Berakhir
Aku hanya bisa melihatnya dari titik yang tidak diketahui oleh siapapun, dari tempat di mana diam-diam kuperhatikan dan kujadikan dia sebagai inspirasi terbesarku untuk tetap hidup, dan mengatakan pada diriku sendiri, aku berharga, aku lebih beruntung daripadanya yang hidup dalam kekurangan. Sepertinya pula yang tak pernah menjadikan kekurangannya sebagai sekat yang menghalanginya untuk berhenti bermimpi, kuharap demikian dengan diriku dan orang-orang di luar sana yang berani menaruh mimpi besar dalam hidupnya. Dan Alvin--catatanku tentangmu hanya senoktah tamparan untukku dan mereka yang tak pernah menghargai hidup.
Perjuangannya luar biasa. Dia dibatasi oleh kekurangan, namun--semua itu tak membuatnya berhenti untuk melakukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dia membuktikan pada dunia, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh tak sempurna sepertinya. Termasuk, menjadi seorang sarjana. Sesuatu yang dirasa banyak orang sulit dilakukan, nyatanya dia mampu melakukannya. Bahkan aku tahu bukan hanya dia, ada Alvin-Alvin lain yang telah melakukannya terlebih dahulu. Kuingat, Pak Dekan pernah mengatakan dalam kelasnya pada suatu siang, ada seorang alumni dari kampus kami yang bahkan kini telah menjadi seorang dosen. Itu semua mungkin sebuah pertanda, Tuhan menciptakan kekurangan yang selalu diselaraskan dengan kelebihan.
Remah roti yang dibawa Ver sudah habis. Beberapa bagiannya diberikan pada Burung Dara yang hinggap di pelataran kampus. Dia menarik napasnya, memejamkan matanya untuk beberapa saat. Suasana kampus sedang ramai saat ini, jam makan siang, pantas saja. Mereka pasti sedang mendatangi kantin untuk mengisi perut yang kelaparan sehabis bermalam-malas ria mendengarkan pelajaran dari dosen.
"Mas Alvin nggak sih itu?"
Ver mengarahkan tangannya pada sebuah titik--tepat di depan lobi PLS.
"Iya ya? Ngapain ke sini? Tumben."
Ver tertawa kecil, diarahkannya kamera ponsel pada sosok itu. "Ya habis sidanglah. Nggak lihat apa bajunya putih hitam kayak gitu?"
"Lah kok sidangnya di sini? Eh ngapain ngefoto dia?"
"Ya mana aku tahu. Oh foto, buat koleksilah, temenku ada yang ngefans sama dia. Kan lumayan buat pamerin fotonya Mas Al."
"Ckckck...dasar ya kamu."
Ver tertawa lagi, tawa yang tak begitu kusukai, karena dalam tawanya tersirat sebuah pesan yang aku yakin tak baik untuk kestabilan emosiku.
"Nyamperin Mas Al yuk!"
Dia benar-benar tak terduga.
"Nggak mau! Kamu aja wes."
"Udahlah ayok! Kemarin kuajak nyamperin Mas Ubin Masjid nggak mau. Sekarang Mas Alvin nggak mau juga. Ck, kamu ini ya Ly."
Dia menggerutu sambil menyeretku menghampiri Mas Alvin yang sekarang sedang berjalan menuju gerbang kampus. Ya Tuhan! Ver benar-benar manusia yang tidak bisa kutebak isi kepalanya.
"Mas Alvin," katanya memanggil Alvin. Ver mengajakku berdiri tepat di depan Alvin setelah berlari-lari kecil mengejar laki-laki ini. Bayangkan saja bagaimana jika Ver memanggil Alvin dengan suara menyebalkannya itu dari balik punggung Alvin, aku yakin--dia tak akan mendengarnya.
"Si a p a?" (Siapa?)
"Yang kemarin ketemu Mas Al di gedung PLA."
Dia terdiam cukup lama. Mungkin berpikir tentang siapa aku dan Ver. "Y a, a dha..ap ha?" (Ya, ada apa?), katanya. Kuperhatikan wajahnya, jelas ada ekspresi kebingungan di dalam sana. Jelas saja, siapapun akan bingung jika tiba-tiba dihampiri dan ditanyai oleh Ver secara mendadak seperti ini.
"Mas Al ngapain ke sini? Habis sidang?"
"Ke te mu...Pak De kan." (Ketemu Pak Dekan?), ucapnya dan dia mengangguk.
"Loh buat apa?"
"Ad a, uru san." (Ada urusan)
"Eh ngomong-ngomong selamat ya Mas udah lulus. Hebat."
"Te rima kasih, ka kak saya sudh a, men jem put...per mi si."
Ver mengangguk sambil tersenyum riang, aku hanya diam, memperhatikannya menjauh, menghampiri kakak laki-lakinya yang duduk di atas sepeda motor--menunggunya. Menyisakan punggungnya yang lama kelamaan hilang tertelan titik yang tak lagi terlihat. Dia dijemput kakak laki-lakinya.
"Uwaaa tadi itu keren!"
"Keren apanya?"
"Aku dong berani nyapa Mas Al, emang kamu diam aja kayak umplung nunggu ujan?" Dia mencibir.
"Nyindir?"
"Haha ngerasa ya..." Tawa Ver meledak, "eh ngomong-ngomong Mas Al itu pernah pacaran loh pas SMA. Dia kan sekolah di SMA 10 deh kalau nggak salah, sekolah inklusi kan? Berarti pacarnya orang normal dong, keren ya. Tapi kenapa bisa putus sih? Hah, sesuatu yang nggak akan kita ngerti kan, Ly? Apa mungkin orang tuanya nggak setuju ya? Kan orang-orang awam masih nganggap anak-anak difabel itu aib."
"Ya, itu urusan orang lain sih Ver. Kita nggak usah ikut campur, doakan saja Mas Al dapat jodoh yang baik dari Tuhan. Tapi, darimana kamu tahu tentang itu?"
Ver tertawa misterius, "ya dari mana-mana, kan aku banyak koneksi haha."
Jawaban yang tak membantu sama sekali sampai dia kembali menyeretku menuju kelas kami di lantai tiga. Sepuluh menit lagi ada kelasnya Bu Isma, salah satu dosen yang bisa membuat tekanan darah kami rendah seketika.
***
Kupikir baru kemarin Ver menghampiri Alvin dan mengajaknya mengobrol singkat. Tapi detik ini, kejadian itu sudah berlangsung beberapa bulan yang telah lewat. Dalam foto yang saat ini kupandangi, dia tampak bahagia bermain dengan anak-anak kecil di sebuah halaman SDLB. Dia sudah mengajar, meski belum resmi menjadi sarjana. Kupikir dia sudah tak sabar untuk mengabdi pada anak-anak lain yang seperti dirinya, membagikan apa yang telah dipelajarinya selama ini di bangku kuliah. Dia tertawa, yang kuyakini tawanya mengandung milyaran bahagia. Tertawa memang hal sederhana yang mampu dilakukan semua manusia, tapi makna di dalamnya tak pernah sesederhana sebuah bibir yang dengan serunya bergoyang-goyang mengikuti kinerja otak. Karena, terkadang hati dan otak tak berjalan pada impuls yang sama.
"Duh ya Ly, jangan ngelihati fotonya Mas Al mulu kaliiiii...tuh orangnya dateng, ketahuan matilah kamu!"
"Kalau kamu nggak berisik nggak akan ada yang tahulah."
Dia mencibir. Kebiasannya yang bahkan sudah kuhafal di luar kepala. Aku dan Ver sedang ada di gedung PLA untuk mengikuti rapat panitia rekor muri sibi 1000 peserta. Agenda yang tentu saja tidak mudah, karena kami harus mengajari 1000 orang untuk dilatih dua lagu menggunakan sibi (sistem bahasa isyarat) sebelum mendaftarkan acara ini pada Muri.
"Itu orang memang senyumnya gakuku ganana ya, Ly. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan coba?"
"Nggak kesambet kan Ver? Lebay banget sih?"
"Lebay nggak lebay ahelah, lihat dah tuh gingsulnya itu loh...cowok gingsul kan, sesuatu. Ugh bentar lagi dia wisuda lagi, huaaa semoga masih bisa ketemu deh nanti."
"Ya, semoga," kataku pelan--kuyakin Ver tak mendengarkannya.
Sebentar lagi Alvin wisuda, perjuangannya selama empat tahun ini tidak sia-sia, dia berhasil membuat sebuah pembuktian, bahwa dia berharga, dia sederajat dengan manusia-manusia lainnya. Tidak ada perbedaan tentang sempurna tidaknya seorang manusia di dunia ini, semua berhak, semua bisa melakukan dan mendapatkan haknya sebagaimana manusia lainnya.
Maka, siang ini saat terakhir kali aku melihatnya, kurapalkan banyak syukur pada sang pencipta, sekaligus, kudoakan dia dalam diamku, semoga dia selalu dirunding bahagia setelah Tuhan menumpahkan duka tak berkesudahan dalam hidupnya.
Barangkali dia tak bisa mendengar dan berbicara, tapi dia memiliki kaki, tangan dan mata untuk tak pernah berhenti bermimpi menyuarakan harapannya pada dunia. Ketidaksempurnaan bukanlah akhir segalanya.
Sampai aku tak lagi melihatnya pun, seutas senyum yang tak sengaja diberikannya padaku masih tersimpan di tempat yang kututup rapat, kujadikan semangat untuk lebih menghargi hidup sepertinya. Darinya aku belajar banyak hal, banyak makna dan rasa syukur pada Tuhanku atas nikmat hidup sebagai manusia yang dilimpahi jutaan keberuntungan.
Alvin, adalah sebuah kebenaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top