He said...(Tuna Rungu Menembus Batas)


Dia tak sempurna yang mengajariku banyak hal, bahwa ketidaksempurnaan bukanlah akhir, ketidaksempurnaan bukan berarti selalu menjadi yang teremehkan dan ketidaksempurnaan bukan berarti hanya bisa diam lalu meratapi takdir. Ketidaksempurnaan adalah jalan lain untuk menyempurnakan hidup, menjadikannya cambuk, bahwa banyak takdir yang bisa diubah meski ada sekat bernama ketidaksempurnaan.

Aku mendengarkan bagaimana Mbak Dian bercerita di depan sana, masih tetap mendengarkan sambil melihat laki-laki yang sibuk dengan ponsel di tangannya. Ya, laki-laki yang sama, laki-laki tak sempurna yang membuatku selalu ingin melihatnya, mengetahui apa yang dikerjakannya hari ini ataupun apa yang sudah pernah dilaluinya selama dirinya hidup hingga kini. Dia tak banyak bicara, aku paham, penyandang tuna rungu berat sepertinya memang mengalami kesusahan saat berbicara, tapi bukan berarti dia diam saja, dia manusia yang penuh motivasi, yang melakukan banyak hal untuk hidupnya. Aku percaya, usahanya tak akan pernah sia-sia, usaha manusia taka da yang mengkhianati takdir, terbukti dia kini seorang atlet bulu tangkis yang banyak menyabet gelar juara di Jawa Timur, dia model sekaligus fotografer, jadi apa yang perlu kuragukan dari ketidaksempurnaannya sebagai manusia? Tidak ada, Tuhan itu adil. Ketidaksempurnaan hanya ujian, bukan kutukan seperti yang kebanyakan dibicarakan oleh.

"Jadi, Bahasa isyarat itu ada dua, Bisindo dan Sibi. Kalau Bisindo itu lebih susah, biasanya, jadi bahasa yang hanya dimengerti oleh anak-anak tuna rungu sendiri, nah kalau Sibi itu baru dari pemerintah, ya kan Fin?"

Mbak Dian menepuk bahu Alfin, dia terlihat bingung sebelum akhirnya Mbak Dian menjelaskan, baru dia mengangguk. Lucu, kupikir.

"Woi aku dapat IG-nya Mas Alfin nih."

Ver menyodorkan ponsel berwarna hitam miliknya padaku, kupandangi sejenak. Dari namanya, kupastikan dia anak kedua Dwi—berarti dua. Kuperhatikan sekumpulan fotonya di IG, dia tampan, tampak bahagia di sana, Siapa yang mengira dia seorang tuna rungu? Tak ada kurasa, kecuali  jika orang melihat bio di IG-nya yang menjelaskan dirinya tuna rungu. Katanya, tuna rungu menembus batas, aku tersenyum melihat begitu besar motivasinya untuk tetap berjuang membuktikan eksistensinya di dunia ini, walau aku yakin bukan hanya satu dua orang yang menghinanya, ada banyak pasti dan sampai hari ini dia sudah berhasil melaluinya, siapa yang menduga? Bahwa ada seorang tuna rungu sepertinya yang begitu memotivasi dan menyadarkan banyak pihak, jika tak ada yang namanya ketidaksempurnaan yang tak berarti di dunia ini.

"Wuih Ly, dia pernah jelek bin gemuk loh, dia diet ternyata selama empat bulan dan voila jadi ganteng banget kayak sekarang, kayak FTV ya, ketua BEM kita yang katanya sempurna, si tiang masjid FIP mah lewat," bisik Ver sambil tersenyum melihat foto pubertas Alfin. "Gaul juga ya dia, kekinian gitu loh, ada foto buat mantanku maafin aku yang dulu segala lagi haha."

"Ya memang tunarungu nggak boleh gaul?"

"Ya, bukan gitu sih."

Ver menggaruk kepala belakangnya bingung, sementara hari semakin malam, dan acara pertama pertemuan relawan PSLPD ini belum selesai juga. Mbak Dian masih sibuk menjelaskan tentang Sibi, rencananya kami akan membuat rekor muri seribu mahasiswa yang melakukan Sibi dengan lagu sempurna milik Andra and The Backbone untuk beberapa bulan ke depan.

"Kamu milih jadi pendampingnya buat anak disabilitas tipe apa Ly?"

Ver bertanya lagi padaku sembari memberikan sebuah kertas berupa daftar yang harus kupilih. Kutarik napasku, awalnya aku berencana memilih untuk anak autis, tapi begitu melihat Alfin, entah mengapa rasa penasaranku pada anak tuna rungu jauh lebih besar, aku ingin belajar Sibi mendalami emosi mereka yang katanya sangat sensitive itu.

"Tuna rungu aja kali ya."

"Eh, yaudah deh aku juga."

"Katanya mau pilih tuna netra?"

Ver menggeleng sambil terkikik dan kakak, "nggak ah, memang sih gampangan belajar braile, tapi dari segi emosional, anak tuna rungu itu bagus buat latihan kita menerapkan teori kepribadian," katanya panjang lebar, aku memutar bola mataku.

"Teori kepribadian apa Mas Alfin?"

"Sambil menyelam lihat cogan kan lumayan Ly."

Aku tak berbicara lagi, membiarkan Ver tertawa-tawa sendiri sembari melanjutkan melihat kumpulan foto Alfin di IG-nya. Yang kupikirkan, bagaimana rasanya jika seumur hidupku tak bisa mendengar apa-apa? Sepi, hampa, kosong. Seperti itu mungkin yang dirasakan Alfin selama ini.

***

Aku tak pernah lagi melihatnya untuk waktu yang cukup lama, semenjak hari itu, hari di mana kulihat dia sedang sibuk bermain ponselnya di Gedung Pusat Layanan Autis (PLA), selepas itu tak lagi kutemui dirinya pada hari-hari mendatang. Kami berbeda kampus, memang meski satu fakultas. Dia berada di kampus daerah Gedangan yang jaraknya lumayan jauh dari letak kampusku saat ini, meski semester baru nanti jurusannya akan dipindahkan ke kampus yang sama denganku, tapi itu berarti dia sudah lulus dan aku tak yakin bisa bertemu lagi dengannya.

Setidaknya sampai hari ini, aku berada di kampusnya untuk kali pertama, di Gedangan. Rencananya, kami akan belajar Bahasa isyarat untuk tampil di bulan Bahasa nanti, Ver sudah terkekeh tidak jelas sewaktu segerombolan anak laki-laki lewat di depan kami. Aku diam, memperhatikan temanku itu yang sedikit kurang waras.

"Ya ampun banyak banget ya cogan di sini, coba di FIP begini. Boro-boro, palingan  hanya ketua BEM kita itu atau kalau nggak ya yang dulu kamu suka itu Ly, siapa namanya? Mas Iko?"

"Apa sih Ver? Nggak jelas kamu ini."

"Atau sekarang kamu sudah suka sama Mas Alfin?"

Tak kujawab tuduhan dari Ver, aku tak ingin mengiyakan atau menggeleng, Ver akan semakin menjadi. Kubiarkan, dia akan diam sendiri nantinya.

"Mas Alfin Ly," pekik Ver tertahan. Kuarahkan mataku mengikuti jari telunjuk Ver, dia di sana, sedang berjalan ke arah koridor. Tak ada senyum di bibirnya, hanya wajah datar yang ia perlihatkan sore ini, aku tidak tahu kegundahan apa yang sedang dialaminya, tapi kuharap gundahnya cepat pergi, jangan lama-lama tinggal dalam dirinya. laki-laki itu setidaknya harus selalu bahagia, sudah cukup selama ini dia dirundung duka berkepanjangan.

"Mbak Di, kalau kita besok lihat mahasiswa yang sedang didampingi buat skripsi di PLA boleh nggak?" celutuk Ver tiba-tiba pada Mbak Dian waktu Mbak Dian menghampiri kami hendak mengajarkan Sibi.

"Ya boleh pasti, datang aja kalau mau."

"Oke Mbak, pasti dong."

Aku hanya tersenyum kecil sambil mengikuti Mbak Dian yang mulai mengajarkan Sibi dengan lagu Sempurna.

"Gini loh dua jarinya digabung seperti ini, jadi dijalankan barengan," ucap Mbak Dian, aku frustrasi, Sibi tak semudah kelihatannya, susah dan butuh konsentrasi, gerakannya hampir mirip namun tak serupa. Kulihat di samping kiriku, Ver hampir menyerah, tangannya sudah memegangi kerikil di lapangan basket ini, tanda jika Ver frustrasi, perempuan itu akan menjadikan benda-benda di sekitarnya untuk dijadikan mainan.

"Udah ah Mbak, aku nyerah, susah," gerutu Ver, Mbak Dian tertawa melihat wajah konyol Ver.

"Yaudah Mbak kasih videonya nanti kamu belajar sendiri ya."

"Gitu kek Mbak dari tadi."

***

Sore berikutnya Ver benar-benar mengajakku ke PLA melihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk mengerjakan skripsi mereka. Ada Mas Eka, dia salah satu mahasiswa tuna netra yang memiliki bakat luar biasa. Aku pernah melihatnya beberapa kali bermain biola dengan sangat indah, ketika seminar PSLPD kemarin, maklum dia dari fakultas Bahasa dan Seni. Dan yang pasti aku melihatnya lagi, dia sibuk di ruangan itu sambil mengerjakan skripsinya dibantu oleh Mas Hakim yang mendampinginya untuk menyelesaikan skripsi.

"Katanya Mas Alfin mengangkat metode bermain bulu tangkis untuk anak tuna rungu loh buat skripsinya, keren kan? Teman-temanku juga pada ngefans sama dia pas kemarin aku cerita tentang Mas Alfin," celoteh Ver sambil mengamati Alfin, kami duduk di sofa di ruangan yang sama dengan Alfin.

"Dia memang pantas dijadikan motivasi Ver, nggak heranlah."

"Kalian sudah datang?" tahu-tahu Mbak Dian muncul di hadapan kami, membikin aku dan Ver menghentikan obrolan kami.

"Iya Mbak hehe, ngomong-ngomong mereka keren banget ya Mbak, jadi makin kagum."

"Keren dong pasti, apalagi Alfin tuh, banyak fansnya."

"Lha wong ganteng begitu Mbak, sayangnya dia hanya kurang beruntung."

Mbak Dian membenarkan sebelum meninggalkan kami. Kami hanya duduk diam di sini, Ver sibuk memainkan ponselnya, entah siapa yang diajaknya chatting daritadi dia hanya terkekeh tidak jelas sambil melihat layar ponselnya. Aku? Sama seperti hari-hari yang sudah berlalu, masih sibuk melihatnya dari kejauhan, titik yang tak mungkin diketahuinya. Dia tak sempurna yang luar biasa, yang berhasil menyadarkanku dari semua yang kukeluhkan selama ini. Sampai menit kesepuluh kemudian aku masih diam, Alfin menghentikan mengetik skripsinya, laki-laki itu menolehkan wajahnya, tersenyum kecil padaku, memperliatkan gigi gingsulnya. Aku balas tersenyum, dia tak lagi menoleh padaku lalu berbicara pada Mas Hakim dengan Bahasa yang sedikit kutangkap—aku benar-benar perlu banyak belajar dari bahasanya—sebelum memutuskan mematikan laptopnya dan memasukannya ke dalam tas ransel cokelat yang dia bawa. Aku tak bersuara. Diam, adalah caraku mengaguminya, diam adalah caraku menyimpan senyumnya, kukeluarkan bila suatu saat senyum itu hanya bisa kulihat dari lembaran fotonya di sosial media.

"Ayo pulang, sudah malam."

"Hmm."

Ver menarik tanganku meninggalkan ruangan itu, meninggalkan sisa senyum Alfin yang mengambang di udara. Aku bertanya, dan terus melakukannya dalam pikiranku, kapan kiranya aku bisa bertemu dengan Alfin lagi? Besok, lusa? Kurasa tak mungkin secepat itu. Hingga, catatan ini kuakhiri, aku masih belum bertemu lagi dengannya, bahkan setelah banyak hari berlalu, hanya sesekali kulihat dia meng-upload foto di Instagram, menunjukkan kelulusan TEP sebagai syarat yudisiumnya. Andai kita bertemu lebih awal.

o

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top