Bermula


Musim penghujan bisa jadi lupa waktu, pagi pada bulan April ini dirundung hujan yang saling menyahut menabuh cerau. Banyak di antara mereka yang berlari-lari menembus hujan, mayoritas di antara mereka membenci hujan, entah apa salah hujan. aku rasa hujan itu cukup menyenangkan, aku menyukai hujan, sensasi air yang jatuh dari atap langit membuat hujan menjadi menakjubkan.

Bersama Ver—kami duduk di bawah gedung PSLPD yang baru selesai dibangun ini, menunggu hujan reda sekaligus acara dimulai. Jalan di depan gedung ini dipenuhi genangan air, beberapa mahasiswa mengumpat ketika sepeda motor mereka terpenuhi lumpur hasil mahakarya hujan. Ver terkekeh sambil memakan remah rotinya yang tersisa, acara ini diselenggarakan terlalu pagi, hingga aku dan Ver tak sempat sarapan di warung belakang kampus—tempat makan kesukaanku juga Ver. Kurapatkan almamater biru dongker yang melekat di tubuhku. Hujan pagi ini membuat Surabaya menjelma menjadi kota berpeluh udara dingin. Segerombolan mahasiswa lewat, tak ada yang kukenali, barangkali mereka datang dari kampus yang ada di Gedangan. Temanku bilang, daerah Gedangan dijuluki "Banana City", kadang aku terbahak jika mengingatnya, Banana berarti pisang, dan Gedang adalah pisang dalam artian Jawa. Ada-ada saja istilah yang mereka sematkan.

Kujatuhkan pandanganku pada segerombolan panitia yang mengenakan seragam orange bernoda hitam di sakunya, yang saat ini duduk di atas bangku—tepat di sisi kiri Ram—tangga khusus penyandang disabilitas. Pak Dekan bilang gedung ini memang sengaja dibangun untuk tempat pembelajaran penyandang disabilitas, katanya kampusku ingin memfasilitasi para penyandang disabilitas di sini. Pandanganku terfokus pada sosok laki-laki yang ada di antara gerombolan seragam orange itu. Aku melihatnya tersenyum, dengan gigi gingsulnya yang terlihat ketika dirinya sedang tersenyum. Manis, kupikir.

"Walah masnya ganteng banget ya, Ly."

Ver berbisik padaku. Aku menoleh padanya sambil tersenyum. "Kamu kalau cogan begitu pasti tahu ya, Ver."

"Kayak kamu nggak saja sih, Ly."

Ver mencibirku, kuakui, aku dan Ver kadang memang berlebihan ketika melihat cogan, bukannya apa-apa, tapi sekali buat cuci mata tak masalah kurasa.

Ver menepuk bahuku cukup keras. "Ya Allah, aku baru ingat, itu kan mas Alvin, kamu tahu nggak Mas Alvin?"

Aku mengangkat bahu. "Alvin? Memang dia siapa?"

"Anak PLB, waktu kita ospek dulu dia kan jadi panitia. Gentang kan, tapi dia itu tunarungu," kata Ver sedikit berbisik padaku. Mungkin takut ada yang mendengar, kebetulan gedung ini sudah dipenuhi beberapa mahasiswa yang hari ini mengikuti pelatihan relawan PSLPD.

"Ngomong-ngomong, kasihan ya Mas Alvin. Tunarungu gitu."

Aku hanya diam, aku manusia biasa yang pernah bertanya mengapa Tuhan menciptakan yang tak sempurna seperti mereka, pertanyaan yang pada akhirnya kutemui jawabannya setelah aku melihat dia—laki-laki tak sempurna yang saat ini sedang tersenyum bersama teman-temannya di sisi ram. Satu yang kupahami, ada kalanya Tuhan menciptakan ketidaksempurnaan semata agar manusia sadar, di dunia ini, ada ketidaksempurnaan yang harus sama-sama dirangkul dan diterima. Bukan dibenci dan dinistakan, sebagaimana beberapa mereka yang menganggap, ketidaksempurnaan adalah aib besar keluarga.

***

Acara hari kedua ini akan berlangsung sampai malam. Lusa lalu, aku dan beberapa temanku sempat tertinggal acara karena kami ada kelas hingga pukul tiga. Sayang memang, jadi tertinggal beberapa materi, tapi tidak masalah, masih untung hari kedua ini aku bisa datang dan bertemu dengan laki-laki bergigi gingsul itu. Aku tidak tahu apa yang membuatku tertarik untuk mengenalnya, setahuku dia memang istimewa. Kata Ver, namanya Alvin, dia tunarungu semenjak lahir.

"Materi Bahasa isyarat, Ly. Ya ampun, Mas Alvin maju tuh."

Ver menunjuk Alvin yang kini berada di atas podium. Laki-laki itu memandangi kami satu per satu, entah apa yang ada dipikirannya. Aku tak tahu, aku bukan cenayang yang bisa membaca apa yang sedang dipikirkan olehnya. Mbak Dian—salah satu pemateri berdiri di samping Alvin, mengenalkan siapa Alvin sebenarnya. Beberapa mahasiswa terdengar berbisik ketika tahu Alvin adalah seorang tunarungu. Aku menghela napas, memang ada yang salah dengan tunarungu? Kupikir mereka sama saja dengan kita, bedanya mereka tak seberuntung manusia pada umumnya yang bisa mendengar bagaimana rupa suara di dunia, bahkan mendengar suaranya saja, mereka tidak pernah. Aku baru sadar, ternyata Tuhan memberiku banyak keberuntungan ketika melihat Alvin di depan sana. Lain kali, aku akan lebih bersyukur lagi.

"Na—ma s ya, A vi n." (Nama saya Alvin)

Aku mengerutkan dahiku, dia berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya. Aku ingat, itu salah satu bahasa isyarat yang tadi sempat Mbak Dian jelaskan di awal. Tapi aku kurang paham apa yang Alvin katakan. Maklum, ini kali pertama aku berinteraksi langsung dengan seorang tunarungu.

"Ya, jadi ini adalah Mas Alvin. Mas Alvin ini sedang menyusun skripsi, yang PLB pasti tahu ya," kata Mbak Dian, aku menoleh pada beberapa mahasiswa jurusan PLB yang mengangguk semangat—sambil mengeluh-eluhkan nama Alvin.

"Vin, sini. Coba, ada yang mau jadi sukarelawan maju buat coba ngobrol sama Alvin?"

Aku memilih diam. Bukannya tidak mau, hanya aku kerap dilanda demam panggung ketika harus berdiri di hadapan banyak orang, lagipula aku juga belum terlalu tahu bahasa isyarat. Beberapa nampak mengangkat tangannya. Mbak Dian terkekeh, sambil memilih seorang mahasiswi yang berada di deretan paling belakang.

"Wah Alvin dapat cewek cantik nih."

Mbak Dian menggoda Alvin, laki-laki itu tersipu. Dia memang tak bisa mendengar, tapi sewaktu sekolah di SLB, katanya, Alvin belajar cara membaca gerak bibir. Jadi, beberapa tahun ini Alvin lebih sering berkomunikasi dengan membaca gerak bibir dan berbicara—walau tidak jelas—daripada memakai bahasa isyarat. Alvin tadi sempat bilang dirinya cukup lupa beberapa hal tentang bahasa isyarat, barangkali karena terlalu lama tak memakainya.

"Coba Vin, kamu tanya namanya."

"A pha...?"

Mbak Dian tertawa, aku tak tahu apa yang ditertawakannya. Mungkin wajah merah Alvin. "Tanya namanya."

Alvin menggaruk belakang tengkuknya—salah tingkah. "Na ma, a mu s pa?" (Nama kamu siapa) katanya sambil menggerakkan telapak tangan kanannya.

"Amel."

"Cieee Alvin cieee. Eh Vin, tanyain nomor teleponnya dong."

Mbak Dian kembali menggoda Alvin, membuat wajah laki-laki itu kian merah padam. Aku tak berbohong, semburat merah itu benar-benar menghiasi pipinya. Kupikir kepribadian Alvin ini cukup pemalu, maklum dia seorang penyandang disabilitas yang biasanya menjadi pribadi yang pemalu ketika tumbuh dewasa, barangkali karena dulu tak terlalu sering bergaul dengan orang biasa.

"Ya Allah masnya loh, guanteng banget, gakuku ganana, senyumnya masyaallah."

Aku menyenggol bahu Ver yang sedari tadi sibuk meneriakku Alvin. Mata Ver sudah berbinar-binar begitu melihat Alvin di depan, dia memang tampan, tapi Ver terlalu lebay kurasa. Ver memutar bola matanya, sewaktu tanganku menepuk bahunya keras.

"Ah, kamu mah Ly, ganteng tahu."

"Iya ganteng, tapi nggak usah alay sih."

"Biarin. Awas ya nanti kalau kamu kebagian wawancara sama Mas Alvin terus kamu nggak bisa jawab, kusyukurin."

"Nggak bakal!"

***

Aku berdiri dengan gugup di depan ruang yang menjadi tempat tes wawancara untuk menjadi relawan pslpd tahun ini. Ver benar, Alvinlah yang akan mewawancaraiku sore ini. Entah kenapa tapi aku sangat gugup. Kulihat Ver baru saja masuk ruang bernomor 1 yang berada tepat diseberang ruanganku yang berangka 12. Jika boleh bertukaran, aku lebih memilih untuk berada di ruangan yang dihuni oleh Ver daripada berada satu ruangan dengan Alvin. Baru satu hari bertemu rupanya kesehatan jantungku telah terganggu, bagaimana jika dua, tiga kali bertemu? Mungkin aku tewas, ah lupakan—itu pemikiran konyol.

"Lily Karunia," panggil seseorang, rupanya itu salah satu panitia yang akan mewawancaraiku.

Kurapalkan beberapa mantra berisi doa sebelum masuk, aku harus bisa menguasai diriku jika tak ingin malu nantinya. Aku berjalan menuju kursi yang disediakan untuk sesi wawancara. Dia di sana, duduk bersama seorang perempuan yang berbaju senada dengannya, orange. Kegugupanku semakin tak terkendali, rasanya aku ingin menyebur ke dalam danau kampus di depan sana.

"Nama kamu?" tanya perempuan itu, belakangan kutahu namanya Mbak Alika.

"Lily Karunia."

"Ng a k ta hu." (Nggak tahu)

Mbak Alika tersenyum padaku, perempuan itu memandang Alvin yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku semakin gugup saja.

"Pelan-pelan ya, Mas Alvinnya nggak bisa baca gerak bibir kamu nanti."

Aku meringis sambil merutuki diriku sendiri. Aku lupa satu hal, laki-laki itu tak bisa mendengar. "Lily Karunia."

Kuucapkan pelan namaku, Alvin tersenyum sambil mengangguk. Kuhela napas lega, Alvin memandangku sekilas sebelum mengisyaratkan sesuatu pada Mbak Alika.

"Apa motivasimu untuk menjadi relawan?"

Aku meremas kedua tanganku gugup, kupandangi Alvin. Laki-laki itu malah tersenyum, menujukkan deretan gigi gingsulnya, fokusku semakin buyar. Kata-kata yang kususun susah payah lenyap entah ke mana, kucoba mengais apa yang masih tersisa di otakku. Nihil, yang ada malah semakin gugup. Demi Tuhan, aku tidak berbohong, Alvin sangat tampan hari itu. Jelas, dia seorang atlet dan model. Jangan heran, dia memang luar biasa walau tak sempurna.

"Saya ingin menjadi pendamping bagi mereka yang membutuhkan dan mereka yang tak seberuntung saya. Saya ingin berbagi dengan mereka, bahwa dunia ini indah walau mereka melihatnya dari ketidaksempurnaan."

"Dari skala satu sampai sepuluh, berapa besar minat kamu untuk bergabung jadi relawan?"

"Delapan!"

Mbak Alika menoleh pada Alvin, perempuan itu tertawa kecil sambil memandangku. "Nggak mau minta nomornya Mas Alvin, Dek?"

Aku terkejut sambil menggeleng dengan cepat, sedangkan Alvin menundukkan wajahnya. Apa benar, wajahku begitu kentara ketika memandangi Alvin? Aku meringis, merasa tak enak dan malu, tentu saja. Siapa yang tidak malu, jika ditohok seperti itu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top