PART 3 : TERPEJAM DALAM
Dua Hari Yang Lalu
“Nah ... nih dia anaknya!” Aku yang baru tiba langsung mendapat kalimat sambutan cukup membingungkan.
Kenapa di sini sudah ramai sekali orang? Mau mengadopsi anak belia ternyata sampai harus datang orang sekampungan?
Seluruh mata sedang tertuju padaku yang kini mendadak bingung setelah sebuah pernyataan dilempar begitu saja. Aku bahkan sampai terbatuk-batuk saat mendengar kalimat itu. Bagaimana tidak? Niatnya ke sini cuma mau menyusul-karena Abi memberi perintah tiba-tiba saat aku masih bekerja- untuk menemani Ummi dan Abi mengadopsi anak temannya. Ujungnya, kenapa malah aku yang jadi tumpuan harapan cerita?
“Alesa harus dinikahkan dengan Rafli jika mau diadopsi. Selain memperkuat adopsi, Itu jalan satu-satunya supaya tidak terjadi fitnah.”
Mendengar itu, mendadak denyut jantungku menabuh cepat bagai kena serangan jantung. Banyak mata menatapku penuh ekspresif. Ya. Pasalnya, berita tentang Alesa dilamar oleh Tuan Takur memang sudah merebak ke seluruh penjuru desa. Wali dari Alesa juga berniat untuk menerima lamaran itu. Banyak yang iba dan tidak setuju. Namun, tidak ada yang bisa berbuat apa-apa dengan dalih tidak punya hak ikut campur urusan keluarga orang.
Berbeda dengan Ummi dan Abi. Mereka kepikiran sampai tujuh hari tujuh malam. Ummi khususnya. Pagi, siang, malam, itu-itu ... saja yang beliau bincangkan. Aku yang biasa ia hujani dengan pertanyaan ‘Rafli, kamu nggak pengen nikah? Rafli nggak pengen punya istri? Ada suka sama perempuan nggak, Raf? Kapan kita lamaran?’ Sampai ke pertanyaan. ‘Eh, Raf, kamu normal ‘kan?’
Ya, Salam. Ummi .... Normal lah Rafli, Mi. Cuma memang belum ketemu sama yang pas saja. Hingga akhirnya, Abi dan Ummi memutuskan untuk mengadovsi Alesa. Namun, kenapa akhirnya malah aku yang jadi ujung tombaknya?
“Kami permisi duluan! Min, urusan kita belum selesai!” Tiba-tiba kudengar seorang kakek pamit pergi diikuti lelaki sebayanya. Kedua kakek itu terlihat menahan emosi.
Kemarin, waktu Ummi dan Abi bilang mau adopsi Alesa, aku ya, setuju saja. Sebab, kupikir setelah diadopsi, Alesa pasti mondok.
“Bagaimana, nak Rafli?” tanya Mbah Muh yang duduk tidak jauh dari Pak Latif.
Aku yang ditanya tertunduk bimbang. Melihatku begitu, kudengar lirih suara grasak grusuk orang-orang yang hadir seakan geli. Mungkin mereka bisa membaca kegugupanku.
“Bukannya apa. Menurut kami, nak Rafli ini sudah pas untuk menikah. Sudah dewasa. Khawatir kalau Alesa di rumah Pak Hamzah untuk seterusnya malah jadi fitnah. Apalagi nak Rafli bujang. Mengerti kan nak Rafli maksud Mbah?” lanjutnya lagi.
Adat dan peraturan di desa ini memang masih sangat kuat. Para tetua desa sangat ketat dan peduli dengan masalah yang ada dalam masyarakat. Aku yang masih jadi pusat perhatian memberanikan diri untuk ikut bicara.
“Iya, Mbah. Saya paham. Hanya saja, nanti Alesa akan dimondokkan kok, Mbah. Begitu keputusan Abi dan Ummi Rafli kemarin.”
“Dimondokkan kan nggak selamanya, Raf!” celetuk Pak Latif.
Kulirik Ummi dan Abi yang kini sedang tunduk dan terilhat tenang. Entah apa yang mereka berdua pikirkan.
“Ehmp, maaf Mbah Muh, Pak Latif, Lek Min. Alesa nya bagaimana? Kenapa tidak tanya pendapat Alesa nya dulu. Dia inginnya bagaimana? Kita di sini malah sibuk membincangkan pernikahan dia, tanpa bertanya apa dia nerima atau nggak?” ulasku hormat.
Semua orang yang di sana tertegun mendengar pernyataanku. Aku yang penasaran dengan pendapat Alesa rasanya tidak terima. Harusnya ditanya dulu mau nggak gadis itu dinikahkan? Kalimat itu juga sebagai pengalihan rasa gugupku yang sejujurnya tidak siap dengan kondisi ini. Sekaligus jurus untuk keluar dari arus gelombang pasang di depan mata.
Lagipula, menikahi gadis belia? Apa aku bisa? Apalagi kalau gadis itu belum tahu apa-apa. Eh. Belum tahu apa-apa maksudnya bukan yang ‘ena-ena’. Jangan parno dulu. Maksudku ... misal, mengurus suami, jadi istri yang baik. Ilmu tentang dunia pernikahan.
Apa jadinya coba? Kalau misal anaknya saja masih suka manjat pohon, mandi di sungai. Tiba-tiba disuruh mengurus rumah tangga. Bisa terkejut batin dia!
Eh, tapi ... belum tentu juga sih kalau Alesa. Dari Ummi kutahu, gadis itu masih usia sekolah. Kelas dua Aliyah. Orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan kereta. Rumah orang tuanya di kecamatan sudah dijual untuk membayar utang. Sebab itu ia harus putus sekolah dan tinggal dengan walinya satu-satunya di sini.
Kini malah peluh-peluh mulai berkejaran keluar dari pori tengkuk dan dahi, membuat gugupku menjadi-jadi. Makin menjadi lagi saat Ummi malah bilang.
“Nggak papa kalau gitu. Rafli bisa kok nikahin Alesa. Lagian, Rafli juga sudah punya penghasilan. Usianya juga sudah cukup untuk menikah. Ya ‘kan, Raf?” Ummi menatapku tajam bersama sorot mata penuh harapan.
Ya salaaam! Ummi? Kenapa jawab begitu?
♠♠♠
“Raf, udah lah. Nikahin saja,” kata Ummi. Kini kami sedang bicara empat mata-hanya keluarga- menumpang di rumah tetangga Lek Min.
“Mi, tapi ini tiba-tiba!”
“Kenapa emangnya tiba-tiba?”
“Kami sama-sama belum kenal, Mi. Kasian Alesa. Dia masih anak-anak!”
“Raf, dia memang masih bocah. Tapi Umik yakin, di tanganmu, dia bisa jadi bocah yang tumbuh semakin baik. Umik tau kamu. Juga sedikit banyak tau Alesa. Iya, memang dia masih anak-anak. Tapi dia sudah baligh. Lagian, anak Umik ‘kan memang sukanya sama anak-anak!” seru Ummi bersama senyum nakal. Ya salam.
“Rafli, udah lah. Coba Umik tanya kamu sekarang. Jujur, ya!”
“Hhm.”
“Sekarang ini, kamu ada suka sama seseorang nggak?”
Terdiam, aku menggeleng.
“Ada yang kamu incar untuk kamu jadikan istri?”
Jawabannya masih sama.
“Usiamu berapa?”
“Umik ‘kan tau.”
“Kayaknya kamu ngak ingat. Nyaris kepala tiga! Sementara Umik juga semakin tua! Rafli, kamu normal ‘kan?”
“Ish, Ummi! Iyalah!”
“Ada niat mau nikah?”
“Iya ...,” jawabku malas. “Tapi Ummi, menikah itu bukan kayak beli goreng pisang.”
“Pisang goreng! Bukan goreng pisang!”
“Iya. Samalah itu Umik.”
“Beda, Raf!” Ummi bersikeras. “Kalo gitu, sekarang Umik tanya lagi. Ehmp, lihat Alesa tadi ada desir-desir halus di hati nggak?”
Kali ini aku terdiam. Kutatap mata Ummi lekat. Ummi balik menatapku dengan sorot mata menunggu tapi ingin tertawa dan bilang jawaban beliau benar.
“Hahaha. Anak Umik ....” Ummi meraup dua pipiku hangat. “Alesa yatim piatu yang masih polos, Raf. Saking polos dan baiknya dia dimanfaatkan. Dia butuh pelindung yang hangat, lembut, sayang anak-anak. Karena jiwanya masih anak-anak. Semua itu ada di anak Ummi.”
Mata Ummi menatapku dalam, penuh kehangatan. Dua tangannya masih merangkum dua pipiku lembut.
“Dia butuh yang seperti itu, Raf. Dan itu ada di kamu. Jangan biarkan seluruh benih kebaikan dalam dirinya berubah karena tuntutan keadaan dan tak ada yang mengarahkan.”
“Tapi, Mi. Bagaimana menikah sama dia yang masih ... ma-sih terlalu muda begitu. Gimana nanti kehiupan kami?”
“Rafli. Anggap saja ini adalah ladang ibadah kamu. Jihad kamu!”
“Ya. Karna nikah itu ibadah makanya Rafli nggak berani sembarangan.”
“Raf. Kamu itu hanya terlalu takut. Karena hati kamu terlalu lembut dan penyayang. Sayangnya kamu memang belum ketemu juga wanita yang sejalan sama kamu. Itu karena kamu sibuuk terus sama dunia kamu di sanggar seni SLB. Mengajar. Kerja. Tapi Umik yakin, Alesa. Kamu mampu mengimbangi dia. Jadi lah pangayom seperti ayahnya, sahabatnya, kakaknya, suaminya. Coba lah. Mungkin nggak mudah, tapi nggak sama Alesa pun tetap nggak mudah juga. Selama ini kamu terlalu takut. Makanya sampai usia segini nggak ada yang kamu taksir juga jadi istri. Padahal yang mau sama kamu tuh banyak!” Kening Ummi berkerut.
“Memang belum aja, Mi.”
“Sekarang udah.”
Ummi menepuk-nepuk pundak ini hangat. Kutatap mata abi yang dari tadi duduk tenang di kursi. “Menurut Abi gimana?”
“Pendapat Abi sama dengan Umikmu.” Abi tersenyum dan menepuk pundakku bersahabat. Apa ini termasuk rencana Abi dan Ummi berdua? Aku tertunduk sambil terpejan dalam. Agh! Tidak. Kutolak saja. Tapi gadis itu ... Kenapa ....
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top