BAB 11
Yok vote dulu. Yok bisa 50 votes.
Komen juga dong biar ramee.
......................
Part 11
“Maaf, Ibu Chisia, Bapak Adhyaksa tidak ada di kantor. Beliau terjadwal masih di acara seminar Kementerian Pertanian.”
“Kapan kira-kira akan balik ke sini?”
“Saya kurang tahu, Bu. Saya belum ada bertanya ke sekretaris pribadi Pak Ketum.”
“Apa saya boleh menunggu sampai Yaksa datang? Saya perlu bertemu dengan dia.”
“Jika Ibu Chisia ada waktu, boleh.”
“Saya harus menunggu dimana?”
“Bisa di ruang tunggu, Bu. Ada di sebelah sana. Ada juga satu di lantai atas.”
“Apakah saya boleh menunggu di ruangan kerja Yaksa saja, Mbak?”
“Maaf, Bu Chisia, saya tidak berani untuk mengizinkan Ibu masuk ke ruangan kerja Pak Ketum. Harus punya izin khusus.”
“Baik, saya ke ruangan tunggu saja.”
Setelah resepsionis mengiyakan apa yang dikatakan oleh Chisisa Anatha, berakhir pula sesi curi dengar untuk Sarasa.
Harus ditinggalkan pula meja depan lobi, agar staf di sekitarnya tidak curiga ataupun sadar jika ia sengaja berada di sana.
Sepuluh menit lalu, Sarasa hendak pergi makan siang ke resto yang ada di seberang kantor sekretariat partai pusat.
Ketika melintasi lobi, dlihat sosok mantan kekasih suaminya yang memang dikenali.
Tentu saja, ia merasa penasaran tujuan dari wanita itu datang, setelah tiga tahun tidak pernah mendatangi kantor sekretariat.
Ya, setelah memutuskan keluar menjadi anggota kader dan juga mengundurkan diri dari partai, wanita itu absen berkunjung.
Selepas membatalkan pertunangan untuk menikahi konglomerat lain, Chisia Anatha tentu menjauhi Adhyaksa Syalendra.
Namun kini, malah tiba-tiba datang guna bertemu dengan sang ketua umum.
Apa yang sebenarnya tujuan wanita itu?
“Selamat siang, Pak Adhyaksa.”
“Selamat siang, Pak Adhyaksa.”
“Selamat siang, Pak Adhyaksa.”
“Selamat siang, Pak Adhyaksa.”
Langkah kaki Sarasa spontan terhenti, saat mendengar beberapa staf yang berada di sekitarnya melontarkan sapaan hormat.
Mereka juga menunjukkan sikap santun, bagaimana selayaknya para pegawai yang teladan menyapa pimpinan tertinggi.
Sebelum ikut melakukannya, mata Sarasa pun segera bergerilya dan coba mencari keberadaan dari Adhyaksa Syalendra.
Pria itu baru saja melewati pintu utama gedung, dengan ditemani dua ajudan setia dan sekretaris pribadi di belakangnya.
Saat sang suami rahasia semakin berjalan mendekat ke arahnya serta para staf lain yang berjejer rapi, sikap hormat diambil.
Tentu kepala ditundukkan. Hanya saja tak mengeluarkan sapaan santun dari mulut.
Tak lama, Adhyaksa Syalendra pun sudah melewatinya, dalam hitungan seperkian detik saja karena tidak berhenti.
Lalu, Sarasa melihat seorang resepsionis berjalan menghampiri suami rahasianya.
Gisellaa adalah namanya, tadi menerima Chisia Anatha sebagai tamu, tentu saja.
Pasti kehadiran dari mantan tunangan sang suami akan diberitahukan pada pria itu, meski ia tak mendengar obrolan mereka.
Tak lama, Adhyaksa pun pergi.
Benar, mengarah ke ruangan tunggu.
Benar-benar akan menemui Chisia yang sudah menunggu sang suami rahasia.
Dirinya menjadi penasaran dengan acara reuni mantan pasangan kekasih itu. Jadi, ia harus melakukan suatu hal untuk tahu.
Walau belum terpikirkan satu ide pun, ia sudah melangkahkan kakinya dalam upaya mengikuti rombongan sang ketua umum.
Tentu, dengan jarak yang cukup jauh agar tak dicurigai oleh siapa pun itu.
Dan sudah pasti, kedua ajudan Adhyaksa tentu saja sudah siaga, namun mereka tak akan berani melakukan apa pun.
Keduanya menaruh rasa hormat padanya, walau tak terang-terangan ditunjukkan.
Raga Surya dan Ghian Suksma juga beri akses dirinya untuk ikut ke ruang tunggu, dimana Adhyaksa Syalendra sudah lebih dulu melangkah masuk beberapa detik.
Sesampai di dalam, ia pun langsung dapat melihat pemandangan yang tak enak.
Suami rahasianya dipeluk erat oleh sang mantan tunangan, manakala mereka sudah berdiri dengan jarak begitu dekat.
Sisi jahat bersemayam pada diri Sarasa pun memberontak dan mendorongnya agar melakukan sebuah aksi di antara mereka.
Reuni mesra ini harus dihentikan.
“Sarasa?”
Panggilan diloloskan Adhyaksa Syalendra.
Sangatlah kebetulan pria itu dengan cepat bisa menyadari kehadirannya.
Jadi, tak perlu susah-susah membuat sang suami rahasia tahu dirinya berada di sini.
“Selamat siang, Pak Adhyaksa.”
Atensi Chisia Anatha juga terarah padanya tanpa melepas pelukan dari Adhyaksa.
“Kenapa kamu di sini?”
“Saya ingin mengembalikan dasi Bapak, yang Bapak tinggalkan di rumah saya.”
Sarasa berjalan dengan langkah mantap ke tempat suaminya berdiri. Lalu, benda yang dimaksud pun dikeluarkan dari tas.
Lanjut diserahkan ke Adhyaksa Syalendra.
“Saya tunggu Bapak di rumah saya malam ini lagi. Sampai jumpa Bapak Adhyaksa.”
Provokasinya berjalan sempurna.
Tanpa menunggu respons sang suami, ia pun membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu ruangan guna keluar.
Tentunya, aksi Sarasa meninggalkan bekas rasa kaget luar biasa pada Chisia Anatha.
“Kalian punya hubungan apa, Mas? Dia minta Mas datang ke rumahnya?”
Chisia tak dapat menutupi keingintahuan besar akan apa yang terjadi baru saja.
“Kalian berpacaran?” tebak Chisia, lalu.
“Mas Yaksa?”
“Tidak.” Adhyaksa menjawab cepat.
“Kami tidak berpacaran.”
“Kami sudah menikah. Dia adalah istri saya.” Adhyaksa memperjelas semua.
“Sudah menikah? Bagaimana mungkin?”
“Kenapa Om Bragas dan Tante Diya minta aku datang untuk dijodohkan lagi dengan kamu, Mas Yaksa? Lalu apa maksudnya?”
Kini, Adhyaksa yang tertegun. Baru tahu jika orangtuanya telah menyiapkan agenda rahasia demi bisa menyingkirkan Sarasa.
Tak akan pernah dibiarkannya.
“Kita tidak bisa bersama lagi, Chisia.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top