4. Strategi
.
Anna merasa dilema, di antara derita yang dialami sahabatnya dan angin segar yang bisa jadi penyembuh luka suaminya. Tak salah jika ia menerima uang itu tanpa memberitahu yang sebenarnya pada Tiara. Karena ia bisa menganggap kalau ia tak pernah tahu apa-apa. Demi nyawa suaminya.
Namun, sesama wanita yang juga memiliki suami dan anak. Betapa sakitnya hati Anna, seandainya sang suami melakukan hal yang sama seperti Evan. Ia tak bisa tinggal diam demi kepentingannya sendiri.
Anna bergegas ke sudut ruangan dekat dengan toilet umum. Ada sebuah kursi panjang yang kebetulan tak terlihat seorang pun di sana. Ia mencoba untuk menghubungi sahabatnya.
Berkali panggilannya tak diangkat. Anna merasa cemas, karena ia perlu memberitahukan hal ini pada sahabatnya itu.
"Ya, Assalamu'alaikum," sapa suara lembut dari seberang telepon.
Wajah Anna berbinar bahagia, "Waalaikumsalam, Tiara, ini aku Anna. Apa kabar?"
"Masha Allah, Anna. Iya, aku masih simpan nomor kamu. Maaf aku terlalu sibuk sama anak-anak. Jadi, nggak bisa sering nimbrung di WAG."
"Nggak apa, Tia. Kamu lagi sibuk?" tanya Anna untuk memastikan kalau saat itu adalah waktu yang tepat untuk bercerita.
"Oh enggak, baru selesai sholat Magrib. Paling mau ngajarin anak-anak ngaji. Ada apa, Ann?"
"Eum ... suami kamu kerja?"
"Iya, mungkin sebentar lagi pulang. Biasanya sampai rumah jam tujuh."
"Kalian apa sedang ada masalah?" Lagi-lagi Anna bertanya tentang kondisi keluarga sahabatnya.
Tiba-tiba saja Anna merasa tak tega jika harus berkata jujur. Ia tak ingin rumah tangga yang dibangun oleh sahabatnya hancur karena orang ketiga. Terlebih yang ia tahu anak-anak mereka masih kecil-kecil. Betapa ia ingat Tiara pernah bercerita kalau ibunya begitu bergantung pada Evan, sebagai anak perempuan satu-satunya. Hanya Tiara yang diizinkan untuk pergi dibawa oleh suaminya ke kota.
"Alhamdulillah, kami baik-baik saja. Ada apa, ya? Kayanya kamu mau bilang sesuatu? Bilang aja, Anna." Tiara merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari nada suara sahabatnya itu.
"Aku mau jujur sama kamu, Tia. Tapi kamu harus kuat ya dengar ini semua. Ini tentang suami kamu, Evan." Akhirnya kata-kata itu terlontar dari bibir Anna yang tak tahan jika menanggung semua itu.
Terdengar embusan napas berat dari Tiara. "Ya, Anna. Silakan kamu cerita tentang Mas Evan. Aku akan dengarkan."
***
Setelah menutup panggilan telepon dari sahabatnya-Anna. Tiara merasa kakinya tak mampu lagi berpijak, dadanya pun serasa sesak. Syaira yang sejak tadi berada di gendongan pun ia pindahkan ke box bayi. Bocah itu sudah terlelap. Panggilan dari kedua putrinya pun ia abaikan.
Dunia seakan runtuh, mendengar suaminya jalan dengan wanita lain yang jauh lebih cantik dan lebih muda. Di kota yang mana tak bisa ia sambangi.
"Mah, kapan ngajinya?" Maisha memanggil sang mama yang hanya terdiam di tepi ranjang dengan berurai air mata.
"Mamah kenapa nangis?" Kesya menghampiri mamanya dan duduk di pangkuan.
Dengan lembut Tiara mengusap punggung putrinya yang masih mengenakan mukena itu. Hanya mereka lah kini yang mampu membuatnya tetap bertahan. Ia tak mungkin cerita seperti apa papanya pada putri-putrinya.
Tiara berusaha tegar, ia mengusap air matanya dengan punggung tangan. Dan berusaha tersenyum di hadapan kedua putrinya itu.
"Kalian ngaji sendiri dulu, ya. Badan mama tiba-tiba nggak enak." Tiara mencoba untuk berbicara meskipun sedikit serak, karena menahan sesak yang begitu dalam di rongga dadanya.
"Iya, Ma. Kita ke kamar dulu, ya." Maisha dan Keysa merapikan peralatan mengaji, dua meja dan iqro mereka bawa ke kamar mereka. Meninggalkan sang mama yang masih terdiam dan terpaku.
Tiara tak habis pikir dengan kelakuan suaminya. Di mana Evan tega mengkhianati cinta yang lama telah mereka jalin.
'Apa yang salah denganku, Mas? Sampai kamu tega khianatin aku seperti ini? Bahkan kamu menyogok sahabatku sendiri,' gumam Tiara masih dengan bahu yang terguncang.
Tangisnya tak bisa berhenti begitu saja. Mengingat kembali betapa suaminya memperlakukan dirinya masih sama seperti hari-hari kemarin. Namun, di balik itu semua dia menyembunyikan perempuan lain di sana.
***
Di tempat lain Evan yang memaksa istri mudanya keluar mol mendapat penolakan dari Clarissa.
"Mas, kamu kenapa sih? Kita belum belanja loh. Aku lapar, aku mau makan sama beli ice cream. Tadi siapa?" tanya Clarissa melepaskan genggaman tangan suaminya.
Evan mengembuskan napas berat, "Tadi itu Anna namanya. Sahabatnya Tiara, makanya aku ajak kamu keluar dari sini. Kita cari mol lain aja."
"Nggak, Mas. Aku maunya di sini. Mol lain pasti macet. Aku keburu lapar. Lagi juga kan perempuan tadi pasti sudah pulang."
"Okey, okey. Kita cari makan dulu ya, abis itu pulang."
"Okey" Clarissa mengangguk lalu mengikuti langkah suaminya ke lantai atas khusus foodcourt.
Sesampainya, mereka sedikit kebingungan mencari tempat untuk makan. Karena masih new normal, hanya sebagian kios yang buka. Meskipun ada beberapa yang tidak bisa makan di tempat, harus take away atau dibawa pulang.
"Sepi, kan?" tanya Evan sambil menunjuk beberapa tempat makan.
"Ya udah, di bawah aja yuk. Kita ke Kefci. Aku cuma pengen makan kentang goreng, cream soup sama ice cream." Clarissa menggandeng lagi tangan suaminya menuju tempat yang dimaksud.
Saat sedang mengantri, handphone Evan tiba-tiba berdering. Ia merogoh saku celananya, melihat nama yang tertera di layar, lalu menengok ke arah Clarissa yang duduk menunggunya.
"Ya, Sayang?" tanya Evan pada sang istri di seberang telepon.
"Kamu di mana, Mas? Jam segini belum pulang?"
"Masih di jalan, Sayang."
"Oh ya sudah, bisa kamu kirim share lokasi? Biar anak-anak tahu posisi kamu. Mereka nungguin mau makan malam sama kamu."
"Suruh mereka makan duluan saja. Aku masih agak lama. Macet banget soalnya."
"Tapi, Mas. Share lokasi aja bisa kan?"
"Iya, iya. Nanti aku share. Bye .... " Evan langsung memutus sambungan karena pesanannya sudah siap.
Evan melangkah ke arah istri mudanya. Lalu mengajaknya pulang. Ia masih kepikiran dengan telepon Tiara barusan. Bagaimana mungkin ia akan mengirimkan lokasi di mana sekarang ia berada. Bisa dicurigai, apalagi kalau sampai ketahuan mampir di sebuah rumah.
Sesampainya di rumah yang ditempati Clarissa. Evan langsung pamit pulang.
"Sayang, aku pulang dulu, ya. Istri dan anak aku udah nungguin. Kamu baik-baik ya, jaga kesehatan." Evan mengusap lembut kepala istri mudanya yang sedang makan kentang goreng itu.
"Mas yakin mau pulang? Nggak nginap saja di sini? Nggak kasihan sama aku?"
"Sayang ... besok pagi aku harus kembali kerja. Aku nggak enak sama Tiara dan anak-anak yang selalu aku tinggal ke sini."
"Ya sudah, Mas hati-hati ya."
"Iya."
"Iyum dulu, sini." Clarissa meminta ciuman di wajahnya.
Evan tersenyum kecil melihat paras cantik di hadapannya. Siapa yang bisa nolak dengan bibir ranum nan tipis menggoda itu. Ia pun menunduk, melumat sekilas bibir mungil sang istri lalu mengecup keningnya, dan mengusap-usap kepalanya dengan penuh kasih sayang.
"Mas pulang, ya."
Clarissa hanya mengangguk, lalu menatap kepergian sang suami dari balik ruang makan yang langsung terlihat ke pintu utama.
Hati Clarissa bahagia, ia tak pernah merasakan kasih sayang dari seorang laki-laki dewasa. Begitu ada pria yang menyatakan cinta padanya, tak ada alasan pun baginya untuk menolak. Meskipun pria tersebut sudah berkeluarga.
Niat Clarissa hanya ingin mendapatkan curahan kasih sayang yang tak pernah ia dapat dari ayah kandungnya sendiri. Bukan untuk merusak rumah tangga orang lain, sebenarnya. Ia paham betul bagaimana perasaan istri pertama suaminya itu, jika dirinya ketahuan menikah siri dengan suaminya. Tapi, ia mencintai Evan, bahkan ia rela separuh hidupnya hanya untuk pria yang sudah menanam benih di rahimnya itu.
Ponsel Clarissa tiba-tiba berbunyi. "Ibu?"
Dengan cepat ia menerima panggilan itu.
"Ya, Bu?" tanyanya malas. Clarissa tahu ibunya itu pasti telepon kalau ada butuhnya saja.
"Cha, Ibu butuh uang."
"Buat apa?"
Clarissa larut dalam percakapan dengan sang ibu yang tebakannya selalu benar. Kalau ada butuhnya saja ibunya itu menelpon. Bahkan setelah Clarissa dinikahi oleh Evan, ia seolah melepas begitu saja putrinya itu. Karena sang ibu sudah menggenggam uang yang diberikan Evan sebagai mahar.
***
Tepat jam sebelas malam, Tiara tampak gelisah menunggu suaminya itu pulang. 'Kamu di mana, Mas? Apa malam ini kamu akan pulang ke sini atau ke rumah perempuan itu?' bathin Tiara rasanya ingin menjerit.
Tak berapa lama, suara deru mobil suaminya terdengar memasuki halaman rumah. Tiara mengintip dari jendela. Dilihatnya sang suami berjalan tergesa-gesa sambil menutup pintu mobil dan menuju pintu.
Tiara mengusap air matanya, memoles wajahnya dengan pelembab dan juga bedak. Ia tak ingin suaminya tahu kalau sejak tadi kedua matanya tak henti mengeluarkan air.
Klek.
Pintu kamar terbuka, "Assalamu'alaikum, Sayang ...." Evan langsung menghampiri istrinya dan mencium pipinya.
Tiara hanya diam, ia berusaha tersenyum di atas luka yang masih menganga. "Waalaikum salam. Mas sudah makan?" tanyanya sedikit bergetar.
"Belum, maaf ya. Aku telat pulang. Anak-anak?"
Evan melepas satu persatu kancing kemejanya.
"Anak-anak? Mereka sudah tidur. Kamu nggak lihat ini jam berapa? Tolong lah, Mas. Nggak usah kasih janji sama mereka kalau nggak bisa tepati. Kamu bilang mau pulang sore. Sampai tengah malam baru pulang." Tiara tampak kesal, ia mengambil pakaian sang suami yang baru saja dilepas. Lalu mengambilkannya handuk untuk mandi.
"Iya, maaf." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Evan. Ia berjalan begitu saja meninggalkan sang istri yang masih bersungut.
Tiara mencoba menahan diri, tak ingin melepas kemarahannya sekarang. Ia tahu, apa yang harus ia lakukan saat sang suami ketahuan memiliki wanita lain. Karena biasanya wanita yang datang di saat seorang pria sukses adalah, wanita yang hanya menginginkan hartanya saja.
Tiara juga tak ingin, apa yang sudah didapat suaminya selama ini. Diberikan begitu saja pada si wanita itu. Terlebih, semua yang membangun juga berkat hasil kerja keras dan doa darinya beserta anak-anak. Ia ingin merubah keadaan yang lama tak ia rasakan semenjak suaminya sibuk di luar.
Lima belas menit berlalu, Evan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pinggang dililit handuk. Terkejut melihat sang istri sudah berganti pakaian. Dress merah cabe melekat di tubuh istrinya itu, rambut panjang hitam tergerai indah. Wajah yang tadi polos, kini sudah lebih menawan, lipstik merah cabe nan merona membuat tampilan Tiara tampak seksi, tak kalah dengan istri mudanya. Kulit putihnya yang mulus itu pun sangat bersinar.
"Kamu nggak salah, Sayang?" tanya Evan dengan dada berdegup kencang.
Libido yang tertahan sejak siang, ketika melihat tubuh istri mudanya. Kini mungkin akan tersalur melalui istri tua.
Evan, mengusap lembut bahu sang istri yang terbuka. Lalu mengecupnya, ia pun melingkarkan tangannya di pinggang Tiara. "Kamu menggodaku, Sayang," ucapnya lirih.
"Kamu suka?"
"Iya, kamu nggak malu dilihat anak-anak?"
"Anak-anak kita sudah tidur, Mas."
Tiara merasa misinya kali ini berhasil. Kalau sang suami merasa suka dengan penampilannya yang seperti itu. Boleh jadi, ia akan tetap bersamanya dan meninggalkan wanita simpanannya tersebut.
"Boleh aku minta lagi?" tanya Evan sambil menatap wajah istrinya. Kedua tangannya perlahan menarik turun resleting belakang dress milik Tiara.
Tiara hanya mengangguk, lilitan handuk Evan pun mengendur karena ada yang bergerak di bawah sana.
Namun, sekilas aktivitas itu terhenti. Dering ponsel milik Evan nyaring terdengar. Bukan panggilan masuk, melainkan pesan whatsapp yang masuk. Khawatir kalau itu pesan dari Clarissa, dengan segera ia ke arah nakas, mengambil ponselnya dan membaca sekilas isi pesan itu.
Agen Asuransi [ Mas, aku butuh uang 20jt sekarang buat Ibu.]
***
Bersambung.
Vote komennya yaaaa jangan lupaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top