PART 1 : MELAFALKAN IJAB QABUL


"Rafli, susul Ummi ke rumah Pak Beno sekarang!"

Baru saja kupencet tombol hijau di ponsel, suara Ummi sudah menggema di seberang sana. Aku yang masih di dalam bis sampai tidak sempat menjawab kalau hari ini motor dipinjam Denis, temanku bekerja. Baiklah. Setelah ini mungkin jalan kaki saja ke rumah Pak beno. Rumahnya tidak jauh dari persimpangan jalan.

Begitu turun dari bis, mataku menangkap sosok gadis yang kukenal di balik bunga pagar dekat halte. Alesa? Kudekati dia, ikut merunduk mengikuti arah tuju matanya.

Astaghfirullah!” Alesa terlonjak kaget saat berpaling dan menemukan penampakan sosok Rafli Habiebie.

“Alesa ngapain?”

“Sssst!” Dia meletakkan ujung telunjuknya di mulut, memintaku untuk tutup mulut.

“Kak Rafli sudah pulang?” tanyanya sambil tertunduk. Namun dari sudut matanya kutahu matanya berbinar.

“Iya barusan. Terus lihat Alesa di sini. Ngapain?”

“A-alesa  ... Alesa lagi sembunyi,” lirihnya tertunduk lagi.

“Sembunyi dari siapa? Lagi main petak umpet emangnya?” tanyaku jenaka menggoda dia.

“Ssst!” Dia menggeleng dan menyuruh diam lagi. “Kak Rafli, jangan keras-keras.” Matanya kini cemas. “Alesa mau lari, Kak. Kak Rafli jangan bilang siapa-siapa, ya!”

Lari? Mataku melebar, tertegun mendengar ucapannya. Pasalnya kami kemarin ....

“Alesa mau lari ke mana?” tanyaku cepat-cepat. Kulihat ia memang sudah membawa tas.

“Nggak tau. Yang jauh sekalian. Mau cari kerja. Ini buat Kak Rafli. Udah, ya, Kak. Mumpung nggak ada yang liat.” Alesa meletakkan sesuatu ke tanganku. Apa tadi dia menungguku di sini?

“Lah, Kak Rafli liat!”

“Emmp, nggak papa kalau Kak Rafli. Jangan bilang siapa-siapa. Ya, Kak? Alesa pamit. Assalamu’alaikum,” ucapnya malu-malu.

Kini gadis itu segera berbalik dan berlari. Kutatap sesuatu di tangan. Kotak kecil dengan bungkus koran. Mataku mengikuti ke mana arah langkahnya. Beberapa menit kemudian, kulihat ia terkaget. Ada Lek Min di depan mukanya. Aku yang menyadari sesuatu ikut terkaget. Lek Min kemudian meraih tangan Alesa kasar dan membawanya paksa.

Langkah kaki ini langsung cepat berlari mengikuti mereka. Berdebar, aku takut Alesa di apa-apakannya. Namun, kulihat, mobil yang membawa Alesa menuju ke rumah ... Pak Beno?

Ummi ‘kan juga di sana. Pasti ada sesuatu yang tak beres. Kupercepat laju lari, menuju ke rumah Pak Beno juga. Ternyata di sini sudah ramai sekali massa. Ada kejadian apa rupanya tadi sampai kayak mau demo di gedung DPR begini? Lek Min membawa Alesa masuk. Gadis itu histeris dan menangis lagi. Di teras rumah Pak Beno, kulihat ada Ummi dan Abi yang berusaha melerai Alesa dari Lek Min. Keributan sempat terjadi. Gagal, gadis itu berhasil ia bawa masuk bersama beberapa orang algojo.

“Rafli! Rafli! Akhirnya kau datang. Nikahin dia, Raf. Jantung Ummi udah sesak ini, Raf. Nggak kuat lihat Alesa begini.” Begitu sampai, Ummi langsung memelukku sambil menangis dan bilang begitu. Ya salam, andai menikah itu semudah seperti mau ikut lomba olahraga tenis meja, pasti dari dulu-dulu sudah kulakukan. Kutepuk-tepuk pelan lengan Ummi, sambil mendongak melihat ke dalam.

“Mbah Muh, udah datang?” tanya Pak Latief. Abi terlihat cemas sambil melihat arloji.

Alesa, sepertinya kali ini Lek Min hendak menunaikan kemauannya lagi. aneh, tiba-tiba ada yang terasa sakit di dalam sini. Kemarin aku dan Alesa belum sempat bicara banyak.

Namun, sejak kemarin, wajah gadis itu berhasil selalu bermain dalam ingatanku. Entah bagaimana, akupun tidak tahu. Cepat-cepat, aku ikut masuk bersama Abi.

“Tutup pintunya!” teriak Lek Min.

Belum masuk, pintu sudah terkunci. Abi menggedor pintu itu. Masalahnya sekarang adalah Lek Min yang bersikeras menguasai gadis itu. Jika ijab qabul dilakukan juga, pernikahan tetap sah. Lek Min walinya Alesa. Kutatap lekat kotak yang diberikan Alesa tadi. Lirih hatiku mengeja namanya.

Alesa  ... ya Allah haruskah? Apa aku bisa?

Tiba-tiba tiga mobil berhenti di halaman rumah Pak Beno yang lengang. Turun lah serombongan orang bagai satu kompi. Mereka mendobrak paksa pintu dan masuk. Beberapa menit keributan terjadi di dalam. Menit kemudian.

“Ayo! Cepat, bawa Kek Takur pulaaaang!”
Wah, persis yang di demo-demo. Tiba-tiba seorang kakek berkalung bunga melati sedang ditarik beberapa perempuan, ada juga beberapa laki-laki.

Kudengar suara-suara sumbang dari rombongan yang menarik si kakek. Oh. Itu, Tuan Takur kemarin. Wah, akhirnya kena demo juga beliau hari ini sama anak istri. Masih tersenyum geli melihat adegan aki-aki digeret pulang itu, Ummi menarik lenganku, kali ini aku pula yang kena geret rupanya.

  “Rafli, tolonglah, Raf. Nikahi dia sekarang. Jantung Ummi bisa kumat lagi kayak kemarin ini!”

Tidak lama Mbah Muh datang. Kembali ia menengahi duduk perkara masalah Alesa yang akan dinikahi Tuan Takur si aki-aki dengan segudang cucu.

“Min, kamu tidak mau ikut apa kata tetua?” Mbah Muh berucap lelah.

“Apa untungnya kubiarkan Alesa ikut keluaga Hamzah?” ucapnya angkuh. “Kau Rafli, mana ada uangmu!” ejeknya merendahkan harga diriku. Aku tidak tesinggung, hanya saja kini aku semakin muak melihat orang tua satu ini.

“Lepaskan saja Alesa, Lek. Pak Lek Min akan mendapatkan ganti rugi.  Kami akan mengganti uang yang harusnya Lek Min dapatkan dari Tuan Takur semua!” kataku tegas.

“Rafli!” seru orang-orang yang ada di sana mungkin terkejut mendengar ucapanku yang sedang berdiri menahan gigi yang bergemeletuk. Sepertinya aku sudah tidak kuat melihat tingkah Lek Min.

“Ganti uang opo wong nggak ada apa-apa kok. Tapi ... kalau kamu mau ngasi juga, ya saya ndak nolak. Terima kasih mau menjadi keluarga Alesa.” Mendengar itu Alesa menangis lagi. Entah karena lega dilepas Lek Min, atau karena kecewa pada sikap Pak Lek nya.

“Raf, maksud kamu apa?” tanya Pak Latief. “Ini bukan jual beli anak!” katanya lagi.

Sementara aku hanya tertunduk sekilas menatap kotak berbalut koran yang diberikan Alesa tadi. Kutatap dia yang sedang menangis, hingga hidung dan pipinya memerah.

“Kami bukan membeli Alesa, Pak Latief. Hanya saja uang itu mungkin hadiah untuk walinya agar dia ridho melepas Alesa ke keluarga kami.” Abi mendekat padaku. Tangannya meraih tangan kanan dan menggenggamnya erat.

“Jadi maksud kamu, Rafli? Mbah Muh ingin pernyataan yang jelas. Kamu ingat ‘kan kemarin hasil dari kebijakan tetua?”

“Iya, Mbah Muh. Seperti mau Ummi dan Abi, saya akan nikahi Alesa.”

Ummi datang dan memelukku erat dalam tangisnya yang ikut pecah. Suara-suara sumbang terdengar haru. Sementara Alesa. Ia tertunduk dan menangis lagi sambil memeluk lututnya. Lek Min melangkah pergi. Entahlah. Aku sudah tidak peduli orang tua yang mau menjual keponakannya itu.

***My Little Humairo***

Tak pernah kubayangkan akan menikah hari ini juga. Dengan seragam kerja, malah di rumah  Pak Beno pula. Siang tadi akad nikah dilaksanakan juga. Setelah melafalkan ijab qabul, kini gadis bernama Alesa telah sah lah menjadi istri Rafli Habiebie.

Masih kuingat tadi siang, setelah ijab qabul selesai. Begitu kata saksi :

“Sah!”

“Huuaaa! Yeeeaaaay! Sah! Sah! Sah!”

Ya Allah. Seketika aku terkejut dengan sambutan itu. Suara Emak-emak, Bapak-bapak, anak muda yang di luar langsung berseru meriah bagai sedang menonton pertandingan bola dan jagoannya berhasil memenangkan lomba. Jadi berasa kayak anak muda india saja ah. Pasalnya mereka memang mengikuti kisah bocah Alesa ini sejak awal. Jadi mungkin mereka terlalu lega hingga larut dalam euforia versi mereka.

“Hadirin yang hadir, kalau sudah sah itu berdoa dulu, bukan bersorak dulu, ya!” ucap penghulu setelah itu. Nah, itu baru betul. Aku kan juga mau di doakan. Mendengar ledekan penghulu, seketika suara sumbang datang berupa kikikan-kikikan. Ada-ada saja mereka.  Setelah itu, mereka datang menyerbu sibuk memeluk dan memberikan selamat padaku.

Entah lah. Apa mungkin mereka sama seperti Ummi yang kini begitu bahagia? Setelah sekian lama, akhirnya Rafli putra semata wayangnya berubah status juga.

Ingatanku buyar saat Alesa keluar dari kamar mandi. Gadis itu terkejut melihat keberadaanku yang terbaring di atas ranjang, kemudian balik lagi ke kamar mandi seolah aku tidak tahu tadi dia sudah keluar. Hatiku tergelitik untuk mengganggunya.

Kulangkahkan kaki ke dekat pintu kamar mandi diam-diam. Kuintip pintu yang sedikit terbuka, namun tertahan oleh tubuhnya. Oh, dia sedang berdiri menghitung jarinya rupanya. Mungkin lagi mencari ilham, antara mau keluar atau tidak? Alesa  ... Alesa. Ada ada saja.

“Mau sampe kapan ngitungnya? Apa mau tidur di kamar mandi aja?” ledekku yang seketika membuatnya terkaget.

Kudorong pintu kamar mandi, ia keluar sambil tertunduk malu-malu.

“Kak Rafli mau pake kamar mandi juga. Mau wudhu. Abis itu kita solat, ya,” pesanku terus masuk, namun hitungan detik nongol kembali membuat dia yang masih berdiri di tempat tadi kembali terkaget. “Jangan tidur dulu, ya! Kak Rafli mau lakukan sesuatu.”

Kali ini kelopak matanya melebar dengan ekspresi wajah yang lucu. Ya Allah Alesa. Kamu tuh teryata lugu dan lucu, ya. Bocah  ... bocah.

*****

Ketemu lagi semua. 😍

Ramaikan juga kisah Rafli dan bocah Alesa, ya 😘

Rosa dan Reza akan segera aku posting juga. Tunggu, ya ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top