24

Ratih berjalan cepat membuka pintu, ia cemas dan meminta Res hubungi Jun saja. Jun tak kalah cemas karena dengar Res merasa kesakitan dan memutuskan untuk menghubungi Karina, temannya yang juga berprofesi sebagai spog.

"Alhamdulilah kamu datang Jun," kata Ratih.

"Res di mana Bu?" tanya Jun.

Ratih berjalan cepat menggandeng tangan sang dokter untuk masih ke dalam kamar sementara Jun menunggu di luar. Tau diri di sana ia tak bisa masuk.  Pria itu memilih menunggu kemudian duduk di meja makan karena posisinya tak terlalu jauh dari  kamar Res.

Jujur saja saat tadi diberitahu oleh Ratih bahwa Res kesakitan, Jun segera membatalkan rapat yang akan diadakan di Bandung. Padahal hari ini ia akan melakukan pembukaan cabang keempatnya di sana. Jun memilih untuk menghubungi Karina yang ia tahu berprofesi sebagai dokter yang jelas bisa membantu res. Baru datang sekali hari itu Karina belum berangkat ke rumah sakit dan akan berangkat siang nanti. Jun kamu bilang sedikit memaksa Karina untuk ikut bersamanya.

Seraya menunggu, pria itu memainkan jemarinya di atas meja makan sambil sedikit mengetuk-ngetuk merasakan cemas. Sekali dia juga hela nafas dan menatap ke arah pintu kamar. Lama ia melihat Karina yang berjalan ke luar Jun bergegas berdiri dan menghampiri temannya itu.

"Gimana keadaannya?"

"Kehamilannya sehat kok nggak ada masalah. Cuman ibunya nggak boleh stress, untuk beberapa hari ini biar istirahat total dulu. Benar-benar enggak boleh stres dan banyak pikiran. Mungkin kepikiran juga karena suaminya jauh. Kalau bisa bantu buat ngalihin pikirannya, biar terhibur juga." Karina memberitahu Jun.

"Tapi benar kan semuanya oke? Maksud gue kandungannya gitu?"

Karina tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Jun. "Semuanya sehat bapak. Lo kaya bapak siaga." Karina berkata lagi.

"Aih, macam-macam saja karena kemarin ketemu baik-baik aja dan sehat banget." Jun mengatakan itu sambil melangkahkan kakinya mengantarkan Karina ke luar.

"Namanya orang hamil emang harus ekstra diperhatiin. Faktor perubahan hormonal dan itu bikin mereka gampang banget stress. Jadi bener-bener harus dijaga secara fisik dan mentalnya. Apalagi posisinya si Res ini jauh dari suami. Mungkin dia kangen atau gimana." Karina menjelaskan kepada Jun dan didengarkan dengan baik-baik oleh pria itu.

"Makasih banget karena udah mau bantuin dan datang ke sini."

Karina menganggukkan kepalanya. "Pokoknya, perhatiin makan dan juga mood-nya. Soalnya kayaknya Si Res ini tipe orang yang suka mendam perasaannya sendiri. Waktu gue tanya yang jawabnya nggak apa-apa, tapi ngeluh kalau perutnya keram dan sakit."

Jun menganggukkan kepalanya mengerti. Yang paling penting saat ini adalah membuat kondisi mood Res pulih dan baik-baik saja. Setelah mengantarkan Karina pria itu kembali menuju apartemen Res. Saat dia menekan bel terlihat Ratih yang membukakan pintu.

"Makasih ya nak juga udah mau bantuin Res." Ratih mengucapkan itu yang benar-benar merasa terselamatkan karena ada Jun di sana.

"Iya sama-sama Bu. Kalau ada apa-apa kabarin saya aja," kata Jun.

Ratih anggukan kepala, ia lalu mempersilahkan Jun bertemu dengan Res. Wanita itu berharap Jun bisa menghibur putrinya. Seperti apa yang dikatakan oleh sang dokter tadi kalau Res tak boleh terlalu stres. Mungkin Jun bisa membantu Res bisa merasa lebih baik.

"Coba kamu ajak ngomong dia mas, siapa tahu sama kamu mau ngobrol. Biar bisa lebih plong dia Mas." Ratih berkata.

"Baik, Bu Jun coba ya ngomong sama Res." Jun berkata kemudian ia berjalan masuk ke kamar tamu.

Seperti yang direncanakan oleh Intan dan juga Res. Selama ratih berada di sana Res akan tidur bersama sang ibu di kamar tamu. Jun berjalan mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam. Ia melihat Res yang tengah merebahkan tubuh sambil memainkan kedua tangannya.

"Hei, assalamuallaikum Bumil?" sapa Jun sambil melangkahkan kakinya msuk ke dalam.  Pria itu kemudian duduk di sisi tempat tidur tepat di samping Res.

"Mas, makasih ya? Maad udah ngerepotin." Res berkata.

Jun gelengkan kepalanya. Merasa tak masalah dengan apa yang ia lakukan kali ini. "Enggak masalah. Jangan mikir itu yang penting kamu sehat ya."

"Alhamdulilah udah enggak sakit kok Mas," kata Res coba menenangkan Jun yang masih terlihat cemas.

Jun hela napas dan sedikit memaksakan anggukan kepalanya. Karena, ia sendiri bisa melihat kalau wajah Res masih sangat pucat. "Tidur ya? Rehat, kamu masih pucet banget." Jun berujar kemudian sedikit merapikan selimut yang digunakan Res dari samping, berusaha tak menyentuh Res.

"Mas tawaran kerja itu masih ada?" Res bertanya.

"Kenapa kamu tanya itu tiba-tiba?" tanya Jun.

"Waktu aku di resto aku nyaman banget karena bisa berinteraksi sama Bu Yah dan Pak Sarpin, dan yang lain. Aku mau kerja sama Mas. Tadi dokter juga minta aku cari hal yang buat aku nyaman dan seneng. Kayaknya kerja di sana akan jadi hal yang menyenangkan buat aku." Res menjelaskan pada Jun.

Saat bekerja akan membuat dirinya memiliki kegiatan yang mengalihkan pikirannya dari hal- hal yang membuat ia merasa tertekan dan stres. Terutama adalah hal mengenai kerinduannya pada sang suami.

"Selalu ada buat kamu, kalau sudah sehat boleh." Jun katakan itu, karena  ia akan mempersilahkan jika memang bisa membuat Res menjadi lebih baik.

Hari itu Jun berada di sana sampai hari cukup malam. Jun menemani Ratih untuk merawat juga menemani hingga sang ayah dan juga adik Res tiba malam itu. Sebenarnya perjalanan Rama dan juga raya akan dilakukan empat hari lagi. tapi Ratih menghubungi sang suami dan minta kedatangannya untuk dipercepat. Semua tentu saja karena ia mempertimbangkan keadaan putrinya itu yang butuh dihibur dan ditemani. Apalagi saat ini kondisinya tengah hamil muda.

Res jelas merasa senang sekali dengan kedatangan orang-orang yang ia sayangi. Sejak tadi ia gembira meskipun sang adik seperti biasa terus saja meledeknya.

"Perutmu gendut Mbak. Sebentar lagi gendutnya jadi double," ledek Raya kepada kakak perempuannya sambil mengarahkan tangannya membentuk gelembung yang besar di depan perutnya.

Sejak dulu Res tahu kalau adik laki-lakinya itu memang sangat menyebalkan seperti ini. Dan sepertinya baru hari ini iya memaklumi dan malah tertawa senang melihat dan mendengar ledekan dari Raya. Kebersamaan keluarga malam ini membuat Res merasa lebih baik. Nanti dikelilingi orang yang ia sayangi menjadi kebahagiaan dan penyemangatnya kini.

Lalu Hera malam ini dalam perjalanan pulang ke rumah. Tadi ia harus memeriksa dokumen dan melakukan pertemuan di luar kantor hingga cukup larut. Wanita itu kemudian mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang. 

"Kalian tarik orang dari sana. Nggak perlu diawasi lagi. Oke?  Untuk sementara kita biarin aja baik pabrik dan juga apartemen. Karena sebentar lagi juga saya akan datang ke Indonesia." Hera kemudian mematikan kembali panggilannya.

Tentu saja ia akan terus mengamati Yuji dan Res. Apalagi setelah mendapatkan perlakuan dan pengakuan dari Yuji mengenai perasaannya untuk Res. Yuji Sudah berani mengancamnya demi wanita itu dan itu sangat membuatnya terluka dan sakit hati. Apalagi, Hera merasa kalau dirinya tak layak disandingkan dengan Res.

***

Beberapa hari setelahnya Res merasa jauh lebih baik. Apalagi ditemani oleh sang ayah meskipun hari ini Rama dan Raya memutuskan untuk pulang. Sang ayah tak bisa berada lama di sana karena masih harus mengawasi panen bawang. Hanya ladang itu yang tersisa dan cinta tak diawasi tentu saja Rama takut akan merugi.

Pagi ini keluarga itu menyempatkan diri untuk harapan bersama. Ratih memasak nasi liwet dengan ayam goreng kondisi Res juga jauh lebih baik. Is bisa menerima bau makanan asal tidak menumis bumbu secara langsung.

"Jadi aku beneran bakal kerja di tempatnya mas Jun. Boleh ya Pak? Boleh ya Bu?" Res meminta kepada orang tuanya untuk mendukungnya.

"Kalau ibu sih terserah bapak," ucap Ratih kepada putrinya itu. Kalau sudah seperti ini sebenarnya tidak boleh. Hanya saja Res masih tetap memaksa.

"Boleh kan pak?" Res menatap sang ayah dengan tatapan memohon.

Terdengar hal nafas dari pria senja itu. "Sebenarnya Bapak enggak tega kalau kamu harus kerja. Apalagi kamu hamil. Tapi—"

Belum sempat Rama melanjutkan kata-katanya Ratih berdeham. "Ekhm!"

"Tapi ya tidak boleh, kalau belum bilang sama suamimu." Rama jadi salah tingkah sendiri karena jawaban yang sebelumnya ia mengizinkan Res. kemudian karena sang istri terlihat marah Rama jadi mengubah jawabannya.

"Aku di sana kerja cuman 3 jam. Aku udah pernah ke sana sebelumnya waktu itu. Di sana ada Bu Yah dan juga pak Sarpin. Mereka baik banget sama aku. Jadi kalau bapak ibu pulang ke kampung. Aku jadi ada orang yang bisa buat diajak curhat. Kalau aku bilang sama Mas Yuji, jelas pasti dia akan larang. Kalau aku di rumah jujur aja rasanya stres apalagi pekerjaannya cuman gitu-gitu aja." Res mencoba menjelaskan alasan mengapa ia memohon untuk bisa bekerja.

Raya bisa melihat ada sesuatu dari sang kakak. Sejak tadi anak laki-laki itu memperhatikan Kakak perempuannya. Meskipun sangat jahil dan suka sekali mencemooh Res, tapi Raya sangat menyayangi sang kakak.

"Bagus kalau emang bisa ngilangin stres. Lagi pula kerjanya kan nggak lama Bu cuman 3 jam." Raya berkata kepada ibu dan ayahnya sambil menikmati santapan paginya terlihat cuek namun penuh perhatian.

"Itu, Ibu dengerin apa kata anak yang kuliah di jurusan psikologi." Res menimpali.

"Ibu cuman takut nanti waktu masmu kembali ke sini Kamu berantem berdua gara-gara pekerjaanmu itu." Ratih berkata kepada putrinya, mengatakan mengenai ketakutannya dan alasannya melarang Res untuk bekerja.

"Asal kamu bisa jaga diri, sebenarnya bapak nggak apa-apa. Dan kalau itu memang bisa hilangkan rasa stressmu bapak bisa ngerti." Rama mengerti dan percaya betul mengenai putrinya ini. Ia percaya kalau Res tak akan macam-macam dan memang tujuannya hanya untuk bekerja saja.

"Jadi boleh kan pak? Bu?" Res bertanya lagi.

"Ya terserah kalian aja lah. "Berarti mengatakan itu karena Rahmat telah mengizinkan putrinya sepertinya tak ada alasan baginya untuk menolak. "Ibu penasaran sama rumah kamu dan Yuji itu ada di mana toh? "

Res terdiam tentu saja ya rumah itu adalah rumah yang ia tempati kini. Tapi tentu saja Res tak bisa memberitahu bahwa rumah yang dibeli oleh Yuji itu adalah apartemen yang mereka tempati sekarang.

"Rumah aku itu lumayan jauh dari sini Bu. Dan biasanya Aku diantar sama Mbak Intan. Kalau sekarang nggak bisa, kan Mbak Intan nggak ada di sini." Res menjawab Jangan berbohong. Setelah mengenali Yuji dirinya seolah menjadi pembohong ulung.

Jujur saja, hal yang paling membuat dirinya terluka dan memilih untuk menjauh dari keluarganya adalah, saat ia menjadi seorang pembohong seperti ini. Seumur hidup berusaha menjadi orang yang jujur dan tak membohongi kedua orang tuanya. Dan itu cukup membuatnya merasa tersiksa ketika harus mengatakan kebohongan demi kebohongan, membuat kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

"Ibu kira rumahnya dekat dari sini. Kalau rumahnya dekat dari sini, lebih baik bapak sama ibu tinggal di sana. Tinggal di rumah kamu dan gak jadi beban di rumah majikanmu ini." Ratih berkata pada si sulung.

Res menggelengkan kepalanya rasanya sedih sekali mendengar sang Ibu merasa tak nyaman di rumahnya. Tentu saja karena ia tak bisa memberitahu bahwa itu adalah rumah Yuji dan terpaksa berbohong. Mungkin jika Ratih tahu kalau itu adalah rumahnya, akan membuat perasaan jadi menjadi lebih nyaman.

Sekitar 2 minggu di sana Ratih menemani putrinya itu. kemudian ia harus kembali pulang karena juga memiliki pekerjaan menemani sang suami untuk kembali menanami lahan mereka. Setelah kepulangan Ratih, Res kembali menghabiskan hari-harinya seorang diri. Namun belakangan menjadi lebih baik karena ia sudah mulai bekerja di tempat Jun.

Res juga sudah membeli sebuah motor bekas sebagai alat transportasinya. Rasanya menyenangkan ketika ia bekerja di luar dan tak menghabiskan waktu sendirian di rumah. Lagi di restoran banyak sekali teman yang bisa ia jadikan tempat untuk mengobrol.

Setelah memarkirkan motor di parkiran belakang, ia melangkahkan kakinya masuk. Res membawa nasi goreng buatannya pagi tadi. Ia meletakkan itu di dapur agar bisa dimakan oleh yang lain.

"Dimakan ini nasi gorengnya tadi aku buat banyak banget," Res berkata.

Kemudian dengan segera Danu dan Rara berlari mendekat. Tangan Rara sudah pulih meskipun bekas lukanya masih terlihat.

"Widih mantap banget nih nasi goreng kampung buatanya Mbak Res." Danu memuji seraya membuka kotak makan besar di hadapannya.

"Bu Yah sama Pak sarpin makan dulu." Res mempersilahkan.

Keduanya masih sibuk mempersiapkan bahan makanan untuk disajikan saat jam makan siang nanti. Karena memang ada menu yang disajikan dalam kondisi masih segar dan baru dimasak. Keduanya segera berjalan mendekat setelah selesai memotong-motong sayuran. Mereka semua lalu duduk di kursi makan dapur.

"Aduh alhamdulillah enak banget ini," kata pak sarpin.

"Hari ini faktur barang dari restoran di Matraman udah datang belum pak?"  Res bertanya kepada Pak Sarpin. Karena biasanya, pengambilan barang untuk dibawa ke cabang dilakukan sekitar pukul delapan sampai sepuluh pagi.

Danu gelengkan kepala karena tadi Ia yang menjaga gudang barang. "Hari ini kayaknya cabang Matraman nggak ngambil barang deh Mbak. Soalnya mereka tadi pagi juga nggak telepon minta tambahan."

"Emangnya lagi sepi cabang di sana?" tanya Rara.

Res gelengkan kepalanya. "Kemarin itu mereka ambil barang dua kali lipat. Karena sebelumnya ada borongan gitu. Mungkin mereka kira kemarin akan ada borongan lagi tapi mungkin nggak ada."

"Biasa manajer Matraman kan memang suka ambil keputusan gitu. Nggak mikir dulu padahal di sana untuk pendinginnya juga kurang." Yah mengatakan  dengan kesal, karena tentu saja jika makanan rusak restoran pusat yang akan disalahkan.

"Tenang aja Bu.  nanti biar aku yang bilang ke Mas Jun. Lagian kemarin pas mereka ambil dua kali lipat itu aku juga udah bilang, karena takutnya nggak habis." Res mengatakan lagi.

Seperti biasa ketika ia datang kemudian akan mengobrol bersama dengan yang lain. Res suka berada dalam kelompok kecil seperti ini. Bisa berinteraksi dengan orang lain setidaknya itu membuat pikirannya memikirkan hal lain.

Setelah sarapan ya melangkahkan kakinya Ke ruangan Jun. Pria itu tak datang setiap hari karena memang ada bisnis lain yang harus diurus. Tapi, paling tidak setiap sore, memang Jun selalu datang ke restoran itu. 

Di ruangan itu selama beberapa minggu ke belakang, Res menjalankan pekerjaannya. Memindahkan data-data barang yang masuk dan keluar, juga pemasukan dari beberapa restoran yang dikirimkan melalui email perusahaan dan juga website yang dibuat oleh Jun.

Saat itu ponsel miliknya berdering siapa lagi kalau bukan Yuji yang menghubunginya. Res dengan segera menerima panggilan.

"Assalamualaikum Mas?" sapa Res.

"Waalaikumsalam. Kamu sehat kan? Kemarin aku nggak sempat hubungin kamu. Ada pekerjaan yang benar-benar harus aku kerjain sampai malam dan baru hari ini kelar. Maaf ya?"

"Iya, nggak papa kok mas. Aku sehat kok kamu sehat kan? Kamu udah sarapan belum?" Res bertanya dengan penuh perhatian.

Tentu saja menjadikan saat paling sepi saat sang suami dilanda kesibukan yang luar biasa. Bahkan Yuji hanya mengirimkan pesan singkat yang mengingatkan Res untuk makan. Beruntung ia berada di restoran yang bisa mengalihkan pikirannya. Setidaknya sampai sore hari, meskipun malam hari ia harus kembali mengingat rasa rindunya kepada sang suami.

"Aku udah sarapan kok. Kamu lagi apa?"

"Aku lagi duduk aja kok. Kamu sehat kan Mas? Suara kamu kedengeran lemas gitu?" Res merasa cemas karena ada suara sang suami yang tak bersemangat.

"Kangen kamu," lirihnya. "Sabar nunggu aku ya?"

"Iya," sahut Res.

"Bapak sama Ibu nggak ada rencana mau ke sana lagi? Karena Intan mungkin belum bisa ke sana lagi. Kamu jadi nggak ada temen, hmm?" Yuji bertanya karena dirinya merasa bahwa Res membutuhkan seseorang untuk menemaninya.

"Apa sama ibu kan, lagi sibuk sama urusan ladang Mas. Aku nggak mau ganggu mereka, karena ngurus ladang itu buat mereka senang. Kamu lagi di jalan ya Mas kok ramai betul?" Res bertanya karena ia mendengar suara yang ramai

Sementara saat ini Yuji tengah berada di dalam mobil. Pria itu diminta oleh Teo secara mendadak.  untuk berangkat ke Indonesia bertemu dengan rekannya Bram. Mereka akan membicarakan mengenai kerjasama terbaru di antara Teo dan Bram di mana Yuji yang akan diperintahkan untuk memangku jabatan sebagai CEO perusahaan, kerjasama di antara Bram dan Teo yang bergerak di bidang entertainment.

Yuji duduk di dalam mobilnya seraya menahan senyum. Tentu saja ya kali ini sudah membayangkan Bagaimana akan bercengkrama dan bertemu kangen dengan istrinya itu. Sudah beberapa bulan ke belakang ia tak bisa menemui Res. Dan kini mereka berdua akan bertemu dan melepas rindu. Kerja kemarin sudah tak bisa tidur selain membereskan beberapa dokumen tetapi juga memikirkan apa yang akan Ia berikan kepada Res.

"Iya aku lagi di jalan. Ya udah ya sayang nanti aku hubungin kamu lagi," kata Yuji kemudian mematikan panggilan teleponnya.

Pria itu duduk sambil tersenyum memegang sebuah kotak perhiasan di tangannya. Sebelum berangkat ke Indonesia Ia membeli sebuah kalung berlian untuk sang istri berharap itu akan jadi hadiah yang spesial nanti.

"Akhirnya, aku bisa ketemu sama kamu lagi," ucapnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top