BAB 15

Udah up pagi-pagi nih.

Bisa yok 100 votes duluuu biar up nanti malam.

...................

Part 15

Ponsel yang terus berbunyi, cukup mampu mengganggu konsentrasi Adhyaksa dalam mempelajari pidato sambutan yang baru diberikan oleh asisten pribadinya.

Akan dipakainya untuk acara Musyawarah Nasional partai, dua minggu lagi.

Drrttt ...

Drrttt ...

Drrttt ...

Ponselnya berbunyi lagi, setelah seperkian detik mati. Ada telepon masuk kembali.

Deringan handphone tentu bisa diubah ke mode silent, tapi tak berarti panggilan dari orangtuanya akan berhenti menghubungi.

Selama belum diangkat, maka besar pula kemungkinan dirinya terus ditelepon.

Lalu, diputuskannya menerima panggilan, setelah hampir sejam mengabaikan.

"Selamat siang," sapanya formal.

"Ada apa, Ma?" Adhyaksa bertanya to the point saja atas maksud ibunya menelepon.

Bukan jawaban didapatkan, justru diterima makian dengan nada kasar karena ia telah mengabaikan panggilan-panggilan ibunya.

Jika saja tidak ingin mendengar alasan dari orangtuanya menghubungi, sudah tentu ia akan memilih memutus sepihak telepon.

Andai dilakukan, orangtuanya pasti kian berang dan mencoba menelepon lagi.

"Apa mau Mama?" Adhyaksa tak sabar.

Lebih cepat jawaban didapatkan, maka ia bisa menghemat waktu dan tak perlu lebih lama mendengar kalimat-kalimat sindiran sang ibu yang membuatnya ingin marah.

Hubungan mereka akhir-akhir ini juga tak bagus. Jadi, berbasa-basi tidak saatnya. Ia bahkan ingin meminimalisir komunikasi.

Kali ini, sang ibu menyahut, diperintahkan dirinya untuk datang ke kediaman utama orangtuanya karena ada sebuah acara.

Benar, makan malam bersama.

Lalu, sang ibu menyebutkan nama Chisia Anatha. Sang mantan tunangan menjadi tamu spesial nanti, begitulah dituturkan.

Sudah jelas masih terus dijalankan rencana terselubung oleh orangtuanya. Mereka tak akan berhenti sampai benar-benar tercapai.

"Apa tujuan Mama mengundang saya dan Chisia makan malam ke rumah?"

"Hanya makan? Atau ada tujuan lain?"

Adhyaksa ingin mendengar alasan masuk akal yang mungkin bisa diberikan ibunya.

Sang ibunda harus jujur mengungkapkan.

Dan benar saja, orangtuanya memanglah mengakui jika memiliki agenda khusus.

Perjodohan dengan mantan kekasihnya.

"Saya tidak akan pulang, Ma." Adhyaksa pun berkata mantap, nada kian dingin.

"Saya juga tidak akan bisa kembali dengan Chisia, sekalipun dia sudah bercerai."

"Mama lupa saya sudah punya istri? Saya tidak akan meninggalkan Sarasa seperti yang Mama dan Papa inginkan."

Adhyaksa ingin bersikap tegas agar sang ibu tidak berpikiran dirinya akan menuruti apa pun yang dititahkan padanya.

Sudah tak masuk akal dan juga melewati batas, perintah diajukan oleh orangtuanya.

Dirinya bukanlah robot. Ia tetap manusia yang punya keinginan memberontak, saat merasa batasan menurut telah hilang.

Takkah mereka memikirkan apa yang jadi keinginannya tanpa memaksa kehendak?

"Saya akhiri pembicaraan kita, Ma."

Sang ibu baru saja meluapkan emosi atas penolakan-penolakan diluncurkannya.

Dan ia enggan untuk peduli.

Meladeni cacian-cacian dan umpatan kasar dari ibunya, bukan keinginannya. Ia pun mengakhiri panggilan secara sepihak.

Urusan mereka baginya telah usai.

Lebih baik fokus kembali bekerja. Masih banyak tugas yang harus ia tuntaskan.

Menjabat sebagai ketua umum, tak hanya membicarakan tentang menempati posisi tertinggi dalam partai, namun mengemban juga pekerjaan yang kompleks.

Harusnya tak disanggupi permintaan sang ayah terjun ke bidang politik dan maju sebagai ketua umum partai.

Dirinya hanyalah dijadikan alat memenuhi obsesi orangtuanya untuk tetap berkuasa di dalam partai, meski tak masih menjabat.

"Maaf, Pak Adhyaksa ..."

Panggilan berasal dari sang ajudan.

Tak ditanggapi, tapi memberikan izin ke Raga Surya mendekati meja kerjanya.

Lalu, pengawalnya menyerahkan tablet. Di layar pun terpamer dengan jelas beberapa slide foto sang istri dan Kenneth Smith.

Dada Adhyaksa seketika panas.

"Kenapa dia di rumah sakit?"

"Ibu Sarasa menerima penyerangan."

"Siapa pelakunya?" Adhyaksa marah.

"Kami masih menyelidiki, Pak."

Sial, siapa yang telah berani mengganggu istrinya? Apakah ayah dan sang ibu?"

"Selidiki orangtua saya," titah Adhyaksa.

"Baik, Pak."

"Tolong buat persiapan penyamaran untuk malam ini, saya akan menemui Sarasa."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top