1b

Namanya Aji Permana. Umurnya tiga puluh tahun, bekerja sebagai ASN yang ditempatkan di sebuah SMA negeri Nusa Bakti. Tepatnya sebagai guru Pendidikan Agama Islam.

Sudah dua tahun dia ditempatkan di sekolah ini, sekolah favorit bagi siswa yang memiliki nilai tinggi. Siapa yang tak kenal dengan SMA Nusa Bakti, namanya harum bahkan sejak tahun delapan puluhan.

Aji baru saja memakai helm-nya, ketika Ibu Kos datang dengan senyumnya yang ramah.

"Eh, udah mau berangkat mengajar, Pak Aji?" tanya wanita itu.

"Iya, Bu. Berangkat lebih awal." Aji melihat ke arah jam tangannya.

"Wah, padahal Ibu baru mau antarkan sarapan." Wanita paruh baya itu menyodorkan semangkok bubur ayam ke hadapan Aji.

"Wah, terimakasih sekali, Bu. Tapi saya lagi puasa." Aji melempar senyum tipis.

"Oh, iya. Sekarang kamis, ya. Puasa Sunnah ya." Wanita itu mengangguk angguk kagum.

"Iya, Bu. Tapi, masih bisa dipanaskan untuk berbuka, kok." Aji mengambil mangkuk itu. "Terimakasih, ya, Bu."

"Sama-sama Pak Aji."

Aji membuka kembali pintu kamar kosnya. Sementara wanita baya yang barusan memberikan makanan itu, tak hentinya berdecak kagum. Siapa yang takkan terpesona pada sosok Aji, pria muda agamis yang tampan dan cukup mapan. Sebagai wanita yang punya anak gadis, tentu dia mengidamkan menantu seperti Aji.

Tak lama, Aji keluar dari dalam kossannya, menutup pintu pagar minimalis dan pamit pada wanita baya itu.

"Saya berangkat dulu."

"Hati hati di jalan, Pak Aji."

"Terimakasih, Bu." Aji menyahut sambil menyalakan motornya.

***

"Nis, menurut kamu, Pak Aji gimana?" Wanita baya itu tak lain adalah Ibu Jeslin. Sedangkan yang dipanggil Nis adalah kakak perempuan gadis pemalas itu.

Nisa baru saja tamat dari program pasca sarjana-nya. Dia dan Jeslin berasal dari rahim yang sama, tapi memiliki kemampuan otak yang bertolak belakang. Nisa cantik, sempurna, dia pintar dan selalu juara bahkan dari bangku sekolah dasar. Tak ada pelajaran yang sulit baginya, bahkan program pasca sarjana ini dia peroleh secara gratis. Melalui jalur beasiswa.

"Pak Aji yang mana?" Nisa mengangkat wajahnya, menutup bukunya, sedangkan Jeslin yang asik bermain tak tertarik menyimak percakapan itu.

"Itu, yang berjenggot tipis."

"Banyak yang berjenggot, yang nyewa di kossan kan banyak." Nisa kembali membuka bukunya. Dia tau, pembicaraan ini tak jauh dari urusan perjodohan. Memang, rumah kos milik keluarganya dikhususkan untuk laki-laki saja. Ayahnya beralasan, penghuni perempuan itu ribet.

"Itu, yang paling ganteng, yang pernah betulkan laptop kamu."

"Oh, Om sinis itu?" Tiba-tiba Jeslin menyahut.

Nisa dan Ibunya melihat pada gadis yang bahkan belum mengganti seragam sekolahnya.

"Siapa yang sinis?" tanya Ibu mereka.

"Si Pak Guru."

"Kamu kenal?" tanya Nisa.

"Ya kenal lah, amit amit." Jeslin mengeluarkan suara muntah.

"Dia kenapa, Bu?" bisik Nisa pada ibunya.

"Pernah ditegur sama Pak Aji, saat membunyikan musik keras keras pas azan maghrib." Ibu mereka terkikik geli.

"Pantaslah!" Nisa mengangguk-angguk.

"Jangan mau dijodohkan ibu sama dia, Kak. Om tua galak."

Nisa dan ibunya hanya saling pandang.

***
Niat hati Jeslin, sore ini dia ingin keluyuran sebentar. Setidaknya menghirup angin sore. Tapi baru saja dia keluar dari kamar, langkahnya dihadang oleh Ibunya.

"Mau ke mana?"

"Pergi bentar, Bu." Jeslin yakin, dari gelagat ibunya, rencana akan batal.

"Nggak boleh ke mana-mana. Bantu ibu!"

"Ngapain?" Jeslin tak berdaya saat ibunya menarik tangannya.

"Ini, antarkan pada Pak Aji."

"Kolak?" Mata Jeslin berbinar. Tapi meredup kembali. "Kakak saja ya, Bu. Males."

"Ya sudah, nggak ada uang jajan buat kamu besok."

Bahu Jeslin luruh, dia tak bisa, jika sudah diancam dengan uang. Tapi menemui Om sinis itu? Jelas jelas menyebalkan.

***

150 vote
50 komen

Baru lanjut ya sayang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top