Part 11
"Jangan biarkan dia kabur!" teriak Pak Rosid, selaku ketua RT, yang memimpin kelompok itu.
Babi itu berlari dengan lincah, mencoba menghindari sergapan warga. Namun, nasib buruk menimpanya. Salah seorang warga, Pak Ujang, dengan cepat mengayunkan bambu panjangnya ke arah kaki babi itu. Suara keras terdengar saat bambu itu menghantam kaki belakang babi. Hewan itu mengeluarkan suara jeritan memilukan sebelum terjatuh ke tanah, lumpuh tak mampu bergerak lagi.
Warga berkumpul mengelilingi babi itu, memandangnya dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Apa babi ini?" salah seorang warga bertanya, suaranya bergetar. "Kenapa dia bisa keluar dari rumah Desi?"
Tak ada yang bisa menjawab. Malam semakin larut, dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengikat babi itu di sebuah pohon dekat balai desa.
"Besok pagi kita bicarakan ini," ujar Pak Rosid. "Sekarang biarkan saja di sini. Kita tunggu penjelasan dari Pak Hasan selaku pemilik rumah."
---
Keesokan paginya, suasana di desa sudah ramai sejak matahari mulai terbit. Berita tentang babi yang keluar dari rumah Desi menyebar dengan cepat, menjadi topik utama di setiap sudut perumahan. Orang-orang berbicara dengan nada penuh kecurigaan. Beberapa bahkan mulai membuat dugaan-dugaan liar.
"Jangan-jangan itu babi ngepet," bisik seorang ibu kepada tetangganya.
"Atau mungkin Desi memeliharanya diam-diam," balas yang lain. "Soalnya kan dia tiba-tiba jadi kaya, punya ini itu sampe punya toko segala."
Di sisi lain, Siti baru saja membuka tokonya. Ia tidak tahu apa-apa tentang kejadian semalam. Seperti biasa, ia mulai menata barang dagangannya, dari kopi sachet hingga jajanan ringan. Pagi itu, ia merasa agak lega karena dagangannya cukup lengkap setelah beberapa hari stok menipis.
Namun, ketenangan pagi itu tak berlangsung lama. Satu per satu, warga mulai berdatangan ke warungnya, bukan untuk membeli, melainkan untuk bertanya.
"Bu Siti, apakah benar ada babi di rumah ibu semalam?" tanya seorang ibu dengan nada setengah berbisik, namun cukup keras untuk didengar orang lain di sekitar.
Siti yang sedang menuang kopi mendongak dengan wajah bingung. "Babi? Maksudnya apa, Bu?"
"Semalam, warga menangkap seekor babi yang kabarnya keluar dari rumah ibu," jawab ibu itu dengan nada serius. "Babi hitam kecil agak gemuk. Sekarang diikat di dekat pos satpam.
Siti tertegun. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Babi? Saya tidak tahu apa-apa soal itu," jawabnya dengan nada tegas.
Namun, perbincangan tidak berhenti di situ. Warga lain yang berada di warung mulai ikut-ikutan bertanya.
"Apa Desi memelihara babi diam-diam, Bu Siti?" tanya Pak Ujang, yang malam sebelumnya ikut menangkap babi itu.
Siti menggeleng cepat. "Nggak mungkin! Kami nggak pernah memelihara hewan seperti itu. Lagipula, buat apa kami memelihara babi?"
Tapi penjelasan Siti tidak langsung meredakan kecurigaan warga. Mereka terus mendesak, menuntut jawaban yang lebih jelas. Suasana warung yang biasanya ramai dengan canda tawa berubah menjadi penuh tekanan.
"Kalau begitu, kenapa babi itu bisa keluar dari rumah ibu?" tanya Bu Ratmi, seorang tetangga yang dikenal suka bergosip. "Apa kalian menyembunyikan sesuatu?"
Siti merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pikirannya langsung tertuju pada Desi, yang pagi itu masih tertidur di kamar. Ia merasa harus segera berbicara dengan anaknya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
---
Sementara itu, di pos satpam yang letaknya tepat di depan pintu perumahan, babi hitam itu masih terikat di bawah pohon besar. Warga yang penasaran terus berdatangan untuk melihatnya. Beberapa anak-anak bahkan berani mendekat, meski tetap dengan jarak aman.
"Jangan dekat-dekat!" tegur seorang bapak. "Siapa tahu itu babi jadi-jadian."
Suara desas-desus semakin keras. Ada yang percaya bahwa babi itu adalah hewan biasa yang tersesat, tetapi tidak sedikit yang mulai mengaitkan kejadian ini dengan hal-hal mistis.
"Ini pasti ada hubungannya dengan ilmu hitam," bisik seorang warga kepada teman di sebelahnya. "Tidak mungkin babi sebesar itu keluar dari rumah tanpa alasan."
Pak Rosid, yang dianggap sebagai orang terpandang di situ, mencoba menenangkan warga. "Kita tidak boleh langsung menuduh. Biarkan keluarga Pak Hasan menjelaskan dulu. Jangan sampai kita membuat fitnah."
Namun, perkataan Pak Rosid seakan tenggelam dalam riuhnya perbincangan. Kejadian ini sudah telanjur menjadi isu besar di lingkungannya.
“Ngomong-ngomong, saya tadi ke rumah Bu Situ niat mau bertemu sama Pak Hasan, kata Bu Siti, suaminya pergi belanja buat kebutuhan warung. Pas saya samperin ke warung, Pak Hasan nggak ada, Cuma Bu Siti aja lagi bebenah. Saya kok jadi curiga ya, Pak,” bisik Fatih, seorang pemuda di kampung itu yang terkenal sebagai anak seorang ustadz mencoba berbicara pada Rosid.
“Mungkin Pak Hasan belum pulang, masih di pasar, kita tunggu saja, karena kita butuh sangat penjelasan dari mereka.”
“Iya sih, Pak.”
---
Di rumah, Desi akhirnya terbangun setelah mendengar suara alarm dari ponselnya. Karena libur sekolah, dan semalam ia tidur larut, setelah sholat Subuh tadi Desi kembali melanjutkan tidurnya.
“Udah jam delapan aja.” Desi meletakkan ponselnya kembali di atas kasur, lalu ia mengikat rambutnya sebelum keluar kamar.
“Kak, Kak Desi!” panggil Dani dari luar kamar sambil mengetuk pintu kamarnya.
Desi beringsut dari ranjang dan membuka pintu kamarnya, mendapati sang adik sudah berpakaian rapi dan menenteng tas di punggung.
“Kamu mau ke mana?” tanya Desi pada sang adik.
“Anterin aku, Kak. Ke rumah Yusuf, mau berenang.”
“Bentar, ah, kakak mandi dulu.”
“Ah lama, udah nggak usah mandi, kakak masih cantik kok, alami wajahnya bangun tidur, buruan, Kak. Aku udah ditungguin yang lain.”
“Masa sih, kan kakak malu kalo mukanya kucel keluar.” Desi mengusap wajahnya sendiri yang memang belum cuci muka sama sekali.
“Buruan, Kak. Aku tunggu depan ya.”
“Yaudah iya, kakak ambil jaket sama jilbab dulu.”
Desi pun akhirnya mengantarkan sang adik ke rumah temannya yang lumayan jauh. Tiba di sana memang sudah ada beberapa teman Dani lainnya, laki-laki dan perempuan berkumpul di rumah Yusuf.
Karena kolam renang yang hendak mereka kunjungi berada di dalam komplek perumahan Yusuf, dari situ mereka hanya berjalan kaki kurang lebih sepuluh menitan.
“Dek, nanti kalau mau pulang, telpon kakak ya,” ujar Desi. “Kalian hati-hati berenangnya, jangan bercanda, jangan dorong-dorongan. Kamu ada uang?”
“Ada kok, Kak. Semalam dikasih sama ibu.”
“Kak Desi, emang semalam di rumah kakak ada babi ngepet?” celetuk salah seorang anak bertubuh gemuk.
Desi mengernyit, “Babi? Babi apa?” tanya Desi pura-pura tidak tahu.
“Ih, kan rame tau, emang lu nggak tahu, Dan? Rumah lu kemasukan babi ngepet, itu yang suka nyolong duit,” ujar anak perempuan berbaju pink.
“Nggak ada itu, udah kalian nggak usah mikirin itu.” Desi berusaha menenangkan anak-anak agar tidak ikut bergosip.
“Nyari tumbal tuh babi kayanya,” celetuk yang lain lagi.
“Bimo tuh ditumbalin, badannya gembul soalnya hahaha.”Kali ini bocah bertubuh gemuk yang pertama kali bertanya malah kena ledek yang lain.
“Udah yok jalan, keburu siang ntar panas.” Dani pun mengakhiri obrolan sang kakak dan mengajak temannya untuk bergegas berangkat ke kolam renang.
Hati Desi makin bertanya-tanya, berita tersebut ternyata sudah menyebar ke mana-mana. Sampai teman-teman adiknya pun ikutan tahu, padahal rumahnya cukup jauh, hampir 3 kilometer dari kediamannya.
Tanpa pikir panjang, Desi kembali memutar kendaraannya lalu pulang.
---
Hari itu, warung Siti menjadi pusat perhatian. Orang-orang terus berdatangan bukan untuk membeli, melainkan untuk membicarakan kejadian aneh semalam. Siti hanya bisa diam, mencoba tetap tenang meski hatinya bergemuruh. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan, tidak akan mudah mengubah pandangan warga.
Di sudut hatinya, Siti bertanya-tanya: dari mana sebenarnya babi itu berasal, dan kenapa ia keluar dari rumah mereka?
“Bu Siti, kopi dong satu, nggak usah pake gula ya!”
“Saya teh manis panas satu, Bu.”
“Saya es teh manis satu.”
Suara pelanggannya terus berdatangan memesan minuman di warungnya. Siti dengan sigap dan cekatan membuatkan pesanan tersebut.
Namun, meski berita tersebarnya babi yang membuatnya terpojok, tidak membuat warungnya menjadi sepi, justru semakin ramai dan berdatangan para pembeli.
“Rokok samsunya sebungkus, Bu.” Kini seorang pria paruh baya berdiri di depan etalase toko.
“Sebentar ya, Pak, saya antar minum dulu.” Siti membawa nampan berisi minuman menuju teras tokonya dan menyajikan pada pembeli.
“Pak Hasan memang ke mana, Bu? Kok sendirian aja?” tanya si pembeli rokok.
“Tadi saya suruh belanja ke pasar, Pak,” ujar Siti dengan senyum tipis.
“Oh, anaknya yang perempuan nggak bantuin?”
“Dia nanti sore, Pak. Gantian sama saya. Ini rokoknya, Pak.”
Setelah bertransaksi, laki-laki itu pun pergi meninggalkan warung milik Siti. Siti lalu duduk dan memainkan ponselnya, ia tertegun dengan isi status wa para tetangganya yang isinya semua hampir sama.
Video babi yang menjadi perbincangan sudah tersebar di media sosial. Bahkan ada yang mengupload lewat CCTV rumah, sehingga tampak jelas kalau memang babi tersebut keluar dari rumahnya.
Tak lama kemudian sebuah pesan dari grup whatsapp RT masuk.
Bu Lely (RT)
[ gawat bu ibu, babinya lepas, mana nggak ada orang yang ngejar. ]
Tina Mama Zahra
[ tadi bukannya ada Pak RT, Bu?]
Fitriana bohay
[ nah iya, nggak ada yang jagain jadi lepas deh. ]
Bu Lely (RT)
[ suami saya pulang, Bu. Makan dulu, pas balik eh udah nggak ada itu babinya. Anak-anak yang nonton sama ibu-ibu pada ketakutan. ]
Anik
[ duh bahaya nih, anak-anak jangan dikasih main keluar deh, takutnya tuh babi ngamuk nanti. ]
Sedang asyik membaca chat grup untuk cari info, tiba-tiba saja Siti dikejutkan oleh panggilan telepon dari Desi.
“Ya, Des, kenapa? Oh iya, Dani udah berangkat belum?”
“Udah, Bu. Bu, buruan pulang, Bu.” Suara Desi terdengar cemas.
“Kenapa? Masih jam segini, Des. Kamu kalau mau ke sini, kunci aja rumah. Bosen pasti kamu di rumah sendirian.”
“Bukan, Bu. Ayah , Bu. Ayah.”
“Ayah kenapa? Udah pulang? Suruh ke sini ya, bantuin Ibu.”
“Ayah kecelakaan, Bu. Ini kakinya kesakitan, tapi nggak ada darahnya sih, Cuma pada lebam, ibu buruan pulang ya.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top