BAB 09

Yok vote sebelum baca.

................

PART 9

"Anda diminta masuk ke kamar perawatan NyonyaMadiya sekarang, Pak Adhyaksa."

"Bagaimana keadaan Mama?"

"Nyonya Madiya sudah siuman. Tekanan darah normal. Karena, mengalami syok yang cukup berat hingga pingsan."

Adhyaksa mendengarkan dengan saksama penjelasan sekretaris ibunya, namun tidak berminat untuk memberikan tanggapan.

"Nyonya meminta Anda untuk masuk ke kamar rawat secepatnya, Pak Adhyaksa."

Pemberitahuan disampaikan langsung oleh sekretaris pribadi sang ibu, Marissa Dewi.

Adhyaksa tetap bergeming. Tak beranjak sama sekali dari kursinya. Ia memanglah belum memutuskan akan pergi secepatnya.

Pikiran masih perlu dijernihkan dari segala masalah yang tercipta sejak pagi.

Pengontrolan diri belum kembali. Ia bisa saja lepas kendali jika berhadapan dengan orangtuanya. Benar sang ibu dan ayahnya.

Mereka pasti akan kompak menyudutkan dirinya atas prakara yang telah terjadi.

Terutama pernikahan rahasia di antaranya dan Sarasa Dermawan yang belum mereka ketahui. Tentu akan dikuliti habis-habisan.

"Pak Adhyaksa?"

Dirinya dipanggil kembali. Setelah sekian detik jeda yang diberikan padanya.

Sekretaris sang ibu meminta konfirmasi segera akan kesediaan menuruti perintah.

Sifatnya jelas memaksa.

Lagi pula, ia sudah di sini, mustahil akan dibiarkan pergi tanpa bicara dengan kedua orangtuanya terlebih dahulu.

Mengingat, mereka sedang amat marah.

Tanpa memberikan tanggapan pada asisten ibunya, Adhyaksa pun bergegas berjalan ke arah ruang inap VIP ditempati ibunya.

Bagaimana pun situasinya mesti dihadapi.

"Wanita kurang ajar itu mendorong saya."

"Saya menghantam lantai, lalu pingsan."

"Pelacur itu adalah orang yang kejam. Dia tidak malu mencelakai saya tadi."

Adhyaksa yang baru saja menginjakkan kaki di dalam ruangan, tentu mendengar drama kebohongan dilontarkan ibunya.

Tangisan sarat kesedihan palsu juga turut sang ibu keluarkan di depan ayahnya.

Kenapa ibundanya begitu pintar berdusta dan mengarang ceritaa yang tak benar?

Apakah ingin menjatuhkan Sarasa lagi?

Sialnya, ia begitu marah melihat sikap ibu yang selama ini begitu dihormatinya.

"Anak pembuat masalah!"

"Anak tidak tahu diuntung kamu, Yaksa!"

Seruan penuh kemurkaan dari ibundanya ditujukan pada dirinya, saat sosoknya telah dilihat. Mata menatap marah ke arahnya.

Adhyaksa terus berjalan menuju ranjang ditempati oleh sang ibu, tak peduli kedua orangtuanya menunjukkan sikap berang.

Namun kemudian, langkah kakinya harus terhenti tiba-tiba karena sang ayah yang juga bergerak mendekatinya secara cepat.

Plak!

Pukulan tangan ayahnya mendarat pada pipi kirinya dengan sangat keras. Tentunya menimbulkan rasa kebas cukup hebat.

"Bangsat!"

Umpatan kasar diluncurkan orangtuanya.

"Berani sekali kamu membuat onar!"

"Berapa lama kamu sudah menikahi putri Yoga Dermawan itu, Anak Bangsat?!"

"Lima belas bulan."

Adhyaksa melihat rahang wajah sang ayah yang kian mengeras. Tampak warna merah juga di sana. Menjadi tanda jelas betapa besar kemarahan orangtuanya itu.

"Siapa yang merestui kamu menikahi putri Yoga Dermawan? Bangsat!"

"Kamu pikir kami akan menerima putri dari narapidana korupsi di keluarga ini?"

"Saya tidak perlu izin kalian."

"Karena saya tahu Mama dan Papa tidak akan menerima Sarasa sebagai menantu."

"Anak bangsat!"

Dibiarkannya sang ayah melayangkan satu kali tamparan keras pada pipi kirinya.

"Untuk apa kamu menikahi anak seorang koruptor? Tidakkah ada perempuan lain?"

"Karena saya mencintai Sarasa."

Sang ayah pun tertawa dengan amat sinis. Mata sangat nyalang memandangnya.

"Bangsat dengan cintamu itu, Yaksa."

"Seharusnya jaga imej kamu sebagai ketua umum partai, Anak Bangsat."

"Tapi kamu justru membuat onar!"

Kali ini, saat sang ayah berusaha memukul kembali wajahnya, berhasil dicegah lewat cara menghempaskan tangan orangtuanya.

"Anak bangsat!"

"Hentikan, Papa." Adhyaksa menekankan dua patah kata yang dilontarkan.

"Karena kalian sudah tahu semuanya ...."

"Saya tidak perlu terus menyembunyikan pernikahan kami. Saya juga akan segera mendaftarkan pernikahan kami."

"Secara hukum, di catatan sipil."

Tepat setelah diselesaikan ucapan, kedua tinga mendengar ibunya menangis dengan histeris. Lalu, sang ayah mengumpat kasar.

Namun, Adhyaksa tak peduli. Ia memilih segera pergi dari ruangan inap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top