2. Pertemuan Masa Lalu

Assalamualaikum.

Ahay pecinta pelakor sini ngumpul.

Hahahaa

~~~

. Hehehe.


🌼🌼🌼

Hujan deras baru saja turun. Clarissa yang sedang berbadan dua itu tampak tak bisa tidur. Tubuhnya lemas, karena sejak sore ia selalu mual muntah. Ia bingung hendak meminta tolong pada siapa. Sang suami sedang berada di luar kota menemui istri pertamanya.

Clarissa mau tak mau hanya dapat berbaring di atas ranjangnya sambil menyelimuti tubuh.

Tiba-tiba saja suara pintu kamarnya terbuka. Isah, sang assisten rumah tangga menengok kondisinya.

"Non, ada yang bisa bibi bantu? Bagaimana kondisi, Non Rissa?" Wanita paruh baya itu mendekat, ia mengecek suhu tubuh sang majikan.

"Non, mau bibi panggil dokter?" tanya Isah.

"Nggak usah, Bi. Kata dokter, aku hanya butuh istirahat."

"Ya sudah, kalau butuh bantuan. Bibi ada di depan kamar, ya."

"Makasih, Bi."

Isah akhirnya keluar kamar. Sebelum menutup rapat pintu kamar itu. Ia merasa kasihan pada gadis tersebut. Ia merasa, gadis seusia Clarissa tak seharusnya menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Masa depannya masih panjang, tapi harus dikorbankan begitu saja, hanya demi uang.

🌼🌼🌼

Esoknya, di kediaman Evan.
Tiara sang istri menyediakan sarapan pagi sebelum melepas keberangkatan anak-anak dan suaminya.

Evan terlihat begitu tampan, memakai kemeja putih dengan kancing atas terbuka, tanpa dasi. Tiara menyambutnya di ruang makan. Ia masih ingat kejadian semalam, rasanya ia tak ingin melepas kepergian suaminya itu ke kantor.

"Sayang, kok kancingnya nggak dikaitkan? Dasi kamu mana?" tanya Tiara.

"Owh, hari ini aku mau ke resto. Jadi santai, nggak ada meeting." Evan menarik kursi untuknya duduk.

"Papa nanti malam pulang ke sini kan?" tanya Keysa.

"Iya dong. Emang mau pulang ke mana lagi?" Evan mengusap kepala putrinya lembut.

"Papa, kapan kita jalan-jalan? Aku kangen eyang. Liburan nanti, kita ke sana, kan?" Maisha tak mau kalah ingin mengajak sang papa liburan.

"Lihat nanti, ya, Sayang. Kalau Papa ada waktu, pasti kita jalan-jalan." Evan menerima piring yang sudah terisi nasi yang diambilkan sang istri.

"Nanti ya, Sayang. Kalau papa sudah nggak sibuk." Tiara mencoba memberikan pengertian.

"Tapi kapan, Ma?" Maisha putri sulungnya yang berusia sembilan tahun itu pun merasa kesal. Ia merasa selama beberapa bulan ini papanya itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tak ada lagi waktu untuknya lagi.

"Ya kamu sabar aja. Udah sarapan dulu, nanti kesiangan."

"Ma, aku mau telurnya." Keysa menunjuk telur mata sapi di depan sang mama.

Tiara mengambilkannya untuk kedua putrinya itu.

"Mama mana?" tanya Evan mencari mamanya yang belum terlihat di ruang makan.

"Mama ada kok, Maaa!" panggil Tiara.

Seorang wanita paruh baya berjalan sambil menggendong sang cucu. "Evan, Tiara. Kapan nih Mama dapat cucu cowok? Emang kalian nggak kepengen apa ada satu penerus perusahaan. Kalau cewek semua begini nggak ada pewarisnya." Ucapan Ranti, mamanya Evan menjadi beban tersendiri untuk Tiara.

Anak ketiganya saja masih berusia satu tahun. Tiara belum memikirkan untuk hamil lagi. Baginya anak laki-laki atau perempuan adalah sama saja. Kalau kita mengajarkan sesuatu yang baik, kelak akan menjadi anak-anak sholehah yang bisa membawa orang tuanya ke syurga.

"Laki-laki atau perempuan kan sama saja, Ma." Tiara mencoba memberi masukan.

"Ya beda dong, Tiaaraa. Kamu lihat nih, anak-anak kamu, pada ceriwis. Belum lagi nih si kecil, cengeng banget."

Tiara akhirnya bangkit dari duduk, lalu mendekati sang ibu mertua. Mengambil alih putri kecilnya dari gendongan Ranti. Padahal tadi ibu mertuanya sendiri yang ingin mengajaknya, dan menyuruhnya makan bersama Evan.

"Ya sudah, Mama sarapan dulu aja." Tiara meminta sang mertua untuk duduk bersama.

"Mama nggak nafsu. Evan, kalau istri kamu nggak mau hamil lagi, buat dapetin anak cowok. Kamu nikah lagi, ya!" Ucapan Ranti membuat Evan tersedak

"Apa, Ma?" tanya Evan tak percaya.

"Mama izinkan kamu nikah lagi," ucap Ranti mengulang perkataannya.

"Tapi aku nggak izinin, Ma." Tiara merasa hal itu bukan keputusan bijak.

Ranti melangkah menjauhi ruang makan. Hati Evan seakan baru saja mendapat angin segar dari sang mama. Seandainya mamanya tahu kalau dirinya memang sudah menikah siri dengan wanita lain. Itu berarti mamanya tak keberatan.

Evan memang sudah yakin akan penolakan dari sang istri. Karena ia tahu kalau sejak zaman mereka pacaran, Tiara begitu protektif terhadap dirinya. Oleh karena itu ia diam-diam menikah lagi.

Pertemuannya dengan Clarissa pun bukan disengaja. Gadis yang tiba-tiba menjadi salah satu waiters di restonya itu memiliki masalah keuangan. Hingga Evan merasa iba dan akhirnya benih cinta itu muncul.

"Pa, aku berangkat sekolah dulu, ya." Maisha dan Keysa menyalami kedua orang tuanya.

Mereka berdua diantar oleh sopir pribadi menuju ke sekolah. Sementara Tiara menjaga putri bungsunya di rumah saja bersama mama mertuanya.

"Sayang, aku juga berangkat dulu, ya." Evan bangkit dari duduknya, menghampiri sang istri. Mengecup kening Tiara dan putri kecilnya. Lalu istrinya itu melangkah beriringan ke depan, mengantarkan sang suami sampai halaman.

"Pulangnya jangan malam-malam ya, Sayang." Tiara mencium punggung tangan suaminya.

"Iya."

Tiara melepas kepergian sang suami. Namun, fokusnya teralihkan saat mendengar suara dering ponsel yang berbunyi dari arah ruang makan. Ia pun berlari menuju arah suara.

Dilihatnya panggilan telepon dari 'Agen Asuransi' dahi Tiara mengerut. Ponsel sang suami tertinggal, ia mencoba mengecek isi pesan whatsapp, sayangnya ponsel itu dikunci. Ia tak tahu kode sandi yang dipakai Evan untuk ponsel tersebut.

"Sayang … ponsel aku ketinggalan ya?" Suara Evan kembali dengan terburu-buru.

"Oh, i--iya. Ini, Mas." Tiara menyerahkan ponsel tersebut.

"Tadi ada telepon, Agen Asuransi," sambung Tiara lagi.

"Owh, iya. Biasa itu. Mereka sering telepon. Padahal aku sudah berkali menolak, karena keluarga kita kan sudah pakai. Palingan aku tawarin karyawan lain, ya itung-itung bantu mereka cari nasabah, kan? Aku berangkat ya." Evan kembali berpamitan.

Tiara masih mematung, ia hanya bisa tersenyum kecil melihat sang suami yang sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu. Ia tak yakin kalau telepon tadi benar-benar dari agen asuransi. Apalagi biasanya sang suami tak pernah memakai kode sandi untuk ponselnya, dan kali ini ia memakainya.

"Tiara, kamu itu kalau pagi-pagi mandi. Dandan yang cantik buat suami kamu. Nggak kucel kaya gini, malu-maluin. Jilbab nggak pernah ganti pula. Sini Syaira mama yang gendong. Kamu mandi trus ke pasar." Ranti kembali mengambil alih cucunya.

Tiara menurut saja. Ia pun melangkah menuju kamar hendak mandi. Ia tak ingin berprasangka buruk pada sang suami. Berusaha menghilangkan semua prasangkanya.

🌼🌼🌼

Dalam perjalanannya menuju kantor, Evan mencoba kembali menghubungi nomor dibalik nama agen asuransi tersebut.

Nada sambung terdengar, tak lama kemudian suara seorang wanita dengan teramat lemah menjawabnya.

"Ya, Mas. Kamu lama sekali angkat telepon." Suara itu tampak cemas.

"Maaf, Sayang. Tadi handponenya ketinggalan. Hampir saja ketahuan Tiara. Ada apa? Gimana keadaan kamu, dokter bilang apa?"

"Aku benar hamil. Usia kandunganku sudah enam minggu. Nanti kamu bisa ke sini, kan? Aku kangen sama kamu," rayu Clarissa, gadis yang berada di seberang telepon merajuk sang suami.

Evan menggaruk kepalanya yang tak gatal itu. Sebenarnya ia mau saja ke Bandung. Namun, jarak Jakarta-Bandung tidaklah dekat, meskipun hari ini tak begitu padat di kantor.

"Mas …."

"I---iya, Sayang. Siang atau sore aku ke sana ya. Tapi aku nggak bisa nginap, soalnya aku udah janji sama anak-anak untuk pulang ke rumah hari ini."

"Iya, iya. Aku cuma mau ketemu kamu kok, sebentar juga nggak apa-apa."

"Ya udah, kamu mau aku bawain apa? Kamu lagi kepengen apa?" tanya Evan antusias.

"Eum … rujak serut aja. Aku lagi kepengen yang seger-seger."

"Emang di situ nggak ada?"

"Aku pengen kamu yang beliin, Mas."

"Okey. Sekarang aku masih di jalan menuju kantor. Kamu hati-hati di rumah, makan yang teratur. Kalau ada apa-apa hubungi aku."

"Iya, Sayang."

Panggilan pun terputus. Evan merasa istri keduanya itu sangat manja. Dulu, saat Tiara hamil anak pertama mereka. Evan malah seakan tak dibutuhkan. Karena sang istri tak suka melihat wajahnya, karena bau parfumnya yang katanya bikin mual. Dan selama trimester awal kehamilan itu, Evan selalu tidur di luar.

Ada rasa bahagia yang berbeda mendengar kehamilan istri simpanannya itu. Padahal Evan di rumah pun masih memiliki anak balita. Ya, hati siapa yang tak akan senang, kalau akan memiliki buah hati. Apalagi kalau sampai anak yang dikandung Clarissa adalah anak laki-laki.

🌼🌼🌼

Tepat pukul sepuluh pagi, Tiara baru pulang dari pasar. Ia belanja kebutuhan untuk tiga hari ke depan. Sayur mayur juga lauk pauknya.

Sebenarnya Evan sudah sering bilang padanya, untuk belanja di supermarket, atau pasar modern. Karena lebih lengkap barangnya. Hanya saja, Tiara lebih memilih belanja sendiri ke pasar tradisional, selain lengkap dan segar semua sayurannya. Harganya pun masih bisa ditawar.

Sementara putri bungsunya sedang tidur, Tiara memasak di dapur. Rencananya ia ingin membawakan bekal makan siang suaminya itu ke kantor.

"Saya bantu, ya, Bu." Suara wanita paruh baya mendekatinya.

"Eh, Bi Ema. Iya, Bi. Tolong sayurannya di siangin ya. Saya mau bikin capcay jamur sama udang kesukaan Mas Evan. Saya mau bawain dia makan siang ke kantor." Tiara memberikan plastik berisi sayur mayur pada assisten rumah tangganya.

"Kenapa nggak nyuruh saya aja tadi, Bu, ke pasarnya?"

"Nggak apa-apa, Bi. Kan emang biasa saya yang ke pasar. Bibi di rumah jagain Syaira. Emang Bibi bisa naik motor?" goda Tiara.

"Ibu bisa aja. Naik doang sih saya bisa, jalaninnya nggak." Ema terkekeh.

"Ya di dorong aja, Bi."

"Hehehe."

Mereka berdua memasak. Dari kejauhan Ranti memperhatikan dan mendengar semua percakapan itu. Sebenarnya ia bangga punya menantu yang pintar masak. Namun, sayangnya Tiara tak pandai merawat diri. Ke mana-mana pakai gamis dan jilbab yang warnanya sudah lusuh. Kadang membuat dirinya malu jika bertemu dengan teman-teman arisannya.

Setelah semua siap, Tiara berganti pakaian. Tak lagi gamis dan jilbab lusuh. Ia bisa menempatkan diri untuk berdandan rapi saat keluar rumah. Seperti ke kantor sang suami atau ke kondangan. Kalau untuk ke pasar, ia memang tak pernah dandan, karena pasti akan menjadi pusat perhatian nantinya.

Tiara datang dengan membawa mobil pribadinya. Evan membelikan mobil itu tahun lalu, sebagai hadiah ulang tahunnya.

Sesampainya di depan kantor sang suami. Rantang berisi makanan untuk Evan ditentengnya sambil melangkah ke arah pintu masuk.

"Tiara! Tiara!  Tunggu!" Sebuah suara memanggilnya.

Tiara menoleh, seorang pria berlari menghampiri. "Fathan?" Kedua mata Tiara seketika berbinar melihat kedatangan pria yang hampir lima tahun tak pernah lagi ia temui.

"Apa kabar?" tanya pria berkemeja biru itu sambil mengulurkan tangannya.

"Baik, kamu sendiri?"

"Alhamdulillah, baik. Oh iya kamu ngapain di sini?"

"Ini resto punya Mas Evan. Kamu sendiri ngapain ke sini?" tanya Tiara balik.

"Waah kebetulan sekali. Aku kemarin ngelamar kerja di sini, dan hari ini aku dipanggil lagi buat interview." Fathan merasa mungkin semua ini bukan hanya kebetulan semata. Pekerjaannya kali ini bisa menjadi jembatan untuk memperbaiki hubungannya dengan Evan di masa lalu.

"Waaah. Di posisi apa?"

"Legal, biasa basic aku kan di hukum."

"Keren." Tiara tak henti memuji sahabat suaminya itu. Lebih tepatnya mantan sahabat mungkin.

"Kamu pasti mau antar makan siang kan buat Evan?"

"Iya, kamu tahu saja."

Tiara dan Fathan merasa bahagia, karena sejak lulus kuliah mereka tak lagi bertemu. Persahabatan yang terjalin bertiga ternyata tak sehat. Fathan yang diam-diam mencintai Tiara, harus kesalip oleh sahabatnya sendiri, Evan. Ia pun harus terima kenyataan pahit itu.

Sampai akhirnya Fathan memutuskan untuk melanjutkan S2 nya ke luar negeri. Mereka dulu sama-sama kuliah di fakultas hukum. Sementara Evan fakultas ekonomi bisnis.

Fathan merasa bahagia, melihat wanita yang pernah ia cintai itu kini sudah berubah. Menjadi lebih cantik, dan anggun. Ia merasa pasti kehidupan Tiara bahagia bersama suaminya. Namun, ia pun menjadi takut kalau sampai rasa yang susah payah ia hapus itu, akan kembali hadir jika Tiara sering ke kantornya.

🌼🌼🌼

Bersambung.

Vote komennya ya gaaes

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top