17
Pagi ini Res sudah disibukan dengan kegiatan di dapur. Intan pagi ini harus meningalkan tepat itu, ada pekerjaan yang harus ia lakukan. Dan itu atas perintah Yuji. Pagi tadi setelah shalat subuh sudah segera mandi dan kini saat ia beranjak ke dapur sudah ada santapan pagi yang dibeli oleh Intan.
Kini di dalam kulkas juga sudah tersedia aneka makanan beku yang sengaja Intan beli karena tau Res tak bisa memasak. Akan mual jika mencium bawang, padahal itu adalah bumbu utama.
Res membuka bungkusan santapan paginya, menu sarapan kesukaannya lontong sayur dengan ayam goreng dan juga ada menu tumis sayuran. Di meja juga ada susu untuk ibu hamil.
Intan sudah berpakian rapi ia lalu berjalan mendekati Res.
"Pagi Bu?"
"Mbak Intan mau berangkat sekarang?" tanya Res.
Intan anggukan kepalanya. "Ada urusan yang penting. Ibu mau dicarikan teman? Pak Yuji menawarkan. Karena untuk sementara, saya ternyata enggak bisa datang ke sini," kata Intan menjelaskan.
Jujur saja itu membuat Resha menjadi cemas. Ada masalah apa yang sangat penting hingga Intan harus pergi dan mengurus secara langsung?
"Penting banget ya Mbak? Tapi bukan masalah besar kan?' tanya Res ia ingin ada jawaban yang akan mengusir perasaannya yang khawatir dengan apa yang akan terjadi pada suaminya.
Intan tersenyum.
"Ibu tenang aja. Ini masalah perusahaan kok. Hanya karena rahasia, saya yang akan turun tangan. O iya," ucap Intan yang kemudian mngambil sesuatu dari kantung jas yang ia kenakan. "Ini dari Pak Yuji. Kodenya sesuai sama ulang tahun ibu." Intan menyerahkan dua buah kartu. Satu kartu ATM dan yang lain adalah kartu kredit.
"Buat apa ini Mbak?" Resha bertanya bingung juga tiba-tiba diberi kartu seperti ini.
Sementara mendengar pertanyaan yang diajukan Res buat Intan tertawa. "Buat kebutuhan di sini Bu, pak Yuji akan transfer semua ke sana. Jadi Bapak Yuji minta Ibu nggak perlu keluar uang sendiri untuk beli kebutuhan di sini. Semua ibu bisa pakai itu karena memang udah dipersiapkan untuk ibu."
Res terdiam menatap kedua kartu di hadapannya. Jadi bingung sendiri karena tak pernah mendapat perlakuan seperti ini sebelumnya.
"Terima kasih ya Mbak," ucap Res.
"Sama-sama Bu. Saya mungkin baru bisa datang ke rumah ini seminggu sekali. Tapi saya usahakan akan datang lebih sering untuk nemenin Ibu di sini. Ibu bisa ajak orang tua untuk tinggal di sini. Seenggaknya selama kehamilan ini." Intan memberikan saran kepada Res.
Wanita itu berharap akan ada yang menemani istri dari majikannya itu selama kehamilannya. Karena ia mengerti di masa seperti ini pasti akan sulit sekali untuk ibu yang tengah hamil menjalani hari sendirian.
Sementara itu Res hanya tersenyum. Berarti Intan tak tahu mengenai rahasia di antara ia dan Yuji. Intan tak tahu kalau ia tinggal di sini dengan beralasan akan menjaga rumah atasan Yuji. Dan karena itu juga ia tak bisa mengajak orang dua orang tuanya untuk tinggal di sini. Mungkin hanya mampir sekilas.
"Iya makasih mbak."
"Ya udah kalau gitu Saya mau jalan dulu ya Bu? Saya tanya sekali lagi Ibu nggak mau ada seseorang yang nemenin di sini?" Intan bertanya. karena ia tentu saja akan mencarikan seorang yang kompeten dan juga bisa dipercaya untuk itu.
"Enggak mbak. Lebih baik aku di sini sendiri. Rasanya kurang nyaman juga kalau sama orang baru. Lagian sebentar lagi Mas Yuji juga mau ke Indonesia kan?" Res bertanya.
Intan menunduk sekilas kemudian ia mengangguk dengan ragu, karena mengetahui betul jadwal diuji kebelakang cukup padat selama empat bulan ke depan.
"Baik Kalau gitu saya berangkat dulu ya Bu." Intan kemudian berjalan meninggalkan Res.
Dan tentu saja apartemen itu akan kembali menjadi sepi. Res akan hidup sendirian lagi padahal baru beberapa hari ditemani. Lagi pula rasanya sendirian lebih baik jadi tak akan merepotkan siapapun.
Wanita itu kemudian melanjutkan kegiatannya menyantap sarapan, dan juga kembali membersihkan rumah mengisi hari dengan kegiatan yang bisa ia lakukan. Kemudian ia ingat harus menghubungi sang Ibu ingin memberitahu kabar bahagia bahwa ia telah mengandung.
Resha berjalan ke kamar untuk mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di tempat tidur. Ia memilih duduk kemudian menghubungi Ratih.
"Halo, Assalamualaikum Bu?" sapa Res ketika panggilannya sudah diterima.
"Waalaikumsalam Nduk. Gimana kabar di sana?"
"Alhamdulillah bu. Ibu gimana sama bapak? Raya juga Gimana kuliahnya?"
"Semua baik sehat sayang. Kamu gimana Di sana betah?" Ratih bertanya kepada putrinya itu.
"Alhamdulillah betah kok Bu. Lagian di sini nggak ada siapa-siapa. Jadi aku hidup sendirian belajar mandiri," jawab Res yang tak ingin membuat sang Ibu merasa cemas.
"Yang baik-baik kamu di sana."
"Bu, aku mau kasih tau."
"Apa nduk? Sehat kan kamu?" Ratih menjadi cemas.
"Sehat. Aku cuman ngasih tahu kalau sekarang aku hamil Bu. Ibu mau punya cucu." Suara Res bergetar saat ia memberitahu sang Ibu mengenai kabar baik ini. Tentu saja itu karena ia menahan haru.
"Ya Allah, Alhamdulillah, Alhamdulillah, udah kamu kasih kabar Mas mu?" Mendengar kata akan menjadi seorang nenek tentu saja membuat Ratih menjadi senang sekali.
Resha mengganggukan kepalanya meski sang Ibu tak melihat. "Iya Bu," jawabnya berbohong.
"Tapi gimana kamu di sana sendirian? Ibu malah khawatir jadinya kalau kamu di sana sendiri." Hal itu kini menjadi pikiran Ratih membayangkan putrinya di sana sendirian di tengah kehamilannya.
"Nggak apa-apa kok Bu. Di sini aku bisa ngehubungin temennya mas Yuji. Mungkin hari ini aku juga mau ke dokter Bu mau ngecek." Res menjelaskan agar sang Ibu tak terlalu cemas.
Tetap saja sebagai seorang ibu, Ratih merasa khawatir dan cemas. Selama ini putrinya itu tak pernah ke luar rumah sendirian. Hidup seperti saat ini tentu saja akan sangat menyulitkan Res dan membuatnya merasa kesepian.
"Kamu nanti mau cek kehamilan sama siapa? Memangnya kamu tahu rumah sakit di sana?" Ratih bertanya kepada putrinya itu.
"Di sini ada ojek online Bu Jadi udah ada rutenya. Kayaknya nanti aku mau minta tolong sama Mas Jun buat kasih tahu rumah sakit ibu dan anak."
"Jun saudaranya Indah? Yang dulu waktu kecil suka main sama kalian?" Ratih bertanya kepada putrinya mencoba meyakinkan diri.
"Iya Bu, kemarin kan aku juga udah bilang ke ibu kalau yang jemput aku itu mas Jun. Karena ternyata juga restoran punya Mas Jun Nggak jauh dari apartemen ini."
Mendengar apa yang dikatakan putrinya itu membuat Ratih merasa sedikit tenang. Karena ada orang lain yang ia kenal di sana. "Alhamdulillah kalau memang ada Jun. Kamu jaga kesehatan ya Nduk nanti bapak sama ibu kapan-kapan ke Jakarta buat nengok."
"Iya Bu," sahut Res. "Ya udah ya Bu. Salam buat bapak kasih tahu kalau sebentar lagi mau punya cucu."
"Iya, Ibu pasti kasih tahu bapakmu. Bapak pasti senang sekali denger ini."
Res juga sangat yakin kau sang ayah senang jika mendengar kabar akan menjadi seorang kakek. "Ya udah Bu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Res kemudian mematikan panggilannya. Ia lalu melanjutkan kegiatan membersihkan rumah. Rasanya lebih senang menghabiskan waktu dengan bekerja membersihkan rumah. Meskipun sedikit aneh Memang, karena ia bisa dua kali dalam sehari membersihkan rumah itu hanya untuk mengusir kebosanannya.
***
Yuji berada di ruangannya sibuk dengan dokumen yang akan ia persiapkan untuk rapat hari ini. Benar- benar tak ada waktu untuk dirinya sendiri karena sibuk dengan semua pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum ia kembali ke Indonesia. Saat itu ia ingat harus menghubungi Intan untuk bertanya tentang Res.
Pria itu mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meka kerja. Segera menekan panggilan dan menghubungi Intan. Tak lama sampai pangilan itu diterima.
"Ya Pak?"
"Gimana ibu?" pertanyaan yang pertama kali terlontar dari bibir Yuji adalah tentang sang istri.
"Saya udah siapkan semua tadi Pak, yang bapak titipkan juga sudah saya berikan. Tapi, ibu enggak mau ditemani. Saya sudah tanya apa mungkin ibu mau orang lain untuk menemani? Tapi, ibu bilang enggak mau. Dan lebih nyaman sendiri." Intan menjelaskan dengan sedikit rasa bersalah karena gagal membujuk.
Yuji mengerti Res memang seperti itu ada kalanya sulit dimengerti kemauannya. "Yaudah enggak apa- apa. Yang penting kamu kunjungi dia kau sempat. Kamu sama Angga tolong tetap awasi pabrik. Angga bilang kemarin ada yang datang buat tengok pabrik. Padahal semua sedang stop pembangunannya. Pastikan semua tim diam selama pembangunan berhenti dan kamu bantu saya yakinkan tim kalau pabrik akan dilanjutkan setelah urusan saya selesai."
Yuji harus memerintahkan Intan yang bicara langsung karena selama ini wanita itulah yang menangani semua urusan pembangunan pabrik dari awal. Sehingga anggota tim dan investor hanya mempercayai ucapan Intan. Itulah alasan Yuji meminta Intan untuk menangani itu semua.
"Baik pak." Intan menjawab.
"Oke kalau begitu saya minta tolong sekalu sama kamu ya?" "Bapak jangan khawatir. Saya pasti akan tangani dengan baik." Intan meyakinkan karena tak mungkin ia akan menghancurkan pekerjaannya sendiri.
"Oke kalau gitu terima kasih." Yuji kemudian mematikan panggilan teleponnya.
Setelah mematikan panggilan telepon, Yuji segra bersiap untuk rapat. Hari itu ia habiskan dengan segala rapat dan hal- hal lain yang harus ia persiapkan sebelum kepindahan. Ada beberapa proyek kerja sama yang ia pegang.
Perusahaan ayah Hera bergerak di bidang komunikasi salah satunya mereka adalah provider yang bekerja sama dengan salah satu merk seluler ternama. Tentu ini bukan proyek yang kecil sehingga Yuji harus bersungguh -sungguh untuk itu. Setidaknya akan ada sesuatu yang ia tinggalkan saat nanti keluar dari perusahaan.
Rapat berlangsung dengan baik, Yuji akan berjalan ke luar ruangan ketika semua rekanan sudah meninggalkannya. Itu sudah jadi kebiasannya, karena rapat diadakan di kantornya ia terbiasa meninggalkan ruangan terakhir sebagai tuan rumah. Yuji merapikan dokumen miliknya, lalu berjalan ke luar bersama Roland.
Langkah Yuji terhentui ketika melihat Hera berdiri di depan pintu. Roland kemudian ijin pamit meninggalkan keduanya.
"Ada apa kamu di sini?' tanya Yuji.
Hera yang berdiri seraya melipat tangannya di depan dada kemduian berjalan mendekat. "Aku mau makan siang sama kamu," ucap Hera kemudian merangkul Yuji dan mengajak pria itu berjalan menuju kantin perusahaan.
Hera mengandeng tangan Yuji dengan mesra.Dan itu buat Yuji merasa heran dengan kelakuan wanita itu. Yuji hanya memasang wajah datarnya karena sejujurnya ia malas jika harus menghabiskan waktu bersama wanita itu.
Seperti biasanya, kegiatan keduanya selalu menjadi perhatian karywan yang merasa kagum dan iri dengan keharmonisan diantara keduanya. Mereka menganggap Hera dan Yuji adalah simbol pasangan yang sukses dan sempurna.
Keduanya memesan makanan dan memutuskan untuk duduk di tempat yang cukup jauh dari para kayawan. Yuji meneguk air mineral miliknya. Rasanya tenggorokannya jadi kering setelah menahan kesal selama beberapa menit ke belakang.
"Kamu ngapain sebenarnya"
Hera tersenyum sambil menikmati santapan yang ia pesan. "Memangnya enggak boleh? Bagaimanapun aku ini istri kamu," kata Hera yang seolh- olah kini menekankan tentang hubungan mereka berdua.
Yuji menatap dengan heran. Ada apa dengan Hera? Tatapan Yuji buat Hera tatap pria di hadapannya dengan senyum.
"Nanti malam mau ke hotel?"
"Untuk apa?"
"Senang- senang, lama kan enggak senang- senang?" tanya wanita itu dam tersenyum menggoda Yuji. Baiknya wnaita itu hari ini karena ia tengah ingin dapatkan kepuasan lain dai Yuji.
Yuji gelengkan kepalanya. Tak ingin lagi meakukan hal aneh jika tak ada Res. Ia akan jaga dirinya baik-baik. Godaan seperti ini harusnya tak menjadi hal yang ia turuti lagi. Bisa bahaya jika Hera hamil karena ulahnya.
"Memangnya kamu enggak pingin?"
"Ini kantin kantor, kamu enggak bisa jaga mulut kamu?" tanya Yuji penuh penekanan ia kesal karena mulut Hera yang mengatakan hal- hal aneh saat ini.
"Oke," jawab Hera enteng.
Mereka kemudian memutuskan untuk menghabiskan santap siang. Sejujurnya Yuji muak sekali dan ingin marah dengan pembahasan barusan. Ingin meninggalkan tempat ini jika saja ia tak ingat kontrak perjanjian.
Setelah selesai makan, Hera masih mengikuti Yuji. Mereka berdua kini memasuki lift.
Yuji menatap ka arah Hera kemudian berkata. "Ngapain kamu ngikutin saya? Ruangan kamu di lantai tiga." Yuji mengingatkan.
Hera lagi- lagi hanya terkekeh, "Memangnya apa yang salah? Kamu kan suami aku."
Yuji hela napas, lalu mengedarkan tatapan kesal dengan jawaban yang ia terima. Rasanya ingin menjauhi Hera, setiap kali bersama Membuat Yuji kesal. Yuji melangkahkan kaki diikuti Hera yang bergerak seperti penuntit. Langkah Yuji terhenti di depan pintu. Ia lalu membalik tubuhnya menatap pada Hera yang terlihat menunggu untuk ikut masuk ke dalam.
"Jangan ikutin saya."
"Aku mau masuk," kata Hera menekankan.
Yuji menapa ke arah Roland yang sekilas tadi memerhatikan. Ia akhirnya membuka pintu dan membiarkan Hera masuk, Yuji kemudian berjalan masuk. Hera memeluk Yuji erat, sementara Yuji coba melepaskan pelukan wanita itu.
"Kamu gila ya?!" pekik Yuji tertahan.
"Aku butuh kamu Ji, hmm. Hari ini aja, hmm?"
Hera coba mencium bibir Yuji.
Yuji mendorong wanita itu. "Jangan gila kamu," kesalnya.
Hera lalu melepaskan sepatunya, lalu mulai melepas kancing kemejanya. Yuji berjalan mendekat, lalu menahan tangan Hera.
"Kamu enggak punya harga diri?"
"Kita biasa ngelakuin ini kenapa sekarang kamu nolak?" tanya Hera. "Kamu terus nolak aku setahun ini."
"Saya enggak akan khianati orang yang saya sayang," kata Yuji.
Hera menurunkn tangannya, kata- kata Yuji sejujurnya menyakiti hatinya. Yuji lalu mengancingkan kembali pakaian Hera. Setidaknya ia tak terlalu membuat Hera kehilangan harga dirinya.
"Kembali ke ruangan kamu, saya masih banyak kerjaan."
"Seberapa besar sayang kamu ke perempuan itu?" tanya Hera.
"Buat apa kamu tanya itu?" tanya Yuji.
"Aku mau tau,' jawan Hera sambil menatap Yuji yang kini berjalan menuju meja kerjanya.
"Kamu enggak perlu tau. Saya sesayang apa, karena dia bukan hal yang harus saya bahas sama kamu. yang jelas dia membuat saya merasa hidup sebagai Yuji," jawab Yuji tanpa menatap pada Hera.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top