Part 3

“Bu, aku bisa jelasin semuanya, kalau ....” Belum sempat Hasan menjelaskan pada sang istri, Siti langsung menggelengkan kepala menatap suaminya dengan sorot mata penuh amarah, tapi seketika itu juga wanita itu justru tertawa lebar membuat Hasan terbelalak.

“Nggak perlu Mas jelaskan apa-apa, aku nggak marah kok, Mas lanjutin saja hubungan sama wanita itu.”

“Kamu beneran nggak marah?”

“Buat apa? Aku lebih memilih uang-uang ini dari pada harus marah sama kamu yang nggak menghasilkan apa-apa, Mas. Kalau mau nikah sama wanita itu juga aku nggak masalah.” Siti tertawa sambil mengibaskan uang berwarna merah di tangannya dan sebagian berserak di atas tempat tidur.

Hasan menelan ludah, ia tak tahu apa yang sedang merasuki istrinya. Karena berubah drastis, dan ia merasa janggal dengan uang yang didapat oleh Siti tak masuk akal jumlahnya, seolah tak pernah habis.

“Oh iya, malam ini aku mau tidur sendiri di kamar, Mas bisa kan tidur di ruang tamu,” ujar Siti.

Terpaksa Hasan mengangguk menurut tanpa perlawanan, lalu mengambil bantal dan selimut membawanya ke ruang tamu.

Sebelum keluar dari kamar, ia masih melihat istrinya yang berbaring sambil tertawa di atas tumpukan uang berwarna merah tersebut.

.

“Ayah selingkuh?” tanya Desi tiba-tiba.

Hasan hampir tersedak oleh kopi hitam yang sedang disesapnya di teras. Ia meletakkan cangkir biru di atas meja dan kembali mengisap rokoknya.

“Kamu ngomong apa sih, Des, jangan fitnah bapakmu sendiri.”

“Nggak fitnah, tadi sore di mol.”

“Itu teman ayah, mau kasih kerjaan.”

“Mesranyaaa.”

Hasan tertawa kecil, “Kamu tahu-tahuan mesra, apa kamu juga sudah punya pacar?”

“Nggak usah playing victim, aku tahu kok semuanya, ayah sering chat mesra sama si Nita Nita itu, Ibu nggak tahu saja. Makanya Allah kasih balasan ke ayah, banyak hutang, di PHK pula.” Desi tertawa sinis.

“Yang maksiat siapa, yang ketumpuan siapa,” sambung Desi lagi.

Hasan sebagai seorang ayah merasa terpojok, dia tahu akan kesalahannya sampai putrinya sendiri mampu berkata demikian. Akibat ulahnya memang rezekinya menjadi seret. Hanya saja yang ia bingung adalah Siti yang tiba-tiba memiliki banyak uang.

“Besok ibu mau ajak aku ke dealer motor, au beliin aku motor, biar kalau sekolah aku nggak naik ojol lagi,” ujar Desi tiba-tiba.

Hasan menoleh menatap putrinya, “Kredit?”

“Kas lah, ibu mana mau ngutang, emang ayah.”

“Kak, kakak mau dibeliin motor sama ibu? Waaah, nanti kalau berangkat sekolah, aku dianter ya, Kak.” Sebuah suara menyambar begitu saja dari dalam rumah.

Anak laki-laki berusia dua belas tahun itu tampak terlihat bahagia mendengar sang kakak hendak dibelikan sepeda motor.

Dada Hasan seketika bergemuruh, ia merasa istrinya sudah sangat berlebihan pada anak perempuannya. Karena belum saatnya Desi untuk memiliki kendaraan sendiri, terlebih belum punya kartu identitas.

“Tadi juga ibu bilang mau beliin aku handphone, Kak, oh iya sama laptop juga, biar nggak minjem sama Kakak.”

“Alhamdulillah ya, Dek. Akhirnya kita nggak dibully lagi, berkat ibu. Mungkin selama ini ibu berdoa biar dilimpahkan rezeki ke ibu aja, soalnya kalau ke ayah, larinya nggak ke anak istri. Yuk, ah, kita di dalam aja temenin ibu.” Desi merangkul adiknya masuk dan menuju kamar ibunya.

“Ibu mau kita pijitin nggak?” tanya Dani mendekati sang ibu yang berbaring bermain handphone.

Dani langsung meraih ki ibunya sebelah kanan, sementara sang kakak meraih kaki sang ibu sebelah kiri. Siti tersenyum kecil menatap keduanya.

“Tumben banget kalian, kenapa? Pasti ada maunya ya?” tanya Siti.

“Nggak kok, Bu. Justru kita mau berterima kasih sama ibu, hari ini aku bahagia banget, ibu udah ajak aku jalan-jalan, beliin ini itu, besok mau dibeliin motor bayar sekolah juga sudah lunas. Makasih, ya, Bu. Aku sama Dani janji akan jadi anak penurut.” Desi memijit lembut kaki sang ibu.

Siti mengusap lembut kepala kedua putra putrinya itu, “Kalian berdua yang akur ya, jangan sampai saling menyakiti satu sama lain. Nanti kalau ibu nggak ada, kalian harus saling melindungi.”

“Ibu ngomong apa sih? Serem banget ngomongnya, ibu kan masih sehat, kita harus sehat, ibu harus kuat ya mskipun ayah kaya giru kelakuannya,” ucap Desi sedkit ketus.

“Emang ayah kenapa, Kak?”

“Nggak apa-apa, ya begitu, nganggur, dikejar pinjol, di phk pula.”

“Nanti kalau aku lulus, aku kerja, aku janji bakalan buat ibu bahagia.” Dani menatap lmebut sang ibu.

“Duh anak-anak ibu, sholeh sholehah ya semuanya....”

“Aamiin,” jawab Dani dan Desi.

Hasan yang menatap dari luar pintu kamar merasa terenyuh, harusnya dirinyalah yang menanggung semuanya, bukan sang istri.

Namun, ponsel di genggamannya bergetar, sebuah pesan dari Nita baru saja masuk.

[ Mas, gimana, istri kamu marah? ]

[ Trus aku gimana? Kamu mau tanggung jawab nggak?]

Hasan mengacak rambutnya kesal, kepalanya seketika sakit dan pusing.

.

Paginya, Desi dan Dani sudah bersiap hendak ke sekolah, seperti biasanya keduanya naik ojol yang dipesan terlebih dahulu. Karena di rumah hanya ada satu kendaraan yang dimiliki oleh Hasan, itu pun untuk perluan sang istri yang harus mondar mandir berbelanja atau sekedar pergi ke suatu tempat.

“Belum masak, Bu?” tanya Hasan ketika kedua anaknya sudah berangkat.

“Mas kasih aku uang belanja nggak?”

“Uang kamu kan banyak, masa harus aku juga.”

“Iya aku tahu uang aku banyak, tapi yang punya kewajiban nafkahin aku kan kamu, Mas.”

Hasan membuang napas kasar.

“Kemarin bisa tuh nraktir perempuan itu, masa buat anak istri nggak ada sih?”

“Kamu kan tahu aku nganggur, nggak ada penghasilan, tabungan aku juga nipis, pakai uang kamu dulu aja lah, Bu.”

“Mas sendiri kan yang waktu itu bilang, katanya modal dua ratus ribu bisa dapat puluhan juta. Mana?”

Hasan menggaruk kepalanya yang tak gatal itu, lalu melangkah ke kamar tak menghiraukan ucapan istrinya.

Siti menggeleng, “Giliran susah ke istri, pas senang aja ke selingkuhan,” gumamnya seraya menuju pintu dan keluar rumah menghampiri tukang sayur yang berhenti tepat di depan gang rumahnya.

“Eh, Bu Siti, ke mana aja baru kelihatan,” ujar tukang sayur yang biasa dipanggil dengan Mang Ujang.

Siti mengangkat kedua alisnya, “Nggak ke mana-mana, ada kok di rumah, tapi belakangan emang saya ada kerjaan di luar kota.”

“Waah, Bu Siti sekarang wanita karir ya?” tanya perempuan berjilbab pink yang rumahnya di seberang rumah Siti.

“Mbak Nida bisa aja, ya gimana, suami kan nganggur, jadi mau nggak mau ya saya yang nyari penghasilan tambahan sambil nunggu suami dapat kerjaan lagi.”

“Tapi Bu Siti hebat loh, kerja masih baru udah bisa lunasin hutang sana sini, saya sampai kaget kemarin tiba-tiba Pak Hasan datang ke rumah nemuin suami saya katanya mau lunasin hutang. Pas banget anak saya memang lagi butuh biaya buat wisuda.” Kini wanita paruh baya bertubuh gempal menimpali.

“Iya, Bu. Alhamdulillah,” ujar Siti dengan senyum tipis.

“Waah berarti Bu Siti mau ngeborong nih dagangan saya, mau apa, Bu? Ayam, ikan?” tanya Mang Ujang bersemangat.

“Ikan aja, Mang. Yang masih seger, cabe bawang, tempe, sayur bayam, sama kangkung.”

“Oke siap!” Mang Ujang bergegas membungkus pesanan Siti.

Ketika mereka sedang asyik memilih sayuran, tiba-tiba seorang ibu-ibu datang sambil berlari tergesa-gesa.

“Kenapa Bu Endang? Ngos-ngosan gitu?” tanya Nida.

“Kalian sudah tahu belum? Bu Mitha yang rumahnya tingkat di pojokan itu.”

“Iya, kenapa?”

“Katanya semalam rumahnya kemasukan tuyul, uang di brangkas hilang semua, itu sekarang dia lagi nangis-nangis ditenangin sama suaminya, sama anak-anaknya juga.” Bu Endang menjelaskan sambil melirik ke arah Siti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top