tidak suka melihatnya begini. Kabar baikku tidak ada pengaruhnya. Apa yang harus aku lakukan agar membuatnya bisa tidur tanpa menderita?

Aku pun bertekuk lutut ingin memijat kepalanya, karena aku tidak tahan melihatnya kesakitan. Tapi, aku terkejut ketika tangan Gabriel menangkap tanganku dengan mata yang dipejamkan. Ya, sejak tadi dia tidak membuka matanya.

"Tidak perlu melakukan itu," ucap Gabriel. Aku menggigit bibir tak terima mendengar penolakannya.

"Jadi, untuk apa aku kembali ke kamarmu?" tanyaku agak kesal padanya. Aku pun melihat ke arah mata emasnya yang sedikit dibukakan.

"Ades ... dia bisa membuat obat. Suruh dia buatkan obat sakit kepala untukku," kata Gabriel semakin terdengar lemah.

Ades?! Pangeran berambut merah itu bisa membuat obat? Tidak aku sangka. Baiklah, aku harus cepat mengatakan ini kepada Ades, bahwa Gabriel membutuhkan obat buatannya. Aku membalas memegang tangan Gabriel. Matanya mulai terbuka lebar.

"Bertahanlah. Aku akan segera kembali bersama obatnya. Jangan terlalu dikeluhkan. Rasa sakitnya bisa semakin terasa jika kau terlalu memikirkan rasa sakitnya."

Gabriel tersenyum tipis, "Terima kasih. Akan ... aku coba."

Jadi, aku sungguh harus pergi ke kamarnya Ades? Tidak Sica, jangan berpikir yang tidak baik mengenai aku harus mengunjungi kamar Ades. Dia orang yang baik dan sayang kepada adik-adiknya. Kalau Ades ingin melakukan hal aneh seperti mencium tanganku, tinggal tampar saja dia atau tendang bagian 'kelemahan'nya. Oke, waktunya bergegas.

To be continue⚡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top