22
Intan melangkahkan kakinya ke luar gedung apartemen. Hari sudah cukup larut, pukul delapan malam ini dan situasi juga telah sepi. Ia menuju tempat parkir dengan tatapan yang mengedar, waspada. Kemudian langkahnya terhenti ketika melihat sebuah mobil yang ia kenal terhenti tak jauh dari mobilnya.
Ia lalu mengambil ponsel dari kantong kemejanya seraya melagkahkan kakinya kembali masuk mencoba mengecek pintu utama.
"Kamu di mana?" tanya Intan.
"Di jalan, mungkin sepuluh menit lagi sampai."
"Tahan, putar arah dulu, Kamu pakai mobil apa?"
"Yang biasa aku pakai, kenapa Mbak?" tanya Angga lagi.
"Kayaknya ada mata- mata. Orang yang sama yang ada di pabrik." Intan memberitahu pada Angga.
"Terus gimana?" tanya Angga lagi. Tentu saja saat ini ia tengah kebingungan.
"Coba putar rutenya sambil saya cari jalan keluar." Intan berkata sambil kini menatap ke luar dari pintu utama. Sepertinya mereka memang hanya menunggu mobil Intan untuk mencaritahu sesuatu. Apartemen Yuji secara nama memang bukan miliknya lagi, dan sepertinya mereka masih ingin menyelidiki.
Intan lalu berjalan kembali menuju apartemen Res. Wanita itu sudah terlelap di kamar. Intan masuk untuk mengambil kunci mobil karena jalan teraman saat ini adalah meminta Pak Boris untuk menolongnya. Intan kembali menghubungi Angga.
"Ya Mbak?"
"Berhenti di mall G kamu tau kan? temenin dulu sampai Pak Boris jemput. Okay?"
"Oke siap." Angga berucap kemudian segera mematikan panggilannya.
Malam ini sepertinya Intan harus menginap lagi. Dan menjaga Res baik- baik. Dan sepertinya akan berbahaya jika ia terus terlihat di sana Bersama Resha karena Orang dari keluarga Hera banyak yang mengenalnya. Intan lalu mengambil ponsel miliknya ia segera mengirimkan pesan pada Yuji. Ia mengirimkan angka satu sebagai kode bahaya dan meminta Yuji segera menghubunginya.
***
"Nak," sapaan lembut terdengar.
Res berusaha membuka matanya, masih merasa ngantuk sekali. Padahal biasanya gampang terbangun jika dengar suara pelan sekalipun.
"Nduk," sapaan juga belaian lembut kini Res rasakan.
"Ibu?" Res segera membuka matanya, seolah ini adalah mimpi. ia segera membuka mata coba dapatkan kesadaran sepenuhnya. Ia takut kalau apa yang ia lihat kini hanya sebuah mimpi.
"Ibu?" ia bertanya sekali lagi siapa tau salah lihat.
"Iya ini ibu," sahut sang ibu kemudian ia duduk di samping putri kesayangannya itu.
Res lalu memeluk sang ibu dengan erat. Ia bahkan meneteskan air matanya, rasanya rindu sekali pada sang ibu dan kini ketika melihat Ratih di hadapannya malah jadi ingin menangis. Selama ini berada di apartemen sendirian sejujurnya ia merasa kesepian dan itu cukup menyiksanya.
Ratih juga meneteskan air mata. Sejak tau putri sulungnya hamil, ia terus saja memikirkan tentang Resha. Tau kalau putrinya itu memang biasanya sangat manja sekali. Apalagi di saat hamil yang pastinya akan merubah mood dan perasaannya.
"Ibu sama siapa?" tanya Res.
"Tadinya sama nak Angga suaminya Intan, terus mogok mobilnya. Ibu turun ke mall. Di ajak makan dulu sama nak Angga terus dijemput pak Boris. Ibu ke sini di jemput di depan tadi sama Nak Intan." Ratih menceritakan.
Res tersenyum saja, ia tau kalau Angga bukanlah suami dari Intan. "Alhamdulillah," ucap Res lalu memeluk erat sang ibu. "Bapak enggak ikut Bu?"
"Bapakmu lagi panen bawang, kasian kalau ikut enggak ada yang ngawasin nanti." Ratih menjawab. "Memang ibu aja masih kurang?"
Resha anggukan kepala. "Sama bapak juga biar ramai."
"Intan bilang kamu susah makan? Mau ibu masakin apa besok?" tanya Ratih pada sang putri.
"Aku enggak bisa cium bau masakan yang lagi di masak Bu. Dari kemarin cuma mau masakan restonya Mas Jun." Res menjawab.
Ratih melirik bingung juga kalau seperti ini situasinya. "Memang Jun sering ke sini?" tanya Ratih.
"Sering sih enggak Bu, kadang aku memang minta tolong kalau enggak tau. Ibu kan tau, Mbak Intan itu enggak bisa di sini setiap hari. Jadi kalau aku enggak tau, ya aku tanya Mas Jun dan minta tolong sekalian. Ibu kan tahu aku di sini nggak ada siapa-siapa. Jadi aku minta tolong Mas Jun." Res menjelaskan sejarah perlahan kepada Ratih. Ia tak ingin ibunya itu salah paham.
Sebenarnya yang Ratih takutkan adalah bukan apa-apa. Melainkan bagaimana perasaan Jun dan juga anaknya itu. Dan masalahnya saat ini status Resha telah berbeda.
"Kamu bilang ke suamimu kan nduk?"
Res menggelengkan kepalanya. "Mas Yuji itu cemburuan banget Bu. Kalau aku bilang dia pasti marah nanti sementara aku butuh seseorang yang biasa kasih tau aku hal-hal yang nggak aku tahu di sini."
"Kamu itu udah punya suami loh nggak baik kalau terus-terusan dekat sama laki-laki lain." Ratih berkata kepada sang putri ia takut kalau putrinya itu atau Jun yang mulai jatuh hati.
Res menggelengkan kepalanya. "Aku ini sayang banget sama mas Yuji Bu. Nggak akan ada orang yang bisa gantiin dia di hati aku. Ibu jangan khawatir dan cemas. Percaya deh kalau aku bisa jaga diri dan perasaan aku cuma untuk suami aku aja." Resha yakinkan Ratih bahwa ia tak mungkin akan berpaling dari suaminya.
Resha selama ini memang tak percaya diri dengan keadaan fisiknya. Sering sekali malu dan Yuji kemudian hadir memberikan cinta dan kasih sayang juga perhatian kepada Res. Sejak saat itu saya sudah berjanji akan mencintai Yuji saja. Res tahu dan mengerti betul Bagaimana caranya mengontrol hati agar tak jatuh cinta.
Sejak ia SMP dan SMA sering jatuh cinta terhadap siswa laki-laki di sekolah dulu. Pernah mencoba sekali mendekati hanya saja cintanya tak berbalas. Pernah satu kali ia malah dijadikan bahan taruhan oleh teman sekelasnya. Sejak itu memutuskan untuk mengunci diri dan hati rapat-rapat. Sampai Kemudian didobrak oleh Yuji hingga terbuka. Lalu pria itu masuk ke dalam hati Res, dan mengunci diri rapat- rapat di hati gadis yang kemudian dijadikannya istri itu.
"Ibu percaya sama kamu Nduk. Kalau begitu, nanti kalau masmu datang kasih tahu dia. Kenalin dia ke Jun ya?" Ratih memberikan saran sambil membelai lembut rambut putrinya itu.
"Aku juga udah rencana gitu Bu. Oh iya Bu Mbak Intan masih di sini?"
Ratih menggelengkan kepalanya. "Intan sudah pergi tadi katanya harus cepat-cepat kembali ke kampung anaknya nangis terus."
Res mengerti Kalau memang Intan sedang ada urusan yang harus dikerjakan karena pekerjaan Yuji. Ratih kemudian merebahkan tubuhnya di samping Sang Putri. Ia lalu merapikan selimut untuk mereka berdua.
"Kita tidur dulu ya. Besok Ibu buatin masakan apa buat kamu yang bisa kamu makan nduk?" tanya Ratih.
Res memeluk sang ibu dengan erat senang sekali bisa tidur bersama dengan Ratih malam ini. "Aku makan apa aja kayaknya asal masakan ibu pasti kemakan."
Wanita paruh baya itu lalu mengusap-ngusap perut sangat Putri yang kini tengah mengandung. "Bapak senang banget waktu dengar kamu hamil. Bapak bilang kalau bakal cepat momong cucu, sebelum kamu telepon dan kasih tahu kalau kamu hamil. Begitu Ibu kasih tahu kalau kamu telepon dan bilang hamil Bapak senang banget. Sebenarnya juga pengen ngikut. Tapi sayang kalau nggak ada yang ngawasin ladang. Nanti biar bapak nyusul ya?"
Res anggukan kepala, "iya Bu. Nanti bapak nyusul sama Raya ya?"
"Iya, nanti bapak nyusul sama adikmu. Raya kemarin juga udah bilang kalau mungkin lusa bakal nyusul sama bapak. Kata raya gampang kalau di Jakarta itu tinggal pakai ojek online."
"Gampang Bu nanti bisa minta tolong sama sopir buat jemput," kata Res kepada sang Ibu dan itu buat Ratih menatap pada putrinya itu.
"Sopirnya siapa?"
"Ah, itu Bu sopir yang punya rumah ini. Jadi kata dia kalau memang ada mau keluarga datang boleh pakai sopir minta tolong dijemput." Res tentu saja tak bisa memberitahu kalau sopir itu, adalah sopir pribadi yang diberikan Yuji untuk dirinya.
"Janganlah Nduk. Biarin aja kata Raya dia udah bisa, kan Tinggal kasih alamat kamu nanti." Ratih tak ingin kedatangan suami dan bungsunya menjadi beban untuk orang lain.
Res anggukan kepalanya setuju. Lagi pula ia tahu kalau adiknya itu sangat pintar. Pasti tak mungkin melakukan kesalahan. "Ya udah kalau kayak gitu Bu. Lagian Raya juga pintar kok pasti dia ngerti nanti."
Malam ini Res merasa benar-benar bahagia karena bisa menghabiskan malam bersama dengan wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya. Setidaknya akan ada yang menemani dirinya selama beberapa hari ke depan. Dan tentu saja dengan kehadiran Ratih tak akan membuat dirinya merasa kesepian.
Sementara itu malam ini Yuji terbangun. Di sampingnya ada Hera yang masih tertidur. Yuji terbangun saat tengah malam dan biasanya memang seperti itu ia akan mengirimkan pesan kepada Res siapa tahu saja istrinya masih terbangun. Karena memang biasanya sang istri masih sibuk menonton drama Korea.
Pria itu kemudian berjalan dengan perlahan ke luar kamar. Yuji berjalan menuju ruang kerja yang berada di lantai atas. Ia memang sering memakai ruang kerja itu karena biasanya di lantai bawah Hera atau sang ayah yang menggunakan ruang di lantai bawah. Setelah memasuki ruangan ia menguncinya lalu berjalan menuju kursi dan duduk di sana.
Setelahnya Yuji segera mengecek pesan ia membaca pesan dari intan yang jelas menunjukkan bahwa ada hal yang berbahaya dan harus segera disampaikan. Yuji dengan segera menghubungi orang kepercayaannya itu.
"Ada apa? Istri saya nggak apa-apa kan?"
"Ibu aman pak. Tapi malam tadi saya ngelihat orang suruhan Bu Hera ada di depan apartemen. Sebenarnya saya nggak yakin ini suruhan Bu Hera atau bukan. Tapi mereka adalah orang yang sama yang juga ngintai pabrik di Cikarang. Hari ini ada tiga orang yang terus stay di depan sama pintu Selatan apartemen."
Mendengar apa yang dikatakan oleh Intan jelas membuat Yuji merasa cemas dan khawatir. Ia tak tahu apa yang mungkin akan dilakukan istri kontraknya itu kepada Res.
"Terus hari ini gimana? Bukannya Angga harus jemput ibu mertua saya?" Yuji bertanya kepada Intan dirinya dilanda kecemasan setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Intan barusan.
"Untuk itu Bapak nggak usah khawatir. Surat alih nama apartemen juga sudah selesai dibuat. Kayaknya saya nggak mungkin untuk menemani Bu Res lagi. Saya mungkin masih akan datang. Tapi kalau saya yang datang atau Angga jelas akan ketahuan." Intan berkata seperti itu karena dirinya yang dikenal oleh Hera dan juga keluarganya. Karena Intan sempat menemani Yuji di Singapura.
Dan kini Yuji jadi sakit kepala memikirkan siapa yang akan menemani istrinya. Apalagi Res mengatakan kalau ia tak mau ditemani selain oleh Intan, dan hanya mau dijenguk oleh Intan saja.
"Kalau begini siapa nanti yang nemenin istri saya?"
"Untuk sementara masih ada bu Ratih. Dan Bu Ratih juga bilang, kalau beberapa hari lagi akan datang Pak Rama dan juga adiknya ibu Res. Untuk beberapa waktu ke depan Bapak nggak perlu khawatir dan cemas. Saya akan coba minta orang untuk mengawasi juga. Pak Yuji fokus pada pekerjaan di sana saja, saya cuma mau memberitahu Kalau mungkin saya nggak akan ke apartemen dalam waktu dekat. Dan saya fokus untuk memulai kembali pembangunan pabrik di Cikarang seperti apa yang Bapak katakan." Intan menjelaskan alasannya dan tujuannya adalah bukan untuk membuat Yuji terlalu cemas seperti ini.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Intan membuat Yuji merasa sedikit tenang. Setidaknya dirinya tahu dan mengerti Kalau Intan benar-benar bisa diandalkan dalam hal seperti ini.
"Saya akan percayakan semua ke kamu. Satu hal yang benar-benar saya ingin tekankan adalah, tolong awasi istri saya agar tetap baik-baik saja. Sejujurnya masalah pembangunan pabrik itu tidak terlalu penting, hanya saja memang kita harus buru-buru kamu tahu kan sebentar lagi saya akan pindah ke Indonesia?" Yuji mengatakan lagi dan semua dipercepat agar Hera tak terus saja mengusik masalah pembangunan pabrik itu.
"Saya mengerti Pak."
"Tolong kamu benar-benar cari orang yang bisa dipercaya untuk ngawasin Res. Hal terpenting saya di Indonesia saat ini adalah keselamatan istri saya. Tolong kamu cari tahu siapa orang-orang itu. Kamu bisa bayar detektif yang kompeten untuk itu." Yuji menekankan.
"Bukannya ini orang suruhannya Bu Hera ya pak?" Sangat yakin bahwa orang-orang itu adalah, mereka yang dibayar untuk mencari tahu mengenai Res dan pasti pelakunya adalah Hera.
Yuji hela napas, setelah pembicaraan di ruang makan semalam, membuatnya berpikir kalau mungkin saja sang ayah mertua mencari tahu mengenai apa yang terjadi atau apa yang ia lakukan di Indonesia.
"Saya curiga ayah mertua saya sudah mulai cari tahu tentang apa yang saya lakukan di Indonesia. Jadi tolong kamu cari tahu siapa orang- orang itu. Kalaupun, seandainya, mereka masih di sana, jalan keluar terakhir adalah—kamu cari apartemen lain untuk ibu tinggal. Kalau perlu lokasinya dekat dengan rumah yang akan saya tinggali di sana. Oke?"
"Baik pak."
Yuji merasa lokasi teraman adalah lokasi yang berdekatan dengan musuh. Tak mungkin Hera berpikir kalau Yuji akan menyewa apartemen yang dekat dengan rumah mereka. Dan itu adalah cara terakhir seandainya saja akan ada orang yang dikirim untuk mengawasi apartemennya.
"Semua sudah jelaskan?"
"Jelas pak," sahut Intan.
Yuji lalu mematikan panggilannya ia menyandarkan tubuhnya pada kursi seraya memijat pelan pelipis matanya. Hidupnya jadi tak tenang, menurutnya seharusnya Hera tak perlu melakukan hal seperti itu. Karena Hera selalu mengatakan kalau ia tak memiliki perasaan kepada Yuji. Yuji lalu kembali Menatap layar ponselnya dan mengirimkan pesan kepada sang istri.
Yuji:
Assalamualaikum, sayang udah tidur?
Resha:
Waalaikumsalam mas, aku baru bangun lagi. Habis sholat kamu kirim pesan.
Yuji tersenyum, Res memang rajin salat di sepertiga malam. Dan ia sangat bersyukur mendapati seorang istri yang begitu rajin dan taat dalam beribadah. Dan itu jauh berbeda dengan dirinya sebenarnya. Namun saat ia berada di Indonesia, mau tak mau ia mengikuti ajakan istrinya itu untuk salat bersama. Menenangkan, dan saat kembali ke Singapura tak satu kali pun ia menginjakkan kakinya di atas sajadah.
Yuji:
Video call ya? Mas kangen.
Resha:
Iya Mas.
Tentu saja Yuji tak menyia-nyiakan ini dengan segera ia menghubungi sang istri. Dan tentu saja panggilan itu diterima dengan cepat. Saat ini Yuji bisa menyaksikan Res yang menatapnya dengan masih menggunakan mukena berwarna merah muda menutupi wajahnya. Wajah sang istri merona bahkan saat ia tak menggunakan riasan.
Res lalu mengerucutkan bibirnya. "Cium tangan ga bisa ya? Aku cium dari jauh ya," kata Res dan itu buat Yuji tersenyum.
"Maaf ya belakangan aku tidurnya susah banget bangun jam segini. Begitu bangun tahu-tahu udah pagi." Yuji mengatakan itu Karena dirinya merasa menyesal karena sering tak menghubungi istrinya itu.
"Enggak apa-apa. Yang penting kamu sehat di sana ya?" Res katakan itu meskipun dalam hatinya sangat merindukan sang suami. Namun Res tak mau egois.
"Kamu emangnya nggak kangen sama aku ya?" Sementara di sisi lain Yuji merasa kalau Res tak terlalu menginginkannya dan jarang sekali mengatakan kerinduannya.
"Aku kangen kok, kangen banget Mas. Aku cuma nggak mau kamu nanti kesulitan karena aku bilang kangen dan kamu berusaha keras buat hubungin aku. Hmm? Aku mau semuanya lancar dan kamu segera balik ke Indonesia. Aku mau 2 tahun ini bisa berlalu dengan cepat." Res mengatakan itu sambil menahan air matanya. Res itu cengeng, dan sekarang semakin cengeng semenjak ia hamil.
Yuji bisa melihat kalau sang istri tengah menahan tangisnya jadi merasa bersalah karena sudah bertanya dan berpikiran kalau Res tak menginginkannya.
"Maaf ya sayang, maksud Mas Yuji nggak kayak gitu. Jangan. Nangis ya? Sayang banget sama kamu. Maafin aku ya Res? Maafin aku," ucap Yuji yang tiba-tiba saja ingat kelakuan buruknya bersama Hera malam tadi.
"Kenapa kamu minta maaf sampai kayak gitu mas?" Res jadi bingung mengapa tiba-tiba saja suaminya itu meminta maaf. Aneh pikirnya.
"Aku cuma minta ke kamu, maafin semua kesalahan aku ke kamu ya? Hmm?" Yuji berkata tanpa memberitahu maksud yang sebenarnya.
Sementara di sisi lain Res mengira, kalau permintaan maaf dari sang suami itu, karena pertanyaan Yuji yang membuatnya meneteskan air mata tadi. "Aku udah maafin kamu kok mas. Jangan merasa bersalah ya?"
Yuji anggukan kepala, dadanya terasa sakit sekali merasa bersalah karena terus membohongi sang istri. Apalagi mendengar harapan Res tadi, yang berharap kalau waktu 2 tahun itu akan cepat berlalu. Nyatanya waktu yang harus dilalui Res bukan hanya 2 tahun tetapi 5 tahun. Entah apa yang akan dikatakan Res nanti setelah Yuji mengatakan kebenarannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top