Part 4
“Nyebelin banget sih, masa Cuma gara-gara aku bisa bayar hutang, semua orang ngira aku miara tuyul,” gumam Siti kesal sambil meletakkan belanjaannya di atas meja makan.
Hasan yang sedang duduk hanya bisa menatap istrinya, tak berani bertanya atau pun mengajak bicara sampai Siti ikutan duduk dan mengambil segelas air untuknya minum.
“Ini semua gara-gara kamu, Mas. Makanya kamu tuh cari kerja sana, keluar gitu, ke rumah teman kamu minta kerjaan, suntuk aku lihat kamu luntang-lantung di rumah nggak ngapa-ngapain. Bantuin nyuci piring kek, engga, nyapu ngepel juga engga, cari duit apalagi. Lama-lama kamu aku tumbalin juga, Mas.”
“Eh eh, jangan, aku masih mau hidup, Sayang. Iya iya, aku mandi trus keluar deh cari kerjaan. Tapi, jangan ditumbalin ya. Nanti kamu juga kan yang repot kalau tidur malam nggak bisa mainin “bird” nya aku.” Hasan nyengir sambil berdiri hendak beranjak dari duduknya.
“Masih banyak “bird” lain yang lebih merdu suaranya.” Siti acuh, dan menuju ke wastafel untuk mencuci tangan sebelum menyiangi sayuran dan ikan yang dibelinya.
Hasan melengos, tak menyangka kalau jawaban istrinya akan seperti itu. Karena selama ini Siti baik-baik saja, tidak pernah marah, ngomel, apalagi untuk masalah ranjang.
Siti sebenarnya wanita manja, dari kecil dididik dan dibesarkan oleh keluarganya tanpa kekurangan. Sekolah di sekolahan yang bagus, pakaian dan kendaraan pun dia punya sebelum menikah.
Semua Siti tinggalkan demi mengikuti suaminya merantau ke Jakarta. Karena memang sang suami asli Jakarta, meskipun kini mereka tinggal di daerah Bekasi, tapi saat setelah menikah mereka sempat mengontrak di Jakarta, dan terkena banjir hingga menghabiskan isi rumah.
Hasan bergegas untuk mandi lalu berpakaian rapi seperti layaknya hendak pergi ke kantor. Dulu dia menjadi karyawan sebuah perusahaan swasta, posisi sudah enak, gaji lumayan besar, lemburan pun ada. Sayangnya dia mencoba sesuatu yang membuatnya hancur seperti saat ini.
Padahal kedua anaknya tidak pernah menuntut dirinya untuk punya ini itu, untuk beli apapun, begitu juga sang istri yang selalu bersyukur dan menerima. Entah mengapa dirinya tergoda oleh bujuk rayu syaiton hingga terjerumus ke judi online, yang selalu menghabiskan gajinya. Lalu mencoba pinjol karena untuk mencukupi kebutuhan keluarganya akibat gaji yang dipakai judol.
“Tom, lu di mana?” tanya Hasan pada sang teman yang baru saja diteleponnya.
“Di bengkel biasa, kenapa, Bro?”
“Gue ke situ nggak apa-apa kan?”
“Yaudah ke sini aja, tapi lagi rame bengkel gue, palingan nanti lu gue cuekin.”
“Ya nggak apa-apa, dari pada di rumah gue diocehin bini terus, capek gue.”
“Yaudah buru sini.”
“Okey.”
Hasan menutup panggilan telepon dan mengambil tas kecil miliknya untuk tempat handphone juga dompet.
.
Sebuah bengkel kecil berada di pinggir jalan tampak ramai, mungkin karena musim hujan, banyak pengendara motor yang menyervice kendaraannya. Begitu juga dengan cuci steam yang ada di sebelah bengkel pun, antriannya lumayan banyak.
Hasan memarkir kendaraannya di luar bengkel, karena dia datang ke situ bukan seperti yang lain untuk memperbaiki motor. Melainkan hanya sekadar main dan bertemu dengan sohib lamanya yang punya bengkel tersebut.
“Woy, Bro. Libur apa gimana? Masih jam segini udah di luar?” tanya pria dengan jenggot tebal berbaju hitam sambil membawa obeng di tangan.
“Suntuk gue, pengen curhat sih, sekalian cari info loker.” Hasan duduk di kursi tunggu tepat di sebelah Tommy yang sedang ingin mengganti oli motor di hadapannya.
“Woylah, kerja lu bukannya udah enak?”
“Dah resign gue.”
“Kok bisa? Abis kontrak?”
“Eum.” Hasan tidak bicara jujur apa yang sebenarnya terjadi.
“Yaudah ntar kalo gue ada info, gue kabarin deh.”
“Kalo bantuin lu, gue digaji berapa?”
“Hahaha, kaga kaga, lu kaga ada pengalaman. Nanti yang ada motor customer gue pada rusak, bisa bongkar kaga bisa masang.”
“Hahaha, sialan lu. Sebenernya ada juga yang pengen gue omongin sama lu, tentang istri gue.”
“Kenapa? Bini lu minta cere?”
“Bukan.”
“Ngomel mulu? Wajar sih kalo itu, lu nganggur.”
“Bukan juga.”
“Lah trus?” Tommy menatap sohibnya yang sedang memandang jauh ke jalan.
“Bini gue tiba-tiba banget dapat uang banyak, Tom. Gue nggak tahu itu uang dari mana, dia bilangnya komisi jualan rumah, gue nggak pernah lihat dia jualan. Emang sih dia kemarin sempat izin nginap tiga hari di rumah temennya, suntuk katanya, eh pulang pulang bawa duit sekarung.”
“Ya bener kalau itu, mungkin aja dia pas pergi di ajak temennya buat promoin rumah. Harga rumah tarolah 300-500 juta, misal nih bini lu berhasil jualin, komisi 10% aja, dua digit dapatnya. Jangan suudzon lu.”
Hasan terdiam, apa yang dibilang sohibnya itu memang ada benarnya juga. Tapi, dia masih kurang yakin dengan pernyataan tersebut, seperti ada yang disembunyikan oleh sang istri, tapi entah apa.
“Iya juga sih.”
“Nah, mending lu jadi suami, dukung usaha dia, cari kerja juga, soalnya nih, laki kalo nggak kerja, bisa diinjek-injek sama bini. Parahnya lagi, bisa ditinggalin gitu aja, cewe kalo punya duit, dia udah kaga butuh laki lagi.”
“Jangan nakutin gue dong, susah tuh gue dapetin si Siti, kembang desa dia.”
“Nah, kembang desa jangan lu ajak susah makanya.”
“Iya iya, nanti gue usaha, eum apa gue minta modal usaha aja ya sama bini gue, kira-kira usaha apa ya yang lagi viral?”
“Wah boleh tuh, makanan sih lagi laris, makanan or minuman, lu bisa masak apa, Bro?”
“Aer doang sama mie instan. Hahaha.”
“Bikin warkop aja, lumayan itu buat nongki para ojol.”
“Boleh juga ide lu, gue cari konsepnya dulu deh.”
Hasan pun mencari inspirasi untuk usaha barunya di internet. Walaupun dirinya agak malu juga kalau harus buka usaha, karena biasa kerja kantoran dengan penampilan rapih, kemeja lengan panjang dan celana bahan juga sepatu pantofel. Kini harus menjadi tukang masak sekaligus melayani pembeli, entah dirinya nanti bisa atau tidak.
Hasan akhirnya iseng membuka media sosial Facebook untuk mencari tempat usaha yang barangkali ada disewakan per bulan dengan harga terjangkau dan tempat yang strategis.
Akan tetapi, saat dirinya sedang asyik menscroll berandanya, tiba-tiba saja sebuah foto mengejutkannya. Foto seorang wanita berjilbab sedang duduk di tepi pantai bersama dengan seorang pria muda. Keduanya berpose layaknya seorang yang sedang kasmaran. Si wanita bersandar di bahu si pria, dan duduk membelakangi kamera, keduanya menatap laut yang di ujung sana matahari terbenam dengan indah.
“Siti? Ini bukannya Siti? Bajunya aku kenal banget, topinya juga, tapi sama siapa?” gumam Hasan mencari tahu. “Atau Siti dapat uang dari laki-laki ini?”
Hasan meremas ponselnya dengan dada bergemuruh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top