Bab 5

Serli memijat keningnya. Dia terlihat sangat pusing.

"Kata gampangnya, pernikahan hanya status, kita bisa menjalani hidup kita sama seperti sekarang," kata Sarga lagi menambahi.

Serli menggelengkan kepala tak setuju.

"Laki-laki gila! Kenapa kamu berpikir seperti itu. Pernikahan itu bukan sebuah game, yang kita bisa atur semua, atau kita akhiri semau kita," kata Serli tegas. "Aku tegaskan, aku hanya akan menikah dengan orang yang paling aku cintai, yang bisa buat hidup aku berbeda, berwarna, dan selalu ada buat aku," kata Serli menekankan. Lagi-lagi tanpa merasa bersalah Sarga tersenyum.

"Benarkah? Apa kamu akan bertemu dengan laki-laki itu? Ah, pacar kamu itu? Ayah kamu nggak membiarkan itu, dia bisa saja sewa orang buat membahayakan laki-laki itu, bahkan sampai ..." Ucapan Sarga terhenti.

"Stop!" kata Serli. "Jangan berusaha mengancam aku," katanya kesal.
"Sebaiknya kamu pergi!" perintah Serli ketus.

"Ayolah! Jangan seperti anak kecil," kata Sarga.

"Apa?" Serli ingin memaki. Namun, Sarga lebih memilih mengalah. Dia mengangguk dan berdiri dari posisinya.

"Oke, oke, aku bakalan pergi," kata Sarga. Dia meninggalkan Serli seorang diri.

Sarga terlihat kesal. Bahkan dia tak menyapa karyawan yang tengah bertugas. Baginya, Serli sudah membuang waktunya. Walaupun bukan Serli sendiri yang meminta Sarga untuk datang.

"Kapan dia sadar akan perbuatan dia!" gerutu Serli. Dia memijat keningnya dengan kuat. Menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan datar.

"Kenapa harus laki-laki menyebalkan seperti dia," kata Serli, dia mengembuskan napas kasar.

Di dalam mobil, Sarga terus mengatur napasnya. Dia mengatur emosinya.

"Apa ada cara lain, untuk memikat wanita?" tanya Sarga tiba-tiba. Dean yang sudah mengemudi mobil, melirik melalui spion di atasnya.
"Apa?" tanya dia memastikan pertanyaan Sarga.

Sarga mengembuskan napas. "Apa gue kurang tampan, sampai dia nolak gue berkali-kali! Siapa dia?" Sarga terlihat sangat kesal.

"Lo terlalu memaksa dia. Itu membuat lo terlihat nggak tulus. Perempuan, mana mau menjadikan permainannya sebagai bisnis. Hati mereka itu tulus kalau sama yang namanya cinta, sensitif jika masalah pernikahan." Dean memberikan petuah. "Nggak kayak laki-laki, liat cewek nafsu terus dinikahi, urusan cinta belakangan. Yang jelas, dia mapan, pernikahan menguntungkan buat dia, rela aja kalo langsung nikah walaupun dia belum cinta sama perempuannya," kata Dean.

"Terus gue harus gimana? Lo tau bokap gue, kan? Kalau dia punya keinginan, harus terkabul," kata Sarga tegas.

"Kenapa nggak bawa Gisella aja ke rumah?" tanya Dean.

"Apa? Bawa Gisella? Ke hadapan dia? Bisa mati gue!" kata Sarga asal ceplos. "Jelas-jelas, Serli ini bakal menguntungkan buat bisnis dia, buat bisnis gue, dan buat bisnis Bokapnya. Mana mungkin, bakal dilepas gitu aja."

Dean terdiam. Entah memikirkan cara, atau dia mencerna ucapan Sarga. Benar, berbicara tentang bisnis itu keras. Nggak akan luluh dengan rasa kasihan. Mereka mungkin nggak pernah memikirkan perasaan Serli sebagai seorang perempuan. Egois, mengobarkan hati Serli hanya untuk kepentingan bisnis.

"Coba lebih terlihat tulus di depan Serli." Dean memberi saran. "Jangan bicara tentang pernikahan, bicara saja apa yang dia suka, apa yang dia inginkan," kata Dean.

"Lalu?" Sarga segera mendekat ke arah Dean duduk. Membuat laki-laki itu sedikit terkejut.

"Bila perlu, buat dia penasaran tentang lo," kata Dean. Sarga mengembuskan napas. Dia kembali menyandarkan tubuhnya pada jok penumpang yang dia duduki.

"Kayaknya gue salah, nanya tentang perempuan yang nggak pernah pacaran," kata Sarga. Dean hanya tersenyum dibalik kemudinya.

"Oke. Jadwalkan lagi pertemuan gue sama Serli." Sarga menginterupsi.
"Gue bakal buat dia jatuh cinta sama gue," katanya penuh percaya diri.
Dean hanya mengangguk setuju.
Langit berubah menjadi gelap. Bukan berarti mendung dan datang hujan, melainkan sudah kodratnya jika matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Bulan malam itu juga terlihat tak sempurna melingkar.

Serli menengadahkan wajahnya ke atas. Melihat bulan yang dikelilingi oleh cahaya kecil-kecil yang sangat banyak.

"Takdir macam apa ini? Menikah dengan orang yang baru aja aku kenal, boro-boro cinta, melihat wajahnya aja udah muak. Apalagi jika nanti harus bertemu setiap hari," kata Serli. Rupanya suaranya terdengar oleh Haikal. Benar, posisi Haikal sangat dekat. Saking fokusnya melihat ke arah langit, Serli sampai tak menyadari kedatangan Haikal.

"Apa? Menikah?" tanya Haikal. Serli terkejut. Dia segera menoleh ke arah Haikal. Dia membulatkan kedua matanya sempurna.

"Dengan laki-laki yang tadi siang datang?" tanya Haikal. Dia mengambil posisi duduk di samping Serli.

"Oh, mmm, itu ..." Rupanya Serli gagap menjawab pertanyaan Haikal.

"Maaf, aku nguping tadi. Abisnya aneh, lihat kamu liat langit serius banget. Mau aku kagetin, nyatanya aku yang kaget sama ucapan kamu," kata Haikal lalu tersenyum. Serli membalas senyuman itu.

Serli mengembuskan napas berat. Dia lantas menatap kosong halaman yang sangat bersih di depannya.

"Bisa nggak, sih? Takdir atau skenario hidup ini aku ubah? Apa aku hamba yang durhaka?" tanya Serli.

"Kenapa? Apa kamu menyetujui pernikahan itu?" tanya Haikal.

"Entahlah," kata Serli lemah.

"Lalu bagaimana dengan aku?" tanya Haikal. Jantung Serli berdegup kencang. Orang yang selama ini mendekatinya, orang yang selama ini memberikan perhatian lebih kepadanya, dan orang yang selama ini singgah di hatinya hampir enam tahun, kini memberikan tanda-tanda lampu hijau tentang perasaannya.

"Apa?" tanya Serli gugup.

Haikal menatap intens mata Serli. Membuat perempuan itu begitu luluh lantah.

"Oke, aku perjelas. Maaf, selama ini aku hanya memberikan kamu perhatian tanpa kepastian. Aku takut, setelah aku menyatakan perasaan aku dan kamu setuju kita membuat sebuah hubungan, dan kamu tahu, kan? Hubungan pacaran nggak semuanya berlanjut ke pernikahan. Aku takut, malah nanti aku kehilangan kamu, aku nggak sedekat ini sama kamu, dan aku ..." Haikal menghentikan ucapannya.
Serli menggelengkan kepala. "Aku cinta sama kamu," kata Serli tiba-tiba. Entah itu ucapan orang yang sudah putus asa, atau memang dia cinta sama Haikal.

"Enggak, kamu nggak boleh ..." ujar Haikal. Lagi-lagi ucapannya terputus karena Serli kembali berbicara.
"Sungguh, aku cinta sama kamu. Sangat," kata Serli tegas.
"Ser," ucap Haikal datar. Serli meneteskan air mata. Alih-alih mengusapnya. Haikal malah mendaratkan bibirnya tepat di bibir Serli.

Serli menyambut ciuman hangat dari Haikal. Dia menutup matanya. Hingga akhirnya, ciuman itu ditutup oleh pelukan dai Haikal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top