Bab 2.

“Kamu,” katanya panik. Matanya bertemu dengan orang yang dia tabrak.

“Kamu!” kata laki-laki itu terkejut. Serli kembali membulatkan matanya sempurna.

“Maaf, aku benar-benar nggak sengaja,” kata Serli minta maaf.

“Apa hobi kamu nabrak orang? Kali ini baju aku yang kena,” kata pria itu tegas.

“Aku harus membersihkannya,” ujar Serli segera meraih baju yang sudah kotor oleh eskrim miliknya.

Namun, laki-laki bernama Sarga itu menepis tangan Serli dengan kasar.

“Nggak perlu. Aku nggak punya banyak waktu ngeladeni orang seperti kamu!” kata Sarga ketus. Dia mengurungkan niatnya untuk ke dalam mini market. Dia lantas kembali ke mobilnya.

“Ish,” kata Serli kesal. Dia menyesal sudah ceroboh menabrak orang lagi hari ini.

Serli melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang memang sudah dekat.

“Tunggu! Apa dia tinggal di daerah ini? Di mana? Kenapa aku nggak tahu?” tanya Serli. “Jangan pernah lagi aku ketemu sama dia! Galak,” kata Serli.

Dia menggelengkan kepala cepat.
Akhirnya dia memasuki pelataran rumah bernuansa putih. Rumah yang terlihat sangat megah dari luar itu tampak sepi. Namun, ada satu mobil asing yang mungkin memang tamu ayahnya. Serli memarkirkan mobilnya sembarang.

Dia hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk bertemu ayahnya. Itu adalah harapannya.
Lagi-lagi Serli dikejutkan dengan hal baru. Bukan hal baru, tetapi malah seperti Dejavu dalam hidupnya.

“Hah!” Serli terkejut. Sosok Sarga muncul kembali di depannya. Dengan ekspresi yang sama kagetnya.

“Kamu lagi?” tanya Sarga kesal.

“Dulu hidupku tak pernah sesial ini. Kenapa sekarang seperti ini? Bertemu orang yang sama sebanyak tiga kali dan di hari yang sama?” tanya Serli bingung.

“Berarti tandanya kalian jodoh,” ujar seseorang yang baru saja datang, dan mendengar ucapan Serli.

Dua pasang mata yang tadinya saling bertatapan, kini mengarah pada sumber suara yang sedang berjalan ke arah mereka berdua.

“Hah!” Serli tak setuju.

Aldan tertawa puas. Dia melihat adiknya begitu kesal.

“Lebih baik kalian masuk, Ayah pasti udah nunggu,” kata Aldan. Dia segera masuk tanpa mempedulikan ekspresi keduanya.

“Kalian?” Serli tampak masih bingung.

Sarga memilih meninggalkan wanita yang dia anggap aneh. Dia lebih memilih berjalan masuk.

“Tunggu!” cegah Serli. Dia mengejar langkah Sarga dan berdiri mencegahnya.

“Ada perlu apa datang ke sini?” tanya Serli penuh selidik.

“Bukan urusan kamu, lagipula ...” Ucapan Sarga ngambang. Dia melihat Serli dari ujung kaki sampai kepala. “Kamu pembantu?” tanya Sarga.
Serli sangat terkejut. Dia membulatkan matanya sempurna.

“Aish,” gerutunya. Sarga menggelengkan kepalanya. Dia lantas berjalan menuju pintu utama rumah itu.

Serli meneliti sendiri penampilannya. “Memangnya kelihatan seperti pembantu?” tanya Serli. Dia memakai baju yang membuat dia nyaman. Tidak seperti biasanya yang modis dan fashionable saat sedang di butik.
Serli berjalan lemas masuk ke dalam. Rupanya tak hanya Sarga tamunya. Di dalam sudah ada enam orang, termasuk Ayah, Ibu, dan kakaknya, juga Sarga, dan dua orang lagi adalah sepasang orang tua paruh baya yang mungkin seumuran dengan orang tua Serli.

“Ada apa ini?” tanya Serli lirih.
Belum juga dia mendapat jawaban atas kebingungannya. Ayah Serli beranjak.

“Sepertinya kita langsung makan malam saja,” katanya lalu tertawa. Dia melirik sebentar ke arah Serli. Membuat perempuan itu ketar-ketir.

“Apa kamu Serli?” tanya perempuan bergaun warna Lilac. Dia berdiri dan tersenyum ramah pada Serli.
Serli mengangguk, dan membalas senyuman itu dengan ramah pula.

“Wah, cantik sekali,” kata wanita itu lalu mendekat ke arah Serli. Membuat semua orang tertawa. Kecuali Sarga yang akhirnya bertanya-tanya.
Singgih, ayah Serli hanya berdehem dan langsung menuju tempat makan. Diikuti semua orang.

“Benar, Ayah memang tak pernah menghargaiku,” batin Serli.

Sejak Serli memutuskan sebagai seorang desainer. Ayahnya yang tidak mendukung sama sekali hanya cuek terhadap Serli. Serli seperti pembangkang di mata ayahnya. Maka dari itu Serli lebih memilih tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya.

Semua orang sudah duduk di bangkunya masing-masing. Serli duduk tepat di depan Sarga. Makanan sudah disajikan dan sangat banyak. Bahkan ada makanan penutup yang sudah disediakan di meja yang terpisah.

Batin Serli terus bergelut. Pertanyaan muncul terus menerus.

“Ada apa ini, kenapa semua orang tampak sangat santai.” Netra Serli melirik ke semua orang yang masih akrab dalam berkomunikasi. Di samping kiri Serli adalah ibunya. Tampak perempuan itu penasaran, hingga dia menyenggol lengan ibunya.

“Ada acara apa?” bisik Serli. Belum juga ibunya menjawab, rupanya Singgih langsung membuka suara.

“Semoga kita menjadi keluarga,” ujar Singgih tanpa basa-basi. Serli menarik garis keningnya.

“Dia adalah Serli. Anak perempuanku. Sepertinya akan sangat cocok dengan Sarga.” Singgih menunjuk Serli.
Serli tampak terkejut. Dia langsung batuk dan sedikit mengeluarkan air yang tengah diminumnya.

Semua orang tersenyum melihat Serli. Tentu saja perempuan itu menarik alisnya ke atas, dan menatap Sarga intens.

“Ayah!” protes Serli. Singgih berdehem sebelum akhirnya merespon protes dari anaknya.
“Sudah waktunya kamu menikah, dan tinggalkan pekerjaanmu,” jawab Singgih tegas.

“Ayah, tapi ...” Serli lagi-lagi bisa memprotes. Namun, kali ini Sarga menyela ucapannya.

“Tak apa. Aku suka wanita yang bekerja.” Sarga tersenyum. Serli menarik garis keningnya. Dia kembali menatap Sarga. Kali ini tatapan mata elang yang ingin memangsa targetnya. Terlihat Sarga hanya cengengesan.
Sarga mengangguk. Serli mengerdik, dia seolah penasaran dengan apa yang ada di pikiran Sarga. Semua orang tentu saja tersenyum. Itu artinya Sarga setuju dengan perjodohan ini.

Acara makan malam berlangsung. Serli sama sekali tak memakan-makanannya. Dia hanya menatap Sarga dan bergantian melihat ke arah orang yang mengeluarkan suara.

“Bagaimana bisa, pernikahan segampang itu!” batin Serli kesal.
Setelah acara makan selesai. Serli langsung meninggalkan ruangan itu. Segera Sarga menyusulnya. Laki-laki itu rupanya tahu, bahwa Serli tak menyetujuinya.

“Kenapa ngikutin?” tanya Serli. Sarga langsung menghentikan langkahnya. Dia celingukan, dan langsung menunjuk dirinya sendiri.

“Aku?” tanya Sarga. Serli sangat muak melihat wajah Sarga. Walaupun dia tak mengenal asal-usul Sarga, namun melihat cara Sarga berbicara atau perlakuannya sangat membuatnya muak.

“Aku juga nggak setuju sama pernikahan ini,” kata Sarga tiba-tiba. Serli terkejut. Dia seperti menemukan sebuah titik cahaya dalam kegelapan. Artinya, dia masih memiliki kesempatan untuk menolak perjodohan orang tuanya.
Sarga mengangguk.

“Lalu, kenapa tadi ...” Serli mengingat kembali ucapan Sarga di meja makan.
Sarga celingukan. Dirasa aman, dia langsung kembali melihat Serli.

“Tapi kita harus melakukan pernikahan itu,” kata Sarga setengah berbisik.

“Apa?” jawab Serli kencang. “Menikah sama kamu itu bakal buat hidupku sial! Aku nggak kenal sama kamu, dan aku harus setiap hari ketemu kamu, ngeliat kamu, dengan tatapan dan senyuman konyol itu? Nggak mau,” ujar Serli tegas. Sarga tersenyum sinis.

“Memangnya aku mau, ketemu perempuan modelan kamu setiap hari, enggak! Jangan gila! Pacar aku, jauh lebih baik dibandingkan kamu. Jauh lebih cantik, modis, dan juga berkelas!” tekan Sarga. Mendengar itu Serli langsung kesal. Dia ingin menjawab, namun para orang tuanya datang. Serli menghela napas. Dia segera berpamitan.

“Mam, aku pulang! Ada urusan yang belum selesai,” kata Serli. Mendengar itu Singgih langsung kesal. Serli seperti tak menjaga kesopanan di depan tamunya.

Serli tahu apa yang ada di pikiran Singgih. Dia langsung menyapa kedua tamunya.

“Oom, Tante, aku pulang dulu. Karena ada urusan yang belum selesai. Kuharap nanti kita bertemu lagi,” kata Serli sopan. Orang tua Sarga tersenyum dan mengangguk cepat.
Serli bergegas keluar tanpa persetujuan Singgih. Dia sangat membenci ayahnya sekarang. Yang tiba-tiba memintanya menikah. Ternyata Sarga tak mengikutinya. Dia bisa leluasa bernapas hingga sampai pada mobilnya.

“Kenapa ada laki-laki semenyebalkan itu? Apa? Suka wanita yang bekerja?” Serli tersenyum kecut. Dia lantas menstater mobilnya. Menghela napas untuk mengatur napasnya yang penuh dengan emosi.

Belum juga menancap pedal gas mobil yang dikendarainya, Serli mengingat sesuatu.

“Ah, lagipula dia udah punya pacar! Apa dia akan meninggalkan pacarnya, untuk melakukan pernikahan ini, gila!” pekik Serli.

Perjalanan malam itu untung saja lancar. Serli sampai di apartemennya tepat waktu. Dia menjatuhkan tubuhnya kasar di atas tempat tidur.
Menatap langit-langit kamar, pikirannya liar, memikirkan sesuatu hal yang belum pernah sama sekali terlintas di benaknya.

“Menikah? Sepertinya Ayah menganggap pernikahan adalah sebuah permainan bisnis,” kata Serli.

Serli mengembuskan napas kasar.
“Kenapa harus laki-laki itu?” tanya Serli menyerah. Namun, hidupnya tak akan berakhir jika dia menikah.

Satu notif pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp di ponselnya. Nama kontak bertuliskan ‘Mom’, mengirim pesan. Benar, wanita paruh baya itu selalu mengkhawatirkan Serli setelah dia pulang ke rumahnya sendiri.

“Apa sudah sampai rumah?” Tulisan pesan yang pertama.

“Jika kamu menyetujui pernikahan ini. Mama harap, kamu akan bahagia.” Pesan kedua ini membuat Serli benar-benar pasrah. Ibunya akan selalu menuruti perintah ayahnya. Bagaimana tidak, Singgih adalah sosok yang keras dan tak ingin dikalahkan oleh siapapun, tak ingin dilawan oleh siapapun. Sekalinya itu adalah istrinya sendiri.

Serli memilih kembali meletakkan ponselnya di samping dia berbaring. Lagi-lagi menghela napas.

“Kenapa hidup serumit ini? Apa hanya aku yang mengalami sebuah perjodohan?” tanya Serli. Dia tau, pertanyaan yang tak akan ada jawabannya, pertanyaan yang hanya sekedar menenangkan dirinya sendiri.

Keesokan harinya,
Sarga berjalan cepat menuju ruangannya. Dia hanya melambaikan tangan dengan gagahnya saat karyawan yang bekerja di kantornya menyapa. Kali ini, dia tak ditemani oleh Dean sang sekretaris pribadi. Sesekali matanya melirik arloji yang melingkar di lengan kirinya.
Sarga mengembuskan napas berat ketika dia sudah berada di dalam lift. Dia rupanya mengingat semua ucapan Kusuma yang sudah dia cerna tadi malam.

“Kenapa harus Alzheimer? Kenapa harus Ayah?” Tak pernah Sarga menampakkan wajah lesu seperti sekarang.

“Pernikahan adalah hal yang tak pernah aku pikirkan!” batinnya bergelut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top