5 - Kerja Bareng Mantan?
Nindi mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk film terbarunya, termasuk mengurus visa dan paspor. Dia juga sudah membaca novelnya, agar punya gambaran lebih awal peran yang akan dia mainkan. Nindi bertekad akan mengerahkan seluruh kemampuannya kali ini. Produser sudah cukup berani memilihnya, di tengah kecaman akan penampilan sebelumnya, yang masih terus berdatangan. Ada pertaruhan di sini. Nindi tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apa pun.
Namun, ada satu hal yang harus Nindi pastikan sebelum berangkat ke Belanda, yaitu menemukan pengasuh untuk Dea.
"Mbak, kira-kira di mana, ya, bisa nemu pengasuh yang cepat, tapi terpercaya?"
Niken yang sedang berkutat dengan laptop, mengangkat sejenak pandangannya. "Pengasuh anak?"
Nindi mengangguk. Mereka baru saja meeting dengan brand pakaian perempuan yang akan mensponsori semua pakaian Nindi selama syuting di Belanda nanti.
"Emang pembantu kamu kenapa?"
"Bulan depan udah nggak kerja lagi. Katanya mau ikut anaknya ke Makassar."
"Berarti kamu butuhnya pembantu yang sekalian bisa ngurus anak?"
"Mm ...." Nindi berpikir sejenak. "Yang basic-nya pengasuh aja, deh, Mbak. Kalau nggak terlalu bisa ngurus rumah nggak apa-apa. Yang penting bisa ngurus Dea dengan telaten. Biar aku juga kerjanya lebih nyaman karena udah nggak terlalu kepikiran."
"Oke. Nanti coba aku cariin, ya."
"Kalau bisa yang masih muda, Mbak, biar fit. Soalnya jagain anak selincah Dea butuh tenaga ekstra."
"Sip." Niken kembali sibuk dengan laptopnya.
"Kalau gitu aku balik duluan, ya, Mbak. Mumpung sore ini nggak ada kegiatan apa-apa, rencananya aku mau di rumah aja main sama Dea."
"Oke. Hati-hati, ya."
"Iya, Mbak." Nindi membalas senyum manajernya itu, lalu meraih tas di kursi sebelahnya dan beranjak keluar.
Setibanya di luar, tahu-tahu banyak wartawan di pelataran restoran itu. Langkah Nindi memelan dan mengamati mereka dengan tatapan heran.
"Eh, itu Nindi udah keluar!" seru salah satu dari mereka begitu melihat Nindi.
Tanpa aba-aba semuanya langsung mengepung Nindi dengan sorotan kamera dan todongan alat perekam.
Nindi agak kaget. Bukan baru kali ini dia tiba-tiba dikepung wartawan, tapi kenapa mereka tampak sangat bersemangat? Nindi tersenyum ramah dan berusaha tetap tenang.
"Apakah benar Nindi akan syuting film di Belanda?" tanya salah satu dari mereka, tampak sangat tidak sabaran.
"Iya, benar. Mohon doanya, ya, semoga dilancarkan."
"Apakah benar, lawan mainnya Gaza?" timpal yang lain.
"Ha?" Wajah tenang Nindi luntur seketika. Matanya membulat dan benar-benar bingung harus jawab apa. Dia sama sekali belum tahu siapa lawan mainnya. Dan demi apa wartawan ini membawa-bawa nama Gaza? Atau jangan-jangan memang benar, dia akan dipasangkan dengan mantannya itu?
Gawat!
Nindi menggigit bibir dan sedang memikirkan cara untuk kabur. Ketika menoleh ke belakang dan melihat Niken masih di meja tadi, dia memutuskan untuk kembali saja ke dalam.
"Maaf, ya, ada yang ketinggalan," bohongnya, sambil berlalu dengan langkah panjang-panjang.
"Nindi, tolong jawab dulu."
"Apakah benar, Gaza juga terlibat di film itu?"
"Apakah kalian akan dipasangkan sebagai kekasih?"
Para wartawan itu berusaha mengejar Nindi. Namun, tak satu pun pertanyaan mereka yang direspons. Mereka nyaris mengikuti Nindi hingga ke dalam restoran, kalau saja satpam tidak lekas bertindak.
"Mbak, aku akan dipasangkan dengan Gaza di film itu?" tanya Nindi setibanya di depan Niken. Napasnya agak tersengal.
Niken mengernyit, karena mengira Nindi sudah pulang. "Ada masalah?"
Karena tadi suaranya cukup lantang, orang-orang mulai melihat ke arah Nindi. Tak ingin menarik perhatian lebih, dia pun menarik Niken ke belakang. Mereka berhenti di lorong menuju toilet.
"Jadi, Mbak udah tahu dan sengaja nggak ngomong ke aku?" Nindi melayangkan tatapan tidak terima.
"Aku dengar-dengar ada beberapa kandidat, sih, dan salah satunya emang Gaza. Tapi karena belum fix, makanya aku belum ngomong. Tapi kalau udah ada beritanya, berarti mungkin emang benar, kamu bakal main sama Gaza."
Nindi meringis sambil memijit keningnya.
"Emang kenapa kalau sama Gaza?"
Nindi semakin frustrasi mendengar pertanyaan itu. Niken bersikap seolah tidak akan ada masalah apa-apa.
"Artis lain juga banyak, kok, yang pernah kerja bareng mantan. Mereka biasa-biasa aja, tuh. Lagian, apa salahnya, kan?"
"Aku mungkin emang bisa melaluinya dengan baik, Mbak, tapi aku nggak enak sama Gandi."
"Dia nggak izinin?"
"Bukan gitu."
"Atau cemburu?"
Nindi mendesah pelan.
"Kecuali kalau kamu masih ada rasa sama Gaza, itu baru bahaya."
"Nggaklah!"
"Lah, terus?"
Nindi menopangkan sebelah tangannya ke pinggang sambil mendengkus. Entah bagaimana harus mengutarakan kecemasan yang kini bercokol di benaknya.
"Berhenti bersikap seolah-olah kamu meragukan kemampuan Gaza. Dia aktor paling berbakat plus profesional yang aku kenal sejauh ini. Aku yakin kalian bisa saling mengimbangi dan nggak akan terjadi apa-apa."
Harus Nindi akui, nama Gaza di ranah hiburan tanah air memang terus meroket. Sebenarnya ini kesempatan emas untuk mengembalikan kejayaan namanya. Dia bisa sekalian pansos tipis-tipis, andai tidak pernah ada apa-apa di antara mereka.
"Emang nggak akan terjadi apa-apa. Tapi, Mbak tahu sendiri, kan, media suka ngeluarin berita aneh-aneh dengan judul yang memancing. Yang ada nanti bukan performa aku yang disorot, tapi masa lalu kami."
"Jadi, kamu mau mundur?"
Nindi tercekat. Dia menyadari intonasi suara Niken berubah, pertanda mulai muak dengan pembahasan ini.
"Terserah kalau mau mundur. Tapi aku nggak jamin kamu bisa dapat job lagi dalam waktu dekat. Ingat, kamu bukan Nindi yang dulu lagi, masamu sudah redup. Kalau kamu terus-terusan bersikap seolah semua produser masih ngejar-ngejar kamu, kamu akan selesai." Usai berkata dengan sedikit penekanan itu, Niken pun berlalu dengan tampang setengah kesal.
Nindi jadi tidak enak. Dia paham betul bagaimana peran Niken sejauh ini untuk kariernya. Dia sama sekali tidak bermaksud mempersulit manajernya itu. Saat ini dia hanya ingin menjaga perasaan Gandi. Dia khawatir suaminya itu akan risi dengan pemberitaan yang nantinya pasti "ada-ada aja".
***
"Eh, Gan, kamu udah tahu ini belum?"
Gandi baru pulang dari makan siang. Dia hendak masuk ke ruangannya ketika Saman tiba-tiba mencegatnya, seolah hendak menunjukkan sesuatu yang buruk.
"Ada apa?"
Saman malah celingukan, takut ada yang dengar. Tadi dia keceplosan tidak menggunakan bahasa formal di dalam kantor. Kemudian dia menunjukkan postingan terbaru akun @mak.lambe.
Gandi mengambil alih ponsel Saman, dan seketika mengernyit melihat foto Nindi di-grid dengan foto Gaza. Terlebih setelah membaca caption-nya.
Gimana menurut kalian, gaes, masih cocok nggak? Kabarnya, mereka sedang terlibat dalam penggarapan film yang akan syuting di luar negeri. Duh, mimin jadi nggak sabar, deh, untuk nonton filmnya. Dijamin bakal pecah banget, sih, ini.
Gandi paham, terlalu dini untuk cemburu atau berpikir yang tidak-tidak. Dia bukan remaja lagi yang mudah terpancing dengan hal semacam ini. Dan, dia sangat percaya dengan istrinya. Namun, walau begitu, dia tetap gagal menghalau kekesalannya tumbuh. Perasaan tidak mengenakkan itu berada di konteks yang berbeda.
Gandi mengembalikan ponsel Saman tanpa berkata apa-apa. Dia menghela napas panjang perlahan-lahan untuk meredakan gemuruh yang seketika memenuhi dadanya. Mungkin tidak akan seperti ini kalau dia tahu dari mulut Nindi langsung. Namun, kenapa dia harus tahu dari postingan akun gosip norak itu?
***
[Bersambung]
Gimana perasaan kamu kalau berada di posisi Gandi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top