2 - Tawaran Film Baru
Dua bulan sebelumnya ....
"Belanda?" Nindi tersentak mendengar nama negara yang baru saja disebutkan manajernya.
Perempuan bertubuh tambun di depannya mengangguk. "Iya. Ini proyek adaptasi novel dari penulis ternama yang bersetting di Belanda. Artinya memang harus syuting di sana, kan!"
Nindi memijat keningnya. Padahal baru tadi malam dia sangat senang saat Mbak Niken mengabari ada job untuknya. Pasalnya, pamornya mulai turun akhir-akhir ini.
"Ada kendala?" tanya Niken setelah melihat Nindi menghela napas pendek-pendek sambil meremas jemarinya. Dia akan begitu saat gelisah.
"Kayaknya aku nggak bisa ninggalin Dea, Mbak."
"Aku sudah menduga akan mendengar kalimat ini," ujar Niken sambil menegakkan duduknya. "Tapi ingat, setelah menikah dan punya anak, kamu bukan Nindi yang dulu lagi. Harus diakui, penggemarmu tidak sebanyak dulu lagi. Bintang-bintang baru yang tak kalah potensial terus bermunculan. Kamu akan semakin tenggelam kalau pilih-pilih job begini."
"Bukan pilih-pilih, Mbak, tapi ...."
"Dea bukan bayi lagi, kan? Bisalah ditinggal sebulan dua bulan. Lagian ada papanya, kan?"
Nindi berpikir keras. Itu juga masalahnya. Dia akan merasa bersalah kalau harus menyerahkan urusan Dea sepenuhnya ke Gandi. Dia tahu suaminya itu juga lumayan sibuk.
"Aku susah payah, loh, meyakinkan produser untuk milih kamu."
"Iya, Mbak. Aku paham. Tolong kasih waktu, Mbak, aku mau omongin dulu sama Gandi."
"Oke. Itu pasti. Tapi jangan lama-lama, ya. Soalnya tim produksi harus segera merampungkan tim. Berhubung ini syutingnya di luar negeri, persiapan agak sedikit ribet dari biasanya."
Nindi mengangguk. "Iya, Mbak."
Selesai meeting dengan Niken, sebenarnya Nindi sudah tidak bersemangat menjalani sisa harinya. Pikirannya bercabang-cabang. Namun, dia masih harus meladeni wawancara dari beberapa media dan pemotretan untuk iklan sebuah parfum dari brand ternama.
Capek sudah pasti, tapi sejauh ini Nindi sangat menikmati. Ini dunia yang dia impikan sejak dulu. Hanya saja, tidak bisa dipungkiri, keadaannya agak sedikit berbeda setelah dia berstatus istri dan ibu. Dia punya tambahan tanggung jawab yang tidak kalah penting. Malah, mungkin bisa dikatakan jauh lebih penting. Buktinya, banyak perempuan yang rela melepas karier setelah menikah. Namun, Nindi tidak ingin itu terjadi. Dia ingin tetap stay di dunia hiburan hingga tua. Tampil di depan kamera punya nikmat tersendiri baginya.
Khusus hari ini, tawaran film yang akan syuting di Belanda itu membuat rasa capeknya dua kali lebih berat dari biasanya.
Setelah semua urusannya selesai, Nindi buru-buru pulang. Dia ingin tiba di rumah lebih dulu dari suaminya. Meski sempat terjebak macet, Nindi bersyukur karena tidak melihat mobil Gandi di garasi. Artinya, suaminya belum pulang. Sepertinya Gandi akan pulang magrib lagi. Nindi punya waktu sekitar sejam untuk menyiapkan hidangan.
Ruangan yang paling pertama Nindi tuju ketika baru tiba di rumah adalah kamar Dea.
"Sayang?" panggil Nindi sambil membuka pintu kamar bernuansa Frozen itu. Namun, ternyata anak itu tidak ada di kamarnya.
Nindi lekas beralih ke dapur. Dan benar dugaannya, putri kecilnya itu sedang merecoki Bibi yang lagi masak.
"Sayang ...."
Dea langsung menghambur ke pelukan mamanya. Nindi memeluknya penuh cinta, lalu mengecup kedua pipinya.
"Gimana sekolahnya hari ini, Sayang?" tanya Nindi sambil menjawil hidung anak itu.
"Seru, Mami. Dea dan teman-teman nyanyi-nyanyi sama Bu Guru."
"Dea senang?"
Anak itu mengangguk antusias. Matanya berbinar.
"Berarti Dea harus rajin sekolah, ya. Nggak boleh malas bangun pagi."
"Oke, Mami." Dea mengacungkan jempol kanannya sambil menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Tingkah itu membuat Nindi makin gemas. Dia pun mendekapnya sekali lagi.
"Sekarang Dea main sendiri dulu, ya. Mami sama Bibi mau masak dulu buat Papi."
Dea mengangguk, lalu kembali menghampiri area bermainnya. Bibi sengaja menggelar tikar di sudut dapur, lalu menyediakan seperangkat mainan masak-memasak. Maksudnya supaya dia bisa kerja sambil mengawasi anak itu. Hanya saja, terkadang kalau Dea sudah bosan, dia akan merecoki pekerjaan Bibi.
"Sudah masak apa aja, Bi?" tanya Nindi sambil mendekati Bibi yang tampak masih sibuk.
"Udang goreng tepung, Bu. Ini lagi mau masak sayur capcay."
"Sayurnya nggak usah, Bi. Kita masak opor aja. Ayam masih ada, kan?"
"Ada, Bu." Bibi lekas menepikan bahan-bahan sayurnya, lalu beralih mengambil ayam di freezer.
Kali ini Nindi ingin memasak sendiri opor itu, agar terkesan lebih spesial. Akhirnya Bibi hanya memantau.
Usai memasak, Nindi mandi, lalu berdandan seperlunya untuk menyambut suami pulang. Sambil menunggu, Nindi berselancar di sosial media. Dia berhenti scroll ketika tidak sengaja menemukan review salah satu filmnya yang masa tayangnya di bioskop baru saja berakhir. Seperti review kebanyakan, review itu pun bernada negatif, dan rata-rata mengomentari performa Nindi yang dianggap tidak seprima biasanya. Dia dicap gagal memerankan cewek kuliahan yang super genius di film itu.
Meski tahu hanya akan bikin badmood, Nindi tetap penasaran membaca komentar para netizen.
@al.rizky.pratama: Kalau aja pemeran ceweknya diganti, film ini bakal jauh lebih bagus.
@iderokiyah: Jangan terlalu dipaksain, Mbak Nindi. Mau dandan gimana pun, aura ibu-ibu-nya tetap kelihatan.
@nuri522: Plot sebagus ini tidak diimbangi dengan pemain yang kompeten. Miris!
@navy.anaa: Ini tim produksinya gimana, sih? Padahal masih banyak artis remaja yang cocok, tapi yang dipilih malah tante-tante.
@tjok_negara: Uang dan waktuku terbuang percuma nonton film ini.
"Kan, aku udah bilang, Sayang, nggak usah bacain komen-komennya."
Nindi tersentak. Tiba-tiba saja suara itu hadir, sangat dekat. Bahkan, dia bisa merasakan aliran napas menyentuh daun telinganya. Dan ketika menoleh, tahu-tahu ujung hidungnya bersentuhan dengan ujung hidung Gandi.
"Sayang? Aku nggak dengar suara mobil kamu."
"Saking khusyuknya nyimak omongan orang."
Nindi meletakkan ponselnya sambil tersenyum miris.
Gandi beralih duduk bersebelahan dengan istrinya. Dia meraih kedua tangannya dan menangkupnya dengan hangat.
"Sayang, apa pun yang orang lain katakan di luar sana, bagiku, kamu tetap yang terbaik. Kamu sudah melakukan semampu kamu. Cara menilai mereka aja yang nggak objektif."
"Makasih, Sayang, karena selalu ada untuk mengucapkan kalimat seberharga itu."
"Kamu tahu salah satu hal mustahil di dunia ini?"
"Apa itu?"
"Menyenangkan semua orang. Sekalipun kita sudah berusaha dengan cara gila-gilaan, tetap akan ada yang nggak suka. Jadi, jangan terlalu dengar omongan orang lain. Ambil yang baiknya aja untuk diolah jadi pembelajaran. Buruknya buang jauh-jauh. Dan yang paling penting, kamu harus tetap jadi diri sendiri. Jangan berubah hanya untuk memenuhi tuntutan orang lain. Itu hal melelahkan yang akan kamu sesali nantinya."
Nindi mengangguk seraya tersenyum hangat, lalu melabuhkan diri di dada sang suami.
"Oh ya, aku masak opor ayam kesukaan kamu," katanya kemudian sambil menarik diri.
"Kamu atau Bibi?" todong Gandi dengan senyum jail.
"Aku, dong, Sayang."
"Pasti ada maunya, nih," tebak Gandi sambil memicing.
"Ih, apaan, sih. Nggak menghargai banget, deh." Nindi pura-pura sewot.
Gandi malah terbahak.
"Sana, mandi dulu. Bau tahu," suruh Nindi, masih dengan tampang pura-pura sewot.
"Siap, Sayang. Habis itu makan masakan istri tercinta." Gandi pun berlalu setelah mengecup pucuk kepala Nindi.
Diam-diam Nindi tersenyum. Hatinya menghangat. Gandi memang paling bisa diandalkan setiap kali dia stres soal kerjaan.
"Dea Sayang ... Papi pulang!" teriak Gandi sambil melangkah ke arah kamar putrinya.
"Jangan main sama Dea sebelum mandi!" Nindi ikut teriak.
Namun, yang terdengar kemudian adalah cekikikan anak itu karena sedang digelitik papanya.
Nindi geleng-geleng, tapi tersenyum. Sejauh ini, baginya, Gandi benar-benar suami dan ayah yang hebat. Meskipun di mata kedua orangtuanya, dia tidak sehebat menantu yang lain.
***
Entah sejak kapan pastinya Gandi sangat menyukai opor ayam. Dia selalu tambah nasi jika bertemu dengan lauk itu. Lebih-lebih kali ini, karena dimasak oleh istri tercinta.
Selesai makan, Gandi dan Nindi bersantai di teras belakang sambil makan buah-buahan. Di sana ada taman kecil yang didesain sendiri oleh Gandi.
"Sayang, aku dapat tawaran film lagi." Akhirnya Nindi memulai juga obrolan itu.
"Wah, lancar, ya. Bagus, dong," sambut Gandi antusias.
"Iya. Alhamdulillah."
"Kali ini filmnya tentang apa lagi?"
"Belum tahu, sih. Baru tadi ditawarin sama Mbak Niken. Belum diomongin terlalu jauh."
"Oh gitu."
"Tapi, Sayang ...." Nindi menelan ludah. Dia agak kesulitan melanjutkan kalimatnya. "Kalau jadi, syutingnya di Belanda."
Gerakan tangan Gandi yang sedang mengupas jeruk seketika terhenti.
Sejujurnya, dari kacamata seorang suami, selama ini dia tidak baik-baik saja dengan profesi Nindi sebagai artis. Ada saat-saat di mana dia merasa sangat tidak nyaman. Dan sekarang istrinya ini mau ke Belanda?
Gandi benar-benar bingung harus berkata apa sekarang.
***
[Bersambung]
Penasaran, kan, apa yang dipendam Gandi selama ini. 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top