PART 10 : BAYANGAN YANG MENARI
Alesa Mahira
Kak Rafli masih berupaya membantu korban. Sejurus kemudian ia menelepon. Raut wajahnya terlihat cemas dan khawatir. Ah, Kak Rafli memang baik sekali mah orangnya. ‘Nggak' heran kalau dia begitu.
Tak lama Kak Rafli balik ke motor.
“Udah, Kak?”
“Udah. Alesa udah laper belum?”
“Biasa aja. Masih mau nunggu?” tanyaku.
“Kita tunggu sebentar, ya. Mungkin sebentar lagi ambulance datang.”
“Gimana kondisi Kakak itu, Kak?”
Kak Rafli terdiam menatap Alesa sekejab dan menoleh ke sana.
“Kakak ... siapa?” tanya Kak Rafli balik sedikit terbata.
“Itu Kakak itu. Yang tadi ketemu kita di parkiran ‘kan?”
“Oh. He-em.”
“Kasian, ya, Kak. Sampe nggak sadar gitu. Parah berarti tabrakannya, ya?”
“Entahlah,” kata Kak Rafli kemudian.
Setengah jam kami menunggu, ambulance datang dan langsung membawa korban tadi. Korban yang masih sadar dibawa berobat oleh orang lain entah ke mana.
Bersama Kak Rafli, Alesa ikut menuju ke rumah sakit. Sampai di sana, Kak Rafli masuk ke dalam, sementara Alesa menunggu di kursi tunggu.
Satu jam kemudian, akhirnya Kak Rafli mengajak Alesa pulang.
Aku dan Kak Rafli pun melaju kembali menuju rumah Abi. Di perjalanan Kak Rafli hanya diam. Tak banyak bicara seperti biasanya. Tadi aja, kami masih saling cerita sebelum bertemu dengan kecelakaan. Sekarang Kak Rafli terlihat murung tiba-tiba.
“Kak Rafli nggak enak badan?” tanyaku setelah kami makan siang di rumah. Kak Rafli sedang duduk di meja kerjanya.
“Oh. Enggak kok. Cuma lagi mikirin kerjaan aja.” Kak Rafli tersenyum manis sekali.
“Oh, ya udah. Alesa keluar aja lah. Nanti kerjaan Kak Rafli nggak kelar-kelar.”
Alesa bangkit hendak keluar. Namun tiba-tiba tangan Kak Rafli menarik hingga Alesa berbalik. Mataku menatapnya bingung penuh tanya.
“Apa Kak? Perlu sesuatu?”
Kak Rafli bangkit, lalu tiba-tiba, cepat, cepat sekali bergerak sebab Alesa kini langsung berdebar karena sudah berada dalam pelukannya.
Dari sini sampai bisa kudengar nada suara detak jantung Kak Rafli yang sedikit lebih cepat, namun tetap terasa menenangkan.
“Kenapa Kak?”
“Nggak papa. Pengen peluk Alesa aja.”
“Iihh genit ah!”
“Tapi Alesa suka 'kan?” Kak Rafli menggoda Alesa sambil tertawa.
Aku mendengkus sambil mendongak menatap wajah gantengnya. Ish, sayaaang ... kali rasanya sama wajah ini.
“Mmm Kak, Kakak tadi itu siapa emangnya? Teman Kak Rafli?” tanyaku ingin tahu.
Kak Rafli tersenyum tak langsung menjawab.
“Itu ... teman Kak Rafli dulu. Kami pernah satu kuliah dulu.”
“Oh ... pasti teman deket dong?”
“Oh.” Kak Rafli menjeda. “Biasa aja.”
“Tapi Kak Rafli panik tadi nampaknya. Pasti deket. Alesa kok sukaaa kali lihat Kak Rafli suka bantu orang.”
“Emang gitu?”
“He-em.” Aku mengangguk.
“Jadi Alesa ... nggak marah tadi lama nunggu di situ?”
“Marah kenapa? Namanya juga ada kecelakaan. Malah bangga sama Kak Rafli udah baik banget sama orang.”
Entah kenapa, tiba-tiba saja tanganku mengelus pipi Kak Rafli sayang. Kak Rafli sedikit terkesiap. Alesa pun jadi tak enak sampai membeliak. Tiba-tiba di dalam sini juga terasa ada gelenyar aneh. Cepat-cepat Alesa menunduk, bingung. Ya Allah, kenapa rasanya jadi begini?
Tiba-tiba ada wajah Kak Rafli di samping. Rupanya dia merunduk agar bisa melihat wajah Alesa. Detik kemudian Kak Rafli terbahak.
“Muka kamu merah, Alesa! Ha ha.”
Aku hanya manyun sibuk menyembunyikan wajah.
Secepat kilat tiba-tiba ada yang menempel di pipi Alesa. Aduh. Karena kecupan itu, secepat kilat tiba-tiba seperti ada yang tersengat di dalam sini.
Kak Rafli tertawa lagi, kembali memeluk Alesa. Tiba-tiba dia bilang.
“Maafin Kak Rafli, ya Alesa.”
“Jangan cium-cium. Nanti hamil, lho! Alesa masih mau sekolah,” kataku bercanda. Kali ini aku tahu itu hanya bualan belaka. Kak Rafli lah biang keroknya.
“Ha ha ha. Iiiih, udah makin pande bercandanya sekarang, ya! Ngikutin siapa sih?”
“Kak Rafli-lah! Kan Kak Rafli gurunya.”
Kak Rafli makin terbahak sambil mengelus puncak kepala Alesa.
“Gemessss tauuuu sama kamu!” Tiba-tiba Kak Rafli mengeratkan pelukan sambil mencari-cari pipi Alesa lagi dengan wajahnya.
Ish, Kak Rafli nih. Suka kali lah ganggu Alesa. Bikin Alesa malu aja. Untung sayang.
***Zain Isika***
“Alesa. Hari ini ada kajian di musala. Ikut, yuk!” Suara Gita begitu pergantian jam.
“Kapan?”
“Jam istirahat,” kata Maya menyahut.
“Oh. Oke deh. Entar bareng, ya!” ujarku sambil tersenyum.
Jam istirahat, bersama tiga sahabat yang selalu terlihat kompak itu aku pergi ke musala sekolah. Yang hadir rupanya ramai. Musala sampai penuh. Kami berempat duduk di dalam menyandar ke dinding musala.
Tiba-tiba ketiga sahabat di samping kanan kiriku grasak grusuk sambil senyum-senyum malu.
“Itu. Itu! Iiih, Kak Deaaan. Ganteng banget siiih!” Suara Hera menatap ke depan dengan mata bercahaya. Gita dan Maya tak kalah juga, sama saja dengan Hera.
Aku yang masih bingung Kak Dean yang mereka maksud sibuk juga akhirnya mencari sosok yang begitu membuat ketiga sahabat ini teridola. He-em teridola. Pasalnya mereka sampai sebegitunya melihat Kak Dean. Benar-benar seperti lihat tokoh idola. Kayak Alesa gemas dan sayang lihat Kak Rafli. Eh. Hihihi.
Mata Alesa akhirnya menangkap sesosok pemuda yang berpakaian seragam sekolah. Orangnya tinggi, rambutnya cepak, dan menggunakan kaca mata. Kulitnya putih, dengan badan berisi. Cara dia berjalan cukup gagah.
“Gimana Alesa, buciners juga ‘kan sama Kak Dean? Liat tuh orangnya. Wibawa abis! Tampan pula! Ala mak oii! Kak Deaaan!” ujar Hera dengan nada suara gemas tapi rendah agar tak terdengar yang lainnya.
Kemudian ditanggapi protesan tak terima dari Gita dan Maya seperti biasa. Melihat mereka, Alesa kembali tertawa.
“Kenapa, Alesa? Kamu nggak setuju? Gimana menurut kamu Kak Dean?”
“Mmm ... ganteng sih. Tapi Alesa nggak idola,” jawabku datar.
Sekarang yang Alesa ingat malah Kak Rafli. Bayangannya serasa menari-nari di kepala. Hi hi hi.
“Kenapa?” tanya mereka bertiga.
“Karena Alesa udah punya idola!” ujarku lagi.
“Ah, masa? Siapa, siapa?”
“Ih, nih anak baru juga masuk udah punya idola dia di sini!” ujar Hera.
“Bukan. Idola Alesa nggak di sini.”
“Siapa idola kamu?” tanya mereka bertiga penasaran.
“Bapak,” jawabku sekenanya.
Tiba-tiba mereka bertiga jadi manyun. Lah. Kok manyun. Emang ada yang salah?
Kajian pun berjalan dengan lancar. Sebelum bel masuk berbunyi, kajian sudah selesai. Ternyata jam istirahat hari ini lebih panjang. Mungkin sebab ada kajian.
“Alesa, pulang sekolah mau ikut nggak?” tanya Ayuna.
“Ke mana?”
“Jenguk Bu Tari di rumah sakit. Kabarnya kecelakaan kemarin.”
“Ayuk lah, Les. Bentaran aja. Ramai yang ikut,” ajak Gita menyahut. Diikuti kedua gengnya lagi.
“Anak baru jangan kelen ajak ngelanglang buana. Nggak cocok dia ngikutin jejak kelen!” Tiba-tiba Oreo bersuara.
“Eh, kau ikut ‘kan?” tanya Yuna pada Oreo.
“Boleh laaa ....”
Alesa mau menolak. Takut Kak Rafli marah. Belum izin juga sama Kak Rafli dan Ummi. Tapi tadi pagi Kak Rafli bilang ‘nggak’ bisa jemput juga hari ini. Alesa setuju, karena meski belajar juga ‘kan pulang naik bis sendiri. Kasihan juga Kak Rafli mundar-mandir dari kerjaannya ke sini.
“Maaf deh, Alesa nggak bisa ikut. Belum izin.”
“Ish, Alesa. Nggak lama kok kita. Hayuk lah. Bentaran doang. Cuma kita-kita aja. Tuh geng Gita juga ikut. Biar kamu semakin banyak temen,” kata Ayuna lagi.
Saat menunggu bisa di halte, Alesa masih sibuk menolak ikut. Sampai saat bis datang. Alangkah terkejutnya saat menyadari kalau Alesa naik bis yang salah.
Kata Ayuna bis yang ke Pamengkasan bis ini. Makanya ikut naik juga bersama Ayuna, geng Gita dan teman-teman Oreo masih anak kelas Alesa juga.
“Kok kita nggak lewat Pamengkasan, ya?” tanyaku bingung.
Tiba-tiba kesemua anak-anak itu menahan senyum.
“Maaf, Alesa. Kamu jadinya ikut kita ke rumah sakit. Biar kompak kita. Bu Tari cepat sembuh. Banyak yang jenguk.”
“Apa?” Spontan aku ternganga. Sekunur tubuh jadi berdebar. Terasa demam seketika.
Duh. Kak Rafli sama Ummi bisa khawatir kalau begini. Entah-entah malah marah.
“Tuh ‘kan. Dah berubah wajah anak baru gegara kelen! Ketakutan dia,” seru Oreo jenaka.
“Nggak papa, Les. Kita bentaran aja kok,” timpal Gita pula.
Apa boleh buat. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi?
Sampai di rumah sakit, kami langsung menuju ke ruangan Bu Tari yang mereka bilang. Ayuna kabarnya yang tahu kamarnya. Dapat info dari Bu Rahma.
Saat kami sampai di kamar inap Bu Tari. Ayuna mengetuk pintu dan mengucap salam.
Saat pintu terbuka. Kami pun masuk setelah mendapat jawaban salam dari dalam.
Kami masuk bergantian. Begitu masuk, rupanya ada tamu. Namun jantung Alesa langsung berdetak kencang saat melihat ada idola Alesa. Dia kini sedang menatapku entah dengan tatapan apa.
“Kak Rafli?”
.
.
.
Bersambung
Kak Rafli. Ngapain di situ? 🙄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top