BAB 10

Double up nih. Tapi baca dulu bab 09 untuk bisa memahami bab ini ya.

Yok vote dulu 50 untuk next part.

.....................

PART 10

"Silakan keluar, Bu."

Sarasa tentu lekas turun dari mobil seperti apa yang dikatakan si pengawal.

Lalu, diikuti langkah pria itu menuju ke areal utama pavilium tempat tinggal dari keluarga Syalendra, orangtua Adhyaksa.

Tentu saja, ia akan diantar bertemu dengan Ibu Madiya Virani dan juga Bapak Bragas Syalendra secara rahasia di rumah mereka.

Ini adalah kunjungan pertamanya.

Tidak sembarangan pihak bisa datang ke kediaman keluarga Syalendra. Dan hanya orang-orang tertentu berhak datang.

Undangannya diterimanya, sudah tentu tak mengenakan sifatnya. Mana mungkin ia termasuk dalam tamu spesial mereka.

Anak seorang koruptor tidak akan pernah bisa masuk menjadi anggota baru dalam keluarga Syalendra, apalagi menyandang status sebagai istri dari putra mereka.

Sarasa tak menyiapkan diri secara khusus karena penjemputannya juga mendadak di basemen parkir kantor saat akan pergi.

Tentu cukup diduga jika akan dipanggil secepat ini, setelah kejadian tempo hari.

Sepertinya kedua politikus kondang itu tak bisa menganggap remeh keberadaannya.

Mungkin ia adalah ancaman besar untuk mereka, sehingga masalah harus segera mungkin diselesaikan secara tuntas.

Apa yang akan dilakukan orangtua dari sang ketua umum partai pada dirinya?

Akankah diterimanya lagi perlakuan buruk seperti beberapa hari yang lalu?

Oh tentu tak bisa dibiarkan terulang.

Jika dirinya ditampar kembali, maka hal sama akan didapatkan Madiya Virani.

Kekerasan fisik apa pun bentuknya, tentu saja tidak bisa untuk dikompromi.

Harga diri harus dipertahankan, masa bodo dengan capnya sebagai putri koruptor.

Sifat takut sudah tidak dimiliki lagi.

Lagi pula, memang dibutuhkan keberanian guna menghadapi keluarga konglomerat sekaligus politikus senior seperti Madiya Virani dan juga Bragas Dewantara.

Dengan begitu, kemungkinan besar ia bisa menaklukan drama menarik ini guna lekas mencapai tujuan besarnya juga.

Setiap kesempatan yang ada, patut untuk dirinya gunakan sebaik mungkin, kan?

"Silakan masuk, Bu Sarasa."

"Nyonya dan Tuan sudah menunggu Ibu di dalam. Anda tinggal lewati pintu ini."

Sarasa langsung menurut, tanpa bertanya apa pun karena baginya sudah jelas.

Langkah kaki juga mantap melenggang ke ruang yang telah diarahkan padanya.

Seperkian detik saja diperlukannya.

Mata mengarah ke depan, tentu kemudian melihat dengan jelas sosok Madiya Virani dan Bragas Dewantara duduk di sofa.

Kedua orangtua Adhyaksa dengan kompak melayangkan tatapan tajam padanya.

Merasa gentar?

Jelas tidak akan. Justru semakin ditegakan kepala dan badan agar mereka melihat jika dirinya siap menghadapi situasi apa pun.

"Selamat sore, Bapak Bragas."

Sarasa menyapa dalam nada yang santun, kontras dengan tatapan yang menunjukkan hal sebaliknya. Hanya pemanis mulut.

"Selamat sore, Ibu Madiya."

Sarasa menekankan setiap kata sapaan.

Reaksi sang nyonya besar? Memandang dirinya dengan sorot rendah. Wajah pun mengekspresikan kesinisan amat nyata.

Jadi, bagaimana selanjutnya? Apakah ibu dari Adhyaksa Syalendra yang selalu baik di mata publik, akan menamparnya lagi?

Dengan kemurkaan ditampakkan jelas, tak mungkin politikus senior itu hanya akan diam tanpa melakukan sesuatu.

Apalagi mengundang secara khusus untuk bertemu. Pasti ada skenario menarik.

"Mengapa saya diminta kemari?" Sarasa menembak pada pertanyaan utama.

Enggan berbasa-basi lebih lama.

"Berapa yang kamu inginkan dari kami? Tulis saja nominalnya di sini."

Bragas Dewantara berbicara dengan sinis. Lalu melempar buku cek bank ke arahnya.

"Kami akan berikan berapa pun maumu, Pelacur. Jangan malu memeras kami."

"Tulis yang banyak untuk bisa kamu pakai memenuhi hidupmu setelah meninggalkan Yaksa. Kamu harus berhenti melacur."

Madiya Virani yang berbicara kali ini.

"Saya tidak ingin uang."

Sarasa masih dengan intens mengarahkan atensi pada orangtua Adhyaksa, sehingga melihat kemarahan keduanya bertambah.

Hanya mereka yang berang? Dirinya juga murka karena mendapatkan penghinaan.

"Saya bukan pelacur yang menginginkan uang dari kalian. Tapi, saya mengincar posisi sebagai istri sah putra kalian."

Madiya Virani dan Bragas Dewantara pun kembali berbarengan memelototkan mata padanya. Kedua politikus itu pasti kaget.

Dan memang demikianlah tujuannya.

Sarasa menyeringai dengan sinis. Harus begini caranya memprovokasi balik.

"Jika tidak ada lagi ingin dibicarakan, saya undur pamit dulu." Sarasa pun kembali memakai topeng sikap santun palsunya.

Lalu, membungkuk untuk beberapa saat.

"Terima kasih sudah mengundang saya ke sini. Semoga ada kesempatan di lain hari bagi saya datang kemari," lanjut Sarasa.

Setelah menyelesaikan semua ucapannya, dibawa diri keluar dari ruangan. Tak ragu untuk pergi karena urusan telah selesai.

Dan saat sosok Sarasa sudah benar-benar menghilang dari pandangan, maka Madiya Virani langsung berteriak marah.

Lalu, ponsel diambil guna menghubungi orang suruhannya yang biasa mengerjakan tugas-tugas kotor dengan rahasia.

"Singkirkan pelacur itu."

"Buat dia kapok dan berhenti angkuh."

"Lakukan tanpa jejak." Madiya Virani pun mempertegas apa yang harus dilakukan.

"Pelacur itu harus tahu diri."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top