Prekuel 03 : Hari Pernikahan




"Indah," gumam Sarasa mengagumi langit malam yang dipenuhi taburan bintang.

Benar-benar terlihat nyata sinarnya.

Memandang selama setengah jam terakhir, mampu membuat suasana hatinya semakin membaik dari perkecamukan rasa gundah.

Namun tak dengan fisiknya yang lelah. Otot-otot tangan dan kaki terasa pegal.

Seharusnya, ia naik saja ke ranjang untuk tidur. Badannya harus diistirahatkan. Tapi sulit rasanya saat otak masih tak jernih.

Dipenuhi beragam hal yang harus dirinya pikirkan begitu dalam dan kompleks. Tak kunjung selesai, walau hari sudah larut.

Entah, apakah ia akan bisa terlelap.

Ada teori yang menyebutkan jika fisik sudah sangat diforsir, maka akan mudah tertidur. Dan sepertinya tak untuknya.

Kegiatan hari ini bisa dibilang padat.

Sejak pagi pula, ia sudah dihadapkan akan serangkaian upacara pernikahan yang ia dan Adyaksa Syalendra harus ikuti.

Prosesi demi prosesi berlangsung cukup lama, karena pendeta dengan khusyuk dan serius mengiklarkan janji suci mereka di hadapan Tuhan. Pernikahan ini sakral.

Mungkin semua wanita akan bahagia di hari melepas status lajang mereka, tapi tak berlaku baginya yang terpaksa melakukan.

Benar, hanya demi turut andil memenuhi kesepakatan dibuat oleh sang ayah dengan Adhyaksa Syalendra. Ia sendiri tidak tahu jelasnya perjanjian tersebut seperti apa.

Namun dengan bodohnya mengiyakan.

Sudah terlambat untuk menyesal. Dirinya harus berorientasi ke depan. Memikirkan dan menyusun rencana guna mengungkap semua kesepakatan yang disembunyikan.

Sejauh ini, pengacara kedua orangtuanya, maupun Adhyaksa Syalendra, tidak ingin buka suara perihal isi perjanjian.

Terkesan sangat dirahasiakan.

Entah apa tujuan mereka. Ia benar-benar tak punya celah untuk mengetahui.

Tok!

Tok!

Tok!

Pintu kamar terbuka kemudian.

Tampak sosok dingin Adhyaksa Syalendra masuk ke dalam ruangan tidurnya.

Pria itu duduk di sofa.

"Kita akan membahas aturan pernikahan."

Sarasa mendengar titah yang diucapkan, tapi tak memberikan balasannya.

Namun segera meninggalkan balkon guna bergabung dengan pria itu di kursi.

"Kita akan menyepakati beberapa aturan di dalam pernikahan kita ini, Sarasa."

"Silakan, Pak Adhyaksa."

"Pertama, kita tidak akan tinggal serumah. Saya akan membelikan kamu apartemen."

"Kedua, kamu harus tutup mulut tentang pernikahan kita. Tidak boleh ada pihak luar yang tahu. Hanya kita berdua."

"Ketiga, saya akan memberikan uang dua ratus juta untuk nafkah saya sebagai suami kamu. Bagaimana? Apa cukup, Sarasa?"

"Cukup saja, Pak Adhayaksa."

"Keempat, kamu tidak boleh dekat dengan pria mana pun, selain saya sebagai suami."

"Kelima, di kantor sekretaris pusat, kita akan menjaga jarak layaknya seorang staf dan juga ketua umum partai."

Sarasa tetap diam karena mengira jika ada hal lain dikatakan Adhyaksa Syalendra.

Namun, politisi muda itu tak bicara lagi.

"Giliranmu, Sarasa."

"Katakan aturan apa saja yang ingin kamu berlakukan dalam pernikahan kita."

"Saya boleh mengatakannya?"

"Katakan saja, Sarasa."

"Pak Adhyaksa akan setuju?"

"Saya akan setuju."

Sebenarnya, tidak dimiliki rancangan satu syarat pun ingin diajukan pada pria yang telah berstatus sebagai suaminya itu.

Walau hanya secara agama. Namun tetap saja mereka sudah resmi menikah.

Sarasa tentu saja sadar jika bernegosiasi dengan politikus macam Adhyaksa, tentu harus berhati-hati dan juga tepat sasaran.

"Saya tidak akan banyak memberlakukan aturan dalam pernikahan tidak resmi kita ini, Bapak Adhyaksa Syalendra."

"Aturan pertama yang saya ingin Bapak lakukan yakni tidak mendekati wanita lain, seperti yang juga Bapak Adhyaksa minta pada saya tadi." Sarasa berucap mantap.

"Saya bisa memenuhi semua kebutuhan Pak Adhyaksa sebagai istri Bapak."

Sarasa tak bermaksud melacurkan dirinya pada si politisi, tapi memiliki tujuan besar untuk membuat sang ketua umum partai bertekuk lutut dan juga memujanya.

Setelah berhasil direbutnya hati serta cinta Adhyaksa Syalendra, ia akan mempunyai akses membongkar rahasia-rahasia yang pria itu sembunyikan darinya.

Termasuk teka-teki kesediaan sang politisi menikahi dirinya yang berstatus anak dari koruptor kelas kakap, walau diam-diam.

Pasti ada alasannya. Tak mungkin tidak.

Salah satu dugaannya, tentu karena pria itu dan keluarga Syalendra terlibat di dalam kasus-kasus besar dilakukan orangtuanya.

"Bagaimana, Pak Adhyaksa? Apa Bapak setuju?" Sarasa mengonfirmasi kembali.

Adhyaksa Syalendra mengangguk pelan. Dan sudah pasti artinya menyetujui.

"Kapan kita akan tidur bersama, Pak?"

Sarasa telah rela menyerahkan diri pada politis kaya raya yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya itu.

Lalu, akan dikandung keturunan Adhyaksa hingga pria itu tak bisa lepas darinya.

"Saya tidak akan tidur dengan perempuan yang tidak saya cintai sedikit pun."

Jawaban sang ketua umum menamparnya.

"Tidak butuh cinta untuk tidur bersama, Pak Adhyaksa." Sarasa menanggapi dalam peringaian yang santai. Sedikit menyindir.

"Saya tahu cara untuk membuat Bapak menginginkan saya di ranjang Bapak."

"Cukup berikan saya kesempatan."

"Lakukan apa pun yang kamu mau."

Sarasa menganggap pernyataan Adhyaksa Syalendra sebagai lampu hijau. Tentu ia punya akses untuk mempercepat tujuan.

"Bagaiman kita mulai dengan berciuman di malam pengantin kita, Pak Ketum?"

Sarasa lalu bangun dari kursinya. Bergerak ke tempat Adhyaksa Syalendra berada. Ia duduk di atas pangkuan pria itu.

Dan Adhyaksa tidak menolaknya. Namun juga tak merespons. Diam bak patung

Sarasa pun melanjutkan aksinya dengan sebuah cumbuan panas di bibir sang ketua umum partai, seperti yang janjikan tadi.

Ini hanya awal. Pria itu akan bertekuk lutut padanya.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top