Prekuel 02 : Kesepakatan Menikah

Yok bisa yok 300 votes dulu.

Part ini kita flashback dulu ke momen kesepakatan dibuat yaaa.

..........................

"Bu Sarasa ...,"

Langsung dialihkan atensinya pada Bapak Anthony Harisanto. Tentu dihentikan dulu kegiatan memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak penyimpanan.

"Kenapa, Pengacara Tony?"

"Apa Bu Sarasa bisa lebih cepat berkemas lagi? Saya akan mengantar Ibu ke suatu tempat untuk menemui seseorang."

"Menemui siapa?"

"Saya tidak bisa bilang sekarang, Bu."

"Nanti setelah kita sampai di tempatnya, saya akan memberi tahu semuanya."

"Baik, Pengacara Tony."

Sarasa sebenarnya ingin tahu lebih banyak sebab merasa ada kejanggalan, namun ia memutuskan membereskan semua barang miliknya dan sang ayah ke dalam kotak.

Hanya beberapa benda yang tak bernilai, hingga tidak disita oleh kejaksaan. Namun tak boleh ditinggal juga karena ruangan kerja bekas sang ayah akan dipakai oleh petinggi partai lainnya.

Tak sampai lima menit, Sarasa sudah bisa memasukkan semua barangnya.

"Pengacara Tony, ayo kita pergi."

"Baik, Bu Sarasa."

Mereka berjalan beriringan meninggalkan ruangan. Langkah Sarasa terasa berat. Ia tak akan kembali lagi ke sini sebagai staf sekretaris ayahnya yang telah ditangkap.

Selama dua tahun bekerja di partai untuk membantu sang ayah, ia cukup menikmati tugas-tugasnya. Tapi kini, harus berhenti.

Ketika keluar dari ruangan sang ayah, ada beberapa staf dan kader partai yang juga lewat di sekitarnya. Mereka melayangkan tatapan sinis nan penuh cibiran.

Sarasa memilih acuh tak acuh. Ia terus berjalan ke arah lift, dengan kepala tegak tanpa merasa takut sedikit pun akan sikap tak bersahabat mereka semua.

"Saya memarkirkan mobil di sana, Bu."

"Baik, Pak."

Sarasa lantas mengikuti langkah Bapak Anthony keluar dari lift. Dalam hitungan detik saja, mereka sudah sampai di areal parkir, tempat kendaraan berada.

Kemudian, ia dengan cepat naik ke sisi belakang mobil atas arahan diberikan sang pengacara. Bapak Anthony juga segera masuk dan menyetir kendaraan.

"Ada masalah, Bu Sarasa?"

"Tidak, Pengacara Tony."

"Kita akan berangkat sekarang, Bu."

"Iya, baik," jawab Sarasa mantap.

Mobil mulai melaju dalam kecepatan yang lumayan tinggi. Mungkin Bapak Anthony memang tengah diburu oleh waktu.

Seraya menunggu hingga tiba di tempat tujuan, Sarasa coba menjernihkan pikiran dengan memandang ke luar jendela.

Namun, telinganya juga mendengungkan lagi cibiran-cibiran sarkas diterimanya di kantor sekretariat pusat partai tadi.

Kasus suap serta korupsi yang menjerat orangtuanya, tentu akan ciptakan dampak sosial yang sangat buruk juga.

Berita ini bahkan sudah tersebar luas di media-media nasional, sehingga menjadi sorotan banyak kalangan, termasuk semua orang yang bernaung di dalam partai.

Bahkan tadi, saat ia pertama kali tiba di kantor sekretariat, beberapa orang dengan sengaja memaki dan menyindir dirinya.

Tak ada satu pun yang berempati. Walau, ia juga tidak mengharapkan simpati dari mereka yang memiliki sifat munafik.

Namun, terasa kurang adil saja ia harus ikut menanggung kejahatan orangtuanya.

Dalam pemeriksaan kejaksaan, dirinya tak terbukti terlibat, hingga tidak ditahan dan bebas melakukan aktivitas apa pun.

Walau begitu, status sebagai anak koruptor akan terus melekat pada dirinya. Dan tentu harus menerima pandangan negatif dari siapa pun yang membenci orangtuanya.

Drrttt ....

Drrttt ....

Drrttt ....

Terdengar deringan telepon. Dan bukanlah berasal dari ponsel miliknya. Melainkan handphone Bapak Anthony Harisanto.

"Selamat siang, Pak Adhyaksa."

"Kami akan sampai lima menit lagi, kami masih dalam perjalanan."

Percakapan amat singkat yang baru saja didengar, langsung bisa menimbulkan rasa kejut luar biasa di benak Sarasa.

Siapa tadi namanya? Adhyaksa?

Apakah Adhyaksa Syalendra?

Pria berusia tiga puluh lima tahun yang dua minggu lalu baru terpilih menjadi ketua umum baru Partai Bersatu Nasional?

Apa tujuan ingin bertemu dengannya?

"Kita sudah sampai, Bu Sarasa."

Pemberitahuan dari sang pengacara.

Atensi dipusatkan ke depan, tepatnya pada bangunan tiga lantai yang berdiri megah dan tampak sangat besar dari matanya.

Sarasa pikir mobil milik Bapak Anthony Harisanto akan berhenti di beranda depan, namun malah terus melaju turun.

Seperti ada ruang lain di bawah tanah.

Tampak beberapa orang berjaga di sekitar gerbang besi yang menutupi areal tersebut.

Sarasa seketika menjadi waspada.

Ke mana dirinya akan dibawa?

Ketika memutuskan bertanya pada Bapak Anthony Harisanto, mobil sudah berhenti.

Pintu kendaraan pun dibuka dari luar oleh sosok cukup familier baginya lihat.

Benar, orang itu tak lain adalah Adhyaksa Syalendra. Ketua umum baru terpilih.

Dan Sarasa sempat berpikir pula jika ia akan diminta segera turun, tapi Adhyaksa Syalendra yang justru masuk ke mobil.

Duduk tepat di sampingnya.

Atensi tak diarahkan pada dirinya, padahal ia sudah memandang lekat pria itu. Justru aura Adhyaksa Syalendra sangat dingin.

"Kita harus bicara, Sarasa Dermawan."

"Membicarakan apa, Pak Ketum?"

"Saya akan menikahi kamu satu bulan lagi di Bali. Dan Pak Anthony akan menjadi saksi. Pernikahan ini bersifat rahasia."

"Jangan beri tahu siapa pun kita menikah. Termasuk anggota keluarga Dermawan."

"Terutama anak-anak Yoga dan juga Nana Dermawan lainnya. Mengerti, Sarasa?"

"Kenapa Bapak menikahi saya?"

Tentu harus ditanyakan tujuannya. Tidak bisa diterima begitu saja. Semua terlalu mendadak dan membuatnya terkejut.

"Saya memiliki kesepakatan dengan Yoga Dermawan. Saya harus memenuhi dengan cara menikahi putri bungsunya ....."

"Sarasa Dermawan."

Kali ini, atensi dari Adhyaksa Syalendra telah terarah padanya. Sepasang netra pria itu memandangnya amat tajam.

"Jika kamu ingin berbagi sebagai anak dari Yoga Dermawan, kamu harus mau menikah dengan saya, Sarasa."

Adhyaksa Syalendra mengulurkan tangan.

Dan tak perlu waktu lama baginya untuk menjabat, tanda menerima kesepakatan.

"Ayo kita menikah, Pak Ketum."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top