Bab 3
Teng....
Pintu elevator terbuka. Sarga segera keluar. Seperti memiliki dua kepribadian, dia menampakkan wajahnya yang garang dan berjalan dengan penuh ketegasan.
Ternyata Dean sudah berada di kantornya. Dia tengah sibuk menyiapkan bahan untuk meeting sang bos.
“Apa kamu memiliki rencana untuk menikah?” tanya Sarga tiba-tiba. Hal itu menarik perhatian Dean yang sedari tadi fokus dengan layar laptop di depannya.
“Nikah?” tanya Dean. Sarga duduk tepat di depan Dean.
Dia berdehem. “Oke, gue tanya sebagai seorang teman, apa lo pernah berpikir akan menikah dengan orang yang sama sekali nggak lo kenal?” tanya Sarga.
Jika Sarga sudah berbicara seperti itu. Artinya tak ada kata bos dan bawahan di ruangan itu.
“Apa ada masalah? Lo mikirin ucapan Om Kusuma kemarin?” tanya Dean.
Sarga mengangguk lemah. “Dan gue berpikir, gue harus menerima pernikahan ini,” kata Sarga datar. Dean menarik garis kening. Dia menatap sahabatnya lekat.
“Apa lo melakukan kesalahan? Atau lo kerasukan jin, sampai mau menuruti perintah Om Kusuma,” kata Dean bingung.
“Bokap mengidap Alzheimer,” kata Sarga putus asa. Dia tersenyum simpul. “Ternyata penyakit itu ada di dunia nyata. Gue pikir, Bokap bohong.” Sarga menatap meja yang sudah penuh dengan lembaran kertas itu dengan tatapan kosong.
“Gila! Apa yang harus gue lakuin, saat menyetujui pernikahan ini. Apa gue harus bahagia?” tanya Sarga pasrah.
Lagi-lagi Sarga mengembuskan napas kasar. Dean yang melihat itu hanya diam. Sepertinya kali ini adalah masalah terberat dalam hidup Sarga. Namun, satu yang pasti, Sarga nggak akan menyerah. Karena Dean sangat mengenalnya.
“Kosongkan jadwalku nanti sore. Aku akan menemui Gisela,” ujar Sarga datar. Dean hanya mengangguk tegas.
Dean sangat tahu karakter Sarga. Dia orang yang tegas, orang yang percaya diri, dan orang yang sangat keras kepala.
Tepat pukul sebelas, meeting bersama management perusahaan selesai. Sarga meninggalkan ruangan, seperti biasa Dean yang berjalan mengiringi langkahnya.
“Acara makan siang ini...” Ucapan Dean terhenti. Matanya langsung menatap Sarga, meninggalkan layar iPad yang dibiarkan menyala. Sarga menoleh.
“Maaf, Pak Kusuma mengagendakannya mendadak.” Dean segera meminta maaf.
“Lagi? Dengan wanita itu?” tanya Sarga. Dean hanya mengangguk. Sarga langsung mengembuskan napas. Melanjutkan langkahnya kembali.
Siang itu matahari begitu terik. Bahkan Serli sampai mengenakan kacamata hitam saat mengendarai mobilnya. Dia memarkirkan mobilnya di sebuah restoran bergaya Italia. Tanpa ba-bi-bu Serli langsung turun, dan melepas kacamatanya. Memasukkan ke dalam tas yang dijinjing tangan kanannya.
Penampilannya kali ini berbeda dari kemarin. Sebenarnya Serli tak mempermasalahkan penampilan, atau repot-repot dandan saat akan bertemu Sarga. Baju yang dia pakai sekarang adalah baju yang biasa dia pakai untuk ke butik miliknya. Terlihat fashionable dan juga sangat modis.
Tinggi badannya yang menjulang tinggi, membuat dia sangat pas dalam memakai celana cutbray yang dipadukan dengan kaos tanpa lengan dengan leher turtleneck. Dia sangat cocok dengan gaya seperti itu.
Langkahnya terlihat berat memasuki restoran itu. Dia disambut oleh dua penjaga restoran dengan senyum ramahnya.
“Selamat siang, apakah Nona sudah memesan tempat?” tanya salah satu pelayan itu ramah.
“Iya, atas nama Sarga.” Serli menjawabnya dengan sedikit malas.
“Oke. Silakan!” Satu pelayan lagi memandunya masuk ke dalam. Serli hanya mengikutinya. Baru beberapa langkah, dia sudah melihat sosok Sarga yang sedang sibuk dengan iPad di tangannya.
“Stop! Aku sudah melihatnya,” ujar Serli. Sang pelayan pun menghentikan langkahnya dan mengangguk mengerti.
Serli berjalan menuju meja yang sudah diduduki oleh Sarga. Belum juga sampai, Sarga menoleh karena suara sepatu Serli yang mengusik perhatiannya.
Dia meneguk saliva saat melihat Serli mendekat. Benar, wanita itu benar-benar berbeda dengan yang kemarin. Serli menampakkan wajah datar dan mengambil posisi duduk di depannya.
“Kenapa harus makan siang?” tanya Serli. Sarga yang kembali fokus pada layar iPad hanya mengedikkan bahu.
“Kalau nggak mau, kenapa datang?” tanya Sarga ketus.
“Aish,” gerutu Serli kesal.
Sarga meletakkan Ipad-nya. Belum juga Serli memilih makanan, seorang pelayan datang membawa makanan yang disajikan di meja keduanya. Serli bingung, dia hanya diam melihat pemandangan di depannya.
“Untuk mempersingkat waktu. Aku nggak mau kelamaan nunggu pesanan. Jadi, aku memesannya duluan,” kata Sarga seolah tahu apa yang ada di pikiran Serli.
Serli mengalah. Untung saja, dia pemakan segalanya. Jadi tak masalah saat ada makanan asing di depannya. Walaupun dia akan ragu untuk menyantapnya. Namun akhirnya, bisa masuk ke dalam mulut dan ditelannya.
Tanpa suara mereka berdua menikmati hidangan yang sudah disajikan. Serli ingin segera menghabiskan makanan di atas piringnya. Dengan begitu, makan siang selesai, dan dia tak harus menghadapi Sarga.
“Ayo! Kita lakukan pernikahan ini,” kata Sarga tiba-tiba. Membuat Serli batuk dan tersedak.
“Apa?” tanya Serli memastikan. Matanya bertemu dengan sepasang mata Sarga. Terlihat laki-laki itu mengangguk dengan santai.
“Kita lakukan pernikahan ini,” kata Sarga mengulangi.
“Pernikahan itu bukan sebuah game, yang bisa dengan cepat game over,” kata Serli. “Pernikahan itu sekali seumur hidup,” lanjutnya tegas. Untung saja makanan dalam mulutnya tak terlalu banyak. Sehingga dia bisa menelannya sampai habis.
“Aku tahu.” Sarga menjawabnya tegas. “Tapi, kita harus melakukannya,” kata Sarga. Serli menggelengkan kepala.
“Tidak, kita bisa menolak permintaan orang tua kita.” Serli menepis ucapan Sarga.
“Apa kamu yakin, dengan kamu menolak pernikahan ini, kamu nggak akan bertemu dengan perjodohan lagi?” Sarga tersenyum kecut. “Atau nggak, kamu bawa pacar kamu ke depan orang tua kamu, apa akan mendapat restu?” tanya Sarga.
Serli terdiam. Dia menatap Sarga kesal. Bagaimana bisa dia mengatakan hal yang mustahil. Bahkan di luar pemikirannya. Benar, Singgih nggak akan merestui Serli dengan laki-laki manapun, kecuali Sarga.
“Hei, ayolah! Kita bukan anak kecil, yang nurut aja perintah orang tua. Kita udah dewasa, mana yang harus kita lakukan, mana yang harus kita rahasiakan, dan mana yang harus kita umbar di depan umum,” kata Sarga.
“Ayah kamu sangat menginginkan pernikahan ini. Dia mencari keuntungan di pernikahan kita nanti. Kamu tahu? Nantinya, dia bisa buka anak perusahan di lahan yang sudah menjadi milik Ayahku. Kenapa? Karena mereka sudah merencanakannya, mereka sudah mengorganisir semua, dari mulai untung rugi, dari segi keberhasilan, dan kemajuannya akan berkembang pesat, menurut mereka.” Sarga menjelaskannya secara detail. “Mana bisa Ayah kamu memberikan kamu dengan orang yang salah, dengan orang nggak berperan penting buat hidup dia.” Sarga menatap Serli intens.
“Apa kamu setuju dengan pernikahan ini, karena akan menguntungkan untuk kamu, untuk perusahaan kamu, atau kamu bisa menguasai dunia bisnis di sini?” tanya Serli.
Sarga menggelengkan kepala cepat.
Serli tersenyum sinis. “Lalu buat apa kamu menyetujui, sedangkan kamu saja sudah memiliki pacar, yang bisa kapan saja kamu nikahi,” kata Serli. Dia mengembuskan napas.
“Waktu makan siang sudah habis.” Serli mengambil tasnya. Dia mulai berdiri.
“Oke. Aku kasih kamu satu permintaan. Tapi, kamu harus setuju dengan pernikahan ini.” Sarga berucap tegas. Serli tersenyum sinis lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top