PART 5 : KERTAS BERTULISKAN NAMA ALESA MAHIRA
Rafli Habiebie
“Siap?” tanyaku serius sambli menoleh ke belakang pada Alesa yang sudah berada di bocengan motorku. Gadis itu mengangguk dengan senyum semringah. Ia sudah menggunakan helm yang dia kenakan saat menggoreng lele tadi.
“Hati-hati kalian. Jangan pulang larut malam,” pesan Ummi yang sedang duduk di teras bersama Abi.
“Ya biarlah, Mi. Namanya manten anyar. Biar mereka malam mingguan. Kalau udah sah, ya nggak masalah. Asaaaal ... resiko tanggung sendiri,” timpal Abi juga.
“Nah, itu. Yang itu! Alesa masih kecil. Jangan dibawa pulang terlalu malam. Nggak sehat!”
“Jadi kalo Rafli nggak papa, Mi?”
“Halah. Ya sama aja lah.”
Kami tertawa menanggapi Ummi. Ummi itu kalau soal proteksi memang yang nomor satu. Sejurus kemudian, aku dan Alesa pun pamit jalan bermalam minggu. Cihaa!
Sudah satu minggu, di kecamatan ada bazar dan pasar malam. Aku berencana membawa Alesa ke sana. Gadis itu tadi langsung setuju saat kukatakan akan mengajak dia ke tempat itu.
Motor kami melaju dengan kecepatan sedang. Alesa, membonceng dia terasa ringan. Bahkan tubuhku seperti tak bersenggolan dengannya. Apa anak ini duduknya di ujung sadel alias behel motor?
“Aduh!”
“Astaghfirullah!” Tak sengaja motor menabrak lubang. Hingga tubuh Alesa menubrukku tiba-tiba. Cepat-cepat dia mundur lagi.
“Kak Rafli, pelan-pelan. Hampir kita jatoh.”
“Iya, maaf, maaf. Kak Rafli nggak liat ada lubang.” Jangan suudzon, ya. Sungguh aku memang tidak lihat ada lubang tadi. Kebetulan jalannya lumayan gelap.
“Alesa duduknya jangan di ujung kali gitu. Entar ada lubang lagi bisa jatoh,” kataku mengingatkan. Bukan modus. Takut saja kalau tiba-tiba gadis itu terlonjak dan sampai ketinggalan sementara aku terus melaju.
Apalagi Alesa ringan. Kurasakan dia sedikit bergeser ke depan. Namun masih tetap menjaga posisi.
Sampai di bazar dan pasar malam, ternyata sudah sangat ramai.
“Rame banget, Kak.”
“Heem. Kalau nggak, kita ke pelabuhan dulu gimana? Duduk santai sambil makan jagung bakar.”
“Boleh. Boleh,” katanya berbinar. Nih anak kayaknya simple aja deh buat dia senang. Jangan-jangan naik motor makan angin doang dia udah bahagia.
Aku melajukan motor lagi ke tepi laut. Di pelabuhan banyak penjual jagung bakar. Duduk menyantapnya sambil menatap ke laut, ditemani angin sepoi menjadi hiburan dan ketenangan sendiri bagi pengunjung yang ke sini. Dulu saat masih SMA aku sering ke sini bersama teman-teman.
Begitu sampai, sengaja kupilih area yang tidak terlalu jauh ke dalam pelabuhan. Biasanya area sini tidak terlalu ramai. Kalau semakin dalam masuk ke pelabuhan biasanya banyak muda mudi yang pacaran. Apalagi ini malam minggu. Lebih aman di sini. Mau pesan jangung bakar pun tidak terlalu lama menunggu.
Aku dan Alesa mengambil duduk berdampingan di bawah payung kafe setelah memesan jagung bakar dan minum.
“Bagus, ya, Kak, tempatnya.” Mata Alesa mengedar pandangan ke sekeliling. Di bagian agak ke tengah dari tepi laut banyak lampu kerlap kerlip di pondok-pondok kecil para peternak kepiting.
“Alesa suka?” tanyaku menatap dia sekilas. Gadis itu mengangguk semangat. “Kalau sama Kak Rafli sukak?” Seketika wajahnya bersemu merah malu-malu. Sungguh, aku penasaran sebenarnya apa yang dirasakan gadis ini? Kenapa dia yakin ‘ikut’ Rafli seperti kata dia kemarin? Aku hanya tersenyum melihat respons spontan dia. Gemas saja melihat wajahnya yang semakin bersemu merah jika tersenyum malu.
“Alesa hafalan qur’annya udah juz berapa?” tanyaku sambil menatap ke laut.
“Baru juz delapan, Kak. Udah lama juga nggak ngulang. Nambah malah nggak,” akunya sedikit muram.
“Susah bagi waktunya, ya, waktu masih di rumah Lek Min?” tanyaku. Gadis itu mengangguk. “Jadi dulu waktu di sana Alesa semua yang kerjakan pekerjaan rumah?” dia mengangguk lagi.
“Masak?”
“He-em.”
“Terus goreng ikan?”
“Jarang goreng ikan, Kak. Seringnya sayuran aja. Kalau ada lauk, paling telur, tempe, tahu. Itupun jarang digoreng.”
Aku terdiam sejenak. Tak tahu harus bilang apa.
Angin tepi pantai berembus membelai kami yang sedang duduk menatap ke laut. Kembali kulirik gadis di sampingku yang kini sedang meringis memegang dahi.
“Alesa kenapa?”
“Kok tiba-tiba pusing, ya, Kak?” katanya pelan.
“Pusing kenapa? Kak Rafli belum ngapain-ngapain kok.”
Gadis itu menatapku aneh. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Kuraih wajahnya. Seketika dia bergidik refleks ingin menghindar. Mata kami bersirobok, kuraih saja wajahnya yang putih bersih, lalu meraih bagian bawah dagu. Gadis itu membelalakkan matanya tegang.
“Helm Alesa, belum dibuka. Suka, ya. Pake helm ini? Sampe ngapain aja mau dipake,” ledekku sambil menahan senyum.
“Oh!” Dia kini bisa melepas napasnya yang tadi tertahan sambil mengusap kepala salah tingkah.Ya Allah, ternyata dia memang tidak sadar helmnya masih di kepala. Hahaha.
Tak lama, jagung bakar pesanan kami datang.
“Alesa,” panggilku sambil mengunyah jagung.
“Hhmm.”
“Mau ngafal lagi?”
“Mau,” dia mengangguk semangat. “Nanti pelan-pelan Alesa ngafal lagi kalau kerjaan di rumah Ummi udah selesai. Tapi semaannya ... Kak Rafli mau nyimak Alesa ngafal nggak?”
“Boleh. Nanti kita atur kapan waktunya kamu setoran, ya. Tapi kak Rafli lihat qur’an. Bisa jadi yang Alesa hafal Kak Rafli belum hafal,” kekehku jujur.
“Bener, ya!” kejarnya lagi semangat. Akupun mengangguk.
“Kalau sekolah lagi Alesa mau?”
“Apa bisa, Kak? Alesa udah lama berenti sekolah.”
“Bisa lah. Tapi ... kayaknya nggak bisa di sekolah Alesa dulu. Selain jauh, kayaknya Kak Rafli belum bisa biayain kalau di sana.”
Gadis itu tertunduk. “Maafin Alesa, ya, Kak. Gara-gara Alesa uang Kak Rafli habis. Nggak papa kok, Kak. Nggak sekolah lagi pun nggak papa lah.”
“Sssh! Jangan bilang gitu. Rezeki lain masih ada.”
“Alesa takut. Kak Rafli, Ummi sama Abi susah gara-gara Alesa. Lagipula ... Alesa ‘kan bisa belajar sama Kak Rafli. Kak Rafli ‘kan guru!”
Gadis itu tersenyum tanpa beban. Kulirik dia sekilas sembari tersenyum melihat Alesa yang santai mengunyah jagung bakar.
Kami menghabiskan waktu di pelabuhan sambil terus berbincang. Satu jam kemudian, kami kembali lagi ke bazar dan pasar malam. Beruntungnya kini sudah tak seramai tadi.
Alesa terlihat senang saat melihat banyak permainan di sana. Kami menyisiri bazar yang menjual makanan, pakaian, dan pernak pernik.
Kusuruh dia memilih pakaian yang dia suka. Sejak di rumah, pakaiannya itu-itu saja. Kulihat malah sudah ada yang sedikit robek. Awalnya Alesa menolak. Mungkin dia merasa tidak enak. Namun, kupaksa saja dia.
Entah kenapa. Melihat dia tertawa bahagia membuatku ikut bahagia. Alesa sekarang adalah tanggung jawab Rafli. Aku harus berusaha mencukupi semu kebutuhannya. Termasuk pakaian. Bukannya memang begitu ‘kan?
Alesa menatap bianglala dengan mata mengilat. “Alesa mau naik?” tanyaku. Awalnya dia malu-malu, namun akhirnya mengangguk mau. Respons itu sukses mebuatku meringis. Jujur, aku tidak tertarik untuk naik. Namun ... kalau Alesa mau naik ditemani siapa coba? Awalnya ke sini cuma mau lihat bazar dan Jalan-jalan doang.
Ingin kubilang. ‘Kita naik yang lain aja, yuk. Rumah hantu, apa tong setan, gitu. Sayangnya tak ada roaler coaster atau halilintar. Nah kalau itu pasti lebih seru.’
Namun sejurus kemudian kenyataannya kami sudah berada dalam putaran bianglala. Melihat matanya yang begitu ingin, akhirnya Rafli mengalah dan pasrah ikut naik juga menemani dia.
Selesai dengan bianglala kupikir selesai lah acara naik permainan-permainan ala anak muda. Ternyata belum. Alesa masih mau naik yang lainnya. Pasrah. Rafli malam ini momong bocah. Hahaha.
“Alesa nggak pernah naik ini?” tanyaku saat mengantre naik kora-kora.
“Pernah kok.”
“Terus?”
Belum sempat menjawab antrian sudah berjalan dan kami pun naik. Puas menaiki semua yang dia mau, akhirnya kami duduk di tukang jualan teh poci.
“Udah puas naik permainannya?” tanyaku yang sedang menyedot es teh poci.
“Udah,” jawabnya tertawa. “Alesa senang! Makasi, ya, Kak.”
Aku hanya bisa tersenyum ‘sengklek’ melihat ekspesi Alesa yang berbinar-binar.
“Alesa dulu pergi sama siapa?”
“Sama Bapak sama Ibu. Tapi Alesa cuma naik ditemanin Bapak. Kami ketawa-ketawa saking gelinya. Bapak bawa Alesa keliling ke semua permainan. Mana yang Alesa mau, kami naik! Setiap kami naik, Ibu menuggu di bawah sambil melambai tangan. Pas Ibu lelah ngikuti, Ibu duduk di teh poci ini. Sementara Alesa sama Bapak gandengan tangan ke sana kemari keliling sambil ketawa. Nah, nah, di sebelah sana.” Alesa menunjuk ke tengah panggung utama. “Alesa awalnya sempat hilang, Kak. Alesa udah ketakutan Bapak sama Ibu nggak ada. Udah mau nangis, rupanya Bapak berdiri di panggung itu sambil megang KERTAS nama ALESA MAHIRA. Gara-gara itu, nama Alesa disebut-sebut sama yang bawa acara. Habis itu Bapak juga manggili dengan suara serak nyuruh Alesa ke sana. Alesa lari langsung ke sana meluk Bapak.”
Kudengarkan kata demi kata yang keluar dari mulutnya. Gadis itu sedang mengenang kenangannya bersama Bapak dan Ibu. Karena itu dia mengajakku naik semua permainan seperti dulu. Ah, Alesa, kenapa kini mata Kak Rafli berembun?
“Alesa kangen Bapak sama Ibu?” tanyaku.
Gadis itu tersenyum sambil mengaduk es tehnya, tertunduk dengan mata yang mengembun. Tanpa permisi, kuraih kepalanya, lalu menenggelamkan ke dalam pelukan. Tangan ini segera menghapus jejak air matanya yang tadi tumpah.
“Tapi malam ini Alesa juga senang. Kak Rafli jadi pengganti Bapak nemenin Alesa ke sana kemari kayak tadi. Padahal Alesa tau Kak Rafli enggan mau naik,” akunya setelah beberapa saat kulepas dia dari pelukan.
Mendengar itu, aku mendesah bersama kekehan kecil. Kupegang puncak kepalanya sambil mengelus sayang di sana.
Setelah itu, kami kembali berkeliling. Berhenti di permainan tangkap boneka.
“Yang ini, Kak! Yang ini!” serunya girang sambil bersorak menyemangati. Sementara Rafli dengan fokus berusaha mendapatkan boneka yang ditunjuk Alesa dengan alat yang tersedia.
“Yeeaay!” 1 boneka panda.
“Yeeaaay!” 1 boneka buaya.
“Yeaaaay!” 1 boneka bintang.
Kami berdua bersorak sambil bertepuk tangan. Alesa melompat girang, sementara aku mengangkat dua tangan di udara. “YEEAAY!”
“Rafli!” Seseorang memanggil namaku agak jauh.
“Oh.” Aku kikuk salah tingkah saat menemukan ada Guntur temanku dulu sekolah. “Gun!”
“Momong bocah, Raf?” tanyanya bernada jenaka. Aku hanya tersenyum sekilas, lalu melambaikan tangan pamit padanya, segera membawa Alesa pergi. Alesa dengan hati bahagia memeluk ketiga boneka itu.
“Kak, boneka bintangnya bunyi!” katanya sambil memencet-mencet boneka bintang yang mengeluarkan bunyi seperti suara sandal anak bayi. Tatapannya tak lepas dari boneka itu.
Detik kemudian, tiba-tiba saja, masuk kerumunan orang-orang saat ada suara dari panggung utama mengumumkan waktunya diskon dan bagi-bagi hadiah. Aku sampai tersandung dan hampir tersungkur. Kondisi yang semakin ramai, membuat aku tidak melihat Alesa. Ya salam. Alesa!
“Alesa ...,” panggilku sedikit berteriak.
“Alesa! Alesa!” Aku berlari dan mengedarkan pandangan ke sana kemari mencari-cari sosok Alesa. Kini malah ia tak tampak juga. Kali ini aku mulai khawatir saja.
“ALESA!”
.
.
Bersambung
Waduh, Raf. Bocahmu ilang 😲
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top