It is Beautiful : 10

Awalnya, aku mulai merasa putus asa untuk membuat Genta luluh padaku agar dia bisa berubah dan kembali akrab dengan kedua adik dan satu kakaknya. Tapi, pertanyaan Genta telah memberiku ide.

"Aku---"

SHING!!

Tiba-tiba sebuah pedang pendek yang tebal mengarah tajam di depan leher Genta bersamaan dengan belati putih menodong di depan mata kanan Genta. Aku tidak sempat melihat mereka berdua bergerak. Gerakan mereka cepat sekali.

"Berani sekali kau memutuskan sesuatu tanpa mendengarkan pendapatku. Aku ini kakakmu, Genta. Kakakmu ada di depanmu dan kau sering mengabaikan keberadaanku. Lagipula, semua keputusan dan tanggung jawab lebih besar diberikan kepadaku, karena aku adalah anak pertama dan kau lebih muda dibandingkan aku," kata Ades. Dia berdiri di belakang Genta.

Sedangkan Joe menarikku beranjak dari kursi untuk menjauh dari Genta. Dia menggenggam tanganku sambil menodongkan belatinya ke arah Genta. Tatapannya terhadap Genta sangat tajam seperti belatinya.

"Busuk," ucap Joe. "Pantaskah aku menyebutmu 'kakak'?"

Aku merinding mendengar Joe berkata. Dia jadi lebih mengerikan daripada waktu dia sedang bertarung dengan Kanta. Aku bisa merasakan ada aura aneh di sekeliling Joe. Jika saja jantung sihir Avalous hidup, mungkin dia sudah meledakkan sihir andalannya yang entah sihir apa.

"TUNGGU!" seruku membuat mereka bertiga melihat ke arahku. "Aku ingin mengatakan kalau aku bersedia menjadi PELAYAN PRIBADI GENTA."

Seketika suasana menjadi hening. Ades dan Joe menatapku bengong. Sedangkan Genta tetap tersenyum, bahkan senyumannya lebih lebar dari yang tadi. Genta dengan mudahnya menunduk untuk melewati pedang Ades. Lalu jarinya mendorong jauh belati Joe agar menjauh darinya. Dia pun sampai di hadapanku. Dan tiba-tiba saja aku langsung digendong ala tuan putri di atas kedua lengannya.

"Sekarang, dia sudah jadi milikku," kata Genta terdengar sombong dan mendengar itu aku sengaja memasang ekspresi mual. "Karena dia sudah menyerahkan dirinya padaku. Jadi, kalian tidak bisa mengatakan apa-apa lagi."

Ades tampak masih bengong. Setelah sadar, dia menyimpan pedang pendeknya.

"Baiklah. Kalau Beauty sudah bilang begitu, aku tidak bisa membantah. Beauty, jika dia menyakitimu, katakan saja kepada kakaknya ini. Aku pasti akan menghukumnya," kata Ades kemudian berjalan menghampiri kursi makannya dan kembali duduk untuk melanjutkan makan malamnya dengan damai.

Aku melihat ke arah Joe. Dia menatap dengan tatapan sinis kepadaku. Mungkin dia tidak terima dengan keputusanku. Dia menyimpan belatinya dengan ancang-ancang, terlihat kesal.

"Jangan dekat-dekat denganku," ucap Joe kemudian berlari keluar dari ruang makan.

Apa? Joe marah padaku? Aku tidak tahu keputusanku akan membuatnya marah. Tapi, Ades terlihat biasa saja dengan keputusanku. Pendapat dan reaksi mereka berbeda-beda.

Sekelebat, aku seperti melihat sesuatu dari celah pintu ruang makan istana. Aku tidak yakin, tapi baju biru tua dan rambut abu-abu yang sempat terlihat membuatku berpendapat kalau tadi yang mengintip itu adalah Gabriel.

Tapi, aku baru sadar. Kenapa Genta sampai menggendongku seperti ini?

"Hei, kenapa kau menggendongku?" tanyaku sinis.

"Supaya mereka tidak menjauhkan kau dariku seperti tadi," jawab Genta dengan senyum. "Aku sedih melihat kakak dan adikku bersikap jahat padaku. Padahal aku tidak punya salah apa-apa dan tidak jahat kepada mereka."

BOHONG! Nyatanya dia jahat dengan Gabriel! Sifatnya yang seperti itu sangat membuatku ingin menusuk jantungnya. Tapi itu tidak boleh. Dia bisa mati.

"Oh iya princess, karena kau sudah menjadi pelayanku, aku bisa melakukan dan menyuruhmu apa saja. Tapi, itu akan lebih berlaku pada besok pagi. Sering-seringlah datang ke kamarku untuk melayaniku. Eh, kau kan belum pernah datang ke kamarku."

Aku belum pernah direndahkan seperti ini sebelumnya. Tapi demi untuk mendekati Genta, tidak ada salahnya aku banyak bicara kepadanya sambil menjadi pelayan setianya. Ya, ini demi misi.

"Kapan kau ingin menurunkanku?" tanyaku dengan malas.

"Kau ingin turun dari gendonganku? Kenapa? Aku pikir semua gadis menyukai dirinya digendong oleh seorang pangeran. Ternyata ada yang tidak suka digendong, ya?" tanya Genta tampak heran.

"Suka sih, tapi aku tidak mau digendong oleh pangeran yang bernama Genta," jawabku dengan tenang dan sabar.

"Hahaha, sudah kuduga kau tidak suka padaku, princess. Kau cantik, tapi ini pertama kali ada yang berani padaku dan tidak bisa termakan kebaikanku. Kau memang princess yang unik!"

Kebaikan?! Apa dia salah menyebutkan KEBURUKAN dengan kebaikan? Begitu juga dengan kata termakan kebaikan yang diucapkannya itu sangat mencurigakan.

Genta pun sedikit membungkuk untuk menurunkanku. Aku turun dari gendongannya dan berbalik menghadap padanya. Huh, tinggi badannya kelihatan sama dengan Ades. Tinggi sekali. Atau ini karena badanku yang terlalu pendek?

"Di mana letak kamarmu?" tanyaku.

"Di sebelah kamar Ades," jawab Genta dengan senyum. "Tahu, kan?"

"Oh, aku tahu sekarang. Baiklah, aku harus pergi untuk mengejar sesuatu sekarang."

"Oke. Hati-hati, ya!"

Genta melambaikan tangan perpisahan ketika aku berlari pergi meninggalkan ruang makan istana. Masa bodoh dengan makan malamku yang belum habis. Kalau Gabriel tidak ke ruang makan, itu artinya dia belum makan apa-apa sekarang. Daripada mengkhawatirkan diriku sendiri, lebih baik aku memikirkan Gabriel.

Tidak, pendapat Ades dan Joe terlalu mendukungku. Gabriel kelihatan bersalah karena tidak mendengar penjelasanku. Tapi, aku yang sudah tahu kalau Gabriel phobia terhadap boneka porselen, malah menakut-nakutinya untuk kepentinganku sendiri. Jadi, ini salahku. Ya, aku harus minta maaf padanya. Malam ini juga.

Tapi, di mana Gabriel? Aku sudah berkeliling dan tidak menemukan sosoknya. Aku yakin dia ada di sekitar sini. Tapi, aku tidak melihat seujung pun helai rambutnya.

Aku menengadah ketika tak sengaja bertemu dua daun pintu yang sangat tinggi dan besar. Di pintu itu terukir bacaan PERPUSTAKAAN. Ini perpustakaan istana Avalous! Aku jadi penasaran. Tapi, aku harus menemukan Gabriel. Hm, mungkin dia ada di dalam sana. Tidak ada salahnya aku masuk ke dalam dan mencarinya.

Tanganku melekat ke pintu untuk membuka pintunya dengan cara didorong. Pintu ini berat. Aku mengeluarkan tenagaku lagi agar pintunya terbuka. Suara pintu berat yang berdecit khas menandakan pintu berhasil terbuka. Ketika mataku melihat isi ruangan, mataku seakan-akan telah ditabur oleh bintang.

"Woaaahhh!! Ini sih namanya dunia buku, bukan perpustakaan. Luas dan begitu banyak sekali buku! Perpustakaan sekolahku tentu sudah kalah telak," seruku terkagum-kagum dengan perpustakaan istana Avalous.

Jika aku lihat, ada jutaan atau lebih buku yang tertata rapi di setiap raknya yang tinggi dan kokoh. Terdapat meja dan kursi berkualitas yang siap untuk menjadi sandaran para pengunjung perpustakaan. Kalau aku lihat ke atas, ada banyak lampu-lampu kristal bergelantungan seperti buah anggur. Wow.

Aku menggeleng-gelengkan kuat kepalaku. Tidak, Sica! Jangan senang dulu karena sudah melihat hal yang menakjubkan. Aku belum berbaikan dengan Gabriel. Sekarang aku harus mencarinya di tempat yang luas ini. Aku akan mencarinya sampai ketemu.

Aku berjalan masuk ke dalam sambil memanggil nama Gabriel dan mengarahkan mataku ke setiap arah. Semoga dia ada di sini.

Ktuk! Ktuk!

"Hah?"

Aku mendengar suara langkah sepatu yang cepat. Tapi suara itu hanya sebentar saja. Dan sekilas aku melihat kain jubah biru keunguan milik Gabriel dan menghilang ke arah belokan ke kiri. Lantas aku pun berlari untuk mengejar apa yang sudah aku lihat.

"Gabriel! Jangan menghindariku seperti ini! Aku tidak suka ini, aku mohon jangan lari dan bersembunyi dariku!" pekikku.

"Pergi!!" Suara Gabriel terdengar menyahutku. Aku terkejut dan berhenti berlari. Di mana dia? Kenapa aku tidak bisa menemukannya? Padahal suaranya begitu jelas dan berada di dalam satu ruangan yang sama.

"Tidak!! Aku tidak akan pergi sebelum aku akan berhadapan dan bicara denganmu!" balasku berteriak lantang.

Gabriel tidak membalasku lagi. Apa ini? Aku tidak percaya Gabriel terlalu serius dalam hal ini. Rasa bersalahku memuncak begitu dia menolak keberadaanku. Aku melangkah dan kembali mencarinya. Dia menyuruhku pergi, tapi aku tidak akan pergi sampai aku akan mengatakan maaf di hadapannya.

Setelah agak lama aku berkeliling, aku berhenti mencarinya untuk sementara. Kedua tanganku menindih lutut seraya mengatur napasku yang terengah-engah. Melelahkan sekali berkeliling di perpustakaan ini. Rasanya sudah seperti dihukum berlari mengelilingi lapangan sekolah saja.

"Queen!!!" Sebuah suara yang memanggilku dengan kencang mengundangku untuk menoleh ke arah orang yang sedang berlari ke arahku. Raut wajahnya tampak menggambarkan kecemasan. Untuk apa dia berlari dan bersembunyi dariku jika pada akhirnya akan menghampiriku juga? Aku tidak mengerti.

"Gabriel! Kenapa?" tanyaku sambil melihatnya berlari ke arahku. Ketika dia sampai padaku, betapa kagetnya dia langsung memelukku dan seperti mendorongku, aku bergerak jatuh bersamanya ke lantai. Tapi, aku tidak terbentur oleh lantai karena dia cepat-cepat mengalihkan posisinya ke bawah sehingga aku berada di atasnya.

BRAKKSS!!!

Aku terkejut mendengar ada sesuatu yang terjatuh begitu keras ke lantai. Seperti jatuh dari tempat yang begitu tinggi, benda itu menciptakan suara jatuhnya yang keras. Terdengar seperti suara kayu yang patah.

Dan yang paling kagetnya, Gabriel sudah ada di depan mataku berkat benda itu jatuh. Mungkin benda tersebut hampir saja menimpaku, sehingga dia terpaksa keluar dari persembunyian untuk menyelamatkanku.

"Gabriel, tadi itu ap---"

"SUDAH AKU SURUH KAU PERGI, KAU MALAH TETAP MENGEJAR DAN MENCARIKU! KERAS KEPALA! KAU HAMPIR SAJA DITIMPA RAK BUKU YANG TERJATUH DARI LANTAI ATAS! KAU MEMBUATKU CEMAS! AKU KHAWATIR! BAGAIMANA JIKA TADI ITU AKU TIDAK SEMPAT MENYELAMATKANMU?"

Aku langsung membisu dalam keterkejutanku dan tak dapat berkata-kata mendengar Gabriel berteriak melampiaskan semua kata-katanya padaku sambil masih memeluk erat diriku. Ketika dia memelukku seperti ini, aku jadi bisa merasakan detak jantungnya yang cepat. Selain membuatnya sedih, aku juga sudah membuatnya merasa khawatir. Aku harus bicara.

"Maaf," ucapku meminta maaf dengan lirih. Tubuhku seperti terbakar karena rasa bersalahku. Aku sudah membuat Gabriel menderita. Aku pantas dihukum, "aku salah. Ini semua salahku. Aku sudah mengacaukan segalanya."

Gabriel tidak membalas. Jangan-jangan dia tidak mau memaafkanku? Aku sedih, tapi aku harus menerima apapun jawabannya. Baiklah, akan aku katakan dengan lebih benar dan jelas.

"Gabriel, aku min---"

"Diam!"

"Eh? Apa?"

"Aku bilang diam! Jangan bicara apapun dan jangan bertanya!"

"B-baik."

Gabriel jadi mengerikan. Dia membentakku. Aku benar-benar sudah sangat bersalah padanya. Dia pasti tidak mau memaafkanku.

"Kau harus tahu dan mengerti. Boneka porselen adalah benda mati yang paling menyeramkan yang pernah aku lihat. Sejak pertama kali aku melihat boneka itu, umurku sekitar 10 tahun dan Joe sekitar 8 tahun. Waktu itu, Joe mendapatkan hadiah ulang tahunnya dari Ibu dan Ayah. Isinya adalah sebuah boneka porselen. Melihat benda itu, aku langsung menangis karena takut. Apalagi waktu itu Genta meminjam boneka itu untuk menakutiku. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain berlari dan menangis. Begitulah awal dari aku takut dengan boneka-boneka koleksi milik Joe," tutur Gabriel menceritakan masa lalunya sejak dia takut dengan boneka porselen.

Jadi begitu awal Gabriel menganggap boneka menggemaskan milik Joe menjadi barang paling menakutkannya. Lalu, mengenai dia menyebutkan nama Genta, sepertinya pangeran kedua itu sudah lebih dulu dikenal nakal dan mengesalkan. Dengan liciknya dia menakut-nakuti adiknya dengan boneka milik Joe.

Seperti caraku mengerjai Gabriel.

"HUEEE!!!! GABRIEL!!! MAAFKAN AKU SUDAH MENAKUT-NAKUTIMU!!! AKU TIDAK BERMAKSUD MEMBEDA-BEDAKANMU DENGAN YANG LAIN ATAU BAHKAN MENGEJEKMU!! AKU HANYA SEDANG BOSAN!!! AKU BENAR-BENAR MINTA MAAFFFF!!!!" teriakku refleks mencengkeram bajunya dengan keras sambil menangis kencang.

"Sudahlah, lupakan saja. Aku juga minta maaf karena sudah menjauhimu. Sudah ... sudah," kata Gabriel juga meminta maaf kepadaku sambil menepuk-nepuk punggungku.

Kami melepaskan pelukan dan segera bangun. Aku menghapus sisa air mataku dengan cepat dan kembali melihatnya dengan semangat baru. Senyuman Gabriel sukses mengembalikan suasana hatiku yang tadinya jelek telah berubah baik.

"Jadi, kita masih berteman, kan?" tanyaku sambil mengulurkan tangan kananku untuk berjabat tangan dengannya.

Gabriel menerima tanganku dan menjabatnya. Tapi, tiba-tiba saja dia menarik tanganku sehingga aku terlangkah maju dan membuat jarak yang terlalu dekat.

"Tapi, aku ingin kita berdua lebih dekat lagi."

Hm, maksudnya apa? Memang sih karena baru dua hari aku berada di sini, tentu saja aku belum terlalu dekat dengannya termasuk ketiga pangeran yang lain.

"Kalau begitu kita harus sering-sering mengobrol!"

Gabriel tersenyum lebar. Astaga, lihat giginya! Begitu rapi dan putih. Aku kagum. Gigiku tidak seputih itu. Pasta gigi apa yang dia gunakan? Atau mungkin, dia sering menyikat dan merawat giginya dengan baik.

"Queen, rasanya aku tidak terima melihatmu dekat-dekat dengan ketiga saudaraku. Aku lebih senang jika kau hanya dekat denganku. Aku egois, ya?" tanya Gabriel. Benar apa yang dikatakan Ades dan Joe. Gabriel juga bisa egois.

"Hehe, iya, kau tampak egois saat kau berkata seperti itu. Itu membuatku ... GEMASSS!!!" jawabku kemudian mencubit kedua pipinya sampai merah.

"Qu-Queen!! Sakit!" rintih Gabriel sambil melepaskan diri dari cubitanku dan mengelus kedua pipinya. "K-kenapa kau menyerang pipiku?"

"Hahaha! Soalnya kau lucu, sih!"

"Eh, awas ya! Lihat dan rasakan pembalasanku!"

Gabriel membalas seranganku dengan cara yang sama denganku. Aduh, sakit! Ternyata dia lebih jago mencubit orang! Aku tidak akan kalah darinya.

"Serangan balik!!" Aku mencubit pipinya lagi ketika dia masih sedang mencubit pipiku.

"Aww!! Kau kuat juga, ya! Aku akan menyerangmu dengan cara lain!" Gabriel menekukkan jemarinya, bersiap untuk menerkamku. Oh tidak, aku akan diserang dengan cara itu! Aku tidak sempat berlari!

"HUAHAHAHA GABRIEL, SUDAH! AHAHAHA!! GELI! GELI!!!" teriakku karena kegelian dikelitik oleh Gabriel. "Awas kau!"

"Eit! Tidak bisa! Kejar dulu!" Gabriel kabur begitu saja dariku selesai dia puas menggelitikku. Aku yang tidak bisa membiarkannya lolos, segera berlari untuk mengejarnya.

Malam ini, aku bisa tidur dengan tenang.

To be continue⚡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top