Part 1

Assalamualaikum, selamat pagi semuanyaaa

aku bawa cerita baru, sebenernya gamau nulis ini, tapi berhubung seseorang curhat dan kepingin kisah hidupnya ditulis, mungkin biar bisa jadi pembelajaran ke depannya yaaa.

ini fiksi yang kuangkat dari kisah nyata, kalau kebetulan mungkin nanti ada yang tetangga or keluarganya mengalami hal serupa, ya bisa jadi sih yaaa heheh

yuk simak dulu part awalnya.

komen yes please.

eh baca dulu dong baru di komen

yang belum follow, yuk follow

yang punya uneg2 atau mau pdf dari ceritaku yang lain karena males ke kbm, langsung chat ya, harga mulai 15k aja.


“Mas, ini kopinya, sama ini uang lima juta, kamu bayar deh hutang kamu ke Pak Erik sana. Capek aku dengar istrinya ngoceh terus ngomongin kita.” Siti memberikan segepok lembaran berwarna biru pada sang suami.

Hasan, laki-laki paruh baya yang duduk di teras seketika menatap wajah istrinya dengan pandangan tak percaya. “Kamu dapat uang dari mana, Bu? Kamu ngutang lagi?” tanyanya sambil berdiri.

“Udahlah, Mas. Mas nggak perlu tahu aku dapat uang dari mana, aku juga nggak ngutang. Kebetulan aku abis bantuin jualan teman aku, itu komisi aku kemarin.”

“Emang kamu jualan apa? Mana ada komisi sebanyak ini?”

“Jual beli rumah, kan dapat aku 10% nya. Makanya jangan dikira aku diam di rumah nggak ngapa-ngapain.”

Siti lalu melenggang pergi, menuju ke kamar sang putri yang sejak pagi tidak terlihat. Ia membuka pintu kamar putrinya yang beranjak dewasa itu.

“Des, kamu nggak sekolah?”

“Aku malu, Bu. Belum bayaran 2 bulan, buku juga baru bayar setengah, minggu depan udah ujian, belum bayar juga,” jawab gadis berambut panjang yang sedang tiduran memeluk guling.

“Yaudah, ibu ke sekolahan ya. Biar ibu yang selesaikan semuanya.”

Desi langsung duduk menatap ibunya, “Maksudnya? Aku nggak mau pindah sekolah, Bu. Percuma pindah pindah juga kalau ujungnya nggak bayar.”

“Kamu tuh suudzon aja, ibu mau lunasin semua biaya sekolah kamu sampai akhir tahun ajaran nanti. Sekalian Ibu juga mau ke sekolahan adik kamu.”

“Hah? Ibu serius? Ibu dapat uang dari mana?”

“Udah, kamu nggak usah banyak tanya, yang penting kamu bisa sekolah.”

Desi berlari ke arah sang ibu dan memeluknya dengan erat. “Aku janji, aku bakalan jadi anak yang pintar, biar sukses, dan nggak buat Ibu susah lagi cari uang.”

“Iya, Sayang. Ibu juga akan lakukan apapun untuk kebahagiaan kalian.”

“Ibu kok bau amis sih? Bukan bukan amis, kaya bau darah gitu, Ibu lagi haidh ya?” tanya Desi yang melepas pelukannya dan mengendus tubuh sang ibu.

“Ih, enak saja, Ibu baru abis mandi kok. Hidung kamu tuh kali, kedeketan sama mulut, bau jadinya.”

“Hahaha, Ibu bisa aja, iya kali ya, aku masih bau iler.”

“Yaudah, kamu mandi, nanti habis Ibu pulang dari sekolah, kita ke mol, belanja.”

“Ibu serius?”

“Serius, udah ya, ibu mau ke sekolahan kamu dulu.”

“Siap, Bu.”

Siti tersenyum bahagia melihat kembali keceriaan sang putri, ia pun bergegas keluar kamar Desi dan menuju ke halaman rumah untuk pergi ke sekolahan.

.

Siti Nurhayati, wanita berusia empat puluh tahun itu berdiri di depan cermin dengan mengenakan atasan kemeja berwarna pink, celana jins, dan jilbab segi empat berwarna pink yang senada dengan baju yang dipakainya. Dia memoles wajahnya dengan riasan, bedak juga lipstik yang baru saja dibelinya tadi pagi sekalian belanja.

“Ternyata kalau dandan begini, aku cantik juga, masih kelihatan lebih muda lah ya. Padahal anak aku sudah SMA. Ternyata memang uang bisa merubah segalanya, kenapa nggak dari dulu saja aku kaya gini, capek miskin terus.” Siti bergumam sambil mematut diri di depan meja rias.  Tak lama ia pun menyemprotkan parfum ke tubuhnya dan mengambil tas lalu beranjak dari kamar.

“Ibu mau ke mana? Rapih banget, mana wangi?” tanya Hasan yang berdiri di depan pintu melihat sang istri hendak keluar.

“Mau ke sekolahan, Desi, Mas.”

“Ngapain?”

“Ngapain? Mas masih nanya ngapain? Bayar sekolah, bayar buku, bayar ujian, harusnya ini kan tugasnya Mas sebagai ayah, cari nafkah buat menuhin kebutuhan aku sama anak-anak.”

“Aku kan tanya baik-baik, kenapa kamu jawabnya marah-marah gitu sih, Bu?”

“Ya udah makanya cari kerja, bukan judol aja terus!” Siti dengan ketus pergi meninggalkan sang suami yang masih berdiri mematung.

Hasan tahu memang semua kesalahannya, dia terlilit hutang pinjol, lalu ikut main judol karena tergiur oleh temannya yang mendapat puluhan juta hanya dengan bermodal dua ratus ribu. Ternyata satu kali kalah tak membuatnya sadar, justru membuatnya semakin penasaran.

Hasan kini sudah diberhentikan dari pekerjaannya karena terlilit hutang pinjol juga kasbon di kantornya. Dari situ lah kehidupan keluarganya semakin berantakan.

“Ayah, aku nanti mau diajak ngemol dong sama ibu,” ujar Desi yang baru saja keluar dari kamar lalu duduk di ruang makan, karena sang ayah berada di situ.

“Ayah curiga, ibu kamu kayanya dapat uang banyak bukan dari hasil komisi deh.”

“Kenapa emang, Yah?”

“Aneh aja gitu, kalau memang ibu kamu dapat uang komisi dari jualin rumah, harusnya di rumah ada brosur dong, dia bagiin gitu, ini engga.”

“Zaman sekarang udah canggih, Yah. Nggak perlu brosur begitu, buang dana aja buat ngeprint, kan udah zamannya teknologi, online, bisa dipromosiin lewat medsos.”

“Oh gitu.”

Desi hanya mengangguk, dia yakin kalau ibunya memang pekerja keras. Karena keluarga ibunya hampir semua adalah pedagang, jadi Desi tidak heran kalau sang ibu bisa menjual atau mempromosikan produk orang lain. Apalagi kalau tanpa modal, hanya modal nyebar info dapat komisi.

Hasan lalu beranjak dari duduknya dan melangkah ke dalam kamar, sedangkan Desi sedang asyik menyantap sarapannya. Karena sejak tadi dia tidak keluar kamar dan baru merasa lapar.

Hasan duduk di tepi ranjang, bingung harus mengerjakan apa. Sudah seminggu dirinya nganggur, semua temannya tidak ada yang mau membantu mencarikan pekerjaan, tak hanya itu, bahkan membalas pesan whatsapp nya saja tidak mau, mengangkat teleponnya juga tidak.

Tiba-tiba saja Hasan mendengar suara gaduh di dalam kamarnya, ia melihat sekitar dan merasa kalau suara tersebut berasal dari dalam lemari kayu di sudut kamar yang berisi pakaian sang istri.

“Jangan-jangan ada kucing masuk lagi,” gumamnya sambil melangkah menuju depan pintu lemari, dan membuka lemarinya perlahan.

Nihil. Tidak ada apa-apa, tapi ia merasa kalau suara itu berasal dari dalam lemari, dan begitu gaduh, mengapa setelah dibuka hanya ada pakaian sang istri yang tersusun rapi, ia juga tidak menemukan ada hewan atau apapun di dalamnya.

Seketika saja bulu kuduk Hasan berdiri, ia merinding dan langsung menutup kembali pintu lemari dan sedikit berlari ke luar kamar.

“Aneh banget, masa aku di rumah sendiri ketakutan begini, nggak biasanya.”

Tiba-tiba ponsel Hasan berdering, ia langsung merogoh saku celananya menerima panggilan tersebut.

“Ya, Halo.”

“Mas Hasan, bisa kita ketemu? Penting.” Suara dari seberang telepon tampak gugup dan cemas.

“Boleh, memang ada apa, Nita? Tumben banget kamu ngajak ketemuan sama saya.”

“Ada hal yang ingin aku sampaikan.”

“Tapi, Nita, saya udah nggak punya banyak uang, saya nggak bisa pergi jauh.”

“Nanti aku jemput, aku tunggu siang ini di depan pos biasanya ya, Mas.”

“Eum, iya iya, tapi lihat kondisi dulu ya, kalau ada istri saya, saya nggak bisa keluar.”

Telepon pun seketika terputus, jantung Hasan berdegup kencang, entah apa yang akan dibicarakan wanita itu padanya nanti? Karena sebelum dirinya diberhentikan dari pekerjaan, dia pernah dinas keluar kota dan menginap bersama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top