21
Jun berada di sana cukup lama. Mengobrol dan menemani Res. Hingga membantu Intan mengawasi pekerja yang memasangkan AC di kamar belakang tadi. Karena tak ada laki-laki di sini jadi ia menemani dan Intan juga yang meminta.
Intan memasak saat Res melaksanakan ibadah sholat di kamar utama dan Jun berada di kamar tamu. Ia terdiam dalam dilema. Tau betul kalau Yuji tak akan suka jika Res kedatangan tamu pria. Sementara ia melihat Res yang jauh lebih baik saat bicara dengan Jun, Res kesepian. Itu yang ada dalam pikiran Intan.
Dalam masa kehamilan seperti ini Res memang butuh hal yang menghiburnya. Dan Intan juga sangat mengerti itu. Dulu moodnya juga berantakan saat mengandung putranya. Intan sudah menikah dan sempat cuti bekerja dengan Yuji.
"Masak apa Mbak?" tanya Jun yang baru saja selesai salat.
"Eh Mas Jun. Untuk Resha ada makanan dari Mas jun tadi, ini saya masak sayur bening sama ayam goreng, Suka kan?" Intan bertanya dengan ramah. "Silahkan duduk Mas," ucap Intan mempersilahkan duduk.
Jun duduk di kursi. "Ada yang perlu dibantu Mbak? Kebetulan itu tukang masang AC juga sebentar lagi selesai."
"Enggak Mas, sudah selesai ini." Intan kemudian mengangkat ayam gorengnya dan meletakan di meja makan.
"Mas Jun sudah lama temenan sama Res ya?" tanya Intan sambil merapikan piring makan.
"Sudah sejak kecil Mbak. Dulu pertama kali adik sepupu saya sekolah sama Echa saya yang suka antar mereka naik motor. Kalau pas main ke kampung,' jelas Jun.
Intan anggukan kepalanya, jelas ia mencaritahu info tentang pria itu. "Oh gitu pantas akrab sekali ya."
Jun melirik, jelas ia tak bodoh dalam hal ini tau kalau ia dicurigai dan diintrogasi. "Iya Mbak, Echa udah saya anggap adik sendiri. Saya jaga dia baik-baik, karena di sini kan juga sendirian. Semoga suatu saat bisa ketemu sama suaminya untuk silaturahmi. Karena pas pernikahan saya enggak bisa datang, terlalu dadakan."
Intan anggukan kepala, mengerti kalau Jun menjaga jarak dengan baik. Namun, Intan ragu sampai berapa lama Jun bisa membatasi perasaannya sendiri? Apalagi tau betul, kalau Yuji akan datang lebih lama dari jadwal. Entah apa yang akan terjadi tiga bulan ke depan.
Saat itu Res telah selesai salat wanita itu berjalan mendekat dengan mata yang bengkak. Jun menatap dengan cemas dan itu mendapat sebuah lirikan dari Intan.
"Kamu nangis Cha?" tanya Jun memerhatikan. Tangannya mengepal, menahan diri untuk tak menyentuh Res. Meski dalam hatinya meronta ingin sekali sekadar menepuk-nepuk tangan gadis itu.
Res anggukan kepala, kemudian malah terkekeh. "Aku kalau doa itu agak lebay. Malah nangis sendiri."
"Makan dulu Yuk," ajak Intan.
Ketiganya menikmati santap siang bersama. Seraya menikmati santap siang ketiganya benyak mengobrol. Intan benar- benar memerhatikan bagaimana Jun bersikap dan berikan perhatian pada Resha. Jun begitu ramah mudah membaur dan itu yang menjadikan dirinya begitu menyenangkan.
Berbeda dengan Yuji yang pada dasarnya memang posesif dan introvert. Semakin parah setelah pernikahan kontrak yang ia jalani bersama dengan Hera. Yuji semakin dingin dan sulit membaur. Namun, meskipun demikian Intan bisa melihat kalau Res benar- benar tak merasakan perasaan Jun. Res cenderung bersikap layaknya adik yang polos.
Mungkin karena perhatian yang diberikan Jun sudah lama sekali. Hingga Res terbiasa dan menilai itu bukan perasaan yang lebih dalam dari hubungan antara kakak dan adik.
Setelah makan siang Jun menyempatkan mengecek kembali hasil pekerjaan. Karena ia cukup mengerti itu. Setelahnya berjlan menghampiri Intan dan Res yang tengah tertidur di sofa.
"Mbak aku masih ada urusan di resto. Kasih tau aja kalau saya pulang ke Echa. Kayaknya lelap banget tidurnya." Jun ucapkan karena ia tak bisa berlama-lama di sana.
"Makasih banyak ya Mas sudah bantuin. Kebetulan di sini pas enggak ada laki- laki yang ngawasin," kata Intan ucapkan terima kasih. Padahal sebetulnya jika sesuatu terjadi ia bisa menangani dengan mudah. Intan pemegang sabuk hitam dan juga memegang lisensi tembak.
"Sama- sama, terima kasih buat makan siangnya. Permisi."
Jun pamit dan Intan mengantarkan Jun berjalan ke luar rumah. Setelah mengantarkan Jun, Intan berjalan ke kamar, mengambilkan selimut untuk Res dan menyelimuti wanita yang ia anggap layaknya adik sendiri itu.
Intan lalu menatap layar ponselnya mendapati pesan dari Yuji.
Yuji:
Kamu di apartemen saya? Res kemana? Saya hubungi kok enggak diangkat?
Intan.
Iya saya di apartemen Pak. Ibu tidur.
Maaf saya juga baru kabari karena ada tukang yang benerin kamar tamu dan kamar belakang.
Intan juga mengambil gambar Res yang terlelap. Dan mengirimkan pada Yuji.
Yuji:
Sesuai rencana yang kamu bilang kemarin?
Angga udah jalan?
Intan:
Betul Pak, beberapa foto saya pindah ke gudang. Angga sudah jalan. Mungkin sampai malam nanti.
Yuji:
Okay kalau gitu.
Kabari kalau istri saya bangun tidur.
Tolong titip dia saya enggak tau sama siapa saya harus percayakan dia. Di sini Hera semakin buat saya sulit.
Yuji kini tengah duduk di ruangannya. Menatap foto yang dikirmkan Intan jadi rindu sekali pada sang istri. "Kangen kamu Res,' ucapnya.
Yuji harus bekerja keras untuk menyelesaikan kewajibannya di perusahaan lama. Sudah tak sabar dengan kepindahannya ke Indonesia. Ingin bisa bersama- sama lebih lama dengan sang istri. Meski tau akan sulit sekali.
Setelah selesai semua pekerjaan, ia segera berjalan ke luar ruangan untuk pulang. Melewati lorong menuju lift untuk turun ke segera pulang. Di depan lift ada Hera yang menunggu. Yuji berdecak kesal, saat Hera lalu berjalan mendekat, berdiri sambil tersenyum dan merapikan pakaian sang suami. Hera lalu mengecup pipi pria itu. Yuji menatap dengan kesal. Kekesaln Yuji tak menghentikan aneka kegiatan menyebalkan yang dilakukan oleh Hera.
"Pulang sama- sama ya sayang?" tanyanya manja.
Semua kegiatan keduanya disaksikan dengan kegagumadari para karyawan. Pasangan tersukses yang jadi panutan. Keduanya lalu berjalan menuju mobil.
"Hari ini papi ajak kita makan malam sayang," kata Hera.
Yuji hela napas lalu anggukan kepala. Keduanya segera masuk ke dalam mobil. Setelahnya tak ada pembicaraan apapun. Hera sesekali lirik, sementara Yuji sibuk mengirim pesan dengan sang istri, sesekali tersenyum.
Yuji:
Udah bangun bobo?
Resha:
Udah mas, kamu belum pulang ya?
Yuji mengarahkan kameranya ke luar jendela mengambil gambar jalan. Pria itu lalu mengirimkan pada Res.
Resha:
Hati-hati ya Mas.
Yuji:
Iya sayang, aku usahain cari cara biar malam ini bisa video call kamu lagi ya?
Resha:
Jangan dipaksa, jangan kirim foto pas mandi.
Yuji:
Kesempatan terbaik buat kirim foto ke kamu itu waktu mandi.
Resha.
Ih, sebel.
Yuji:
Kangen ya?
Resha:
Enggak, udah hati-hati di jalan. Babay!
Yuji terkekeh tertahan karena ia tau kalau Resha gugup dan salah tingkah. Jadi gemas sendiri, ingin rasanya mencubit pipi atau bibir yang tengah manyun itu.
Hera memerhatikan, ada rasa sakit di dalam hatinya. Ada sedikit rasa tak terima karena ada orang yang bisa membuat Yuji tersenyum dan itu bikin dirinya. Kenapa ia jadi begitu kesal seperti ini? Kenapa jadi merasa marah dan kecewa?
"Siapa?' tanya Hera.
Yuji melirik, mencoba bersikap biasa saja. Ia kemudian mengunci layar ponselnya. Takut kalau Hera melihat itu dan mencari gara-gara.
"Seseorang," jawab Yuji.
Hera menatap dengan serius. "Who?"
"Saya rasa ini enggak ada urusannya sama kamu." Yuji menekankan.
Hera tau memang ada dalam kontrak kalau ia tak bisa mengganggu privasi Yuji dan agaknya ia sedikit menyesali itu.
Mobil itu melaju, menuju rumah besar. Rumah itu juga sudah mulai dikosongkan beberapa barang yang diperlukan dipindahkan ke rumah baru di Indonesia. Karena memang rumah ini tak akan ditinggali lagi karena masa kerja Yuji yang akan berakhir. Kemungkinan besar Hera akan menjualnya.
Yuji melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, Raja berlari menghampiri sang ayah. Rasanya bahagia dan senang sekali ketika melihat Yuji pulang.
"Papi!" seru Raja.
Yuji menyambut dan menggendong anak itu. "Hey boy? seharian ini ngapain aja?" tanya Yuji seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
"School," jawab anak itu dengan bersemangat,
"Good, main sama opa juga engga?' tanya Yuji lagi.
"Iyah," jawab Raja senang lalu mencium dan memeluk Yuji.
Hera menyaksikan itu dengan bahagia. Betapa Raja terlihat selalu tersenyum dan bahagia saat bersama dengan Yuji. Setelah Raja lahir, Hera sempat mengalami baby blues. Kehilangan Yudha benar- benar membuat hidupnya hancur.
Perasaan sakit dan sedihnya semakin menjadi setelah buah hati mereka lahir. Hera sempat tak mau menyusui Raja sehingga Yuji yang merawat bayi kecil itu dengan telaten. Sempat ada satu kejadian Hera memandikan Raja dan hampir membunuh bayi kecil itu dengan menenggelamkan ke bak mandi. Beruntung Yuji saat itu belum berangkat bekerja.
Sejak itu Hera menjaga jarak dengan Raja takut ia akan menyakiti putranya lagi. Meski tentu saja itu bukan alasan karena sudah terjadi lama sekali. Hera juga mendapatkan pengobatan.
Yuji menurunkan Raja dari gendongan. "Tunggu papi ya, mau mandi dulu." Yuji kemudian berjalan meninggalkan Raja.
Hera berjalan menghampiri anak itu. "Raja sama opa dulu ya, nungguin papi,' pinta Hera.
"iya mami," anak itu memeluk sang mami lalu berlari menuju ruang tengah untuk menemui Teo.
Hera berjalan ke kamar, ia mendengar suara pancuran air jelas Yuji saat ini tengah mandi. Hera menanggalkan pakaian, menunjukkan sisi- sisi tubuhnya yang sempurna. Wanita itu lalu mengenakan kimono sutra berwarna hitam yang tersampir di dekat lemari pakaian. Ia lalu duduk di tempat tidur.
Pikirannya membayangkan akan bergumul dengan pria itu setelah ia selesai mandi. Atau saat ini juga?
"nanti aja deh," katanya menahan diri.
Tak lama Yuji berjalan ke luar dari kamar mandi. Mengenakan handuk kimono yang menutupi tubuhnya. Ia melirik sang istri sekilas dan memilih berjalan menuju kamar mandi untuk mencari pakaian seraya menyeka tetesan air dari wajah dan rambutnya.
Hera berjalan menghampiri, lalu coba goda Yuji lagi. Memegang kerah kimono pria itu lalu mencengkram dan menariknya mendekat.
"Stop," kata Yuji menekankan.
"Aku mau kamu, hmm? Malam ini aja." Hera mengatakan keinginannya pada Yuji. Seraya menjalari bagian wajah pria itu dengan jari lentiknya. Lalu membuka kimono sutra yang menutupi bagian tubuh polosnya.
"Mau ngapain sih?" tanya Yuji. namun tubuhnya tak bergeming.
Yuji hanya pria biasa dalam hatinya meronta mengatakan tak ingin. Sementara tubuh dan napsunya mengatakan lain. Yuji hela napas lalu coba melangkahkan kakinya, sebelum Hera menahan dengan meraih sisi yang buat sang suami terpekik. Sebelum akhirnya Hera bergerak dengan bibirnya membuat bagian itu semakin membesar.
Yuji ingin tarik diri tapi sulit sekali mengontrol tubuhnya yang menuntut lebih. Yuji rindu ingin dipuaskan berbulan- bulan hanya sibuk beraksi memuaskan diri sendiri. Hera tersenyum senang setengah mati karena berhasil kuasai Yuji setelah lama sekali tak dapatkan kepuasan seperti ini.
"Pengaman dulu," Yuji hentikan saat Hera coba memasukkan dengan genggam bagian pusat Yuji.
Hera hentikan membiarkan Yuji mengambil pengaman yang entah sudah di simpan berapa lama. kemudian memakainya. Setelahnya kembali beraksi.
Yuji membiarkan Hera yang menuntun permainan mereka berdua berasa di atas dan bergerak dengan lenguhan yang tak bisa ia tahun. Kamar itu kini dipenuhi lenguhan dan desahan dari keduanya yang asik berpeluh. Yuji sudah hilang kesadaran hingga hanya ikuti napsunya.
"Oh, f*CK!" Yuji memekik saat pergerakan Hera tepat membuat titiknya.
Satu persatu pakaian yang digunakan lutut, kimono sutra itu kini sudah berserak di lantai. Sementara Yuji kini diijinkan untuk memimpin bukan hal baru melakukan permainan itu dengan. Tidak ada tangguhan sayang atau sentuhan lembut. Yuji hanya memfokuskan diri untuk menuntaskan hasratnya saja.
Tubuhnya bergerak, mengikuti debar jantungnya yang kian kencang memburu, inginkan diri untuk menuntaskan. Hera tak kalah liarnya, kuku-kukunya bahkan menanjak di bagian punggung Yuji.
"Oh, ji, Yuji!" Lenguhnha tak kuasa menahan hasratnya sendiri. "Ohh! Akh, akh," lenguhan kuat menandakan Hera telah selesai.
Semenjak Yuji juga sudah tinggal sedikit lagi. Ia memacu diri bergeraklah semakin kencang. Sampai sebuah dorongan kuat, yang bahkan membuat Hera tersentak. Lalu tubuhnya rebah di samping Hera.
"Ohh!" pekik Yuji pada sesi akhinrya.
Setelah tuntas Hera coba kecup bibir Yuji, hanya saja Yuji memalingkan wajahnya. Yuji jelas merasa bersalah, tapi kali ini dia benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Apalagi, memang sebelumnya beberapa kali sudah melakukan itu dengan Hera.
"Buruan mandi kita makan malam.' Yuji mengatakan kemudian berdiri dan melangkahkan kaki menuju lemari untuk mengganti pakaian.
Jujur saja Hera terluka, rasanya diperlakukan seperti jala*ng. Hanya ia coba tahan karena memang jujur ia yang menginginkan kepuasan malam ini. Rasanya tak masalah jika harga dirinya hancur sedikit asal bisa kuasai Yuji. Hera percaya hubungan ranjang akan membawa pada perasaan lambat laun.
Setelah pergumulan itu, keduanya kini berada di ruang makan menikmati makan malam dengan lahap. Hera terlihat sangat segar rona wajahnya bersemu setelah pergulatan tadi sebelum ia mandi. Teo senang sekali melihat sang putri yang tersenyum cerah setelah beberapa hari terlihat murung saja.
Malam ini Raja tak ikut makan malam karena sudah terlelap. Anak itu terlelap setelah bermain dengan sang kakek. Pun siang tadi, ia harus mngikuti pelajaran olahraga. Dan kini di meja makan hanya ada Teo, Lidya, Hera dan Yuji.
"Kerjaan kamu gimana Ji?" tanya Teo pada sang menantu.
Yuji menghentikan santapannya kemudian menjawab pertanyaan sang ayah mertua. "Baik pi, udah hampir selesai semua. TInggal sedikit lagi."
Teo anggukan kepalanya. "BTW, papi senang kalau dengar kabar dari karyawan kalian itu akur dan mesra. Papi berharap kalian bisa mesra dan akur sampai tua gini. Seperti mami dan papi." Teo mengatakan itu pada keduanya.
"Iya, sekalian kalian bikin adik buat Raja," tutur LYdia menimpali apa yang dikatakan oleh sang suami.
Hera tersenyum lalu memegang tangan sang suami. Jelas Yuji tak bisa menepis itu. "Lagi diusahakan ya Mas?" tanya Hera pada Yuji.
"Iya diusahakan," sahut Yuji tersenyum getir. Kini semakin meras kesalahannya pada Res sebesar gunung yang jika Res tau tak mungkin akan memaafkan dirinya.
"Dulu papi sama mami nyesel punya anak satu doang. Tau gitu dulu punya anak banyak ya Mi?" tanya Teo yang segera dijawab anggukan kepala oleh sang istri.
"Dulu papi itu nakal, suka tebar pesona,' kata Lidya dan jelas sekali terdengar nada kekesalan dari wanita itu.
"Iya dulu papi pernah selingkuh, jaman dulu. Ya cuma main aja enggak lebih-lebih. Kalau kamu rasanya enggak mungkin jan Ji?" Tanya Teo lalu melirik ke arah sang menantu. "Kamu itu orang paling baik yang papi kenal. Jadi papi percaya enggak akan mungkin kamu nyakitin anak papi." Teo berkata lagi. Awalnya ia memasang wajah datar kemudian tersenyum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top